Selasa, 25 Desember 2012

GOLPUT: MENJADI BOM WAKTU PADA PERJALANAN DEMOKRASI

Pada pilkada Kota Bekasi kemarin berhasil menentukan satu pasangan yang akan memimpin Kota Bekasi pada lima tahun kedepan nanti. Dari lima calon pasangan yang maju memperebutkan kursi jabatan tertinggi di Kota Bekasi ini, calon dari pasangan incumbent lah yang berhasil menang. Pasangan yang didukung oleh Partai Keadilan Sejahtera, Partai Golkar, Partai Hanura, dan Partai Keadilan Bangsa ini berhasil meraih suara lebih dari 40%. Ini menandakan pilkada Kota Bekasi hanya diberlakukan satu putaran saja.

Yang menjadi titik perhatian dalam pilkada kali ini adalah meningkatnya angka golput dikalangan masyarakat. Hampir lebih dari 50% pemilih di Kota Bekasi tidak menggunakan hak suaranya. Ada isu berhembus ini terjadi karean sebagian dari masyarakat/pemilih tidak mendapatkan undangan dari KPUD Kota Bekasi. Ini merupakan suatu indikasi bahwa pilkada ini kurang mewakili suara rakyat.

Selain hal tersebut, minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah kota, KPUD, maupun oleh para calon kepada masyarakat menimbulkan efek yang cukup parah ini. Minimnya pengetahuan tentang para calon membuat masyarakat tak lagi tertarik menjalani haknya. Mungkin juga karena rakyat telah bosan, karena pemimpin yang dilahirkannya tidak amanah seperti wali kota sebelumnya yang tersangkut kasus korupsi sehingga harus digantikan oleh wakilnya yang kini maju dan terpilih jadi wali kota. Tak usahlah kita menebak-nebak terlalu jauh kenapa golput menjadi pilihan warga pada pilkada kali ini.

Padalah, pemilu memberikan kesempatan kepada rakyat secara periodic, bebas, dan kompetitif untuk mengekspresikan diri mereka atas persetujuan atau tidak setuju yang menentukan pergantian elit kekuasaan oleh pihak yang menang. Lewat pemilihan umumlah rakyat menentukan kehendaknya, apakah mereka menginginkan penguasa untuk kembali berkuasa, atau mereka menginginkan elit baru untuk menjalankan kekuasaan. Satu-satunya cara yang paling sah dalam demokrasi dalam merebut kekuasaan ialah melalui pemilu.

Pemilu merupakan manisfetasi dari kedaulatan rakyat. Kita telah sepakat sebelumnya bahwa demokrasi adalah pemerintahan berada ditangan rakyat, dan keputusan penguasa tidaklah sah jika tidak mencerminkan kehendak rakyat. Rakyat tidak menjalankan kekuasaannya secara langsung, melainkan melalui struktur perwakilan. Karena dalam pemerintahan demokratis selalu mengandaikan struktur perwakilan sebagai kedaulatan rakyat.

Dalam demokrasi penguasa bertanggung jawab kepada rakyat. Rakyat melalui pemilihan umum menentukan sosok-sosok actor politik, arah politik, dan pada akhirnya melahirkan pemerintahan yang baik. Meskipun tampak membosankan, meski ditekankan kepada rakyat, bahwa tidak ada penguasa dalam demokrasi yang mempertahankan dirinya sebagai penguasa dengan mengklaim bahwa tindakan-tindakan politiknya mencerminkan pertanggung jawaban kepada institusi lain, seperti Tuhan, ras, sejarah, atau apa saja yang mengenakan.

Jika dikaitkan dengan hasil pilkada Kota Bekasi kemarin, tentunya penguasa yang lahir tidaklah terlalu sah dimata masyarakat. Karena terpilihnya dengan suara yang masih jauh tertinggal dari suara masyarakat yang memilih jalan golput. Keputusan-keputusannya pun nanti tidak bisa diklaim sebagai suara rakyat. Rakyat telah memilih dengan tidak memilih. Artinya dalam masalah ini harus ada yang bertanggung jawab untuk mengembalikan suara rakyat. Entah itu Ketua KPUD Kota Bekasi, atau bahkan wali kota pengganti yang juga mencalonkan diri sebagai walikota dan menjadi pemenang dalam periode kali ini.

Satu hal yang pasti, rakyat Kota Bekasi telah menentukan dengan ke golputannya. Klaim-klaim politik yang nanti diakui oleh calon yang terpilih merupakan bukan kehendak dari rakyat. Dari permasalan ini, apakah kita harus menggugatnya? Biarkanlah orang-orang yang memiliki akses kekuasaan yang menentukan.

Wassalam…

#SaveRI

#SavePemilu

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae