Jumat, 25 Oktober 2013

Menata Ulang Reformasi

Anehnya mereka-mereka yang terjebak pada pesona reformasi adalah mereka yang semasa Orde Baru begitu memusuhi Negara. Aktivis, pengusaha dan tokoh-tokoh agama kini berebut masuk ke dalam kekuasaan negara.
Angin segar paska reformasi membuat sedikit dari kita menjadi terlena. Mereka yang dahulu menjadikan Negara dan penguasa sebagai musuh nomor satu yang menjadi actor utama atas penegakan hukum yang tidak adil, atas kemiskinan yang terus merajarela, korupsi yang menjadi makanan utama penguasa, dan atas pengekangan terhadap kebebasan bersuara kini berlomba untuk masuk ke dalam struktur negara.
Anak muda yang pada masa sebelum reformasi berdiri paling depan menentang kekuasaan pemerintah kini setelah rezim Orde Baru jatuh mereka ikut berlomba masuk menjadi bagian dari Negara. Tidak jarang pula para tokoh agama yang sebelum reformasi menjadi pusat spiritualitas religi masyarakat setelah reformasi mereka pun tidak mau kalah, mereka mencoba masuk menjadi bagian dari Negara. Bahkan selain itu, angin reformasi juga membuat tumbuh berkembangnya organisasi-organisasi kemasyarakatan, yang sebelumnya di masa Orde Baru dilarang kini menjamur bak warung kopi dipinggir jalan. Mereka semua terlena atas angin segar reformasi.
Semestinya mereka menyadari, dan tentunya kita pun harus tetap sadar bahwa yang membuat rezim Orde Baru begitu kejam bukan terpusat pada para penguasa yang mengisi Negara melainkan pada sistem atau peraturan dan perundang-undangan yang dibuat oleh Negara tanpa melibatkan masyarakat sehingga peraturan tersebut melahirkan bahwa Negara begitu represif mengatur permasalahan masyarakat. Sehingga terjadi kesewenang-wenangan dari pihak penguasa bagi masyarakat yang melawan penguasa. Gerakan reformasi 98 masih terlihat sebagai sebuah gerakan yang berkaki dua. Mereka menganggap juga bahwa semua yang terlibat pada masa Orde Baru harus diganti. Padahal yang mesti disadari lagi adalah bahwa yang perlu diperbaikan adalah beberapa kepincangan, dan yang paling mendasar adalah keterbukaan pemerintahan dan kebebasan bersuara dari masyarakat untuk mampu mengontrol kekuasaan. Namun, pada akhirnya semua terlena atas angin segar reformasi tersebut.
Tokoh-tokoh yang mengerti dan memiliki andil besar bagi jatuhnya Orde Baru melupakan tanggungjawabnya terhadap pemberdayaan masyarakat. Sedangkan berdirinya organisasi-organisasi kemasyarakatan pun tak mampu membawa dampak yang berarti bagi tumbuhnya kesadaran masyarakat atas hak dan tanggungjawabnya sebagai masyarakat pada masa demokrasi kini. Bahkan tidak jarang, berdirinya Ormas juga hanya menjadi sayap-sayap politik partai tertentu untuk menjadi komoditas politik elit penguasa. Keberadaan Ormas sangat jauh berarti, bahkan mereka pun sama saja, menikmati dan terlena angin segar paska runtuhnya Orba.
Setelah demokrasi berjalan paska runtuhnya Orde Baru, masyarakat hanya memiliki peran pada hari pemilihan umum saja, mereka hanya menjalankan kewajibannya tanpa tahu bahwa mereka juga memiliki hak untuk mengontrol pemerintahan. Namun apa daya, masyarakat tidak memiliki akses yang memadai untuk menerima pengetahuan tentang sistem yang seharusnya berjalan. Sebagai pemilik kedaulatan masyarakat dalam sistem demokrasi juga memiliki akses yang kuat untuk melakukan pengajuan bahkan menolak perundang-undangan yang akan dibuat atau sudah dibuat. Secara kasar, sebenarnya mereka yang kini ikut menikmati dan menjadi bagian dari penguasa saat ini sama saja dengan penguasa pada jaman Orba, sama-sama mengkhianati kedaulatan rakyat. Dan yang lebih sadisnya lagi, mereka sengaja meninggalkan rakyat yang memang belum siap dalam sistem baru ini, sengaja membodohinya, demi kelanggengan mereka menjadi penguasa.
Sebenarnya saya belakangan ini, memperhatikan bagaimana perkembangan civil society dikalangan masyarakat kita. Sudahkah memang mereka benar-benar sadar dan siap atas hak dan tanggungjawab mereka dalam sistem demokrasi. Yang terjadi selama ini mereka hanya terlibat secara aktif pada pelaksanaan pemilihan umum saja, setelahnya mereka menjadi manusia biasa kembali yang terus dibodohi dan diperalat oleh penguasa. Sebelum Orba dan paska Orba sebenarnya sama saja seperti apa yang saya bicarakan pada kalimat terakhir pada paragraph di atas.
Bagi kita yang belum terjebak dalam keterpesonaan kekuasaan, mari kita sadarkan dan arti penting pada diri masyarakat bahwa mereka juga memiliki andil besar bagi perjalanan kekuasaaan. Tidak ada bosan-bosannya kita membicarakan makan civil society pada sistem demokrasi ini, yang keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Hanya dengan civil society yang kuat demokrasi dapat berjalan secara baik, dan hanya pada sistem demokrasi civil society dapat tumbuh dan berkembang. Penguatan civil society merupakan hal utama dalam pembangunan sistem demokrasi.
Dalam tulisan saya yang lain, penguatan civil society merupakan langkah pengutan dan penyeimbang dan control terhadap kuasa Negara yang eksesif. Dengan penguatan civil society, demokrasi tidak hanya dilihat dari partisipasi masyarakat pada hari pemilihan saja, namun juga dapat dilihat dari sudut bagaimana masyarakat berpartisipasi dalam melakukan control atas kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh penguasa jika mana ada dari salah satu kebijakan tersebut yang tidak sesuai dengan kepentingan dan kehendak rakyat. Jadi demokrasi bukan hanya berjalan sesuai dengan mekanisme penyerahan kekuasaan dari rakyat kepada penguasa, namun melainkan juga sebagai penyadaran bahwa rakyatlah yang memiliki kedaulatan dan berhak ikut dalam perjalanan kekuasaan sepanjang periode kekuasaan berlangsung.
Seperti yang di awal pada tulisan ini, bahwa Negara bukanlah biang keladi dari semua permasalahan bangsa ini, melainkan peraturanlah yang membuat Negara menjadi tampak arogan. Maka dari itu kita tidak semestinya ikut berlomba masuk ke dalam bagian Negara untuk menjadi penguasa. Dalam buku Saldi Isra dalam Pergeseran Fungsi Legislasi menjelaskan bahwa masyarakat berhak berperan aktif dalam pembuatan atau pengajuan undang-undang atau rancangan peraturan daerah. Dalam penjelasan buku tersebut, sesuai dengan Pasal 53 UU No. 10/2004 menyatakan, “masyarakat berhak memberikan masukan secara tulisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.” Dan dalam penjelasan pasal 53 ditegaskan, hak masyarakat dalam pelaksanaan ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.
Jelaslah, bahwasanya kita jangan ikut terpesona dalam angin segar reformasi ini. Marilah setidaknya kita bergerak dari bawah untuk melakukan penguatan dalam masyarakat dengan cara mengadvokasi suara dan kepentingan mereka agar mampu kita bawa ke dalam pembuatan rancangan undang-undang. Tentunya hal ini dibutuhkan juga kehadiran Ormas-ormas yang benar-benar konsen dalam kepentingan rakyat dan sudah mapan terpola dalam menjalankan tugasnya. Bukan Ormas yang malah menjadi komoditas suara dari kepentingan elit penguasa.
Dan yang lebih penting lagi adalah, bahwa kita yang masih berada dalam garis pengutan basis masyarakat yang memfokuskan diri pada kesadaran mereka akan hak dan tunggungjawabnya jangan sampi terjebak masuk partai dan ormas yang hanya menjadi ajang berkumpul untuk sekedar merawat dan melanggengkan kekuasaan oligarki elit. Seperti yang dituliskan Jeffrie Geovanie bahwa partai dan ormas tersebut tidak hanya mengesampingkan aspirasi rakyat, pada faktanya mereka menjalankan kekuasaan secara kotor, penuh muslihat, dan lebih berbahayanya lagi, sarat fitnah.
Selamat berjuang, demi keselamatan negeri.

Sabtu, 19 Oktober 2013

SELAMANYA

Di luar sana turun hujan cukup deras. Awan gelap yang sedari sore tadi menutupi langit Bandung kini akhirnya memuntahkan juga air hujan yang ditahan-tahan menunggu sampai kumandang adzan maghrib berkumandang barulah hujan turun beriringan dengan angin kencang dan suara petir yang saling bersahutan. Beruntung Pak Idris beserta isteri dan anaknya tiba sebelum maghrib di saat awan gelap hanya menyelimuti langit Bandung sore itu. Dia tidak terjebak suasana yang mungkin akan sangat membosankan apabila ia belum sampai dan di saat yang bersamaan hujan telah turun. Jalan pasti berubah menjadi muram, macet dimana-mana dan tentunya penglihatan pun akan tertutup oleh kabut dan juga air hujan. Hati rombongan keluarga tersebut berdebar, setelah sekian lama mereka tidak bertemu dengan salah satu anggota keluarganya yang memilih jalan hidup sesuai dengan ideology yang ia yakini bersama sang pujaan hidupnya. Hanya Nia anak pertama mereka yang terakhir kali bertemu dengan Radita saat pernikahan adiknya tersebut dengan Ahmad pemuda desa yang berhasil mengenyam S1 di Jakarta. Setelahnya mereka tak lagi bertemu dengan Radita, walaupun jarak Jakarta – Bandung tidak terlalu jauh. Mereka sudah terlampau jauh perbedaannya. Radita perempuan yang terus bersuara meluruskan sejarah dan juga melantangkan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Radita sebenarnya berasal dari keluarga yang mapan. Ayahnya merupakan salah satu pejabat pemerintahan yang berpengaruh di republik ini. Mereka hidup bergelimangan harta. Berkat jabatannya di pemerintahan, bisnis ayahnya bersama para anggota keluarga lainnya maju pesat. Ini merupakan pengaruh yang diberikan oleh ayahnya yang memuluskan segala proyek perusahaan keluarga mereka. Namun Radita sedari dini tidak menikmati kemewahan-kemewahan tersebut. Ia sekolah menyesuaikan dengan kehidupan para temannya, bahkan Radita yang akrab dipanggil Dita oleh teman-temannya lebih sederhana ketimbang dengan teman-teman lainnya. Terlebih saat memasuki masa perkuliahan, ia semakin jauh dari pribadi ayah dan ibunya. Ia tidak pernah mau ikut kedua orang tuanya saat melakukan kunjungan kerja ke luar negeri yang memakan biaya dari Negara. Ia sadar kunjungan kerja tersebut merupakan sebuah alasan semata, padahal mereka yang melakukan kunjungan kerja ke luar negeri hanya sekedar melakukan wisata untuk memenuhi kerasukan mereka terhadap dunia. Ia saat itu sudah mulai memberontak, jarang sekali berbicara dengan ayahnya, dan juga merasa amat bersalah apabila ia ikut menikmati harta ayahnya yang dihasilkan dari kepicikan seorang pengusaha yang menjabat menjadi penguasa. Ujung dari pertikaian batinnya antara dirinya dengan orang tuanya ialah ia memutuskan untuk bekerja paruh waktu di salah satu restoran dan tinggal berpisah dengan orang tuanya. Ia memutuskan untuk kost di dekat kampusnya dan membiayai kuliahnya dari hasil ia bekerja. Hanya sesekali ia meminta bantuan dari kakaknya apabila ia kekurangan biaya.
Namun segala hal tersebut luluh antara hati orang tua terhadap anaknya tersebut. Mereka tak sanggup lagi menahan rindu yang selama ini mereka tutupi dengan ego. Kedua orang tuanya hadir saat Dita sedang berjuang melahirkan anak pertamanya dari kisah cintanya bersama Ahmad. Suasana ruang tunggu di depan ruang operasi malam itu sungguh mencekam. Dita yang sudah sedari pagi terbaring lemas di atas meja operasi. Ia tak sanggup untuk melahirkan secara alami. Sudah berulang kali dicoba, namun gagal. Ia berjuang ditemani oleh ibu mertuanya. Dengan sabar dan terus memanjatkan doa-doa kepada Tuhan agar anak menantunya tersebut dapat melahirkan dengan selamat. Namun, akhirnya tim dokterpun memutuskan untuk mengoperasi Dita karena melihat kemungkinan yang akan berbahaya apabila tidak dilakukan operasi dalam proses kelahiran manusia suci tersebut.
Selanh beberapa jam proses operasinya berhasil, tangis bayi pun terdengar dari ruang luar operasi. Buru-buru mereka yang sedari tadi menunggu Dita operasi berucap sukur kepada Tuhan. Para rekan aktivis, orang tua kandungnya, dan juga seluruh anggota keluarga Ahmad menunggu di luar dengan penuh khidmat meminta kepada Tuhan agar proses operasi tersebut lancar. Yang menjadi perhatian adalah di saat ayahnya memeluk dengan hormat abahnya Ahmad. Entah karena reflek atau memang ayahnya Dita telah berdamai dengan dirinya sendiri sehingga kini dapat menerima kenyataan. Namun, bagi keluarga Ahmad itu sudah telat sambil hanya memendamnya dalam hati setelah semua terjadi begitu lama dan teramat dahsyat.
Setelah para tamu boleh mengunjungi Dita yang masih terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang rumah sakit, para teman aktivisnya meminta ijin untuk pulang ke rumah masing-masing. Suasana dingin terjadi ketika para aktivis tersebut menyalami ayahnya Dita, orang yang selama ini menjadi salah satu musuh mereka dalam memprotes kebijakan-kebijakan pemerintah. Apalagi posisi ayahnya Dita berada dalam Kementerian Hukum dan HAM. Namun, para aktivis tersebut berusaha untuk menghormati mereka karena mereka juga orang tua kandung dari kawan seperjuangannya.
Dita tersadar dan terbangun, lalu menanyakan kepada ibu mertuanya tentang keadaan anaknya yang baru saja lahir. Ia belum sadar di dalam ruangan tersebut juga ada ayah dan ibunya, dan ia memang juga tidak mengharapkan mereka datang untuk menyaksikan kelahiran cucu dari rahimnya, dari rahim anak yang sempat terlupakan.
“Anakmu baik-baik saja neng, ia lahir sempurna dan sehat. Ia mirip sekali denganmu.” Ucap ibu mertuanya. Sejak tinggal bersama mertuanya, memang Dita akrab juga dipanggil “neng” agar lebih terasa akrab antara mereka. Dita pun tidak keberatan dengan hal tersebut.
Mendengar penjelasan ibu mertuanya, ia hanya tersenyum penuh sukur.
“Dita sudah sadarkan diri bu?” Tanya ibu kandungnya kepada besannya tersebut. Mendengar suara tersebut Dita terasa terpukul kepalanya di saat pusing masih melanda pikirannya. Ia takut, takut ia bisa melupakan semua kepahitan yang selama ini ia dan terutama suaminya rasakan. Hinaan, cercaan, dan segala macam sumpah serapah pernah terucap dari keluarganya saat Ahmad bersama kedua orang tuanya melamar Dita. Ya, itu teramat pahit, dan ada yang lebih pahit disbanding itu semua.
Seketika ia teringat segala kenangannya bersama Ahmad. Sedari awal perkenalannya sampai akhirnya mereka menikah. Pertemuan mereka tidak sengaja terjadi. Mereka pertama kali bertemu saat keduanya mengikuti aksi kamisan yang dilakukan oleh para keluarga korban penembakan mahasiswa Tri Sakti di depan istana Negara. Mereka sempat beberapa kali bertatap mata. Dan keduanya menyadari hal tersebut. Namun pada saat itu mereka belum melakukan perkenalan.
Antara Dita dan Ahmad merupakan dua mahasiswa lintas kampus. Namun, mereka berdua sama-sama konsen pada masalah politik, HAM, dan juga Feminis. Sebuah kebetulan yang nantinya mempersatukan mereka.
Pada aksi kamisa selanjutnya, Dita dengan penuh semangat mengikutinya. Motivasinya ada dua, yakni untuk terus memperjuangkan masalah HAM yang terus ditutup-tutupi oleh pemerintah dan yang satu lagi adalah berharap semoga ia bertemu kembali dengan Ahmad. Entah apa yang membuat ia merasa begitu bersamangat untuk kembali bertemu dengan lelaki asing yang mampu membuat hatinya berdebar. Dan, harapannya pun terkabul.
Ahmad kali ini juga mengikuti aksi kamisan tersebut. Dengan berpakaian semua serba hitam untuk melambangkan bahwa bangsa ini akan terus berduka dan juga bahwa hukum di negeri ini masih hitam, masih menutupi kebenaran yang sesungguhnya. Hukum di negeri ini masih melindungi para penguasa yang terlibat langsung atas tragedy tersebut dan juga terlibat terhadap para korban penculikan yang sampai kini tak tahu rimbanya dimana. Bagi sebagian kecil rakyat yang banyak di bangsa ini, masih ada mereka yang terus berjuang membuka tabir tersebut. Dita dan Ahmad salah satu diantara mereka.
Setelah aksi tersebut, mereka akhirnya saling berkenalan. Dita yang menghafal kebiasaan Ahmad setelah aksi yang biasanya langsugn beristirahat di pekarangan Monumen Nasional di bawah pohon rindang akhirnya memberanikan diri untuk mendekati Ahmad.
Ia langsung mengeluarkan sebotol jus kemasan yang ia sengaja bawa dari kostannya dan ia tawarkan kepada Ahmad. “Untuk menghilangkan haus.” Ucapnya kepada Ahmad. Diambilnya minuman tersebut lalu kembali menawarkan kepadanya setelah di buka penutup botol tersebut. “Perempuan dahulu.” Ucap Ahmad dengan tenang.
“Perempuan di bangsa ini hanya diberikan peluang, namun minim penghargaan yang setara antara perempuan dan lelaki. Bangsa ini perlu banyak belajar mengenai persamaan gender.” Itulah yang selintas terucap dari Dita di saat perkenalan mereka.
“Sesungguhnya itu masih terjadi, seperti perempuan hanya diberikan kesempata kerja untuk mengisi posisi yang biasanya lelaki tempati, namun mereka tidak mendapatkan persamaan yang sama antara dirinya dengan yang lelaki terima. Mereka tidak mendapatkan tunjangan, karena pihak perusahaan menganggap bagi yang sudah menikah tunjangan tersebut sudah diterima oleh suaminya dalam pekerjaannya.” Balas Ahmad.
Dirinya tak menyangkan ternyata Ahmad juga sedikit mengetahui perjuangan feminis di negeri ini. Mereka masih sama-sama belajar tentang suara-suara minoritas yang terus tertindas.
“Lalu kapan kamu mau minum?” Setelah mendengar tersebut Dita langsung meminum minuman yang ia awalnya tawarkan kepada Ahmad.
Seketika terdengar alunan music dari Payungteduh yang berjudul Menuju Senja.
Harum mawar di taman, menusuk indah ke dalam sukma, dan menjadi … … …
Lirik lagunya terus beralun menemani mereka berdua.
“Aku melihatmu penuh khidmat saat mendengar lagu ini waktu Payungteduh manggung di kampusmu.”
“Kamu menonton juga, kenapa tidak menyapa aku kala itu. Sedang apa kamu di sana?”
“Kita belum kenal kala itu, bahkan sampai saat ini juga kita belum saling kenal. Aku kesana memang ingin menikmati alunan-alunan music mereka.” Ucap Ahmad, sambil ditertawai oleh Dita.
“Ya, kenapa sampai saat ini kita belum berkenalan?”
“Mungkin ada yang malu diantara kita berdua.”
Mereka berdua tertawa bersama mendengar hal tersebut. Mereka mengobrol cukup lama di sana. Saling bercerita dan saling bertukan pikiran. Anehnya mereka berkenalan ketika mereka mau berpisah pulang.
“Aku membenci pemimpin-pemimpin yang pernah memimpin bangsa ini. Kenapa mereka terus melindungi para penjahat yang telah melukai perjalanan bangsa kita. Koruptor, penjahat HAM, pelaku penculika aktivis, pelaku kekerasan terhadap kebebasan beragama, mereka di sini seakan tumbuh subur besar. Sampai sekarang belum juga selesai masalah penembakan mahasiswa Tri Sakti, kasus pembunuhan Munir, bahkan belum juga dikembalikannya para aktivis yang diculik dan kemungkinan besar disiksa pada jaman Orde Baru. Selain itu, kenapa juga anak-anak terus dibohongi tentang sejarah bangsa ini. Seakan sejarah hanya punya penguasa yang berkepentingan agar mereka terus berkuasa tanpa adanya pemberontakan dan perlawanan. Kasian mereka yang terbunuh dan tersiksa di tahun 65. Mereka yang tak berdosa dan tak terlibat dan hanya karena dicurigai ikut terlibat gerakan PKI mendapatkan siksaan. Diperkosa yang perempuan, dibunuh dan diculik bagi para lelaki, tangis anak kecil terus berkumandang kala itu. Mereka harus menderita atas perbuatan zalim penguasa kala itu. Namun, sejarah tersebut dipelintir dan bahkan dibenarkan oleh para manusia zaman ini. Kasian mereka yang belum kembali atas penculikan tersebut, mendekam dipenjara tanpa diawali dengan pengadilan, bahkan ada yang sampai saat ini tak dapat menginjakan kakinya ke tanah leluhurnya atas karena ideology yang disalahkan oleh penguasa kala itu. Sebenarnya apa salahnya mereka memperjuangkan mahzab sosialis di negeri ini. Tak ada yang salah, yang salah adalah orang-orang yang melakukan penyiksaan terhadap mereka. Bahkan sampai saat ini, tak jarang bagi mereka yang memiliki hubungan darah ataupun memiliki sejarah penganut PKI tak dapat bekerja pada instansi pemerintah. Entahlah sampai kapan masalah ini akan selesai.” Dita bicara panjang lebar saat itu.
“Benar katamu, mereka tidak ada yang salah, yang salah adalah mereka yang berlebihan melakukan penyiksaan terhadap orang-orang tak bersalah tersebut. Bangsa ini harus tetap optimis dari sekian banyak alasan agar kita menjadi pesimis dari masa depan yang lebih baik. Hari sudah malam, tanpa kita sadari, kamu tidak mau pulang? Lain kali kita dapat mengobrol kembali berbicara tentang apapun, asal jangan tentang SBY.”
Dita tertawa mendengar ucapan dari Ahmad tersebut. Lalu mereka berjabat tangan saling berkenalan dan bertukar nomor kontak. Sambil berharap dalam diri masing-masing akan dapat berjumpa kembali dilain kesempatan.
Akhirnya mereka dipersatukan pada ikatan cinta. Mereka merasa saling cocok, memiliki misi yang sama dimasa depan. Namun setelah mereka lulus kuliah, Ahmad memutuskan kembali tinggal di kampung halamannya, bekerja disana melindungi para petani yang ayahnya juga menjadi salah satunya diantara petani-petani tersebu yang terus terebut lahannya atas kebijakan penguasa yang akan mengubah lahan tersebut menjadi hotel dan vila yang berdekatan dengan kawasan wisata. Sedangkan Dita berfokus pada salah satu LSM yang terus memperjuangkan hak-hak orang yang mengalami diskriminasi dari penguasa, pengusaha, dan juga kelompok-kelompok mayoritas yang menekan keyakinan penganut akidah yang berbeda dengan ajaran agamanya. Namun mereka sepakat, untuk terus melanjutkan hubungan tersebut dan bahkan sampai menikah.
Setelah menikah, mereka pun harus berpisah diawal tahun pernikahannya. Dita masih hasur terus mengawal isu pembelaan kaum minoritas yang keyakinannya harus tertindas karena kelompok mayoritas menganggap mereka sesat. Disaat tersebut ia pun kerap kali berjumpa dengan ayahnya tanpa sengaja dan tanpa diingini oleh Dita. Mereka bertemu saat LSM tersebut mengadvokasi hak mereka terhadap pemerintah. Dan ayahnya menjadi salah satu petinggi di kementerian yang menangani kasus tersebut. Tanpa pernah mereka bersapa, bahkan tersenyum pun tidak. Dita tampak kuat atas jalan hidupnya. Baginya jalannya adalah kebenaran meskipun harus melawan ayahnya sendiri. Ayahnya dianggapnya gagal mengotentikan dirinya pada kebenaran. Ayahnya adalah salah satu dari bagian yang terus melindungi kekerasan dan diskriminasi terus terjadi di negeri ini. Ayahnya tunduk pada mayoritas yang dominan namun keliru. Ayahnya dianggapnya sebagia orang munafik yang jahat, yang Menurut Bernard Mandeville adalah mereka yang terus berpura-pura pada urusan ketidakadilan, meskipun ia sadar bahwa kepura-puraan tersebut adalah hal yang keliru, mereka bersusah payah untuk ikut merasakan penderitaan tersebut, namun disaat yang bersamaan ia menikmati keuntungan dari kejahatan tersebut. Ya, ayahnya adalah orang yang munafik. Dan ia memilih keluar dari jalan hidup ayahnya dan keluarganya.
Sedangkan urusannya terhadap Ahmad, ayahnya tidak merestui hubungan mereka. Bahkan hanya kakaknya saja yang menyaksikan pernikahan mereka. Namun ia mampu dan terus bahagia dengan Ahmad dan jalan hidupnya.
Mereka lama juga menjalin cinta sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Ahmad adalah lelaki yang mampu memberikan jaminan kenyamanan pada dirinya. Disaat sedih, bahagia ataupun disaat ia membutuhkan kekuatan saat ia teringat tentang hubungannya dengan keluarganya. Ahmad tidak pernah menuntut, melainkan sebagai penuntun. Ahmad tidak pernah marah, melainkan menjadi peredam amarah saat ia kecewa perjuangannya buntu ditengah perjalanan saat pemerintah menolak permohonannya. Ahmad adalah tawa baginya, penawar lelah, penghapus luka, pembersih jiwa, dan segalanya. Mereka bahagia dan terus bahagia.
Ahmad adalah pemuda yang melakukan konsolidasi terhadap para petani agar tidak mau melepas lahan mereka ke tangan para penguasa tersebut. Selain harganya yang terbilang sangat murah, ia juga menjelaskan bahwa setelah lahan tersebut lepas, maka tak ada lagi pendapatan yang diraih dari mereka. Uang hasil penjualan akan habis dalam waktu yang singkat. Sedangkan kebutuhan mereka terus tumbuh. Setidaknya jika mereka terus menjadi petani yang telaten dan juga tekun akan menghasilkan keuntungan terus menerus dengan lahan yang mereka miliki dan diolah sendiri. Setelah usahanya gagal, para pengusaha mencoba mengakui secara paksa lahan tersebut dengan dalih lahan tersebut dimiliki oleh pemerintah daerah. Pemda diiming-imingi imbalan yang menggiurkan dari para pengusaha. Dan usaha tersebut berhasil. Pemda memalsukan segala surat-suratnya. Warga sempat kehilangan asa, namun Ahmad terus berjuang.
Sambil menyiapkan bahan-bahan untuk diajukan dalam banding di pengadilan, Ahmad mengajak warga khususnya para pemuda untuk memblokade jalan agar alat-alat berat terhalang masuk. Dita akhirnya meninggalkan Jakarta, ia berniat menemani Ahmad berjuang bersama warga melawan tirani penguasa dan pengusaha. Ya, setelah beberapa lama mereka menikah akhirnya mereka bersatu juga dalam satu garis perlawanan. Kembali seperti masa kuliah mereka.
Pengusaha dan penguasa panic melihat perlawanan yang terus dikelola oleh Ahmad dan para warga. Sampai pada akhirnya eksekusi tersebut terjadi setelah direncakan secara rahasia oleh penguasa dan pengusaha. Ahmad tewas dalam kasus kecelakaan. Di saat Dita sedang mengandung, di saat ia membutuhkan dukungan yang kuat dari suaminya tersebut, ia harus kehilangan suami tercintanya. Meski belakangan diketahui bahwa dalang dari kecelakaan tersebut adalah orang-orang dari pengusaha yang terus merongrong wilayah pertanian ayahnya dan juga para saudara dikampungnya agar dapat mudah diubah hak miliknya untuk kepentingan bisnis mereka. Ya, satu hal yang sedari awal disadari ialah pengusaha-pengusaha tersebut merepukan salah satu pemilik dari anak usaha yang dikuasai ayahnya sendiri. Dita murka atas hal tersebut.
Kini ia menyaksikan kelahiran anak pertama dan yang terakhir kalinya lahir dari rahimnya sendiri, tanpa disaksikan oleh Ahmad suami tercintanya. Lamunannya cukup panjang malam itu. Disaat mereka yang berbahagia menyaksikan kelahiran anaknya, namun ia merasakan kepedihan. Ia meminta melihat bayi tercintanya, lalu memohon ijin kepada abah mertuanya mengumandangkan azan di telinga bayinya. Air matanya bercucuran. Bahagia dan sedih. Setelah itu, ia meminta bayinya dan mendekapnya dalam hangat, sambil bersenandung lagu Payungteduh yang berjudul Di Ujung Malam, namun liriknya diubah sedikit.
Di ujung malam, diantara lelap dan sadar, mulailah sekarang bahagia bersamaku.
Air matanya semakin bercucuran, deras, tak sanggup lagi ia menahannya.
Ya, rindu itu merdu seketika. Pelan ia mendengar suara itu, diantara bayang-bayang ia melihat sosok Ahmad mulai menari dan bernyanyi di atas sana. Tersenyum bahagia, dan kemudian berbisik pelan kepadanya.
“Orang tuamu telah datang untuk menjemputmu, ia telah berdamai dengan dirinya, menerima kehadiran anak kita, pulanglah bersamanya, mulai sekarang hiduplah yang tenang, besarkan ia, sampai kelak menjadi ibunya. Akhiri kekesalanmu kepada mereka, aku telah memaafkan mereka begitu juga dengan keluargaku. Kamu harus bahagia bersama mereka, kini setelah kamu menikmati kebahagian bersama aku dan keluargaku. Maafkan mereka.”
Cucuran air mata Dita semakin deras, ia melepaskan bayinya kepada ibu mertuanya, dan melihat kepada ibunya, dan memintanya untuk segera memeluknya. Hati antara dua wanita terutama anak dan ibu memang tak bisa dipisahkan. Isak tangis bahagia tumpah dalam kamar tersebut.
Kini ia memberanikan berbicara. “Biarkan anak ini saya beri nama Syajaratu Durri. Ini merupakan kesepakatan kami berdua, antara Ahmad sebagai ayah dari anak ini dan aku sebagai ibunya.”
Terakhir, Syajaratu Durri merupakan sosok perempaun dari kaum budak pada masa Dinasti Ayyubi yang dibeli dari Turki oleh Sultan Shalih Najmudin Ayyub. Ia bukan seperti mantan budak pada umumnya, ia memiliki kecerdasan yang dengan hal tersebut ia ikut ambil adil dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh sultan tersebut. Ia melebih posisinya sebagai selir sultan, ia bak permaisuri pada kerajaan tersebut. Disaat suaminya sedang sekarat, Syajaratu mengambil alih kekuasaan secara de facto. Ia memutuskan dan mengambil langkah kerajaan selanjutnya. Tidak ada keputusan yang tidak atas persetujuannya. Sampai pada akhirnya perang salib VII pecah. Dan tentara gabungan dari Eropa dapat dikalahkan dan ditaklukan oleh para tentara mantan budak yang dipimpin pula oleh mantan budak, yakni Syajaratu Durri. Kecerdasan dan keberaniannya diharapkan oleh Ahmad dan Dita agar menular pada anaknya.
Seperti masa mudanya, setelah anaknya tumbuh besar, ia mengajak anaknya untuk melakukan aksi kamisan. Namun kali ini tidak dilakukan di depan istana, ia melakukannya di makam sang suami tercinta. Ia merawat makam tersebut layaknya benda hidup. Setiap kunjungannya mereka selalu melantunkan lagu-lagu Payungteduh yang menjadi kesukaan mereka berdua. Tak jarang mereka membacakan sebuah puisi. Dan kali ini Dita tersengang, karena anaknya telah mampu membuat puisi dan membacakannnya di atas makam ayahnya tersebut.
Ayah
Aku tidak pernah mengenal ayah
Bahkan untuk melihat secara langsung saja Tuhan tak mengijinkan
Namun aku selalu mendengar ceritamu dari ibu tercinta
Tak ada noda dalam hidupmu, ceritanya
Selalu melindungi perempuan, tambahnya
Mencintai ibu tulus, senyumnya
Dan mengajarkan ketulusan, tangisnya

Ayah, namun disaat ibu bercerita tentang ayah
Ia selalu menangis
Ku lihatnya sangat perih
Lalu aku bertanya padanya, “apakah ayah seorang penjahat yang telah menyakiti ibu?”
Lalu ia tersenyum dan berkata, “ayahmu adalah kebaikan dari segala kebaikan yang pernah ada di bumi ini”
Lalu aku bertanya lagi, “lalu kenapa ibu selalu menangis?”
Ia menjawab dengan tulus, “karena aku mencintainya”
Aku menjawab, “aku juga mencintainya, mencintai ayah dengan segala jarak yang ada, dengan segala air mata yang menetes dari kami berdua”
Ayah, kami mencintaimu, selamanya, selamanya, dan selamanya.
Dengan segala bahagia


Mereka berdua berpelukan dalam tangis di atas makam orang yang mereka cintai dan mencintai mereka secara tulus.

Jumat, 18 Oktober 2013

Penguatan Sistem Demokrasi Melalui Civil Society

Perjalanan dunia perpolitikan bangsa ini semakin kini semakin memanas. Tertangkap tangannya ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang diduga menerima suap untuk melakukan pemenangan pada penanganan kasus sengketa pilkada sempat mengguncang bangsa ini. Tidak sampai disitu, tertangkapnya Akil Muchtar membuka juga kasus-kasus lain, diantaranya yakni goyahnya dinasti Ratu Atut beserta keluarganya yang menguasai Provinsi Banten dengan nyaman selama ini. Menjelang 2014 yang akan diberlangsungkannya pemilihan legislative dan Presiden dan Wakil Presidennya perpolitikan bangsa ini semakin memanas.
Selain itu, para calon anggota legislative pun sudah mulai memancarkan dirinya kehadapan publik dengan begitu banyaknya memasang spanduk, pamphlet, stiker, dan berbagai peraga dirinya di lingkungan publik. Mereka berlomba mendekati masyarakat untuk meraih dukungan yang maksimal sehingga mereka berhasil lolos pada 2014 nanti. Pendekatan-pendekatan mulai dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya mengimingi masyarakat dengan janji manis bahkan tidak jarang mereka membagi-bagikan materi kepada masyarakat. Sungguh para caleg ini telah terlampau jauh dalam melakukan pendekatan kepada masyarakat yang bahkan mendekati pembodohan. Mereka didekati dengan berbagai cara, namun tidak dibekali dengan pengetahuan tentang politik yang jujur. Masyarakat hanya dijadikan penghasil suara yang akan membawa dirinya menjadi anggota legislative demi memenuhi hasratnya yang dipenuhi dengan kepalsuan. Bahkan tidak jarang pula kita melihat caleg mendekati ormas-ormas yang selama ini melakukan aksi-aksi kekerasan di dalam lingkungan masyarakat demi meraih dukungan. Pastinya langkah caleg yang seperti itu telah melegitimasi kekerasan yang dilakukan oleh ormas tersebut. Sungguh politik yang amat sangat praktis dan merugikan masyarakat ke depannya nanti.
Masyarakat didekati hanya menjelang pemilihan namun setelah mereka terpilih lalu mereka sibuk menghitung-hitung kerugian yang telah terjadi dan mencoba mencari gantinya dengan menyalahgunakan jabatan yang telah diberikan oleh rakyat. Rakyat tak mampu melakukan apapun setelah pemilihan, karena mereka tidak dibekali mengenai penguatan civil society. Rakyat tidak disadarkan bahwa merekalah yang memiliki kedaulatan dalam era demokrasi ini, dengan cara mengontrol kebijakan para caleg yang telah mereka pilih. Namun lagi-lagi yang terjadi ialah rakyat hanya diam, karena pendekatan yang caleg lakukan kepada masyarakat mengabaikan nilai-nilai demokrasi. Lalu tanggung jawab siapa kedepannya, tepatnya setelah pemilu nanti yang mengajak masyarakat untuk mengontrol kebijakan para pemimpin yang telah kita pilih? Ya, ini merupakan tanggung jawab kita semua.
Untuk diawal mari kita mengetahui apa itu sebenarnya pemilu? Pemilu artinya rakyat diberikan secara bergantian untuk bebas memilih untuk mengekspresikan kebebasan memiliah atas persetujuan atau pertidaksetujuan yang menentukan pergantian elit kekuasaan. Lewat pemilihan umumlah rakyat menentukan kehendaknya apakah mereka menginginkan penguasa yang lama untuk terus berkuasa atau bahkan memutuskan untuk mengganti penguasa lama yang telah dianggapnya gagal dengan orang-orang baru untuk memimpin yang mampu menjalankan aspirasi mereka. Satu-satunya cara yang sah dalam sistem demokrasi ini untuk menentukan dan memilih siapa yang berhak menjadi pemimpin dikemudian hari ialah melalui mekanisme pemilihan umum ini.
Di dalam menjalanlankan mekanisme pemilihan umum ini, rakyat diberikan kebebasan dalam menentukan siapa yang mereka pilih di kemudian hari untuk menjadi pemimpin. Sudah selayaknya dalam pelaksanaan pemilihan umum tidak ada lagi intimidasi yang dilakukan kepada rakyat untuk memilih salah satu calon, mereka berhak bebas untuk melaksanakan haknya memberikan suara pada pemilihan umum.
Pemilihan umum ialah manfestasi kedaulatan yang sedari awal kita telah mempercayai bahwa kekuasaan di tangan rakyat dan keputusan penguasa tidak sah jika tidak menghendaki kepentingan rakyat. Inilah poin penting dalam proses pelaksanaan pemilihan umum. Rakyat bebas memilih dan menentukan kepada siapa mereka akan dipimpin lalu rakyat memiliki kedaulatan bahwa mereka berhak juga untuk melakukan protes terhadap kebijakan yang dibuat oleh mereka yang telah dipilih rakyat jika tidak sesuai dengan kehendak rakyat.
Untuk melakukan penguatan proses demokrasi melalui pemilihan umum ini, kita perlu menguatkan sistem civil society di masyarakat. Civil society dengan demokrasi merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, dengan demokrasi civil society dapat tumbuh berkembang dan dengan civil society sistem demokrasi dapat berjalan dengan baik.
Mengutip dari Larry Diamond, Asrori S. Karni menjelaskan bahwa ada enam sumbangan civil society bagi demokrasi: Pertama ialah menyediakan wahan sumber daya politik, ekonomi, kebudayaan, dan moral untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan diantara pejabat Negara. Kedua ialah pluralism dalam civil society, bila diorganisir, bahkan menjadi dasar yang penting bagi persaingan demokratis. Ketiga ialah memperkaya partisipasi politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan. Keempat ialah ikut menjaga stabilitas Negara. Kelima ialah tempat menggembleng pemimpin politik. Dan keenam ialah menghalangi dominasi rezim otoriter dan mempercepat runtuhnya rezim tersebut.
Penguatan civil society merupakan langkah untuk melakukan penyeimbang dan kecenderungan atas control eksesif Negara. Civil society akan menguatkan suatu masyarakat politik yang demokratis – partisipatoris, reflekti dan dewasa. Dengan civil society juga menyadarkan kembali kepada masyarakat behwa merekalah pemegang kedaulatan dan memiliki hak untuk mengontrol kekuasaan.
Dengan civil society juga dapat menumbuhkan pola demokrasi yang partisipatoris bukan hanya menjadi demokrasi elit semata. Demokrasi elit merupakan sebuah upaya untuk mengesampingkan rakyat setelah pelaksanaan pemilihan umum. Setelah rakyat menjalankan haknya, maka setelah caleg terpilih mereka mengesampingkan aspirasi rakyat dalam menjalankan pemerintahan dan membuat kebijakan. Di dalam tipe ini, demokrasi elit sangat mungkin kepentingan rakyat yang selama masa kampanye disuarakan terlupakan.
Sedangkan dalam tipe demokrasi partisipatoris yang merupakan buah dari civil society (dalam pemikiran penulis) justru mendorong peran masyarakat dalam ikut terlibat dalam membuat kebijakan-kebijakan para caleg yang terpilih atas suara mereka. Bagaimanapun setelah terpilihnya wakil rakyat masyarakat tidak terlupakan untuk terus ikut terlibat dan membantu mereka yang terpilih untuk membuat kebijakan yang sesuai dengan kepentingan dan kehendak rakyat. Kesimpulannya adalah makna yang benar dengan demokrasi ialah setelah masyarakat bebas dan rahasia memilih para pemimpin yang mereka pilih dalam proses pemilihan umum, masyarakatpun berperan serta dalam pembuatan keputusan dan kebijakan yang dibuat oleh para pemimpin yang mereka pilih sesuai dengan kehendak dan kepentingan masyarakat. Jadi, demokrasi bukan hanya memilih pada pemilihan umum, melainkan juga mereka terus ikut terlibat dalam proses pemerintahan orang-orang yang telah mereka kehendaki menjadi pemimpin mereka.
Ini diharapkan agar tidak terus terjadi kepunahan karifan politik yang diistilahkan oleh Jefrie Geovanie sebagai kehidupan politik yang membunuh. Inilah yang terjadi selama ini pada bangsa kita, pemerintahan yang secara umum dikuasai oleh mereka yang penuh nafsu untuk terus berkuasa dengan hasrat untuk menguasai yang lain dengan melupakan kehendak dan kepentingan rakyat.
Intinya ialah dengan penguatan civil society rakyat tidak hanya dijadikan objek mobilitas dan meraih dukungan oleh kalangan elit politik. Selain berhak untuk memilih secara bebas dan rahasia kita juga berhak untuk terus terlibat dalam pembuatan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh mereka yang telah kita pilih agar terus berada dalam jalur kepentingan dan kehendak rakyat bukan pada kepentingan dan kehendak pribadi maupun partai politik.
Satu pesan dari Hannah Arendt manusia mandiri ialah manusia yang terbebas dari himpitan kebutuhan pribadinya dan pada saat yang bersamaan mampu berwacana dalam ruang publik. Ketika manusia mandiri, saat itulah ia menjadi warga Negara yang sebenarnya, dan pada saat itu pula demokrasi bisa berjalan.
Tidak ada salahnya untuk kita menguatkan sedari dini kesadaran politik masyarakat ketika para calon anggota legislative sudah melakukan manuver-manuver dalam masyarakat untuk meraih dukungan.
Wassalam…

Minggu, 13 Oktober 2013

SETETES

dia berjalan
tak menemui dahan yang berguguran
mencari ranting yang patah tertimpa angin
tak ada rayuan dari bunyi burung yang berterbangan

dia berhenti
pada satu sisi persimpangan
tidak dia hiraukan bunyi dari kendaraan
tidak dia hiraukan pekatnya asap hitam kendaraan

dia menangis
melihat ketidakpercayaan tentang dirinya
kegagalan menghinggap dari hidupnya
waktu berlalu sampai saat kini
dirinya gagal

dia tak tahu
apakah akan ada setetes embun yang akan menyejukkan hatinya
yang akan membuat denyut berdendang tentang keberhasilannya kelak
agar tak selalu bersenandung tentang kegagalannya

setetes itu ia harap kini, esok, dan nanti
agar cinta yang selalu pahit seperti empedu
berubah menjadi manis seperti madu

setetes itu kini akan sangat berarti
seperti oase di padang pasir
dahaga akan ketulusan cinta
bukan pada kedatangan cinta

Jumat, 11 Oktober 2013

Cerita Sang Baba

Kampung sudah memasuki waktu sore. Kumandang adzan maghrib sedikit lagi tiba. Mentari sudah setengahnya membenamkan diri. Binatang ternak semua sudah masuk kandang tertata rapih. Petani sudah mulai kembali ke rumahnya. Namun anak-anak sudah tampak siap untuk pergi bersama menuju rumah “Sang Baba.” Mereka menuju bersama, membelah persawahan, menyebrangi sungai, dan memasuki daerah perkebunan.
Sang Baba memang memilih tempat tinggal yang jauh dari kerumunan. Ya, walalupun saat itu kampung masih sangat jarang penduduknya, namun, diantara kesepian itu Sang Baba masih merasakan keramaian yang akan menjauhkan ia dari kedekatan Sang Khalik. Sang Baba hanya tinggal berdua bersama isterinya. Di dalam rumah tersebut, tak ada kamar, yang ada hanya ruang kosong di tengah rumah yang biasa disebut dengan “langgar”. Biasanya ruangan ini dipakai Sang Baba untuk mengajar mengaji dan melakukan shalat berjamaah bersama para muridnya. Kamar mandinya pun hanya terdapat satu sumur air dan bak untuk mengambil air wudhu. Jika ingin melakukan buang air besar, Sang Baba beserta isterinya dan juga murid-muridnya biasanya mereka melakukannya di empang ikan belakang rumahnya.
Cerita Sang Baba saat pertama kali masuk ke kampung tersebut cukup mengejutkna para penduduk sekitar pada masa dahulu. Sebelum kehadirannya, kampung tersebut memiliki daerah yang sedikit angker. Mereka menganggap tempat tersebut banyak penghuni ghaibnya lantaran di sana dahulu menjadi makam para leluhur mereka. Di tambah lagi tempat tersebut banyak ditumbuhi oleh pohon-pohon besar. Posisinya berada di atas persawahan penduduk setempat yang apabila malam tiba mereka tidak berani melawati kawasan tersebut. Sore harinya kebun tersebut masih kosong belum ada bangunan atau gubuk yang layak untuk ditempati. Mereka pulang kerumahnya seperti biasa.
Awalnya kampung tersebut tak memiliki guru mengaji yang rutin hadir mengajar di sana. Mereka hanya mengenal islam dari pertunjukan wayang yang ditampilkan oleh para ulama yang sekedar melakukan pementasan lalu pergi lagi ke kampung lain untuk melakukan pementasan. Mereka awalnya hanya mengucap syahadat dengan terbata-bata tanpa ada pendidikan lanjut mengenai ajaran islam.
Kampung tersebut benar-benar gelap akan pendidikan agama. Mereka belum menerima satupun guru mengaji yang tetap tinggal di sana dalam kurun waktu yang cukup lama sebelum kehadiran Sang Baba tiba-tiba secara mengejutkan.
Siapa tidak heran, sore hari mereka meninggalkan persawahan dan masih melihat kebun tersebut kosong belum berdiri bangunan yang cukup luas untuk melakukan syiar agama, namun ketika mereka kembali lagi esok paginya sudah ada bangunan tersebut. Mereka mendatanginya secara bersamaan, dan mereka menemukan sepasang suami isteri setengah tua sedang melakukan dzikir bersama.
“Assalamualaikum Pak Kiai.” Ucap para penduduk yang menemui Sang Baba di gubugnya. Dipandanginya oleh mereka ruangan Sang Baba sedang melakukan ritual agama tersebut. Semuanya sudah terbangun rapi. Walaupun dindingnya hanya terbuat dari anyaman bambu.
Sang Baba lalu menyudahkan ritualnya tersebut, dan membalikan tubuhnya seraya menjawab salam yang diberikan oleh para penduduk tersebut. Lalu para penduduk di terimanya dengan ramah dan mereka pun mengobrol bersama dalam “langgar” tersebut. Sanga Baba menjelaskan kepada mereka maksud kedatangannya ke kampung tersebut dan belum sempat ijin kepada kepala kampung tersebut untuk singgah beberapa kurun waktu untuk menjalankan perintah yang diberikan langsung oleh Kanjeng Sunan Gunung Jati Cirebon. Sedangkan isterinya langsung masuk ke dalam dapur menyiapkan teh hangat untuk disantap oleh Sang Baba dan para penduduk kampung tersebut.
“Saya minta maaf kepada para penduduk sekitar, sekiranya saya belum ijin kepada kalian semua untuk menempati lahan kosong ini. Saya datang langsung dari Cirebon diperintah oleh Kanjeng Sunan untuk menetap di sini menyiarkan agama islam. Mengingat kabar yang diberikan oleh para prajurit kerajaan bahwa di sini para penduduknya telah memeluk agama islam namun belum ada seorang yang membimbing agar para penduduk memiliki ilmu lebih dalam tentang agama kita. Sekiranya apakah betul kabar tersebut dan bapak-bapak mengijinkan saya di sini untuk memberikan sedikit pelajara kepada kita semua.” Sang Baba mengawali perjumpaan mereka di pagi tersebut.
“Kami senang sekali mendengar Pak Kiai datang langsung dari Cirebon dan diperintah Kanjeng Sunan untuk memberikan pendidikan agama islam di kampung kami. Memang sudah lama kami mengucapkan dua kalimat syahadat. Itu kami terima dari salah satu dalang yang melakukan pementasan di kampung kami beberapa tahun yang lalu. Namun, dalang tersebut tidak singgah di sini dalam kurun waktu yang lama. Setelah ia mengajarkan kami menghafal bacaan shalat ia langsung pergi dengan tujuan menyebarkan islam ke seluruh penjuru Pulau Jawa. Setelah tidak ada yang membimbing kembali tentang islam kepada kami, satu persatu dari kami pun hilang hafalan tersebut. Mohon maaf Pak Kiai kami tidak menjalankan perintah agama secara taat.” Ucap Mang Emul kepala kampung tersebut kepada Sang Baba.
Obrolan mereka semakin lama semakin hangat. Keteduhan jiwa Sang Baba yang memiliki ketinggian tentang pemahaman agama yang tulus membuat ucapannya selalu mudah dipahami dan ditaati dengan sepenuh hati oleh para penduduk. Mulai sejak itu Sang Baba resmi mengajarkan pengajian kepada penduduk sekitar dari mulai anak-anak sampai pada para orang tua. Namun waktu mengajarnya dipisah-pisah sesuai dengan umur. Khusus ibu-ibu yang memberikan pengajaran adalah Emak Nyai. Dan pada saat itu juga Sang Baba yang awalnya dipanggil dengan sebutan Kiai oleh penduduk sekitar menolak panggilan tersebut karena merasa belum memiliki ilmu dan ketakwaan yang setara dengan Kiai-Kiai lain, dan meminta dengan segala hormat kepada para penduduk untuk memanggilnya “Baba” sesuai dengan ciri khas kampung tersebut.
Kampung ini memang terletak cukup jauh dari pusat kerajaan islam di Cirebon. Dan juga berada dipinggiran dari wilayah Jayakarta dimana di sana juga dahulu ada Fatahillah yang diutus oleh kerajaan Cirebon untuk menaklukan Pelabuhan Sunda Kelapa dari tangan penjajah. Kampung ini sering jadi perlintasan, namun jarang ulama yang menetap di sini.
Sang Baba memilik metode pengajaran yang sederhana. Dengan ketinggian ilmunya ia tidak ingin terlebih dahulu mengenalkan islam pada tahapan yang lebih tinggi dan dikenalkan dengan janji-janji surgawi atau bahkan menakuti-nakuti penduduk dengan ancaman neraka yang sangat menyeramkan jika tidak menjalankan perintah agama. Sang Baba mengenalkan islam kepada penduduk dengan awal bahwa dengan menjalankan perintah demi perintah yang dianjurkan oleh agama akan membawa jiwa-jiwa mereka semakin teduh yang akan memberikan dampak positif pada tingkah laku mereka saat beraktifitas seperti bertani dan akan membawa diri pada kejujuran pada sendirinya pada saat melakukan jual beli beras di kota.
Penanaman akhlak yang menjadi tujuan Sang Baba melaksanakan dakwahnya. Akhlak dalam pemikiran Sang Baba dianggap memiliki dua sisi sifat manusia, yakni sifat baik dan sifat buruk. Dan apabila sifat buruk menguasai akhlak manusia maka manusia akan terjerumus dalam penyesalan-penyesalan hidup. Namun jika sifat baik yang berada dalam jiwa manusia tersebut, maka manusia tersebut akan memiliki ketenangan hidup yang lebih berarti dan akan selamat dalam urusan-urusannya baik di dunia maupun akhirat. Jika jiwa manusia memiliki sifat-sifat baik maka akan dengan sendirinya ia akan berbuat baik pula tanpa harus merasa terbebani. Ini sesuai dengan misi diturunkannya Nabi Muhammad diutus ke muka bumi, yakni menyempurnakan akhlak manusia.
Murid Sang Baba kian hari kian bertambah. Tidak hanya dari kampung tersebut saja, melainkan juga para penduduk yang berada di luar wilayah kampung mengikuti pengajiannya. Tentu jangan membayangkan keramaian yang sangat amat pada jaman tersebut, penduduk saat itu masih sangat jarang, jadi kemungkinan terbanyaknya adalah sekitar 50 an orang kurang lebihnya.
Sang Baba bersama Emak Nyai sudah tinggal di sana beberapa tahun, namun mereka tak kunjung memiliki anak. Inilah katasawufan seorang Sang Baba. Ia ikhlas jika tidak hendak diberikan keturunan oleh Sang Khalik namun disaat yang bersamaan ia tetap diberikan kesabaran dan keistiqamahan oleh Sang Khalik dalam mendakwahkan agamanya.
Sang Baba selalu berpesan kepada muridnya, agar shalatnya bermanfaat bagi Rasa Ketuhanan-Nya maka mereka pun seharusnya dapat memberikan kemanfaatn pada makhluk sekitar agar tidak semena-mena berbuat termasuk kepada rumput sekalipun. Tidak ada ibadah yang bermanfaat kecuali ia dapat memberikan kesalehan social kepada para makhluk lainnya. Tidak ada kekerasan dan paksaaan untuk melaksanakan ibadah dan juga selalu menanamkan kejujuran dalam segala transaksi jual beli. Tak banyak hafalan surat-surat yang dalam al-Qur’an yang diperintahkan kepada murid-muridnya oleh Sang Baba. Baginya segalanya akan percuma jika mereka begitu banyak menghafal namun tidak memberikan energy yang positif terhadap keberagaman penduduk sekitar, yang saat itu masih banyak penganut agama lain sisa-sisa kerajaan Padjajaran. Sejak saat itu Sang Baba telah mengajarkan Ke Bhinekaan Tunggal Ika kepada penduduk sekitar. Sang Baba bukan sekedar bapak agama, namun juga telah menjadi bapak bangsa sebelum Soekarno dan Hatta ada.
Sampai akhir hayatnya Sang Baba menetap di Kampung Bojong Rawa Lele. Ia tidak hanya disegani oleh umat islam, melainkan juga para penganut agama lain dan juga termasuk para pedagang Tionghok yang melintasi kampung tersebut.
Sang Baba telah mewariskan Bhineka Tunggal Ika sebelum bangsa kita jauh meraih kemerdekaan dan di saat pendidikan masih sangat minim diterima oleh penduduk bangsa ini. Namun saat kini kenapa kembali muncul fanatisme berlebihan dalam beragama sehingga seringkali yang minoritas tertindas untuk melaksanakan keyakinannya dengan tenang. Marilah kita belajar dari Sang Baba ini.

Sabtu, 05 Oktober 2013

Darah, Perjuangan dan Cinta

Tubuhnya hampir saja runtuh. Berdiri berjam-jam sambil berorasi bersama rekan seperjuangan menuntut penolakan kehadiran salah satu menteri yang digadang-gadang akan menjadi salah satu capres di 2014 nanti meneruskan titah SBY. Pakaiannya basah dengan keritangat, mukanya musam tertimpa sinar mentari yang begitu menyengat. Semangatnya tak pernah luntur untuk berorasi.
Teman-teman seperjuangannya ikut hadir berdampingan bersama. Mereka menyusun barisan, membuat border. Takut bila nanti ada penyusup datang merusak konsentrasi dan tujuan dari aksi kali ini. Skema telah di buat malam sebelumnya. Bila sore telah menjelang, mereka yang sekitaran hanya dua puluhan orang akan menutup jalan depan kampus sebagai symbol bahwa mahasiswa yang mampu bersuara lantang melawan pemerintah kejam dan kebijakan kampus yang semakin ngawur. Ya, mereka akan terus bersuara.
Mereka bukan lagi mahasiswa semester awal. Kebanyakan dari mereka menunda untuk lulus, mencoba untuk terus mencari ilmu dengan berdiskusi dan membaca, melawan dan terus melawan.
Waktunya telah tiba, sore yang penuh dengan kemacetan di depan kampus, akan semakin macet dengan aksi berani mereka melawan penguasa. Saat konsentrasi kepolisian dan dibantu pihak keamanan kampus mencoba membubarkan pemblokiran jalan, ada diantara mereka dengan tim yang sudah siap mencoba menaikkan bendera Merah Putih setengah tiang di depan gedung rektorat. Lalu mereka unggah ke media social dengan judul “Kami Menolak Kehadiran Menteri Perdagangang Dengan Cara Menaikkan Bendera Setengah Tiang.” Selain itu tim lain pun ada yang sudah berhasil masuk kedalam ruang audit dimana akan diselanggarakannya seminar esok hari. Mereka menyembunyikan banner yang telah disiapkan untuk dibentangkan esok hari ketika Gita Wiryawan melakuakan ceramah.
Aksi mereka kali ini berjalan mulus. Skema yang telah disiapkan berhasil. Dan para pelaku aktivis dunia maya pun tercengang dengan aksi mereka menyebarkan foto tersebut sehingga menjadi trending topic di dunia maya. Mereka gagah dan berani sore ini.
Sesampainya di kamar kosan, ia langsung merebahkan diri di atas kasur. Sambil tersenyum manis atas keberhasilan kali ini, ia pun sudah membayangkan apa yang akan menjadi respon pihak rektorat. Dan dirinya pun telah memikirkan apakah ia akan langsung ditangkap esok hari ketika membentangkan banner yang telah siap di dalam auditorium.
Kawannya datang silih berganti dengan membawa pesan apa yang sedang terjadi di kampus. Pihak rektorat terlihat belum pada kembali ke rumah. Mereka sedang rapat membuat pernyataan resmi dari pihak kampus akan peristiwa sore ini. Dan rector pun memosting sikap resmi mereka atas kejadian sore ini melaului akun pribadinya. “Kami Mengutuk Apa Yang Dilakukan Oleh Mahasiswa Sore Ini. Namun Hal Ini Tidak Menyurutkan Niat Pak Menteri Untuk Hadir Di Sini Esok Hari.”
Akbar sungguh senang atas postingan dari sang rector tersebut. Berarti aksi selanjutnya akan tetap terjadi pada esok hari. Tentunya banyak yang mengecam dan ada juga yang mendukung. Malam telah larut. Teman-temannya pun sudah mulai meninggalkannya sendiri di dalam kosan. Kini tibalah ia menyapa sang gadis pujaan hati. Tidak jarang memang perempuan yang mau berhubungan dengannya. Mereka kebanyakan menganggapnya sebagai pria aneh. Di jaman seperti ini masih saja ada pria yang mencoba idealis dan terus melakukan aksi dengan mimpi terciptanya keadilan dan kemakmuran. Pria yang dianggap sebagai pemimpi di siang bolong.
Namun, ada seorang perempuan datang mengenalkan diri kepadanya. Ketika itu ia sedang membaca buku di perpustakaan, tiba-tiba ada yang menemuinya dan menyapanya. “Aku Dita, aku sering melihatmu berorasi di depan Fakultas Ekonomi. Sungguh kagum aku padamu. Boleh aku duduk di sini?” Pintanya sambil menunjuk ke bangku kosong tepat di sampingnya. “Silahkan.” Ucap Akbar kepadanya.
“Kamu semester berapa sekarang? Sungguh aku tak pernah melihatmu sebelumnya.”
“Baru semester tiga, aku kagum atas kegagahanmu memimpin kawan-kawan lainnya di baris perjuangan. Aku suka argumentasi cerdasmu, dan aku sering menanti kehadiranmu di saat aksi berlangsung.”
Mereka saling mengenalkan tentang kehidupan mereka satu sama lain. Dan beberapa waktu berselang mereka selalu bertemu untuk saling berdiskusi. Dan akhirnya mereka saling jatuh cinta pada jalan pikiran mereka satu sama lain.
Handphone nya bordering, ada telepon untuknya. Ya, Dita menghubunginya malam ini. Ia berpesan akan segera ke kosan Akbar setelah teman-temannya pulang. Dan Akbar mengabari bahwa teman-temannya telah pulang dan meninggalkan kosannya. Dengan membawa sebungks nasi padang, Dita datang menemui Akbar.
Waktu menunjukkan pukul sepuluh. Mereka telah berbicara cukup lama. Dan mereka saling memberikan ciuman tanda kasih mereka. Saling melumar bibir satu sama lain, mereka menghabiskan waktu malam itu. Seakan esok akan terjadi perpisahan yang cukup lama. Tanpa sadar kancing kemeja Dita telah lepas satu persatu. Mereka mencoba berbagi malam ini. Berbagi resah dan berbagi kasih.
Pukul sebelas Akbar mengantar Dita kembali ke kosan. Tak lupa Dita memberi semangat kepadanya akan aksi esok hari. Agar tetap focus dan semangat. Dan tentunya Dita menyakinkan akan mencintai Akbar selamanya.
Sepasang kasih ini memang cukup sederhana. Mereka disatukan akan satu hal yang sama, perubahan. Mereka mencoba bersatu bukan hanya untuk mencinta, melainkan juga untuk saling melengkapi demi menuntaskan tuntutan reformasi yang diwariskan oleh angkatan 98.
Ada pandangangan getir yang diberikan oleh Akbar malam ini. Seakan ia tak akan sanggup lagi menghadapi esok. Ada yang ia sembunyikan mala mini kepada Dita. Kabar tentang ia akan mendapatkan peringatan tegas dari kampus. Tepatnya ia akan di drop out sebagai mahasiswa. Perjalanannya akan segera punah esok hari. Namun, ia masih berkesempatan untuk tetap melakukan aksi esok hari. Meninggalkan setu pesan kepada mahasiswa lainnya, bahwa perjuangan harus terus dilakukan. Dita memeluknya, dan tetesan air mata turun dari matanya yang indah seakan ia merasakan duka yang sedang disembunyikan oleh Akbar.
Sudah sejak lama memang ia mendapatkan peringatan dari kampus. Keluar masuk rektorat entah untuk menuntut rector melakukan perubahan akan kebijakan-kebijakan mahasiswa, dan lebih sering lagi ia dipanggil karena dianggap melakukan tindakan ketidaknyamanan di dalam kampus. Ia tak pernah surut, sampai malam ini sekalipun. Yang ia takuti hanyalah Dita dan pihak keluarganya. Kalau ia sampai di do maka pihak keluarga Dita akan menganggap remeh masa depannya.
Ya dan ya, ia resah malam ini.
Namun, takdir berkata lain. Ia malam ini tertabrak mobil saat menyebaran jalan raya setelah mengantar kekasihnya ke kosan. Mobil yang sedari berangkat telah terparkir di pinggir jalan seakan menunggunya kembali. Darah malam itu bercucuran di jalan. Perpisahan akan dunia telah terjadi. Kawan-kawan aktivis lainnya memenuhi rumah sakit tempatnya di menghembuskan nafas terakhir. Dita, hanya diam di sudut kamar kosnya. Ia tak sanggup berkata, hanya airmata yang berirama mengalunkan nada perpisahan.
Kawasan kampus mencekam seketika malam ini. Mereka yang tidak berangkat mengawal perpisahan dengan sang orator melakukan aksi dengan membakar ban. Polisi mecoba membubarkan namun mereka lebih kuat. Kuat akan tekad untuk meruntuhkan kekuasaan rektorat yang di duga menjadi dalang atas kematian Akbar. Gas air mata di tembakkan, water canon disemprotkan ke arag barisan mahasiswa. Namun, mereka tetap berdiri tegap. Menentang dan melawan sekaligus mempersembahkan salam perpisahan kepada kawan kebanggaan mereka.
Akbar telah tiada, namun perlawanan harus terus dilakukan. Dan yang menjadi perhatian kawan-kawannya adalah pesan Akbar yang sebelum kejadian ia sebarkan kepada teman-temannya melalui pesan singkat.
“Mungkin nanti aku akan tiada, kalian harus tetap berada dalam barisan. Melawan dan memberontak atas kebijakan-kebijakan yang merugikan kita dan rakyat miskin. Kalian tetap harus berada di sana. Di depan garis perjuangan sampai darah memisahkan kita. Salam dari kawanmu yang lenyap.”

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae