Senin, 29 Agustus 2016

Persija Jakarta antara Kejayaan dan Keresahan Jakmania

Jika saat ini publik sepak bola tanah air membicarakan sebuah klub asal ibu kota Jakarta, tentulah akan sangat miris dan sangat minim prestasi. Persija Jakarta sebuah klub yang memiliki nama besar di masa lalu, beberapa tahun belakangan tampil compang camping dalam menghadapi liga resmi di bawah naungan PSSI maupun turnamen-turnamen yang diselenggarakan oleh pihak lain di tanah air.

Siapa tidak ingat, tim yang berjuluk Macan Kemayoran tersebut sudah sepuluh kali meraih gelar tertinggi dalam persepakbolaan di Indonesia. Gelar yang terakhir kali di raih pada tahun 2001 tersebut, masih tersimpan dalam memori Jakmania. Setelah gelar tersebut, Persija nihil dalam meraih prestasi. Meski di periode awal tahun 2000-an masih tampil impresif dan sempat menjadi klub yang paling besar memiliki peluang juaranya.

Namun semua berbanding terbalik ketika Ferry Paulus datang memimpin Persija Jakarta. Tidak dapat dipungkiri Macan Kemayoran hampir menjadi tim yang tak jauh dari kata kalah. Terlebih lagi pada gelaran Torabika Soccer Championship kali ini. Meski di awal turnamen sempat tampil mengejutkan dengan menahan Persipura Jayapura di kandangnya, anak-anak Macan Kamayoran kerap tampil buruk dalam laga-laga selanjutnya. Penampilan terbaiknya terakhir kali adalah saat menahan Persib Bandung. Sisa-sisanya kerap kali kalah. Meski sedikit ada perubahan ketika Jan Saragih menjadi pelatih sementara setelah Camargo mengundurkan diri, hal tersebut belumlah cukup untuk dijadikan acuan jikalau Persija Jakarta telah bangkit. Yang terpenting adalah pengembangan strategi dari tim kepelatihan dan juga pengembangan bisnis dari pihak manajemen.

Yang selalu menjadi alasan klasik dari pihak manajemen ialah terkendalanya mereka dalam meraih dana segar dari pihak sponsor. Entah menjadi kebiasaan, jika dilihat-lihat penampilan Persija selalu mengejutkan di awal musim. Selanjutnya tampil kurang baik di pertengahan musim, sampai pada akhirnya melempem di akhir musim. Banyak pemain yang lesu dan kurang bergairah. Hal yang terburuknya adalah ketika berakhirnya liga, banyak pemain mengaku tak menerima gaji dari manajemen. Bahkan bisa lebih sampai tiga bulan. Ini sungguh mengejutkan mengingat Persija Jakarta berada di ibu kota tercinta.

Mengingat pada turnamen kali ini semua pertandingan yang ikut serta dalam TSC A disiarkan langsung oleh stasiun tv, setidaknya hal tersebut dapat membantu sebuah klub dalam meraih minat perusahaan untuk ikut menjadi sponsor Persija Jakarta. Tetapi kita juga tidak dapat melupakan, perusahaan-perusahaan yang ada di Jakarta tentulah bukan yang cakupannya hanya masuk ke dalam pasar nasional semata. Perusahaan yang bermain di Jakarta ialah mereka yang sudah mantap memasuki pasar internasional. Rata-rata mereka yang datang ke ibu kota sudah pasti memiliki cabang-cabang di seluruh Indonesia dan juga luar negeri. Inilah yang membuat mereka lebih mementingkan iklan lewat media massa terutama TV ketimbang menjadi sponsor sebuah klub sepak bola.

Berbeda dengan klub-klub lain yang berasal dari luar Jakarta. Di daerah lain, banyak perusahaan lokal yang tumbuh dengan pangsa pasar yang sesuai dengan kondisi perekonomian penduduknya. Mereka tak memiliki cabang-cabang yang menyeluruh di level nasional, sehingga pemasaran dengan mensponsori klub lokal ialah cara yang efesien ketimbang melalui TV dengan biaya yang sangat mahal.

Lihat saja ada banyak bank-bank lokal yang masuk menjadi sponsor utama sebuah klub sepakbola. Ada dua hal yang mesti dilihat, pertama saham klub tersebut masih dikuasai oleh pemerintah daerah setempat. Sebagai pemilik saham mayoritas, mereka merasa memiliki hak untuk memasang logo badan usaha milik daerah pada jersey klub. Yang kedua adalah kondisi penduduk dan sebaran ekonominya. Contohnya adalah rival dari Persija sendiri. Sebaran penduduk Jawa Barat yang begitu banyak dan wilayah yang cukup luas membuat banyak perusahaan ingin menjadi sponsor mereka. Persib yang sangat identik dengan suku Sunda mampu menjadi identitas yang mengikat mereka. Apapun yang terjadi pada klub asal Bandung tersebut akan menjadi perhatian utama bagi para pendukungnya.

Tampaknya dalam tubuh manajemen Persija tidak terlalu serius membangun tim sepak bola yang modern di masa kini. Permasalahan gaji selalu terulang. Minimnya dana dari sponsor membuat tim ini selalu mengalami permasalahan menjelang akhir musim. Pemain menjadi setengah hati dalam membela tim asal ibu kota.

Sebuah manajemen dalam era sepak bola modern harus mengetahui dimana posisi mereka saat ini. Di setiap musimnya mereka harus mengevaluasi kondisi tim. Manajemen dalam masa kepengurusannya harus memiliki target yang dicapai. Mereka juga harus tau apa yang meski dilakukan dalam setiap musimnya untuk memenuhi pembiayaan klub. Jika sudah mengetahui itu semua, mereka akan mengetahui kekuatan dan kelemahan klub tersebut. Bukan malah mengulang kesalahan yang sama.
Misi dan tujuan sebuah manajemen klub juga harus jelas. Baik jangka pendek, menengah ataupun jangka panjangnya. Hal ini akan mudah mengukur kemampuan mereka sendiri. Sudah berada diposisi mana dari target yang ingin mereka capai. Begitupun dengan pembiayaan klub. Persiapan mengarungi kompetisi yang panjang haruslah dipikirkan secara matang-matang. Pembentukan tim bukan hanya menargetkan tim menjadi sebuah pemenang semata, namun juga harus melihat proyeksi pendapatan permusimnya. Dari sponsor, hak siar, maupun penjualan tiket dan merchandise tim.

Jika kelemahan dan kekuatan sudah terlihat dari musim-musim sebelumnya, ini juga akan mempengaruhi strategi dan taktik manajemen dalam menggaet sponsor. Harus ada hubungan yang baik antara klub dan supporter. Karena keduanya sedang memperjuangkan satu nama yang sama dihadapan para pemberi dana tersebut. Hubungan keduanya akan membuat sponsor semakin tertarik dalam bekerja sama. Karena sponsor akan menilai, dengan nama Persija Jakarta apakah produk mereka akan memasuki pasar yang lebih luas dan menguntungkan.

Namun, kerja sama antara manajemen dengan suatu sponsor sebenarnya tidak terlalu mengikat supporter untuk menjadi konsumen ataupun pembeli aktif dari produk perusahaan sponsor tersebut. Alasannya ialah dengan memasang logo perusahaan mereka di jersey kebanggaan Persija Jakarta dan memasang iklan pada papan iklan di pinggir lapangan jika Bepe cs bermain di kandang sendiri secara tidak langsung mereka telah memamerkan produk mereka kepada khalayak luas. Terlebih jika pertandingan tersebut disiarkan secara langsung. Pihak sponsor sudah mendapat keuntungan sangat besar karena logo mereka terpampang selama 90 menit di atas lapangan yang disaksikan jutaan pemirsa televisi.

Yang terpenting dan harus dilakukan ialah pembentukan citra di masyarakat. Dengan melakukan kegiatan-kegiatan sosial, yang mengatasnamakan Persija Jakarta akan membuat tim dan sponsor dekat dengan khalayak. Ini akan memberikan nilai plus kepada seluruh komponen masyarakat. Selain memanfaatkan laga-laga resmi, sebuah tim juga mampu membentuk citra positif dengan melakukan kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Misalnya, dengan memberikan pelatihan khusus kepada anak-anak jalanan ataupun panti sosial lainnya.

Sekiranya ini sedikit peluang yang masih bisa diharapkan untuk membantu keuangan Persija. Kesulitan mendapatkan sponsor harus bisa teratasi. Karena setiap manajemen harus memiliki target-target yang harus dicapai tiap musimnya. Itu menandakan bahwa mereka bekerja serius dan bukan malah mengulangi kesalahan yang sama. Manajemen pun harus terbuka kepada supporter, menjabarkan hal-hal apa yang menyulitkan mereka dalam mencapai hasil maksimal. Supporter berhak tahu keadaan internal dalam tim seperti apa. Bukan malah terus-terusan menyembunyikan masalah dan cuma menjadikan supporter sebagai customer belaka.

Tak layak kiranya menargetkan juara namun selalu terkendala masalah yang sama. Alternatif lain bisa dilakukan jika tim selalu kesulitan dalam hal pemasukan. Pembinaan yang merata di usia dini, perbaikan kualitas liga internal, kepercayaan kepada pemain binaan, hal-hal tersebut akan membentuk tim yang tangguh. Tentu ini akan memakan waktu yang panjang, namun hal tersebut akan menjaga konsistensi bertarung para pemain. Daripada yang terjadi pada belakangan tahun terakhir, cara instan dengan mendatangkan pemain-pemain berbajet mahal tapi selalu bermasalah dalam gaji pemain tentu ini tidak akan mendatangkan apa-apa. Gelar juara akan selalu lepas setiap musimnya. Lebih baik saat ini manajemen konsisten dalam pembinaan pemain, dan memproyeksikan mereka dalam tim utama. Hal tersebut kiranya akan lebih mudah mendatangkan gelar juara.

Keengganan manajemen untuk mengakui bahwa dirinya telah gagal merupakan hal terburuk dari kondisi Persija Jakarta saat ini. Terlebih orang-orang penting yang ikut bermain dalam menentukan siapa yang pantas dan bertanggung jawab menjadi presiden klub Persija seperti hanya duduk manis tanpa mendengarkan kegelisahan dan kekecewaan publik Jakmania.

Tak ada lagi keraguan loyalitas Jakmania terhadap Persija Jakarta. banyak yang rela meluangkan waktunya demi mendukung Bambang Pamungkas cs baik bermain di Jakarta maupun di luar Jakarta. Namun suara-suara kekecewaan dan kegelisahan tersebut nyaris tak digubris oleh mereka yang duduk sebagai pengambil keputusan di internal Persija Jakarta.

Jarak antara manajemen Persija, Pengurus Pusat Jakmania, komunitas Jakmania dan simpatisan-simpatisan Persija lainnya sangat amat renggang. Komunikasi yang terjalin tak terdengar sama sekali. Pengurus Pusat Jakmania selaku pemangku tertinggi organisasi Jakmania sudah saatnya mengambil tindakan. Bukan hanya mendengar kegelisahan Jakmania, tapi sudah harus memasuki audiensi dengan manajemen dan para anggota klub Persija untuk mendengar apa yang terjadi dengan kondisi internal. Sejauh mana mereka bekerja dan sejauh apa yang telah manajemen capai.

Atau hal yang lebih jauhnya, pengurus Jakmania mengajukan sebuah tim untuk melakukan evaluasi bersama, dimana para anggotanya adalah perwakilan dari Pengurus Jakmania, manajemen, anggota internal Persija, dan bahkan bisa saja mengajak perwakilan dari pemerintah provinsi DKI Jakarta. Setidaknya yang harus dilakukan oleh tim tersebut adalah menyiapkan tongkat estafet kepada siapa kepemimpinan akan diberikan. Saya kira Ferry Paulus sudah harus berani membuka kondisi keuangan tim. Beliau juga saya sakin amat sangat dengan sadar bahwa kebesaran Persija Jakarta di tangannya menjadi hilang dan sirna. Ferry Paulus pun yakin Jakmania sudah tidak menginginkan dirinya menjadi presiden klub. Mengganti jabatan presiden klub bukan perkara mudah. Ada beberapa nama yang menginginkan posisi tersebut. Masalahnya mereka yang ingin menjadi presiden tim, kerap kali membatalkan niatnya. Bahkan pihak pemerintah daerah DKI Jakarta yang sempat ingin mengambil alih manajemen Persija mengurungkan kembali niatnya. Sampai akhirnya Macan Kemayoran masih dalam kondisi terburuk sampai pada saat ini.

Hal lain yang harus dilaksanakan adalah revolusi citra yang harus dilakukan oleh para Jakmania. Masih ada sebagian kecil dari mereka yang kerap kali melakukan hal-hal yang merusak nama baik tim kebanggaannya sendiri. Ingat, di Jakarta merupakan kantor-kantor pusat setiap perusahaan yang ada di negeri ini. Mereka menyaksikan langsung apa yang terjadi di luar stadion jika Macan Kemayoran berlaga. Mereka merupakan para pengambil keputusan kepada siapa perusahaan mereka harus dekat dengan sebuah klub. Berbeda dengan daerah lain yang tak pernah terekspos oleh media nasional tentang perilaku supporternya. Sehingga citra yang tersampaikan hanya ada di dalam stadion melalui media TV.

Senin, 11 April 2016

Jakarta Tolak Reklamasi



Babak panas tentang rencana reklamasi di Jakarta terus bergulir. Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan tangkap tangan suap yang melibatkan anggota DPRD DKI Jakarta dan perusahaan pengembang reklamasi banyak masyarakat ibu kota pada khususnya dan masyarakat pegiat lingkungan yang menolak rencana dari Pemprov DKI tersebut.

Jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, reklamasi dipandang sebagai suatu prospek yang sangat menggiurkan dan mendatangkan sejumlah manfaat dari segi pendapatan. Program tersebut juga digadang-gadang akan meningkatkan jumlah wisatawan. Hal tersebut berbanding lurus dengan bertambahnya tingkat hunian hotel. Masyarakat lokal pun akan memperoleh banyak manfaat, seperti semakin terbukanya lapangan kerja baru, bertambah peluang bisnis dan berinvestasi, selain itu pemerintah mendapat penambahan penambahan asli daerah (PAD).

Namun menurut Kusfiardi dari Analisis Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dalam harian Republika (4 April 2016), jika dilihat dari aspek sosial jangka panjang dapat membahayakan. Bahaya paling besar adalah bencana alam yang diluat batas kendali. Menurutnya, alasan ekonomi tidak bisa dijadikan acuan untuk mengabaikan dampak lingkungan dan sosial yang akan terjadi di masyarakat apabila reklamasi dilangsungkan. Ia menyebut, reklamasi juga berpotensi memaksa adanya alih profesi yang bisa berujung pada timbulnya kemiskinan baru.

Hal ini senada dengan apa yang dialami oleh nelayan di kawasan Teluk Angke Jakarta Utara. Rencana Pemprov yang akan meciptakan 17 pulau baru seluas 5.100 hektare dengan melibatkan pengusaha kaya raya dan akan memakan biaya sekitar Rp. 500 triliun tersebut akan sangat merugikan nelayan ibu kota. Menurut Ketua Bidang Hukum dan Pembelaan Nelayan DPP KNTI, Marthin Hadiwinata dalam komentarnya di harian Republika (6 April 2016), sejak dilaksanakannya proyek reklamasi Pulau G, sitausi Teluk Jakarta menjadi kian kritis. Hal itu antara lain ditandai dengan kematian ikan yang terus berulang dikawasan tersebut. Padahal, ikan dan sumber daya laut lainnya merupakan sumber kehidupan dan mata pencarian bagi bagi masyarakat pesisir seperti nelayan-nelayan tradisional di Muara Angke.

Program yang merugikan rakyat kecil dan lingkungan hidup memang kerap kali menimbulkan masalah. Selain terjadinya penyuapan seperti yang telah terjadi, kebijakan tersebut juga masih bisa dipertanyakan terkait masalah melangkahi wewenang pemerintah pusat. Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti menyatakan perizinan yang dikeluarkan Ahok melangkahi wewenang pemerintah pusat. Menurutnya, reklamasi baru bisa berjalan setelah adanya rekomendasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Beliau meminta agar Pemprov DKI menunda reklamasi tersebut dan memikirkan dampak proyek tersebut terhadap lingkungan hidup dan nelayan.

Pemimpin tidak bisa serta merta memanfaatkan alam untuk mengambil keuntungan materi sebanyak-banyaknya dan mengabaikan keselamatan bagi lingkungan hidupnya. Dalam konsep “Ekokrasi”, alam semesta juga harus dipandang sebagai pemegang kekuasaan tertinggi kehidupan. Ekokrasi tidak hanya diartikan pemerintahan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, tetapi keuasaan pemerintah itu sendiri lahir atas dasar kekuasaan yang diberikan oleh lingkungan.

Wacana ekokrasi merupakan perkawinan antara konsep lingkungan dan pembangunan. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan terkandung ide dasar agar aspek lingkungan mendapat prioritas yang sama dengan aspek ekonomi dan aspek sosial dalam strategi pembangunan. Pembangunan berkelanjutan hendak memadukan tiga aspek secara serasi, yaitu aspek ekonomi, aspek sosial-budaya, dan aspek lingkungan hidup. Kelemahannya adalah konsep ini dari praksisnya memiliki banyak penyimpangan, terutama masih dominannya watak developmentalisme sebagaimana sebelum lahirnya konsep tersebut.

Yang terjadi pada masalah reklamasi adalah sudut pandang yang menempatkan kepentingan manusia di atas segala-galanya. Nilai dari segala sesuatu yang ada di alam semesta ini dilihat dari sudut pandang kepentingan manusia semata. Berdasarkan perspektif ini. alam semesta dan lingkungan hidup perlu dimanfaatkan dan dilindungi semata-mata untuk kepentingan manusia.

Hal tersebut harus dilawan karena dua alasan, pertama, manusia adalah bagian dari alam. Manusia hanyalah merupakan satu diantara spesies organis yang hidup dalam suatu sistem yang saling bergantung. Kedua, hewan-hewan sebagai makhluk alam – yang seperti manusia – juga mempunyai rasa sakit. Seharusnya diakui haknya sebagai suatu kaidah moral manusia.
Jika suatu alam sudah rusak – yang merusak pun manusia – seharusnya mereka yang memiliki keuasaan tidak serta merta malah merusaknya, alam perlu diselamatkan demi anak cucu kita nanti. #JakartaTolakReklamasi

sumber gambar: www.republika.co.id

Sabtu, 26 Maret 2016

Mengapresiasi Teman Ahok dalam sudut pandang demokrasi



Menjelang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode mendatang, hal yang paling menarik adalah munculnya wacana agar Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa disapa Ahok untuk maju kembali dalam pertarungan tersebut melalui jalur independen. “Teman Ahok” yang menginisiasi hal demikian. Mereka bekerja mencari dukungan untuk mengajak penduduk Jakarta lainnya ikut mendukung Ahok agar maju dalam jalur perseorangan.

Munculnya “Teman Ahok” ini memang mendapati beragam pandangan. Hal yang terpenting dari ini adalah bahwa masyarakat sudah maju dalam memangdang demokrasi di negeri ini pada khususnya di wilayah DKI Jakarta.

“Teman Ahok” merupakan perwujudan khas dari civil society. Ditengah-tengah kegalauan masyarakat terhadap peran partai politik dalam menciptakan pemerintahan yang jujur dan adil. Pandangan masyarakat terhadap partai politik untuk saat ini memang amat sangat sinis. Mereka sudah tidak lagi menganggap partai politik sebagai upaya perwujudan untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial.

Selama ini tanpa disadari nasib bangsa ini demokrasinya terganjal oleh hegemoni partai politik. Kehadiran partai politik tidak serta merta menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial. Malah justru sebaliknya, demokrasi hanya menjadi sarana persainagn kepentingan elit politik dan tidak berhubungan dengan upaya-upaya mereka dalam menghasilkan hal tersebut.

Adanya “Teman Ahok” berarti akan menguatkan suatu masyarakat politik yang demokratis – partisipatoris, reflekti dan dewasa. Dengan hal tersebut juga menyadarkan kembali kepada masyarakat behwa merekalah pemegang kedaulatan dan memiliki hak untuk mengontrol kekuasaan.

Munculnya gerakan semacam “Teman Ahok” ini yang menurut Jurgen Habermas sebagai bagian dari lifeworld, yaitu wilayah kehidupan dimana tindakan-tindakan sosial warganya tidak didorong oleh hasrat untuk mengakumulasi kekuasaaan maupun uang tapi oleh nilai dasar yang muncul dalam kehidupan sosial seperti keadilan, kebenaran, kebaikan dan yang sejenisnya.

Artinya, Ahok masih dianggap mampu oleh mereka yang menjadi bagian dari “Teman Ahok” untuk terus membenahi segala permasalahan yang ada di ibu kota. Jejak rekamnya yang selama ini dikenal tegas dan cenderung “ceplas-ceplos” dalam memberikan pendapat di muka umum layak untuk maju melalui jalur independen, supaya tidak terjebak dalam kontrol partai politik.

Dengan majunya Ahok melalui jalur independen yang didukung oleh gerakan “Teman Ahok” dapat menumbuhkan pola demokrasi yang partisipatoris bukan hanya menjadi demokrasi elit semata. Demokrasi elit merupakan sebuah upaya untuk mengesampingkan rakyat setelah pelaksanaan pemilihan umum. Setelah rakyat menjalankan haknya, maka setelah calon pemimpinnya terpilih mereka mengesampingkan aspirasi rakyat dalam menjalankan pemerintahan dan membuat kebijakan. Di dalam tipe ini, demokrasi elit sangat mungkin kepentingan rakyat yang selama masa kampanye disuarakan terlupakan.
Sedangkan dalam tipe demokrasi partisipatoris yang merupakan buah dari civil society (“Teman Ahok”) justru mendorong peran masyarakat dalam ikut terlibat dalam membuat kebijakan-kebijakan pemimpin yang terpilih atas suara mereka.

Bagaimanapun setelah terpilihnya pemimpin tersebut masyarakat tidak terlupakan untuk terus ikut terlibat dan membantu mereka membuat kebijakan yang sesuai dengan kepentingan dan kehendak rakyat. Kesimpulannya adalah makna yang benar dengan demokrasi ialah setelah masyarakat bebas dan rahasia memilih para pemimpin yang mereka pilih dalam proses pemilihan umum, masyarakatpun berperan serta dalam pembuatan keputusan dan kebijakan yang dibuat oleh para pemimpin yang mereka pilih sesuai dengan kehendak dan kepentingan masyarakat.

Ini diharapkan agar tidak terus terjadi kepunahan karifan politik yang diistilahkan oleh Jefrie Geovanie sebagai kehidupan politik yang membunuh. Inilah yang terjadi selama ini pada bangsa kita, pemerintahan yang secara umum dikuasai oleh mereka yang penuh nafsu untuk terus berkuasa dengan hasrat untuk menguasai yang lain dengan melupakan kehendak dan kepentingan rakyat.

Intinya ialah dengan penguatan civil society dengan munculnya gerakan “Teman Ahok” rakyat tidak hanya dijadikan objek mobilitas dan meraih dukungan oleh kalangan elit politik. Selain berhak untuk memilih secara bebas dan rahasia kita juga berhak untuk terus terlibat dalam pembuatan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh mereka yang telah kita pilih agar terus berada dalam jalur kepentingan dan kehendak rakyat bukan pada kepentingan dan kehendak pribadi maupun partai politik.

Yang terpenting ialah bagaimana agar “Teman Ahok” ini tetap berada dalam koridor yang benar. Karena kita harus ingat satu pesan dari Hannah Arendt bahwa manusia mandiri ialah manusia yang terbebas dari himpitan kebutuhan pribadinya dan pada saat yang bersamaan mampu berwacana dalam ruang publik. Ketika manusia mandiri, saat itulah ia menjadi warga Negara yang sebenarnya, dan pada saat itu pula demokrasi bisa berjalan.

“Teman Ahok” harus bergerak mandiri dan tidak terhimpit pada kebutuhan pribadinya menuju demokrasi yang mapan dan terpola.

Semoga “Teman Ahok” tidak terjebak dengan apa yang diistilahkan oleh Jurgen Habermas, yakni “kolonialisasi civil society” keadaan dimana vitalitas civil society digerogoti oleh sistem politik dan ekonomi. “Teman Ahok” adalah perserikatan-perserikatan sukarela yang sedang memperjuangkan ide dan cita-cita agar Jakarta tetap “bersih” dan mampu terhindar dari tingkah laku pemimpin yang korupsi.

sumber gambar: www.temanahok.com

Kamis, 19 November 2015

Persija menang menyakinkan dilaga pembuka

Kemengangan perdana Persija Jakarta diraih dengan hasil yang memuaskan. Selain mampu menaklukkan Persipasi Bandung Raya dengan skor menyakinkan 2-0, lini pertahanan anak-anak asuh pelatih anyar Bambang Nurdiansyah ini berhasil mempertahankan gawangnya dari kebobolan tim lawan.

Duet baru di lini belakang Persija antara OK John dengan Gunawan Dwi Cahyo begitu solid. Keduanya kerap kali mematahkan serangan para pemain lawan baik dari sisi tengah maupun sisi sayap melalui umpang silang.

Penampilan apik juga dilakukan oleh Maman dan juga Ismed yang bermain di bek sayap. Keduanya berhasil merangsek naik ke lini pertahanan lawan untuk membantu penyerangan melalui umpan-umpan silangnya. Selain itu mereka juga mampu merepotkan lini penyerangan Persipasi. Meski di babak kedua Ismed kerepotan menghadapi Rahmat Hidayat yang mampu melakukan manuver-manuver berbahaya di sisi kanan pertahanan Macan Kemayoran.

Penjaga gawang Andritany pun bermain maksimal. Dirinya kerap kali menggagalkan tendangan langsung para pemain lawan.
Kemenangan pertama ini juga semakin terasa istimewa. Pacho Kegmogne yang kembali memperkuat Persija mampu mencatatkan namanya di papan skor. Ketenangannya mengeksekusi umpan matan dari Maitimo mengantarkan Macan Kemayoran unggul 1-0 sebelum masuk ke ruang ganti.

Pemain terbaik dari laga tersebut pantas disematkan kepada pemain naturalisasi asal Belanda yang baru pertama kali memperkuat tim berlambang Monas ini, yaitu Maitimo. Maitimo yang pada waktu Piala Presiden lalu membela Persita, di laga ini berhasil memberikan satu assist dan juga mencetak satu gol. Di luar dua kontribusinya tersebut, Maitimo, Messi dan juga Amarzukih bermain cukup tenang mengawal lini tengah Persija baik dalam bertahan maupun dalam menyerang.

Kejutan yang besar juga ditampilkan oleh pemain-pemain muda Persija U-21 yang ditampilkan pada laga ini. Meski bermain tak cukup lama, namun Aldi al Achya dan Pandi Lestaluhu mampu merepotkan lini Leonard cs di awal babak pertama.

Satu laga awal yang cukup mengesankan di Piala Jenderal Sudirman sebagai bekal untuk laga-laga berikutnya. Yang tak boleh dilupakan adalah kehadiran Jakmania yang di Stadion Kanjuruhan, mereka tak lelah bernyanyi selama 90 menit untuk mendukung Ismed Sofyan cs. Patut kita tunggu bagaimana prestasi Persija di laga-laga selanjutnya, meski skuad mereka banyak diisi oleh muka-muka baru namun selalu ada harapan untuk meraih prestasi tertinggi.

sumber foto: jakonline.asia

Sabtu, 17 Oktober 2015

Final Piala Presiden Sebuah Ajang Untuk #negaralagingelawak



Sepak bola memang akan selalu memiliki ceritanya sendiri. Sebelas lawan sebelas, tiga orang pengadil di atas lapangan. Tentunya juga tidak bisa dilupakan adalah loyalitas dan fanatisme para pendukungnya. Sepak bola akan selalu memiliki keindahannya sendiri – bagi kita yang menekuninya.

Di atas lapangan memang tampak sederhana, 11 vs 11 mengadu kejituan strategi sang pelatih. Semua pemain ingin selalu merasakan kemenangan. Entah itu dengan cara menyerang atau dengan cara menunggu lawan lengah. Sepak bola, tentua tak bisa kita sama ratakan maknanya pada semua orang.

Membicarakan sepak bola Indonesia pada saat ini mungkin dengan perasaan benci tapi rindu. Benci, ya jelas karena semenjak rezim Jokowi bersama Menporanya sepak bola tanah air berada dalam titik nadir. Pembekuan PSSI oleh Menpora berujung dengan di banned nya PSSI oleh FIFA. Akhirnya peringkat Indonesia di ranking FIFA menempati posisi terburuk sepanjang tanah air.

Mafia bola selalu saja menjadi pokok utama Menpora dan pembisiknya. Hasilnya, sampai saat ini mafia-mafia tersebut belum jelas wujud dan bentuknya. Lalu alasan selanjutnya prestasi Timnas yang tak pernah menjuarai ajang internasional. Ya kita semakin geram saja melihat Menpora ini, mau sepak bola berprestasi kok kompetisi dihentikan. Lah Pak Menpora yang terhormat ini apa kabarnya. Sehat pak?

Awalnya sepak bola yang hanya 11 vs 11, saat ini berubah menjadi kepentingan vs kepentingan antar penguasa. Loh kok bisa gitu, PSSI selama ini dituding menjadi alatnya salah satu partai di negeri ini untuk meraih simpati dari masyarakat. Makanya, sejak jamannya SBY sampai Jokowi banyak yang ingin menjungkalkan petinggi-petinggi PSSI. Djohar Arifin bersama kelompoknya pernah berhasil merebut kekuasaan tersebut, namun sayang revolusinya gagal berantakan. Liga yang dikelolanya gak laku dipasaran. Sponsor, pemain dan bahkan klub-klubnya pun terbilang kelas dua. Akhirnya sepak bola pada masa itu berada dalam titik suram. Timnas dibantai sana-sini saat berlaga pada ajang internasional. Akhirnya orang nomor satu di persepak bolaan tanah air itu nyebrang ke kelompok lama. Menata kembali sepak bola pada jalurnya.

Setelah Jokowi berkuasa, revolusi yang sempat tertunda dan gagal total tersebut ingin diulang kembali. Pak Imam memutuskan membekukan PSSI. Tak lama kemudian beliau membentuk tim transisi – ala-ala Jokowi sebelum dilantik jadi presiden membentuk pemerintahan transisi – yang tugasnya untuk memperbaiki tata kelola sepak bola tanah air. Kerja sana, kerja sini akhirnya Pak Menpora menggulirkan Piala Kemerdekaan. Hasilnya? Tentu tak jauh berbeda dari revolusi pertama, GAGAL TOTAL. Sponsor telat masuk, pemain-pemainnya tak terlalu menonjol, dan bahkan pesertanya pun berasal dari kasta kedua sepak bola tanah air.

Di saat yang bersamaan Mahaka Group datang mengajukan proposal pengajuan turnamen sepak bola. Turnamen ini terbilang lebih berhasil dari turnamen yang diadakan oleh Menpora. Mahaka berhasil membawa klub-klub beken kasta tertinggi sepak bola tanah air. Sponsor dan bahkan jumlah penonton yang hadir langsung ke stadion maupun yang melalui layar kaca begitu membludak. Mahaka yang juga dimiliki oleh Erick Tohir sang pemilik klub Inter Milan, mampu menjadikan turnamen ini sebagai penghapus rasa haus pecinta sepak bola nasional. Setiap pertandingannya disiarkan langsung oleh stasiun televise.

Namun tampaknya pemerintah tampak tak ingin jadi penonton saja menyaksikan turnamen besar tersebut. Mereka menyelipkan satu nama yakni Maruarar Sirait – yang pernah dijagokan jadi Menpora namun gagal karena koalisi gemuk Jokowi-JK – masuk dalam jajaran pelaksana.

Imam Nachrowi seakan dilupakan oleh pemerintahan Jokowi. Seperti ada permainan dua kaki dari Jokowi dan penasehat-penasehatnya dalam ranah sepak bola nasional. Menpora dibiarkan begitu saja, Piala Kemerdekaan seperti hanya sebuah tarkam yang minim menarik penonton dan pundi-pundi uang. Bahkan, kabarnya sampai saat ini hadiah untuk juaranya belum sempat dicairkan. Disaat yang bersamaan, Jokowi memiliki Maruarar yang ia titipkan untuk ikut masuk dalam kepanitiaan penyelenggara. Sampai di sini kita sadar bahwa dunia politik memang sangat sadis.

Menpora awalnya diberikan tugas untuk merebut kekuasaan PSSI melalu kekuasaannya. Setelah berkaca dari hasil Piala Kemerdekaan, Menpora seperti Macan ompong yang sudah tak bertaring lagi. Memiliki kekuasaan namun tak memiliki andil, khususnya untuk pencitraan melalui ajang Piala Presiden. Tugas pertama Imam Nachrowi terbilang gagal.

Oke, kembali ke ranah sepak bola nasional. Partai final piala presiden akan berlangsung. Sriwijaya melawan Persib di Stadion Gelora Bung Karno. Sepanjang sejarah dunia sepak boal, mungkin ini adalah pertandingan paling ribet yang akan di gelar di tanah air tercinta. Permintaan ini itu dari pihak Persib dan juga pendukungnya seakan menjadi bahan tertawaan bagi para penggemar sepak bola tanah air – tentu yang aktif mengikuti bukan yang sekedar sok peduli.

Jakarta pada tanggal 18 Oktober 2015 status keamanannya menjadi siaga I dikarenakan partai final sebuah turnamen sepak bola di luar federasi sepak bola dunia (FIFA).

Sudah sangat mahfum, Jakmania dan Bobotoh memiliki rivalitas yang sangat kuat. Keduanya bahkan jarang dipertemukan dalam satu stadion. Di Jakarta dan di Bandung kepolisian tak berani menjamin keamanan apabila keduanya bertemu. (Dalam dua tulisan sebelumnya saya sudah membahas rivalitas mereka).

Jokowi dan Mahaka untuk kali ini sangat menginginkan agar partai final di gelar di stadion GBK. Kepolisian seperti tertantang akan hal tersebut, akhirnya dari pihak mereka mengizinkan dengan meningkatkan status keamanan Jakarta menjadi siaga 1.

Pada piala presiden kali ini sepertinya banyak orang yang ingin bermain. Jokowi, jelas ia sangat menginginkan panggung besar yang dekat dengan rakyatnya. Sepak bola adalah olah raga favorit penduduk Indonesia. Setelah Menporanya gagal memperbaiki tata kelola sepak bola nasional, Jokowi ingin sekali berada di panggung tertinggi piala presiden nanti. Apalagi keadaan di luar sepak bola sangat merugikan Jokowi. Ekonomi yang tak stabil bahkan cenderung menyusahkan masyarakat. Kasus pembakaran hutan yang tak kunjung mampu dipadamkan oleh Jokowi. PHK buruh dan karyawan pabrik. Impor beras yang begitu besar dari negara luar. Kerugian Pertamina akibat harga BBM yang anjlok. Dan masih banyak lagi masalah-masalah kekuasaannya yang terbilang cukup menggoyang kursinya di istana.

Posisi Maruarar Sirait pun cukup menguntungkan. Keberhasilannya bersama Mahaka seakan menunjukkan bahwa ia lebih layak menjabat Menpora dibanding Imam Nachrowi. Dan Mahaka selaku promotor sudah jelas akan meraih keuntungan yang besar dari turnamen ini. mungkin kerjasamanya bersama Maruarar Sirait pun akan berlanjut pada penyelenggaraan-penyelenggaraan lainnya. Bahkan bisa jadi nanti Mahaka akan menjadi operator pelaksana liga Indonesia selanjutnya. Ini baru kemungkinan saja.

Negara memang sedang butuh panggung untuk pencitraan. Namun tidak segitunya juga. Memaksakan final di Jakarta seperti menyulut kembali api permusuhan Jakmania dan Viking. Aksi penolakan sudah jelas dan lantang dilakukan oleh Jakmania. Bukan karena apa, ini adalah masalah keadilan yang belum selesai. Kasus Cikampek tahun kemarin sungguh tidak mengenakan buat Jakmania. Perjanjian damai yang dipelopori oleh pihak kepolisian berakhir dengan kelam. Kepolisian sendiri yang memukul mundur secara membabi buta rombongan The Jakmania untuk hadir langsung menyaksikan pertandingan Persib vs Persija di Sijalak Harupat.

Perdamaian bukan untuk kepentingan sesaat. Sebelum penentuan venue final, baik Mahaka, Pemerintah, Kepolisian, maupun pihak-pihak lain – yang kini merasa sebagai pahlawan – tidak pernah mendengungkan perdamaian secara langsung.

Kini nasi sudah dicampur sayur, begitulah. Jakarta siaga 1. Berapa banyak biaya dan personil polisi yang dikerahkan. Semua sibuk mengurusi final ribet kali ini. Hanya pihak Sriwijaya FC saja yang adem ayem dan tidak banyak tuntutannya.
Personel kepolisian tersiar kabar akan diterjunkan sebanyak 30 ribu personel untuk mengamankan jalur Bandung-Jakarta. Belum lagi anggaran yang dikeluarkan. Bayangkan, jika Jokowi serius menjadi pemimpin bangsa ini, ia pasti lebih memilih menerjunkan personel sebanyak itu untuk mematikan api di Kalimantan dan Sumatera yang sudah banyak memakan korban, daripada untuk memenuhi hasratnya untuk hadir pada final nanti.

Sepak bola jelas bukan hal yang sederhana lagi bagi para petinggi negeri ini. Ajang perebutan kekuasaan. Bahkan sampai lupa masalah-masalah yang lebih penting lainnya. Sepakbola saat ini sudah ditunggangi oleh banyak kepentingan. Sehingga tak ada lagi suka cita yang dirasakan oleh masyarakat.

#NegaraLagiNgelawak yang disampaikan oleh netizen memang cukup mewakili pemerintahan Jokowi saat ini.

Rabu, 14 Oktober 2015

Jakarta Melawan


Saat ini merupakan saat yang tidak mengenakan untuk para Jakmania. Penolakan mereka kepada penyelenggara turnamen piala presiden agar tidak menyelenggarakan partai final di Stadion Utama Gelora Bung Karno agar suasana Jakarta tetap aman dan kondusif terabaikan. Pihak Mahaka selaku penyelenggara menetapkan partai puncak tetap berlangsung di GBK pada hari Minggu 18 Oktober 2015.

The Jakmania selaku supporter yang tinggal di Jakarta dan setia dan loyal terhadap Persija Jakarta menolak dengan keras hal tersebut dari jauh-jauh hari.

Viking dan Bobotoh yang kerap kali merugikan Persija Jakarta apabila bertanding di Bandung bukanlah tamu yang patut diterima dengan tangan terbuka. Supporter Bandung kerap kali melakukan provokasi untuk memancing keributan dengan Jakmania. Terbukti jika mereka bermain di Sijalak Harupat, nyanyian-nyanyian rasis kerap kali mereka suarakan. Semua penonton sepak bola tanah air mungkin sudah sangat akrab mendengar Viking dan Bobotoh menyanyikan “the jak anj*ng dibunuh saja” kerap kali terdengar melalui stasiun tv apabila Persib berlaga. Belum lagi tentang sebuah doktrin dari panglima mereka yang mengatakan bahwa “permusuhan antara Viking dan The Jak abadi”. Hal-hal inilah yang tak pernah masuk dalam media-media berita nasional.

Sejatinya supporter Bandung pernah masuk ke Jakarta dengan aman dan nyaman sebelum mereka melarang Jakmania masuk ke Stadion Siliwangi. Pada final 1985 yang mempertemukan Persib dan PSMS kedua supporter dapat masuk dan menyaksikan pertandingan tersebut dengan aman dan nyaman. Namun pada beberapa waktu kemudian, mereka menolak supporter dari Jakarta masuk ke dalam kandang mereka. Inilah sedikit kepingan awal mula Jakmania menolak Persib main di Jakarta.

Terakhir pihak kepolisian pernah mencoba mendamaikan perseteruan The Jak dan Viking. Namun itu hanya perjanjian belaka, pihak kepolisian sendiri yang menyerang dan menghadang rombongan Jakmania ketika sedang menuju ke Stadion Jalak Harupat saat Persija akan melawan Persib. Padahal dalam kesepakatan tersebut, Jakmania berhak hadir ke dalam stadion, namun pihak polisi dan juga Bobotoh menolaknya. Inilah omong kosong yang tak pernah masuk dalam arus media.
Saat ini semua pihak sok ikut campur dalam permasalahan penolakan Jakmania menolak Persib main di Jakarta. mereka-mereka hanya mendengar dan membaca berita-berita arus utama saja, tanpa pernah mencoba mencari tahu lebih dalam akar permasalahannya.

“Bad news is a good news”, itulah sekiranya cara kerja yang dipakai oleh sebagian awak media jika ingin memberitakan tentang Persija dan juga Jak Mania. Pengalaman telah banyak terjadi, bahwa hal-hal negatif lah yang sering kali masuk pemberitaan nasional. Lantas kenapa fakta-fakta provokatif dari pihak Bobotoh sengaja diabaikan dan lebih menyudutkan The Jakmania karena menolak laga final nanti.

Alex Sobur mendefinisikan media massa sebagai, “suatu alat untuk menyampaikan barita, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, ia mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik antara lain, karena media juga dapat berkembang menjadi kelompk penekan atas suatu ide atau gagasan, dan bahkan suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan untuk diletakkan dalam konteks kehidupan yang lebih empiris.”

Dari penjelasan di atas, kita dapat pahami bahwasanya media massa bukan saja menyampaikan informasi yang murni dari lapangan sesuai dengan fakta yang terjadi, namun media massa juga mampu membentuk opini publik sesuai dengan kepentingannya. Media massa di sini dijelaskan bukan sebagai institusi yang memberikan fakta apa adanya.

Mengingat kembali salah satu tulisan saya, dalam teori Jarum Hypodermik, media massa memiliki dampak yang kuat, terarah, segera dan langsung. Media ampuh memasukkan ide pada benak khalayaknya. Media arus utama telah mencipakan citra yang buruk kepada Persija dan juga Jakmania selama ini. Khalayak terus menerus diterpa tentang hal-hal buruk tentang mereka, sehingga dalam benak khalayak munculah persepsi bahwa Jakmania adalah komunitas yang kerap kali membuat onar di Ibu Kota. Padahal, yang justru harus kita ingat ialah pendapat Brian McNair dalam bukunya Cultural Chaost: Journalist, News and Power in a Globalised World terkait pendapatnya tentang media. Ia menunjukkan bahwa berita yang tersaji di media merupakan realitas media tersebut, bukan realitas sungguhan yang terjadi di lapangan. Lebih jauh, realitas yang diciptakan media massa merupakan hasil ciptaan pekerja medianya, terkait tentang latar belakang, pendidikan dan juga pandangannya melihat sebuah kejadian yang terjadi di lapangan.

Laga final nanti sudah jelas memiliki banyak kepentingan. Dari pihak promotor, presiden, politisi, pihak keamanan dan tentunya media massa. Pemberitaan ini akan terus dibahas agar mereka meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.

Jika masih banyak yang mempertanyakan sikap Jakmania, coba tanyakan pada pihak bobotoh dan batu nisan “kenapa mereka menginginkan permusuhan ini abadi?”.

Dan untuk Pak Jokowi dan para politisi jangan jadikan rivalitas ini untuk panggung pencitraan. Sejatinya sepak bola tanah air tak banyak kemajuan di tangan pemerintahan anda, justru kini dalam jurang kehancuran.

Mempertahankan harga diri lebih baik daripada memperoleh simpati.

Sajete

Selasa, 13 Oktober 2015

Tolak Persib Main di Jakarta

Partai final Piala Presiden tinggal menghitung hari lagi. Namun stadion mana yang akan dipakai untuk partai puncak belum juga diumumkan oleh pihak penyelenggara. Mahaka selaku promotor turnamen ini ngotot menjadikan Stadion Utama Gelora Bung Karno menjadi lokasi partai puncak. Lalu muncul pro dan kontra bagi kalangan pecinta sepak bola tanah air akan hal tersebut. Bahkan sampai menteri yang bukan bekerja dibidangnya pun turut campur dalam penentuan lokasi partai final. Alasannya ialah presiden ingin hadir dan menyaksikan langsung pertandingan tersebut.

Padahal sama-sama kita ketahui bersama, masih banyak hal yang seharusnya diurus dan diselesaikan oleh presiden dan jajarannya daripada ikut campur dalam masalah ini. Piala Presiden tak lebih dari sekedar turnamen biasa, yang tidak mempengaruhi perbaikan dan penyelesaian kondisi sepak bola saat ini. Penyelenggara hanya mencoba masuk dalam masalah besar sepak bola tanah air, bersamaan dengan itu mereka mencoba meraih keuntungan tersendiri dari hadirnya turnamen ini. Maklum saja sepak bola ialah barang “seksi” yang sudah sejak lama jadi rebutan antar kelompok kepentingan agar mereka-mereka meraih keuntungan.

Saya melihat fokus utamanya saat ini adalah perjuangan Jakmania mencoba meraih keadilan. Masih teringat kejadian tahun lalu ketika pihak berwajib mencoba mendamaikan Jakmania dan Bobotoh yang berujung pada diberikannya kesempatan pada Jakmania hadir langsung di Stadion Jalak Harupat. Namun apa daya, perjanjian hanyalah perjanjian, Jakmania justru dirugikan akan hal itu. Rombongan besar mereka saat menuju Bandung dibendung dengan cara yang tidak sewajarnya oleh pihak berwajib.

Selain itu ditambah lagi betapa sulitnya Panpel Persija Jakarta mendapatkan izin dari pihak kepolisian apabila tim berjuluk Macan Kemayoran tersebut bermain melawan Persib Bandung. Beberapa tahun terakhir tim kebanggaan ibu kota tersebut harus bermain di luar Jakarta karena tak diizinkan oleh pihak berwajib menggelar pertandingan yang melibatkan dua klub tersebut.

Jika dipandang dalam kasus yang belakangan hari ini kian memanas, sudah jelas ada keberpihakan dari pihak-pihak terkait. Memang kita tidak bisa mengambil kesimpulan terlalu jauh akan hal ini, namun sudah jelas ada yang ingin “bermain” mengambil keuntungan sepihak dari ngototnya partai puncak diadakan di Jakarta.
Saat kondisi sepak bola yang sedang babak belur di tanah air akibat terlalu besarnya keinginan satu kelompok yang dipimpin oleh Menpora untuk mengambil alih sepak bola dari tangan PSSI. Dari samakin buruknya kondisi perekonomian negeri ini yang membuat hidup masyarakat menjadi semakin susah. Ditambah lagi masalah asap yang tak juga selesai dihadapi, Jokowi tampaknya ingin memiliki panggung untuk meraih kembali popularitasnya dihadapan masyarakat. Jelas pemimpin yang sedang terpuruk butuh panggung untuk dapat mengambil kembali hati rakyatnya yakni salah satunya melalui sepak bola.

Sepak bola merupakan cabang yang paling digemari oleh rakyat Indonesia. Dan juga begitu mudahnya dipolitisir oleh banyak kepentingan untuk meraih keuntungan. Di laga final nanti sepertinya banyak yang ingin mengambil keuntungan dari sepak bola. Entah itu apa.

Untuk para pemimpin berpikirlah lebih bijak. Jangan mencoba mengambil keuntungan dari segala permasalahan yang ada. Tolak Persib Main di Jakarta.

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae