Selasa, 24 Desember 2013

Ucapan Selamat Natal dalam Bernegara dan Berislam

Selamat hari Natal. Ucapan ini belakangan menjadikan masyarakat islam menuju pada sebuah titik paling membingungkan. Kita yang telah dari lahir menjadi manusia yang hidup dalam keanekaragaman manusia, dari berbeda suku, bahasa, budaya, adat dan bahkan agama kini harus menghadapi satu doktrin keagamaan yang tidak memberikan rasa aman. Tentunya sebelum agama islam datang ke nusantara, para leluhur kita telah lebih dulu hidup dalam rasa aman dan nyaman meski mereka hidup dalam keanekaragaman manusia.

Lalu kenapa kita meski gelisah dengan “Selamat Natal” sebuah kalimat singkat yang menunjukan rasa penghormatan terhadap umat beragama Kristiani. Belakangan ini memang sangat seksi sekali dalam kalangan umat Islam dan Kristen. Satu hal yang membuat ini semakin menjadi panas ialah adanya sebuah pelarangan dari sebagian tokoh/kelompok islam yang menyerukan ucapan tersebut bagi umat Muslim kepada umat kristiani. Keberagaman dalam beragama di bangsa ini sedikit menurunkan peforma positif dalam kerukunan umat beragama.

Lalu posisi apa yang harus diambil oleh kalangan umat islam yang moderat. Upaya kita harus teruslah berjuang jangan sampai terhenti oleh kuatnya kaum islam konservatif yang ingin merusak tatanan keberagaman dengan memanfaatkan otoritas keagamaannya.

Dalam Qur’an sendiri Surat Al-an’am ayat 108 yang artinya berbunyi “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempa kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan mereka apa yang telah mereka kerjakan.”

Ayat ini mengingatkan kita akan betapa pentingnya untuk menghormati agama lain dan juga para pemeluknya. Allah telah menuliskan secara tegas bahwa jika kita menghina apapun tentang keyakinan mereka, lalu mereka akan membalas hinaan kita melebihi batas pengetahuannya. Menghina keyakinan mereka bukan saja mengotori kesucian agama mereka saja, tapi juga mengotiri kesucian agama kita. Karena Allah telah memerintahkan kepada kita agar tidak mengejek keyakinan mereka. Bukankah jika kita melanggat ini berarti kita telah melanggar perintah-Nya.

Menjaga kerukunan umat beragama merupakan satu pondasi awal untuk mejaga kerukunan bangsa. Agama berbeda dengan pengetahuan, jikanya kalau agama dihina mereka (penganut agama) akan sangat cepat tumbuh emosinya. Ini merupakan tabiat manusia, siapapun itu kedudukan sosialnya dan tingkat pengetahuannya, karena agama bersemi di dalam hati penganutnya, sedangkan hati adalah sumber emosi. Berbeda dengan pengetahuan yang mengandalkan akal dan pikiran.
Sayyid Qutub menyatakan bahwa islam tidak hanya cukup memberikan kebebasan beragama kepada penganut agama lain, lalu mengucilkan mereka sehingga mereka merasa tertindas atau eksklusif di dalam masyarakat islam. Seharusnya masyarakat islam memberikan suasana partisipasi sosial, kelakuan yang baik dan pergaulan kepada mereka.

Sudah selayaknya kita memosisikan penganut agama-agama selain islam mendapatkan tempat yang sama seperti agama kita. Tempat-tempat ibadah mereka dan simbol-simbol agama yang mereka sakralkan juga harus mendapatkan peghormatan. Toleransi beragama akan terwujud dalam kehidupan bermasyarakat manakala ada saling menghormati khususnya terhadap keyakinan agama masing-masing. Inilah yang harus kita jaga dan lestarikan.

Agama Dan Negara Jangan Saling Memasuki

Perdebatan ini saya kira akan terus hidup. Selalu bersebrangan. Selalu menimbulkan polemik. Dan akan selalu menjadi perbincangan publik. Ada yang setuju dan ada juga yang kontra. Tak pernah lelah. Dan tak pernah berakhir. Antara hubungan Negara dan agama. Dan semoga dari perbedaan pendapat ini tidak menimbulkan perpecahan dan konflik fisik. Karena pendapat hanyalah sebuah cara kita menuju sebuah kebenaran.

Indonesia yang kini penduduk muslimnya menjadi penduduk beragama mayoritas di negeri ini menjadi sebuah kebenaran tersendiri. Menjadi mayoritas bagi mereka tidak cukup, harus ada sebuah penegasan yang lebih. Yang mampu memberikan sebuah representasi yang lebih nyata bagi keberadaan mereka. Yang mampu menjadi adikuasa. Maka, tidak jarang kita melihat berbagai upaya dari kalangan umat islam untuk menjadikan Negara ini sebagai Negara islam. Usaha tersebut ada yang dilakukan baik melalui secara terang-terangan maupun diam-diam. Ada yang secara langsung dan ada juga yang “pura-pura” sangat mendukung demokrasi, namun dibalik itu memiliki misi “tertentu.”

Bahkan runtuhnya Orde Baru juga begitu dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok ataupun individu yang memiliki kepentingan seperti di atas tadi. Angin segar reformasi begitu membawa tipu daya. Mereka-mereka yang awalnya begitu membenci, mencurigai dan menyalahkan Negara sebagai penyebab dari bebrbagai penderitaan rakyat kini setelahnya mereka mencoba masuk ke dalam wilayah Negara. Apapun itu caranya, lewat Ormas maupun Partai Politik. Mereka mencoba memanfaatkan reformasi ini sebagai wadah untuk mewujudkan tujaun mereka. Syariat islam dalam Indonesia.

Tidak hanya itu bahkan setelah terlaksananya Otonomi Daerah banyak daerah-daerah yang mencoba menjadi musuh dalam selimut bagi demokrasi. Lihat di Aceh, mereka sudah mulai mencoba syariat islam sebagai hukum utamanya ketimbang memakai hukum nasional. Dan ada lagi cara-cara yang terselubung. Ormas islam, lembaga pendidikan islam, bahkan tokoh-tokoh islam yang memiliki sebuah otoritas dalam masyarakat mencoba merayu para calon pemimpin daerah melalui mekanisme Pilkada dan Pilgub mereka menjanjikan sebuah dukungan. Namun, dibalik dukungan tersebut mereka mencoba untuk mengajak calon-calon kepala daerah untuk menerapkan syariat islam jika ia menang nanti. Tentu atas dukungan yang mereka berikan.

Ciri-ciri dari bentuk di atas adalah menandakan sebuah bentuk dalam demokrasi, yakni “democrat islamis.” Democrat islamis ialah mereka yang menjalankan demokrasi hanya sebatas pemilihan saja, namun dibalik itu semua mereka masih menegaskan untuk mendirikan syariat islam dan agenda-agenda islam lainnya. Jauh kebelakang, sebelumnya para Wali pun sering terlibat akan hal ini. Mereka mendekati raja bukan sebatas sebagai penasihat saja. Mereka ada juga yang mempengaruhi Raja untuk menetapkan satu hukum islam dalam peraturan kekuasaan mereka.

Saat ini ada MUI sebuah lembaga independen yang dibiayai oleh Negara. MUI kerap kali membuat kebijakan-kebijakan yang controversial yang dianggap berbagai kalangan dapat membuat wacana “Bhineka Tunggal Ika” menjadi pudar. Yang saat ini sibuk diperbincangkan adalah pelarangan bagi umat islam untuk mengucapkan selamat natal kepada umat kristiani. Islam tampak begitu tak bersahabat bagi umat lainnya. Kenapa harus diharamkan, bukan dengan “umat islam dianjurkan ikut menjaga kedamaian pada perayaan natal nanti.” Tentu ini akan lebih bersahabat. Seperti leluhur kita dahulu, yang sebelum islam datang umat Budha dan Hindu saling hidup berdampingan. Beragam berarti beragam, bukan harus menjadi seragam. Itu yang sering dilupakan.

Dan untuk saat ini persoalan masyarakat semakin meluas. Islam selalu akan bersinggungan dengan agama, adat dan budaya lain. Perubahan baru melahirkan pendapat baru. Pendapat yang mampu untuk keselamatan dan kemaslahatan seluruh umat manusia. Ada pendapat yang malah menimbulkan kesulitan untuk umat lainnya. Pendapat yang mampu membawa keselamatan, kemaslahatan, kenyamanan dan kedamaian untuk umat islam dan umat lainnya itulah pendapat yang dibutuhkan. Tentu kita mengingat satu hadis nabi, “berikan kemudahn, dan jangan menyulitkan orang.”

Dalam sebuah tulisan lama saya, sungguh berbahaya jika syariat islam mau dikehendaki. Ini akan mengganggu kepribadian umat islam itu sendiri. Bagaimanapun, umat islam baik mayoritas maupun minoritas dalam menjalankan syariat islam harus berangkat dari tuntutan kewajiban beragama bukan karena adanya tuntutan dari pemerintah/pemimpin. Hal ini akan terwujud apabila pemerintah/pemimpin bersikap netral terhadap semua doktrin/mahdzab keagamaan dan tidak memksakan mereka untuk melaksanakan perintah agama sesuai dengan kehendak pemerintah/pemimpin. Baiknya pemerintah tidak menggunakan kekuasaan Negara untuk memaksakan pemahaman mereka tentang syariat kepada masyarakat secara keseluruhan, baik muslim maupun non muslim.

Selain itu yang perlu kita ajukan sebagai perntanyaan adalah, bagaimana syariah islam yang diajukan oleh kelompok tersebut untuk berdiri di Indonesia mengingat kompleksitas dalam syaraih islam itu sendiri. Kita mengenal madzhab syafii, maliki, hambali dan hanafi yang saling berbeda dalam menjalankan syariat islam itu sendiri. Belum lagi perbedaan yang mencolok antara sunni dan syiah. Apakah Negara nantinya akan mampu bersikap netral terhadap kompleksitas perbedaan tersebut? Atau Negara nantinya akan memaksakan satu madhzab saja kepada rakyat dan harus melepaskan keyakinan mereka yang telah mendarah daging. Jika memang harus memaksakan satu madzhab saja berarti syariat islam itu sendiri telah melanggar satu prinsip islam yakni, agar tidak memaksa orang lain dalam menjalankan keyakinannya. Mengingat di Indonesia ada dua kutub besar yang berbeda diantara umat islamnya, yakni golongan Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah. Yang diantara mereka saling berbeda dalam merepresentasikan ke islamannya. Belum lagi di sini ada kelompok syiah yang baru berkembang, namun mendapatkan perlakuan yang tidak sehat dari kelompok lainnya. Apakah syariat yang diajukan mampu bersikap netral nantinya terhadap perbedaan ini.

Menurut Abdullahi Ahmed An-Na’im syariat akan terus memainkan peran penting dalam membentuk dan mengembangkan norma-norma dan nilai-nilai etika yang dapat direfleksikan dalam perundang-undangan dan kebijakan publik melalui proses politik yang demokrastis. Namun, prinsip-prinsip atau aturan-aturan syariah tidak dapat diberlakukan dan diterapkan secara formal oleh Negara sebagai hukum dan kebijakan publik hanya karena alasan bahwa prinsip-prinsip dan aturan-aturan itu merupakan bagian dari syariat.

Semoga kedepannya nanti kita dapat mewujudkan Indonesia yang bebas dan netral dari satu kepentingan umat beragama tertentu. Lebih Indonesia yang beragama namun beragam dan aman.

Selasa, 17 Desember 2013

Kontestasi Perempuan Dalam Panggung Politik

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kian menyebar ke seluruh pelosok dunia. Mengatarkan manusia pada pintu gerbang peradaban baru, yang lebih toleran dan santun. Dengan pengetahuan, kemajuan teknologi dapat memudahkan kehidupan manusia. Dan dengan teknologi, dapat memudahkan manusia untuk memperoleh pengetahuan. Inilah dunia baru, yang jauh lebih modern dari tahun-tahun silam.

Begitupun di Indonesia. Efek dari majunya perkembangan ilmu pengetahuan mampu membawa perubahan yang drastic pada pola kehidupan bernegara. Dan puncaknya adalah runtuhnya rejim Orde Baru pada tahun 1998 yang mengakhiri kekuasaan kejam dan otoriter penguasa masa lampau selama 32 tahun. Ini adalah salah satu dari pesatnya ilmu pengetahuan dalam bidang politik terutama demokrasi.

Namun di sini kita tak akan terlalu jauh membahas demokrasi. Efek dari semakin berkembangnya pengetahuan dan teknologi selain itu ialah gerakan feminis di Indonesia. Perempuan sudah seharusnya keluar dari kurungan yang selama ini menutup gerakan mereka. Agama, budaya, keluarga, semuanya harus dihilangkan. Karena itu semua dianggap membuat perempuan semakin terbelakang. Yang paling populer adalah istilah budaya dari Portugal yang kini sedang bergeliat, ladies first. Kerap kali baik perempuan maupun laki-laki selalu mengucapkan ini jika hendak melakukan sesuatu. Hendak memberikan kesempatan terlebih dahulu pada kaum perempuan. Dan perempuan ingin meneguhkan dirinya bahwa mereka bisa tanpa harus terlebih dahulu melihat laki-laki melakukannya.

Tidak heran dari gejala feminis ini, sekarang banyak sekali perempuan yang bekerja di luar rumah. Perempuan bukan lagi kaum yang tertinggal yang hanya mampu mengurusi urusan rumah. Dari segala jenis pekerjaan, perempuan kini telah mendapati porsinya yang penuh. Inilah kebangkitan perempuan?

Leila S. Chudori dalam “dunia tanpa koma” nya pernah menganggap hal ini masih sebagai sebuah intimidasi terhadap perempuan. Karena menganggap perempuan hanya diberikan peluang yang sama dengan laki-laki namun belum memiliki apresiasi yang setara. Perempuan dipaksa kerja sesuai dengan jam lelaki, namun tidak mendapatkan tunjangan yang sama juga. Belakangan ini masih sering terjadi di beberapa perusahaan. Perempuan tidak mendapatkan hak yang sama dengan lelaki.

Lebih jauh lagi kita harus melihat, industry yang kian gencar masuk ke daerah-daerah membuat para perempuan semakin terjepit. Lahan yang mereka jual tak sesuai dengan harga aslinya. Bahkan lahan mereka kerap kali diambil alih oleh perusahaan yang dimandatkan oleh pengadilan negeri. Ini membuat masyarakat kehilangan ekonomi strategisnya. Macam bertani dan lain-lain, karena lahannya telah diambil alih. Alih-alih untuk terus mencoba bertahan hidup, kini banyak perempuan yang menjadi budak di kampungnya sendiri. Mereka di eksploitasi. Setelah kaum lelaki gagal mempertahankan pendapatan mereka untuk bertahan hidup setelah lahannya diambil alih, kini perempuan dimingi pekerjaan dengan syarat pendidikan yang rendah dan tentunya dengan pendapatan yang rendah pula. Perempuan kembali menjadi bahan eksploitasi namun kini modernitaslah yang mengeksploitasi mereka.

Kini kita kembali pada perempuan kota. Sebelum terjebak lebih jauh dari permasalahan perempuan di daerah-daerah.
Jatuhnya rejim Orde Baru membuat angin reformasi begitu kencang sehinggga bagi mereka yang berada di jamannya menjadi terlena. Mereka-mereka yang sebelumnya membenci dan memusuhi Negara karena dianggap terlalu otoriter dan gagal mensejahterakan rakyat mencoba berebut masuk ke dalam kuasa Negara. Termasuk kaum feminis modern. Mereka mencoba masuk ke dalam kuasa Negara untuk menciptakan keadilan bagi kaumnya.

Di kota, kontestasi politik kaum perempuan sedang diperjuangkan. Kuota 30% dari semua caleg yang ada wajib dipenuhi oleh semua partai peserta pemilu. Ini menjadi satu daya tarik yang luar biasa dari kebangkitan kaum perempuan. Dengan memodifikasi gerakan kaum feminis dunia pertama, kaum feminis di negeri kita memperjuangkan hal yang sama. Kontestasi di dunia politik. Mereka menganggap semua hal yang menimpa penderitaan kaum perempuan sama, terlepas dari adat, budaya dan agamanya.

Mendobrak pintu parlemen untuk menempatkan kaum perempuan di sana adalah hal yang terburu-buru. Yang menjadi persoalan penindasan perempuan adalah masalah lemahnya hukum, bukan lemahnya Negara. Jadi tidak perlu perempuan duduk menjadi bagian dari Negara. Ditakutkan nanti malah membuat Negara semakin represif terhadap kaum perempuan dengan segala bandul hukumnya yang baru.

Banyaknya perempuan yang menjadi pejabat publik tak pelak menciptakan suatu tatanan perempuan yang bebas dari tekanan pihak luar. Bahkan malah menjadi sebuah bom waktu yang malah akan menyudutkan perempuan itu sendiri.

Kini kita malah sering mendengar perempuan terlibat dalam kejahatan korupsi. Sri Mulyani yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Keuangan dengan kewenangannya diduga terlibat dalam penyelewengan dana bail out Bank Century sebesar 6,7 T. Angelina Sondakh mantan Wasekjen Partai Demokrat dihukum 12 tahun penjara karena menerima suap pengurusan anggaran di Kemenpora dan Kemendikbud dengan nilai 39,9 M. Wa Ode Nurhayati mantan anggota DPR RI dari Fraksi PAN dihukum 6 tahun penjara karena menerima suap 6,25 M dan pencucian uang sebesar 50,5 M. Adalagi Hartati Murdaya Po mantan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat dihukum 2 tahun 8 bulan karena melakukan suap terkait perizinan kebun sawit senilai 3 M. Dan yang saat ini terjadi adalah Ratu Atut Gubernur Banten menjadi tersangkan atas kasus penggelapan dana peralatan alkes daerah Banten. Ini adalah sebagian kecil yang dari sekian lagi para perempuan yang menjadi pejabat publik terlibat kasus korupsi atau suap. Mereka semua adalah perempuan yang “katanya” sedang melawan tirani Negara, budaya, agama dan kaum lelaki. Namun mereka pun terjebak atas kesalahan yang dilakukan oleh kaum lelaki. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah mereka melakukan itu semua karena untuk memenuhi hasratnya atau malah dimanfaatkan oleh oligarki elit partai politik. Dan dari ini semua tentunya akan memberikan penilaian bahwa perempuan belum mampu menjadi alternative untuk melakukan perbaikan bangsa dari segala permasalahannya.

Gayatri Spivak telah memperingatkan kaum feminis Negara maju agar tidak selalu merasa istimewa di hadapan para perempuan dunia ketiga. Yang menuju pada gerakan perempuan dunia ketiga haruslah seperti mereka, yang dijadikan identitas standar bagi perempuan dunia ketiga.

Identitas perempuan dunia ketiga adalah identitas yang cai. Menjadi perempuan adalah menjadi perempuan dengan segenap komponen identitas lainnya yakni agama, budaya, gender, etnik, ras, dan kelas. Identitas perempuan dunia ketiga adalah upaya untuk mendefinisikan dan mendefinisikan kembali kehidupan mereka di tepi kekuasaan Negara.
Ahmad Baso dalam tulisan “Ke Arah Feminisme Postradisional” menjelaskan bahwa seharusnya gerakan perempuan dunia ketiga bahwa gerakan feminis bukanlah tradisi kesarjanaan yang bebas nilai, melainkan tradisi yang punya komitmen begi rekonstruksi social dengan melibatkan diri dalam kritik politik. Dan bertujuan untuk memahami dan megubah struktur dominasi di mana-mana. Tujuan tetapnya adalah menungkapkan hubungan kekuasaan atau relasi-relasi kuasa dan mengkaji bagaimana hubungan tersebut mempengaruhi dan membentuk praktik kebudayaan. Kita juga harus ingat, postradisionalisme bukan hanya mengkaji kebudayaan, seakan ia terpisah dan tersendiri dari konteks social dan politik seperti anggapan kaum modernism. Tujuannya adalah memahami budaya dalam segala bentuk kompleksitasnya dan menganalisa konteks social dan politik tempat budaya mengejewantahkan dirinya.

Maka, identitas perempuan dunia ketiga adalah berupaya mengangkat hal-hal yang selama ini dianggap tradisional dan lokal sebagai arena kontestasi mereka dalam melakukan perubahan. Selama ini, gerakan feminis hanya dianggap dengan dilakukannnya perempuan melakukan kegiatan-kegiatan yang dianggap modern seperti apa yang ditularkan kaum perempuan dunia pertama sehingga menjadi fokus utama gerakan feminis kita. Sehingga kaum feminis menganggap beberapa bagian penting dari budaya perempuan negeri ini yang sebenarnya mampu membawa dampak baik bagi terlaksananya perubahan.
Saya kira, menjadi isteri yang baik merupakan sebuah gerakan feminis juga. Meski ia harus tetap sabar menemani suaminya terus-terusan dalam rumah tanpa harus keluar lebih jauh dari wilayah keluarga. Kita melihat Ibu Ani Yudhoyono sebagai ibu Negara yang amat modernis. Namun, ia gagal mengurangi angka korupsi dalam jajaran Partai politiknya maupun jajaran kementerian. Seharusnya dengan menjadi ibu Negara ia mampu memberi pengaruh yang signifikan dengan memberikan wacana-wacana bagi para ibu pejabat lainnya agar tidak tergiur untuk melakukan korupsi. Entah dengan wacana keagamaan ataupun wacana kebangsaan. Sehingga menciptakan sebuah pemerintahan dalam lingkungannya berkurang angka korupsinya. Tanpa harus selalu mengikuti suaminya pergi dinas kemana saja.

Lemahnya pengawasan hukum kita membuat siapapun mudah melakukan tindak korupsi. Namun jika disamping kita ada isteri yang selalu mengingatkan, kiranya hati tak akan berkenan melakukan tindak korupsi. Inilah yang sering diabaikan dan dianggap kolot oleh sebagian kaum perempuan saat ini. Namun padahal ini juga gerakan feminis disaat Negara abai terhadap para pelaku korupsi.

Inilah sisi yang kini dianggap kolot oleh sebagian perempuan namun sebenarnya mampu mampu membawa dampak positif terhadap perubahan. Tulisan ini bukan untuk mengembalikan perempuan pada keterbelakangan, namun hanya mengajak sebuah peluang yang kosong yang sering menjadi lubang bagi rubuhnya pembangunan bangsa kita.

Langit Harapan Jakarta

Asap rokoknya mengepul begitu pekat. Dihembuskannya dengan penuh gairah. Seakan menegaskan dirinya sebagai perokok yang berpengalaman. Yang sudah kebal dari segala efek negative yang akan menimpa dirinya dari rokok-rokok yang ia bakar setiap harinya.

Di sekitarnya lalu lalang kendaraan berlewatan tanpa pamrih. Berisik. Kotor. Bau. Dan sebagainya lagi. Mereka saling menyalip tanpa peduli keselamatan. Mereka saling mencerca ketika hendak bersenggolan. Tak ada senyum di jalanan. Yang ada predator. Yang akan memangsa mereka yang lemah.

Usianya kira-kira 40 tahunan. Di atas trotoar dia berhenti sejenaka. Sekedar untuk mengepulkan asap rokok. Bukan untuk minum atau makan siang. Inilah sebagian hidup rakyat kecil di Ibukota. Rokok menjadi pengganti ketika lapar dan haus tiba.

“Apa kau lihat-lihat! Aku bukan pengemis. Jangan kau taruh pamrih pada diriku. Ambil kembali ini uangmu.” Keras suaranya, mengarah kepada seorang Ibu yang memang agak sinis kepadanya namun masih memberikan belas peduli. Memberikannya uang sambil dijatuhkan dihadapannya.

Dia marah sekali ketika dirinya dianggap pengemis. Mungkin baginya pengemis adalah pekerjaan nista. Yang haram dilakukan. Bukan karena ia mengertia agama yang dalam. Namun karena ia paham arti kehidupan ini dari jalanan. Lebih baik lapar ketimbang mengemis. Atau bahkan lebih baik mencuri. Mungkin. Mungkin saja ada dalam dirinya.

Lalu ia melihat kanan kiri. Sekitarnya penuh dengan pedagang kaki lima. Menawarkan barang dagangannya. Boneka, kemeja, celana, dan macam-macam pakaian lainnya. Tentu semuanya adalah barang bekas atau barang yang sudah tak laku dipasaran.

Di lampu merah banyak anak-anak sedang berlarian. Keluar masuk bus kota atau angkutan umum. Mereka menjajakan suaranya. Tentu saja suara yang parau yang tak enak di dengar. Suara penuh harapan untuk meminta kasih. Untuk sesuap nasi. Terkadang diawali dengan ucapan yang memelas. Atau bahkan dengan “Daripada tangan kami yang panjang, lebih baik suara kami yang panjang. Untuk memperpanjang kehidupan kami.”

Pedagang asongan tak mau kalah. Ia sibuk menawarkan dagangannya dari satu mobil ke mobil yang lain. “Aqua, aqua, aqua,” padahal tak ada satupun merk Aqua dalam dagangannya. Nampaknya Aqua sudah menjadi pandangan mereka ketika menjual minuman mineral yang sekalipun merknya bukan Aqua sendiri.

Suara klakson mulai berbunyi. Saling bersahut-sahutan. Menandakan lampu hijau akan segera menyala. Para pengamen, anak jalanan dan pedagang berlarian ke pinggir jalan. Kini saatnya mereka mempersilakan harapan-harapan mereka pergi. Sembari bersiap-siap menanti rejeki kedatangan rejeki titipan dari Tuhan yang ada pada pengendara selanjutnya, yang terjebak lampu merah.

Bapak separuh tua tadi rupanya sudah tak di tempat semulanya. Rokoknya sudah habis. Puntungnya ia masukan ke dalam bungkus rokoknya. Entah apa maksudnya.

“Jangan kau gunakan jalan juga untuk berjualan. Rakus sekali kamu! Bereskan lapakmu. Cukup trotoar saja yang kita gunakan untuk menyambung hidup. Cukup kejujuran saja yang menemani kemiskinan kita. Jangan kau tambah dengan kerakusan. Mengerti tidak.” Keras suaranya membentak pedagang yang lapaknya memasuki badan jalan. Pedagang tersebut hanya diam menunduk sambil menuruti perintah orang tua tersebut. Penuh kharisma sekali.

Barulah anak-anak sadar akan kehadirannya. Mereka menyalaminya satu persatu. Lalu berangkat menuju kesepian. Ke sebuah tempat. Anak-anak tampak riang dalam perjalanan. Bergantian bergandengan tangan dengan bapak tersebut. Ada rasa aman dan nyaman yang dirasakan mereka. Setelah seharian mengadu nasib di jalanan.

Rumah singgah itu kecil. Seperti kontrakan. Berada dalam sebuah perkampungan namun lokasinya menyendiri. Jauh dari sekitar rumah para tetangga. Mereka masukkan rejeki mereka dalam satu kotak lumayan besar. Lalu bergantian membersihkan badan. Duduk manis di ruangan tengah tanpa di instruksikan. Makanan dibagikan dengan tertib. Lalu mereka tampil satu persatu. Menyampaikan diri mereka. Entah lewat tulisan, nyanyian, atau puisi. Sebuah kewajiban. Sebelum nisan menggantikan insan mereka.

Bapak itu membimbing mereka. Memberikan ajaran yang tepat. Tentang agama maupun ajaran formal. Mengenalkan baca tulis. Tanpa pamrih. Memimpin mereka untuk mengumpulkan uang bersama. Untuk digunakan sewaktu-waktu apabila nanti ada musibah yang menimpa. Anak-anak tersebut kini menemukan orang tua baru mereka. Orang tua yang hadir di saat dunia hampir saja punah dari kebahagiaan.

Tangan Tuhan telah sampai kepada mereka. Bahagia itu kini nyata meski sederhana. Dalam kebersamaan orang senasib. Penuh kasih. Penuh senyum.

Semakin malam semakin ramai rumah singgah tersebut. Banyak juga pedagang asongan yang ikut hadir di sana. Mereka tidak hanya meneduh kan tubuh, tapi juga meneduhkan jiwa dari kerasnya kehidupan jalanan. Nasihat-nasihat dari bapak tersebut mampu membuat mereka bertahan. Satu pesan yang paling mujarab adalah “biarlah kejujuran menemani kemiskinan kita.” Sederhana namun penuh makna.

Kerasnya Jakarta mampu di lunakkan dengan pikiran dan pengorbanan seorang bapak setengah tua tersebut. Mereka yang bertarung di jalan kini memiliki pelabuhan baru untuk meneduhkan jiwa. Bukan dari seorang berpendidikan tinggi. Bukan dari seorang beramalan agama yang melimpah. Bukan juga dari seorang yang tubuhnya dipenuhi symbol agama. Tapi dari seorang yang peduli dan mau berbagi.

Senin, 09 Desember 2013

Hiduplah Indonesia Raya

Udara panas kali ini menyelimuti sebagian kota Jakarta. Cucuran keringat begitu deras pada setiap orang yang berada di luar ruangan. Suara bising kendaraan dan polusinya menambah penderitaan baginya. Sementara angin tak kunjung menghembuskan udara segarnya. Tersapu bersih dengan debu. Entah kenapa bisa. Biasanya debulah yang tersapu bersih oleh angin. Namun itulah Jakarta, semuanya serba bisa.

Alat-alat berat itu berjejer dengan rapi. Berada dalam masing-masing barisan dalam tugasnya. Lalu lalang lelaki berpakaian safety lalu lalang sekitarnya. Mandor dengan serius mengamati pekerjaan mereka. Fokus menjalankan target pembangunan gedung pencakar langit ini. Calon gedung tersebut akan segera berdampingan dengan gedung-gedung lain yang telah kokoh terbangun di Ibu Kota.

Antrian panjang warteg sekitar proyek penuh sesak. Asap rokok mengepul dengan lebat. Kipas angin tak mampu meringankan suhu panas tubuh mereka. Si Mbok dengan sigap melayani para kuli bangunan tersebut. “Orek sama dadar ditambah sambel Mbok, minumnya es teh manis.” Tukas seorang kuli tersebut, memesan santapan siangnya. Yang lain berteriak setengah mengeluh, “Mbok mana minum ku, kok belum juga sampai. Haus nih.” Si Mbok sambil melayani yang lain segera meneriakkan anaknya yang di dapur, “Nduk mana minumnya, lebih cepat lagi ya.”

“Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Muchtar yang semalam tertangkap tangan KPK, hari ini kembali menjalani pemeriksaan. Setelah menjalani pemeriksaan, Akil Muchtar bersama pengacaranya keluar ruangan KPK dengan wajah murung. Beliau tak memberikan komentar apapun mendengar pertanyaan wartawan yang berderat, begitupun dengan pengacaranya.” Berita tersebut menemani para kuli tersebut. Mendengar hal seperti itu, mereka menganggapnya sebagai hal wajar.

“Ah kok masih saja menyetel berita Si Mbok. Ini mah sampah semua isinya.” Dengan sinis salah satu kuli mencemooh berita tersebut.
“Mau korupsi miliyaran pun gak ngaruh sama kita.” Timpal yang lain.
“Udah biasa hidup susah dan makan apa adanya. Katanya Negara kita miskin tapi rakyatnya kuat semua menghadapinya.”
“Pejabat ngehe. Korupsi di gedein, isteri di banyakin. Janji dilupain. Asu tenan mereka.”
“Pemilu nanti kita Golput saja. Jangan ada yang milih. Demokrasi gak ngaruh buat kehidupan kita semua.”
“Betuuuullll.” Teriak semua kuli dalam Warteg tersebut. Muak mereka dengan para pejabat. Sudah jam satu tepat. Mereka segera kembali bekerja. Bergelut dengan waktu.

Jakarta masih saja panas. Namun penyejuk AC mampu membuat beban tersebut berkurang. Ruangannya memang tak terlalu mewah. Dan macam-macam makanannya pun tak begitu selangit harganya. Jejeran meja tersusun rapih. Banyak mahasiswa yang menghabiskan waktu makan siangnya di sini. Kampusnya memang sengaja membangun sebuah kantin agar mahasiswa tidak keluar area kampus apabila ingin istirahat. Lebih efisien. Seperti itulah alasan pihak kampus apabila mereka ditanyakan “mengapa lebih memilih membangun kantin, ketimbang menambah koleksi buku-buku baru di Perpustakaan?”
Tak berbeda dengan Warteg, dalam kantin tersebutpun di pasang televisi. Namun lebih besar ukurannya. Dan tempatnya pun lebih nyaman.

“Menteri ESDM Jero Wacik akan segera di panggil KPK sebagai saksi atas kasus suap yang melibatkan Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini. Begitulah penjelasan Abraham Samad ketika ditanya Wartawan ketika menghadiri sebuah seminar korupsi di salah satu kampus di Jawa Tengah.” Begitu suara yang keluar dari tayangan televisi yang menggantung di tengan ruangan. Semuanya acuh. Kasian tv tersebut.

“Gimana bro, kapan kita futsal lagi?” Ucap salah satu mahasiswa di sela-sela dirinya menyuap santapan makan siangnya. Yang lain membalas, “Jangan futsal mulu lah. Kita kemana gitu. Akhir pekan ini kan libur panjang. Bagaimana kita pergi ke Puncak. Menghilangkan penat kuliah.” Lalu serentak dalam meja tersebut menyetujuinya.

Keadaan negeri tidak digubris sama sekali oleh para mahasiswa yang ada di dalam ke kantin tersebut. Berita korupsi yang melibatkan sekaliber Menteri tidak dihiraukan dengan mudah oleh mereka. Mahasiswa yang menjadi perpanjangan rakyat sebagi pembela kepentingannya sudah mulai tergerus dengan jaman. Mungkin masih ada juga yang peduli akan perkembangan negeri dan bertekad memperbaikinya. Patut di sukuri. Dan mencari hiburan pun tak ada masalahnya. Yang menjadi masalah seberapa besar kebutuhan tersebut. Apakah itu menjadi obat atau malah menjadi racun bagi dirinya dan masa depan bangsanya.

Seragamnya basah dengan keringat. Ibunya baru saja selesai menyiapkan makan siang. Walau dengan lauk yang sederhana. Tempe goreng dan tumis kangkung. Sedagkan adiknya masih tertidur pulas setelah sejam yang lalu menghisap asi dari sang ibu.

“Bapak belum pulang Bu?” Anaknya bertanya. Sebelum sang Ibu menjawab, terdengarlah suara salam dari luar rumah. Tanda Bapaknya telah sampai rumah. Sang Ibu lalu dengan sigap menyiapkan makan siang di ruang tamu, kecil dan sederhana. Panas menembus dari atap rumahnya. Dan jikalau hujan, airpun ikut menembusnya.
Beberapa saat kemuadian semuanya telah siap makan. Bapaknya telah selelsai membersihkan tubuhnya. Dan tugas Sang Ibu menyiapkan makanan telah selesai. Dengan ucapan sukur dari kepala keluarga tersebut. Lalu mereka satu persatu mulai menyendok makan siang mereka.

“Hari ini sebagian besar Dokter melakukan aksi solidaritas yang menimpa rekan mereka dokter Ayu. Mereka menolak kriminalisasi dokter, seperti yang menimpa dokter Ayu. Dalam waktu bersamaan banyak pasien yang terlantar. Bahkan dilaporkan dari Kota Bogor ada pasien DBD meninggal karena terabaikan oleh aksi solidaritas tersebut. Banyak yang menyesali aksi tersebut. Termasuk para elit politik.” Dalam keheningan santapan makan siang keluarga tersebut, berita dari Radio yang menyala terdengar oleh mereka. Tak ada televisi memang. Mereka keluarga sederhana namun memiliki anak yang cerdas dan kemauan yang kuat untuk belajar. Tak heran selalu menjadi juara terbaik di kelasnya. Namun, anak mereka entah kenapa menangis saat mendengar berita tersebut.

“Aku akan menjadi dokter. Dan tak akan mengabaikan orang-orang yang membutuhkan pertolongan, baik si miskin seperti kita maupun para orang kaya yang sombong itu.” Air matanya tak kunjung reda. Karena banyak dari korban aksi solidaritas tersebut yang berasal dari kaum miskin. Mereka harus menahan sakit karena ke egoan dokter.

Setelah emosinya tertahan dan air matanya tak lagi jatuh anak tersebut menghadap tembok yang dibelakangi sebelumnya. Di sana tergantung foto Bung Karno. Dan dalam hatinya berkata. “Perjuangan belum berakhir. Rakyat miskin masih menderita, kenapa anda telah meninggalkan kami semua. Dan ada saatnya bagi aku nanti menjadi seperti anda. Pembela kaum miskin.” Setelahnya diakhiri dengan kalimat “Hiduplah Indonesia Raya.”

Berbagai belahan dan lapisan. Entahlah, semoga Indonesia Raya tak pernah tertunduk dan redup saat dikumandangkan rakyatnya nanti. Karena masih ada mimpi bagi orang yang memiliki ketulusan, kemauan dan ulet untuk memperjuangkan Indonesia.


Sabtu, 07 Desember 2013

Politik dan Media

Pertarungan kepentingan. Jika dahulu pemilik media merupakan kerabat dekat penguasa, kini media berada dalam satu genggaman satu orang sekaligus (penguasa, pengusaha, dan pemilik media).

Pada tanggal 3 Desember 2013 Transparency International (TI) kembali meluncurkan Corruption Perception Index (CPI) sebuah indeks terhadap persepsi publik mengenani korupsi secara global. Dan pada tahun ini, perespsi korupsi Indonesia pada tahun ini masih lebih buruk dari Negara-negara di Afrika. Imdonesia berada dalam peringkat 114 dari 177 negara. Bahkan tingkat korupsi di Indonesia masih kalah dengan Negara miskin seperti Ethiopia dan Tanzania.

Setiap hari kita kerpa kali melihat keluar masuknya pejabat publik ke gedung KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Dari mulai pejabat legislative, eksekutif bahkan sampai yudikatif. Bahkam sampai pejbata tinggi penjaga konstitusi Negara pun ikut berpartisipasi dalam kegiatan korupsi. Di lain pihak, pejabat daerah tak mau ketinggalan. Mereka banyak juga menyumbangkan para wakilnya untuk segera masuk bui karena terlibat korupsi.

Kini siapa tidak kenal dengan nama Akil Muchtar. Sebelumnya mungkin warga menengah ke bawah tidak terlalu mengenal beliau. Namanya mencuat ketika tertangkap tangan oleh KPK dalam sebuah kasus suap. Dirinya adalah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi kala itu. Lalu masyarakat tercengan. Siapa lagi yang masih bisa diharapkan oleh negeri ini untuk menuju sebuah perubahan yang lebih baik.

Media massa terutama televisi tiada henti-hentinya menayangkan kasus-kasus korupsi di negeri ini. Setiap hari bahkan hampir setiap jam, mereka melakukan pemberitaan mengenai korupsi. Kini rakyat sudah mulai resah, mereka sedikit apatis terhadap politik terlebih untuk menjalankan hak dan kewajibannya, terlibat dalam pemilahan umum. Kini masyarakat kita sudah tidak percaya lagi kepada pemerintah, angka Golput (Golongan Putih) semakin hari semakin meningkat. Karena yang mereka setiap harinya dari layar televisi adalah perbuatan Korupsi pejabat pusat maupun daerah.

Lalu bagaimana agar masyarakat kita tidak jauh terjebak dalam ketidakpercayaan mereka terhadap pemimpin? Ini menjadi tugas kita bersama. Dan dalam tulisan ini, media massa dan terutama televisi menjadi alat utama sebagai penguat atau sebagai musuh utama untuk membawa khalayak lebih dekat kepada politik. Karena, mereka sangat memiliki kedekatan dengan masyarakat. Hampir seluruh lapisan masyarakat mengakses informasi dari televisi. Ini ada satu harapan, yang bisa diandalkan.

Kelahiran stasiun televisi di negeri kita setelah angin reformasi berhembus cukup tinggi. Kini ada lebih dari sepuluh stasisun televisi nasional. Belum lagi jika ditambah dengan pertumbuhan televisi lokal yang kian menjamur di berbagai daerah. Satu potensi yang luar biasa untuk meningkatkan angak kepercayaan masyarakat untuk terus terlibat dalam partisipasi politik. Minimal setidaknya ialah mengurangi angka golput.

Seperti mengutip Ana Nadhya Abrar dalam buku Analisis Pers Teori dan Praktik, William A. Gamson menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh pekerja media agar masyarakat tetap tertarik kepada politik? Menurut Gamson, ada dua cara yakni; yang pertama adalah memberitakan korupsi dan ketidakmampuan pejabat pemerintah; dan yang kedua adalah menyediakan informasi yang bisa dipercaya untuk pembuat kebijakan. Yang kedua mudah dikatakan namun sulit dikerjakan. Namun yang lebih sering ditampilkan adalah yang pertama, pemberitaan korupsi dan ketidakmampuan pejabat pemerintah. Hal ini malah menjadi sebuah bom waktu yang terus meningkatkan angka golput. Mungkin karena media kurang menyediakan dan menyeimbangkan pemberitaan macam tersebut dengan prinsip yang kedua yang ditawarkan oleh Gamson. Maka seharusnya sudah tiba untuk media menyeimbangkan keduanya.

Namun dilain hal kita harus mempersiapkan hal terburuknya. Melihat hal yang ditawarkan oleh Gamson tersebut mungkin rasanya sulit terwujud. Lahirnya berbagai stasiun televisi bukan malah menjadi tonggak utama pers untuk memberdayakan kualitas khalayak. Lahirnya mereka tidak semata atas sebuah kepentingan dari para pemiliknya. Jika dahulu pada jaman Orde Baru kelahiran media televisi untuk menampung daya tawar dari para pengiklan yang memang pada saat itu TVRI selaku tv nya pemerintah dilarang untuk menayangkan iklan. Selain itu, pemilik media juga memiliki hubungan dekat dengan penguasa. Pada masa tersebut tv belumlah cukup berani menjadi penyeimbang dari pemberitaan-pemberitaan yang ditayangkan oleh TVRI.

Setelah era reformasi berlahiranlah stasiun-stasiun televisi baru. Mereka lahir hanya untuk berjualan. Menciptakan sebuah acara hanya untuk mencari laba dari para pengiklan setelah rating acara yang ia jual cukup tinggi. Memang tak ada salahnya mereka untuk berjualan. Namun apakah yang mereka jual itu obat atau malah racun yang terus mengegerogoti pola pikir khalayak. Itu yang perlu kita pikirkan.

Mendekati pemilihan umum 2014 permasalahan tersebut semakin mengkerucut. Jika dahulu pemilik media hanya dimiliki oleh pengusaha yang dekat dengan penguasa. Kini media berada dalam satu titik yang mewakili kesemuanya (pengusaha, penguasa dan pemilik media). Menurut Veven SP. Wardhana dalam Budaya Massa, Agama, Wanita, ia mengatakan jika penguasa menguasai media, bahkan penguasa adalah pemilik media itu sendiri, hanya pembenaran belaka yang kemudian bermunculan. Mengutip bahan kuliah Komunikasi Massa yang diberikan oleh Gun Heryanto, Pamella J. Shoemaker dan Stephen D. Reese tentnag Hirarki pengaruh media massa dalam menentukan isi berita. Mereka merumuskan isi media dibentuk oleh sejumlah faktor yang menghasilkan beragam versi berbeda mengenai realitas. Faktor-faktor yang berpengaruh: orientasi personal dari para pekerja media, professionalisme, kebijakan perusahaan, pola kepemilikan perusahaan, lingkungan ekonomi, pengiklan, dan pengaruh-pengaruh ideology. Yang lebih dominan pada saaat ini adalah kebijakan perusahaan yang diberikan oleh sang pemilik media. Tidak heran untuk memuluskan kepentingan mereka dalam bidang politik, media saat ini lebih cenderung menjual fitnah terhadap lain pihak sambil menyembunyikan borok diri sendiri.

Inilah posisi media massa yang semakin sulit untuk mencapai apa yang kita cita-citakan di atas. Agar media massa mampu menjadi palang pintu utama untuk mendekatkan khalayak agar lebih berpartisipasi pada kegiatan politik. Namun rupanya, penguasa, pengusaha dan pemilik media telah menjadi satu kekuatan dalam satu tangan yang sama membuat media massa kini menjadi sebuah bom waktu. Berita tentang korupsi dan cenderung fitnah belaka tidak diseimbangkan dengan menyediakan informasi yang bisa dipercaya terkait pembuat kebijakan. Khalayak kini hanya mengenal para koruptor. Masyarakat kini hanya dikenalkan dengan pertarungan politik yang semakin kotor. Kini masyarakat semakin akrab akan serangan-serangan satu media yang dimiliki oleh satu pimpinan partai tertentu menyerang tokoh politik lain.

Televisi yang sangat dekat dengan seluruh lapisan masyarakat kini menjadi ancaman terbesar dalam partisipasi politik karena semua hal tersebut.

Kini nyanyian Indonesia Raya semakin redup.

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae