Senin, 14 Januari 2013

Pemerintah dan Kerakusannya Pada Alam

Pada tahun 1995 kita dicengangkan oleh rencana pemerintah dengan membuka satu juta lahan gambut di Kalimantan Tengah. Lahan ini ingin dijadikan oleh Soeharto presiden pada saat itu menjadi lahan padi. Kepanikan melanda beliau waktu itu. Impor 2 juta ton beras memaksanya berbuat seperti itu, setelah pada decade 80 an pemerintah berhasil swasembada beras.

Impian itu kini hanya menjadi isapan jempol belaka. Lahan yang diimpikan menjadi kuningnya padi kini malah berdampak buruk bagi kelangsungan penduduk asli sana. Kering, tak bisa lagi ditanami oleh tanaman lain. Proyek yang ambisius dan gagal. Pukulan telak bagi manusia. Yang mencobe menseragamkan alam.

Hutan gambut ditanah air mencapai 20 juta hektar. Kini sekitar 6 juta hektar telah dikonversi. Dan sisanya diancam berubah menjadi perkebunan. Hutan gambut menyimpan sekitar 42 milyar ton karbon, dan jika cadangan karbon ini terlepas ke atmosfer maka akan mempercepat pemanasan bumi.

Dan proyek 1 juta hektar itu kini hanya menjadi bekas yang menyakitkan bagi penduduk asli sana. Mereka kehilangan pendapatan aslinya dari hutan gambut, dan bekasnya pun yang kini ditelantarkan begitu saja oleh pemerintah akan sangat mudah terbakar jika musim kemarau panjang. Dampak yang sangat tidak dipikirkan oleh pemerintah kala itu. Dampak yang membuat penduduk asli sana terus menderita sepanjang hidupnya.

Alam yang coba diseragamkan oleh manusia modern mengsampingkan kehendak alam. Alam dicoba diseragamkan oleh manusia rakus hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Tingkat keasaman yang dimiliki oleh lahan gambut sangat tinggi, tidak cocok untuk ditanami tumbuhan pangan seperti padi. Kabanyakan jenis tumbuhan tidak bisa hidup dengan PH 2,7 seperti yang ada di hutan-hutan gambut tersebut. Alam yang coba diseragamkan, jelas hal yang sangat bodoh. Manusia tamak, sok bisa menguasai alam semaunya sendiri. Mengabaikan hukum alam.

Kini kegagalan proyek tersebut tak menjadi pelajaran bagi pemerintahan sekarang. Di Merauke kini sedang dicanangkan proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Proyek ini akan mengubah 1,6 juta hektar hutan dan rawa-rawa papua menjadi kebun dan pabrik. Pelajran pahit kini tak menjadi obat bagi pemerintah yang lalim terhadap kehendak rakyatnya. Kepanikan akan sumber pangan yang kian menipis membuat pemerintah mencanagkan proyek ini. Maka untuk menanggulangi masalah ini lahan harus segera dicari. Namun kenapa harus di alam yang bukan menjadi tempatnya. Lagi pula, Merauke merupakan tampat yang jauh dari para konsumen pangan yang menggunakan produk tersebut. Lagipula, penduduk asli sana telah berabad-abad menghuni dan menjaga alam sana. Dengan cara mereka sendiri. Kini alam akan diseragamkan kembali.

Selain itu pemerintah juga mengabaikan punahnya suku Amungme dan Kamoro akibat eksploitasi habis-habisan alam nya menjadi Freeport. Mereka tak menerima untung sama sekali. Alamnya dirusak. Ketidak mampuan mengelola alam dengan cara yang baru, membuat mereka terbelakang. Alam yang sebelumnya menjadi tempat mereka mencari makan kini telah berubah. Tak ada lagi berkah alam yang dapat di konsumsi mereka. Air menjadi tak layak minum akaibat limbah yang berbahaya. Kepunahan dua suku asli ini tidak membuat pemerintah surut untuk terus mengeruk alam yang hanya menguntungkan pemodal dan tentunya dompet mereka pribadi. Penduduk asli diabaikan. Konversi ala mini pun selalu menimbulkan konflik. Setelah alam mereka habis dikeruk, maka ditingggalkan begitu saja. Alam yang tadinya menjadi harapan mereka hidup berabad-abad kini hanya tinggal kenangan.

Pemerintah yang terus mengabaikan alam.

(Ditulis dari Novel Sarongge, yang bercerita tentang alam di Indonesia dan saya menangkap pesan dari novel ini. Jaga Alam Kita. Lawan mereka yang melawan kehendak alam bersama orang yang paling lemah sekalipun.)

Merasakan Rasa

Seharusnya tak ada kemuraman malam ini. Tak ada jalan yang perlu disesali. Tak ada juga waktu yang harus diulang. Renungan malam ini seharusnya tak berujung pada kepedihan. Hati yang teriris. Yang seharusnya terjaga rapi. Atau malam yang seharusnya purnama terang namun ditutupi awan gelap. Aku tak menduga ini. Dan tak mau merasakan ini.

Kepedihan kian menjalar ke alam sekitar. Cuaca mendung kian tak terbendung. Gemercik gerimis turun dari langit yang tak seharusnya menetaskan air. Membuat ratapan kian menyakitkan. Malam sendiri. Sepi. Dan sedikit tak berarti.

Akhir dari perjalanan panjang ini. Belajar banyak dari waktu yang terlewati bersama. Masih sangat teringat dalam diri. Kamu ya kamu, yang masih ingin ku peluk kehangatan tubuhmu, kini telah pergi. Tak lagi ada cerita yang akan kita lewati bersama. Perih dan pedih.

Seharusnya tak kutuliskan ini. Tak kurasakan ini sebagai sakit. Seharusnya bahagialah kita malam ini dan malam-malam selanjutnya. Lebih banyak kenangan yang akan kita buat. Lebih banyak tawa yang kita perdengarkan kepada orang lain. Lebih banyak lagi-lagi dan lagi yang orang lain perlu ketahui dari cerita cinta kita.

Alam seakan bergetar saat kita tapaki. Angin serasa tak berhembus saat kita berdekapan. Tanah dan air tak lagi bernyali untuk saling mencinta ketika bersamaan. Wangimu, senyummu, semangatmu, ketakutanmu, dan pedihmu. Aku masih teringat itu.

Ajal memang tak ada yang mengetahui. Tak ada yang bisa menghindari. Tak ada yang mampu melawannya. Namun kenapa ajal begitu cepat mendatangi? Apa ajal tak punya cinta? Apa aja tak punya kekasih? Apa ajal selalu kejam?

Bahagia memang tak selalu bersama. Sedih memang tak selalu harus dibagi. Cinta memang tak perlu pada satu orang saja. Cinta bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja. Namun kamu hanya satu di dunia ini.

Kita tak perlu bersama. Kita tak perlu berpisah. Kita tak perlu menjadi kita.

Subuh ini kubegitu pedih. Air mata masih tersisa dalam mataku. Sepi masih membuatku beku. Seperti belum beranjak dalam mimpi. Mimpi kau telah pergi selamanya. Mimpi yang kusaksikan kekasihku dibaringkan dengan damai dalam liang lahat. Mimpi yang membuat mu pergi selamanya. Dan mimpi yang membuat ku takut seumur hidupku.

Jemarimu yang masih kugenggam. Senyummu yang masih ku simpan. Bibir tipismu yang masih bisa ku kecup. Tawamu yang manja. Sedihmu yang dewasa. Aku begitu mencintai kamu yang tak pernah menjadi aku. Dan kamu yang mencitai aku yang tak pernah menuntut menjadi kita. Kita hanya untuk memudahkan penyebutan cinta aku dan kamu. Aku dan kamu yang tak pernah kehilangan sifatnya atau dipaksa menjadi ke akuan.

Kini di pagi hari kau telah memastikan dirimu masih terjaga. Masih mencinta ku
seperti sedia kala. Kita akan menikmati pagi sampai sore bersama. Tak ada orang lain. Aku ingin mendekapmu selama mungkin. Kehilanganmu didalam mimpi membuat ku takut.

Aku begitu mencintaimu, saat ini dan sampai kapanpun.

Salam hormat, karena aku memang menghormati sebagai wanita yang ku cinta.

Mimpi tentang kematian seorang kekasih memang terasa pahit. Banyak mitos mengatakan kita akan berpisah kasih. Berpisah. Bumi tak merestui hubungan kita. Kita akan menjadi saling menyedihkan diri. Menangisi kepergian kita. Kita yang harus terpisah karena bumi tak sanggup menahan cemburunya. Bumi yang iri akan mesranya kita. Namun, kutahu pasti. Kita akan bersama selamanya.

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae