Jumat, 11 Mei 2012

Strategi Media dalam Menghadapi Pengiklan

Keberhasilan suatu media ditentukan oleh kemampuannya menyediakan sesuatu yang yang diinginkan pasar, tidak peduli apakah suguhan itu secara estetis bermutu atau tidak. Fakta kuatnya pertimbangan ekonomi dalam komunikasi massa begitu mencolok. Kepentingan komersial acap kali mendorong pengelola media tidak saja melayani khalayak, namun juga memanipulasinya. Tujuan manipulasi itu sendiri tentu saja untuk saja adalah untuk memperoleh perhatian dan uang pengiklan.

Untuk memperoleh keuntungan dari pihak pengiklan, media massa juga mencari-cari khalayak yang pas agar acaranya dapat dikonsumsi oleh khalayak darimana; kelas atau massa? Untuk mencari keuntungan tersebut, terkadang media massa tidak selalu berpengaruh pada jumlah massa yang banyak dalam menikmati programnya. Artinya pengiklan di sini dalam ketertarikannya terhadap sebuah kebijakan pengelola media massa bisa juga tidak melihat jumlah massa yang menikmati program tersebut, melainkan mereka juga melihat kelas apa yang menikmati acara tersebut.

Disaat ini ada banyak dari media massa yang memilih-milih khalayaknya. Mereka mengemas sebuah acara yang memang hanya untuk kelas tertentu yang ingin menikmatinya. Lihat saja Metro Tv yang tetap eksis dengan acara-acara beritanya. Walaupun jarang sekali kita melihat di stasiun tv tersebut terdapat acara-acara hiburan yang tidak penting namun menjadi konsumsi utama penonton di Indonesia tetapi mereka masih tetap bisa berdiri dengan konsepnya. Mereka (Metro Tv) menangkap khalayak dari kelas atas yang memang peduli terhadap isu politik dan pemerintahan. Jumlah khalayak disini yang menikmati program stasiun tv terebut memang tidak terlalu banyak namun mereka berasal dari kalangan kelas atas dan perusahaan-perusahaan iklan yang mengiklankan produknya di stasiun tv ini bukan sembarangan. Iklan di Metro Tv lebih cenderung berupa produk-produk yang hanya bisa dinikmati oleh kaum kelas atas. Jadi sebuah media massa untuk bertahan hidup tidak perlu memiliki jumlah khalayak yang banyak. Mereka bisa hidup dan tetap eksis walaupun acaranya tidak dinikmati banyak khalayak, namun hanya khalayak tertentu saja seperti contoh di atas, dan antara khalayak dan pengiklan memiliki suatu kelas yang sama.

Di sini terlihat tidak semua perusahaan iklan mendikte sebuah program acara di media massa. Tidak jarang pengelola media sendiri yang berusaha membuat pengiklan tertarik untuk menjadi pengiklan di acara tersebut.

Namun tetap saja kita masih harus tetap menjaga media massa agar tetap bisa berdiri sendiri tanpa adanya tekanan dari para pengiklan. Seperti yang dikatakan Upton Sinclair dalam buku Media Massa dan Masyarakat Modern karangan William L. Rivers – Jay W. Jensen – dan Theodore Peterson. Dia menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan besar mengontrol media massa melalui empat cara. Pertama, melalui kepemilikan saham perusahaan. Cara kedua adalah menguasai pemilik media massa bisa melalui kerja sama bisnis. Cara ketiga adalah kontrak iklan. Pengiklan akan mengintervensi media agar tidak menayangkan sesuatu yang merugikan mereka. Keempat adalah dengan bujukan dan suap secara langsung agar media mau menayangkan sesuatu yang menguntungkannya, atau mencegah penayangan yang akan merugikannya.


Pilpres Langsung: Menguntungkan Siapa??

Pasca era orde baru runtuh di tahun 1998, era perpolitikan di Indonesia telah berganti sangat signifikan. Pembredelan media, pengekangan terhadap aktivis, telah tidak ada lagi. Sebuah kebebasan berorganisasi, berpolitik dan bersuara kini telah dikobarkan. Era ini dikenal dengan era reformasi.

Yang paling menonjol dari runtuhnya tirani orde baru ialah bagaimana cara pemilihan presiden dan para anggota legislative. Mereka dipilih secara langsung oleh rakyat dengan istilah yang dikenal one man one vote one value. Inilah apa yang diimpikan oleh para pejuang demokrasi. Setiap penduduk yang telah memenuhi syarat berhak menentukan sendiri siapa pemimpin yang dia inginkan sebagai presiden dan wakil presiden di pemilu.

Dalam melihat fenomena yang terlalu cepat terjadi saat ini, bagaimana menilai para perilaku pemilih dalam menentukan pilihannya. Apa saja yang mampu mempengaruhi mereka dalam menentukan pilihannya. Partisipasi politik dalam makalah kuliah komunikasi politik oleh Gun-Gun Heryanto diartikan oleh McClosky sebagai kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses kebijakan umum.

Dalam melihat partisipasi masyarakat kita dalam berpolitik, mari kita bedakan menjadi tiga tingkatan:

Apatis, artinya tidak menaruh perhatian sama sekali pada kegiatan politik dan bersikap masa bodoh. Kelompok seperti ini, biasanya mereka sudah mangalami disonansi kognitif terhadap para elit politik di negeri ini. Mereka sudah tidak menemukan lagi antara kenyataan yang ada dengan janji para elit ketika berkampamnye. Sehingga menyebabkan mereke bersikap masa bodoh. Ke masa bodohan mereka terhadap isu politik sampai tidak memberikan suara mereka di pemilu.

Spectator, berarti bahwa orang yang bersangkutan setidak-tidaknya ikut menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum. Ini sangat identik dengan masyarakat Indonesia, mereka hanya berpartisipasi pada hari pemilihan saja selebihnya mereka kembali tidak mempedulikan lagi perkembangan Negara. Namun, setidaknya mereka telah memilih wakil yang mereka anggap layak untuk dijadikan wakilnya di pemerintahan.

Gladiator, tingkatan partisipasi politik sampai pada keikutsertaan secara aktif dalam proses politik. Ada yang membagi partisipan politik ke tingkatan seperti ini menjadi enam lapisan: pemimpin politik, aktivis politik, komunikator politik, warga Negara marginal dan orang yang terisolasi.

Jika kita lihat dari tiga tingkatan partisipasi politik, masyarakat Indonesia lebih tertuju kepada tingkatan spectator. Mereka setidaknya masih memiliki kamauan untuk memberikan hak suaranya di pemilu. Mereka hanya memilih wakil yang mereka anggap layak untuk mewakili suara mereka di tingkat DPRD, DPD dan DPR. Namun setelah itu biasanya mereka kembali lagi ke kondisi semula mereka. Mereka hanya sibuk memikirkan urusan mereka tanpa lagi mempedulikan apalagi sampai melakukan control terhadap wakil-wakil yang telah mereka pilih.

Lalu apa yang menjadi motif mereka dalam melakukan partisipasi politik. Ada empat motif masyarakat dalam melakukan partisipasi politik:

Motif yang rasional-bernilai: yaitu motif yang didasarkan atas penerimaan secara rasional terhadap nilai-nilai suatu kelompok. Mereka akan mempertahankan apa yang mereka yakini kebenarannya kepada orang lain yang berbeda pendapat dengannya. Mereka akan menjelaskan apapun yang berkaitan dengan kebenaran yang mereka anggap benar untuk mempertahankan pendapatnya. Walaupun SBY dimata orang lain salah, namun dia menganggapnya sebagai presiden yang bertanggung jawab terhadap warganya maka dia akan terus berusaha memperthankan itu dan akan memilihnya kembali di pemilu selanjutnya.

Motif yang afektual-emosional: yaitu motif yang didasarkan atas kebenaran terhadap suatu ide organisasi atau individu.

Motif yang tradisional: motif yang didasarkan atas penerimaan norma, tingkah laku individu dari suatu kelompok social. Misalnya, seseorang dalam berpartisipasi di dalam berpolitik, setidaknya dalam memberikan hak suaranya disaat pemilu, dia akan mengikuti jejak kelompok sosialnya yang telah lama menjadi identitas kelompok tersebut. Orang NU akan memilih para wakilnya dari kalangan NU juga.

Motif yang rasional bertujuan: motif yang didasarkan atas kepentingan pribadi. Misalnya, kita memiliki kepentingan memajukan bisnis perusahaan kita. Maka kita akan memilih wakil yang memiliki kepentingan yang sama dengan kepentingan kita.

Empat motif di atas menjelaskan bagaimana para partisipan spectator yang menjadi tipe mayoritas masyarakat kita untuk ikut berpartisapasi dalam berpolitik. Setelah kita mengetahui tingkatan partisipasi masyarakat dalam berpolitik maka kita juga perlu membedakan khalayak politik di nergeri ini.

Di sini terdapat tiga jenis khalayak politik:

Public umum (general public), merupakan komunitas masyarakat kebanyakan yang seringkali menerima informasi politik secara selintas. Artinya mereka hanya sekedar mengetahui saja informasi apa yang sedang terjadi tentang politik di negaranya namun tidak mau perduli lebih dalam mengenai informasi tersebut.

Public yang penuh perhatian (the attentive public), lapisan masyarakat yang berperhatian. Mereka itulah yang mau tahu dan menaruh minat pada perkembangan politik. Masyarakat seperti inilah yang mampu mendukung kemajuan demokrasi di negeri ini. Artinya mereka tidak sekedar mengetahui saja, tetapi mereka peduli dengan kebijakan-kebijakan politik yang ada di negaranya. Public attentive biasanya kurang dari separuh populasi dewasa yang ada disuatu masyarakat. Jadi kurang dari 10-15% dari populasi.

Elit opini, khalayak politik yang karena posisinua disuatu masyarakat sebagai tokoh penting. Biasanya khalayak seperti ini adalah tokoh masyarakat dan ulama. Apa yang menjadi perilaku politik bagi tokoh ini sangat mempengaruhi bagaiman perilaku politik bagi masyarakat disekitarnya.

Melihat tiga tipe khalayak politik di seperti ini, kita dapat memprediksi bahwa masyarakat kita tergolong kedalam public umum. Artinya masyarakat kita sudah sangat tidak mau lagi peduli terhadap isu-isu politik yang berkembang di negeri ini. Ini berkaitan dengan tingkatan partisipasi politik masyarakat kita, masyarakat kita tergolong kedalam tingkatan spectator yang hanya memberikan hak pilihnya untuk ikut menentukan siapa yang layak menjadi pemimpin negeri ini di dalam pemilu.

Yang menjadi focus dalam tulisan ini ialah apakah system pemilihan secara langsung kepada masyarakat benar-benar adil untuk keseluruhan masyarakat Indonesia? Setidaknya ketika kita melihat beberapa penjelasan sebelumnya di atas, dari tingkatan partisipasi masyarakat dalam politik, lalu motif mereka melakukan partisipasi politik, dan yang terakhir adalah tipe khalayak politik masyarakat, dapat membawa sedikit jawaban dari pertanyaan tersebut.

Jumlah pemilih yang ada pada pemilu 2009 lalu di pulau jawa dan pulau madura sendiri sebanyak 102.543.365 jiwa pemilih yang artinya mencapai 59,87% dari seluruh jumlah pemilih di Indonesia. Sangat berbeda jauh dengan jumlah pemilih yang berada di pulau-pulau besar lainnya. Sebut saja pulau Sumatera jumlah pemilihnya 34.471.777 atau 20,13% dari seluruh jumlah pemilih di Indonesia. Lalu setelah kita mengetahui bahwa di pulau Jawa dan Madura saja suara sudah sampai mencapai mendekati 60%, apakah ini artinya menimbulkan kecemburuan dari para calon presiden dan wakil presiden yang berasal dari luar pulau jawa? Mengapa mereka merasa cemburu, karena dengan melihat bobot pemilih di pulau Jawa dan Madura saja yang sudah sampai mendekati 60% jumlah keseluruhan dari pemilih di Indonesia artinya menyempitkan mereka berpeluang untuk menjadi presiden di Indonesia. Dan selalu sampai selamanya presiden Indonesia berpotensi dari pulau Jawa.

Seharusnya para calon presiden dan calon wakil presiden yang berasal dari luar pulau Jawa tidak perlu mengkhawatirkan jumlah pemilih yang sangat begitu besar dari penduduk pulau Jawa. Ketika kita mengetahui tingakatan partisipasi politik pemilih di Indonesia, motif mereka dalam berpartisipasi dalam berploitik, dan yang terakhir adalah tipe khalayak poltik di Indonesia, ini masih menandakan adanya peluang dari para calon dari luar pulau Jawa untuk menjadi presiden Indonesia selama marketing politik mereka dalam berkampanye mampu menyakinkan para pemilih kita yang cenderung ke dalam public umum. Lagi pula motif perilaku politik pemilih kita bukan yang termasuk ke dalam motif yang tradisional, yang memilih berdasarkan atas penerimaan norma, tingkah laku individu dari suatu kelompok sosial. Lihat contoh saja pada pemilu 2004 banyak calon yang berasal dari kalangan NU (Nahdatul Ulama) yang menjadi kelompok islam terbesar di Indonesia namun mereka gagal menjadi presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Pemilih Indonesia lebih cendurung melakukan partisipasinya dalam berpolitik masuk kedalam motif yang afektual emosional yang berdasarkan atas kebenaran terhadap suatu ide yang berasal dari individu atau organisasi. Pemilih di Indonesia masih menyakini nilai-nilai kebenaran yang dibawa oleh calon dari luar walaupun berbeda lingkungan sosialnya. Pemilih masih bisa menerima kebenaran yang mereka (calon Presiden) bawa walaupun berbeda kulturnya.

Jadi (agak sedikit berspekulasi) yakinlah bahwa pemilihan presiden yang secara langsung dipilih oleh rakyat tidak merugikan sedikitpun para calon yang berasal dari luar pulau Jawa.

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae