Jumat, 12 Juli 2013

Khilafah Islamiyah: Perlukah?

Kini bangsa kita sedang sedikit sakit. Perubahan yang begitu drastis dari para pemilih kita dalam setiap pelaksanaan pilkada dan pilgub. Angka golput kini sedang sangat meningkat. Hampir di setiap pemilihan, angka golput masih lebih besar ketimbang angka yang diraih oleh pemenang pemilu tersebut. Pemilih sedang dilanda kejenuhan. Praktik korupsi yang terus-terusan dilakukan oleh para pelaku politik baik ditingkat pusat maupun daerah menjadi salah satu penyebabnya. Belum lagi betapa bobroknya partai yang mengaku sebagai partai islam dan mewakili umat islam di Indonesia. Mereka tak lebih dari para politikus pada umumnya. Pandai janji, banyak omong kosong, koruptor bahkan ada yang sampai tukan selingkuh. Ini sungguh-sungguh menyedihkan.

Kini alternative dari semakin terpuruknya demokrasi sedang didengungkan oleh beberapa kelompok ormas islam di Indonesia. Sebagai umat beragama terbesar di Indonesia kelompok tersebut sedang memperjuangkan mendirikan khilafah islamiyah di negeri ini. Dengan menjadikan syariah islam sebagai dasar hukumnya mereka ingin menjadikan Indonesia sebagai Negara dengan hukum islam menggantikan hukum yang telah lama berdiri di sini. Perjuangan mereka sudah hampir setiap hari kita dengar. Baik di lingkungan kampus maupun social.

Yang menjadi pertanyaan apakah syariah islam mampu menjadi solusi di negeri ini. Sebelum lebih jauh membahas itu mari kita lebih mendalam mengenal syariah islam. Menurut Abdullahi Ahmed An-Na’im syariah akan terus memainkan peran penting dalam membentuk dan mengembangkan norma-norma dan nilai-nilai etika yang dapat direfleksikan dalam perundang-undangan dan kebijakan publik melalui proses politik yang demokrastis. Namun, prinsip-prinsip atau aturan-aturan syariah tidak dapat diberlakukan dan diterapkan secara formal oleh Negara sebagai hukum dan kebijakan publik hanya karena alasan bahwa prinsip-prinsip dan aturan-aturan itu merupakan bagian dari syariah. Apabila pemberlakuak syariah itu diusahakan, hal itu merupakan kehendak politik Negara dan bukan hukum islam.

Sungguh berbahaya jika syariah islam mau dikehendaki. Ini akan mengganggu kepribadian umat islam itu sendiri. Bagaimanapun, umat islam baik mayoritas maupun minoritas dalam menjalankan syariah islam harus berangkat dari tuntutan kewajiban beragama bukan karena adanya tuntutan dari pemerintah/pemimpin. Hal ini akan terwujud apabila pemerintah/pemimpin bersikap netral terhadap semua doktrin/mahdzab keagamaan dan tidak memksakan mereka untuk melaksanakan perintah agama sesuai dengan kehendak pemerintah/pemimpin. Baiknya pemerintah tidak menggunakan kekuasaan Negara untuk memaksakan pemahaman mereka tentang syariah kepada masyarakat secara keseluruhan, baik muslim maupun non muslim.

Selain itu yang perlu kita ajukan sebagai perntanyaan adalah, bagaimana syariah islam yang diajukan oleh kelmpok tersebut untuk berdiri di Indonesia mengingat kompleksitas dalam syaraih islam itu sendiri. Kita mengenal madzhab syafii, maliki, hambali dan hanafi yang saling berbeda dalam menjalankan syariah islam itu sendiri. Belum lagi perbedaan yang mencolok antara sunni dan syiah. Apakah Negara nantinya akan mampu bersikap netral terhadap kompleksitas perbedaan tersebut? Atau Negara nantinya akan memaksakan satu madhzab saja kepada rakyat dan harus melepaskan keyakinan mereka yang telah mendarah daging. Jika memang harus memaksakan satu madzhab saja berarti syariah islam itu senditi telah melanggar satu prinsip islam yakni agar tidak memaksa orang lain dalam menjalankan keyakinannya. Mengingat di Indonesia ada dua kutub besar yang berbeda diantara umat islamnya, yakni golongan Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah. Yang diantara mereka saling berbeda dalam merepresentasikan ke islamannya. Belum lagi di sini ada kelompok syiah yang baru berkembang, namun mendapatkan perlakuan yang tidak sehat dari kelompok lainnya. Apakah syariah yang diajukan mampu bersikap netral nantinya terhadap perbedaan ini.

Lalu apa yang perlu kita ajukan untuk memperbaiki negeri ini, mengingat kita sebagai muslim menjadi umat terbesar di Indonesia ini.

Berangkat dari pemikiran Imam Khomeini sumber dari setiap pendekatan politik adalah akhlak. Pada dasarnya, tanpa akhlak, politik tidak mampu menuntun manusia dan menjamin kepentingan sejati mereka. Politik adalah perluasan etika, sedangkan etika adalah fondasi politik.

Imam Khomeini juga berpendapat bahwa persoalan dunia kontemporer adalah persoalan moral dan jika tidak diselesaikan, dunia akan bergerak lebih buruk menuju kehancuran. “hal-hal yang mengancam dunia bukanlah senjata-senjata, bayonet-bayonet, misil-misil dan sebagainya. Tetapi yang mengakibatkan umat manusia dan negeri-negeri binasa dan mengalami dekadensi, seperti adanya penyelewengan tugas dan korupsi oleh para pemimpin pemerintahan berikut pejabat pemerintahnya. Penyelewengan yang terjadi disebabkan oleh dekadensi moral.

Inti dari ajaran akhlak adalah kebenaran dan hak, tuntutan akhlak atau etika adalah kita meski berbicara jujur meskipun itu melawan dan merugikan “kepentingan” kita, tidak melakukan kezaliman, tidak memperalat masyarakat demi kepentingan kita, selalu menjadi pembela keadilan, tidak berbohong, pantang malakukan penipuan, tidak menyembunyikan kebenaran, dan seterusnya.

Akhlak juga merupakan kepemilikan jiwa seseorang atas sifat buruk dan sifat baik yang dari kepemilikan sifat tersebut memunculkan perbuatan secara mudah tanpa orang tersebut merasa terbebani. Ini berkaitan dengan sifat ilmu yang non materi. Atas sifatnya tersebutlah maka letak ilmu terdapat dalam jiwa. Maka agar ilmu tersebut benar-benar mencapai hakikatnya sebagai cahaya kita harus terlebih dahulu menyiapkan akhlak.

Jadi kerusakan moral, korupsi yang merajarela, hukum yang memihak itu semua bukan di sebabkan oleh faktor demokrasi semata, melainkan karena akhlak yang dimiliki oleh para pejabat kita sudah sangat rendah. Yang kita harus persiapkan kedepannya adalah bagaiman generasi mendatang memiliki akhlak yang benar sesuai dengan tuntutan hukum. Bukan malah mengganti sistem demokrasi kita dengan sistem khilafah. Khilafah adalah seperti mimpi di siang bolong yang tak akan menjadi kenyataan. Tak akan mungkin khilafah akan berdiri, selain sulit ini juga malah akan menimbulkan permasalahan baru bagi umat islam di Indonesia itu sendiri.

Agama dan politik kaitannya hanya sebatas pada titik akhlak bukan sampai pada titik kita harus mendirikan Negara islam. Ini yang perlu kita jaga.

Sebagai pengingat demokrasi merupakan bukan sesuatu yang sangat menyimpang dari nilai islam. Beberapa intelektual muslim merumuskan titik temu antara islam dan demokrasi melalui pencarian kolektif prinsip-prinsip tentang pengaturan kehidupan. Islam memiliki kesesuaian dengan demokrasi karena adanya koherensi nilai yang ada didalamnya, seperti prinsip persamaan (al musawah), kebebasan (al hurriyah), pertanggung jawaban publik (al ma’uliyyah) dan kedaulatan rakyat atau musyawarah (syura).

Intinya ialah khilafah islamiyah tak sebaiknya kita terus-teruskan perjuangkan. Karena ini sendiri akan mengganggu pertumbuhan keberagaman dan demokrasi kita sendiri.

Wasssalam…

Senin, 08 Juli 2013

Islam dalam Lingkaran Kapitalis

Ramadhan telah kembali menghampiri kita. Salah satu bulan yang dianggap istimewa oleh umat Islam. Limpahan pahala yang cukup besar bagi siapapun yang melakukan ibadah di bulan ini. Orang-orang yang beriman pasti bergembira dapat berjumpa lagi dengan bulan ini. Suasana pun akan sedikit berubah baik di malam hari maupun di siang hari. Warung-warung makanan yang biasanya buka sejak siang hari kini harus menundanya demi menghormati orang-orang yang berpuasa dan warung remang-remang pun dipaksa tutup satu bulan penuh.

Begitupun dengan apa yang kita tonton di layar televisi. Akan banyak sekali perubahan dari segi isi maupun iklannya. Kini iklan-iklan yang menghiasi layar televisi kita banyak yang berkaitan dengan kebutuhan kita selama bulan ramadhan. Iklan-iklan kini dikemas lebih khusus berbeda dengan bulan-bulan biasanya, kini iklan ada unsur Islamnya. Inilah sebagian yang terjadi di layar tv kita.

Begitupun dengan tayangan sinetron, talkshow, film televise, acara komedi, acara musik dan acara-acara lainnya semua dikemas dengan nuansa islami. Lebih kurang 40 hari ke depan layar televise kita akan seragam. Islami dan tampak religi sekali. Pertanyaannya adalah apakah ini sebuah apresiasi terhadap islam atau ini hanya sebagai eksplotasi industry televise dalam mencari keuntungan sebanyak-banyaknya? Atau lebih dalam, apakah acara-acara tersebut dapat meningkatkan kualitas keimanan umat islam atau hanya sekedar dianggap sebagai sebuah hiburan semata?

Dalam menjawab pertanyaan di atas, mari kita bahas melalui pisau postmodern yang manganggap era kini adalah eranya kapitalisme lanjutan di mana televise menjadi salah satu alat propaganda terbesarnya.

Dalam era kapitalisme lanjut tidak ada lagi nilai guna dan nilai tukar, kini adalah eranya nilai tanda. Di mana tanda dan symbol menjadi komoditas utama dalam era kapitalis lanjut.komoditas yang diperjualbelikan karena makna yang ada di dalamnya, bukan karena manfaat atau kegunaannya. Aktifitas konsum bukan hanya didasarkan pada kebutuhan, namun lebih kepada alasan simbolis: kehormatan, status, dan pretise.

Televise adalah ruang praksis tempat melenurnya segala tanda, citra, impian dan kenyataan. Dalam televise realitas dijadikan komoditas, ruang dan waktu dilipat dalam satu dimensi (kekinian). Dalam arus kapitalisme lanjut yang dikejar adalah prinsip kemajuan, kebaruan, percepatan, dan perbedaan, segala sesuatu didaulat sebagai komoditas. Namun komoditas disini tidaklah semata barang dagangan. Komoditas dalam masyarakat konsumen adalah juga representasi citra diri konsumen. Idnetitas, gaya hidup, prestise, impian, semua menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah komoditas.

Dalam ramadhan ini televise menjadikan yang tidak nyata tampak lebih nyata dari kenyataan sesungguhnya. Keberagamaaan dalam islam didaur ulang menjadi sebuah tontonan yang membuat umat islam menjadi bisu. Televise menembus batas-batas sacral, ustadz-ustadz menyatu bersama para comedian dan artis-artis dalam menampakan sebuah kepalsuan. Mereka dijadikan bahan dagangan melebihi kenyataan yang sesungguhnya. Ustadz tak tampak lagi menjadi panutan, mereka dijadikan sebatas boneka yang bisa kita bercandain dalam tausyiahnya. Ini menjadikan yang tak nyata tampak lebih nyata dari sebuah kenyataan yang ada.

Umat islam dijadikan masyarakat tontonan dalam ramadhan ini oleh para pelaku industry televise. Dengan mengedepankan penampakan kini umat islam tidak lagi memiliki kedalaman. Umat islam dibius menjadi tak berdaya.
Dalam era kapitalis lanjut masyarakat tontonan ialah masyarakat yang kehidupannya secara terus menerur di terpa oleh tontonan, dan menjadikannya rujukan nilai dan tujuan hidup. Tontonan adalah juga komoditas, namun dalam bentuknya yang lebih sublime dan abstrak. Dengan tontonan, komoditas ditampilkan dengan lebih halus dan menyenangkan. Era kini ialah era yang identik dengan mengedepankan penampakan. Dalam masyarakat yang mengedepankan penampakan ketimbang kedalaman maka segala sesuatu ditampilkan dengan citra-citra (tanda-tanda) yang nampak lebih real dibanding realitas sebenarnya.

Televise dalam ramadhan ialah lebih mengedepankan kepalsuan ketimbang kenyataan. Tidak ada kedalaman makna dari apa yang mereka tayangkan. Televise lebih mengedepankan penampakan sebagai sebuah komoditas untuk meraih keuntungan ketimbang kedalaman makna dari sebuah nilai ajaran agama islam. Campur aduk, daur ulang, reproduksi, kenyataan menjadi lebih nyata dari yang aslinya. Inilah televise, yang menjadikan islam sebagai sebuah eksploitasi untuk meraih keuntungan ketimbang sebuah apresiasi. Berhati-hatilah dalam melihat tayangan televise karena di sana penuh dengan kepalsuan.

Wasssalam…

Sabtu, 06 Juli 2013

Rindu

Cukup rindu yang ku punya
Biar cinta menjadi ampas
Rintik embun secara perlahan membasuh pepadian dan tanah
Secangkir rindu ku buat untuk membasuh rindu yang mendalam
Dalam rindu kadang ku benci
Lalu ku mengerti, ternyata aku memang sendiri
Embun tak akan sanggup mengguyur rindu ini untuk mengalir dalam derasnya cinta
Dia hanya mampu membanjiri lelahnya ku menanti
Puan, kita hanya bertemu dalam puisi kerinduan
Puan kita hanya menyadari rindu yang tak nyata
Tuhan jagalah dia bersama cinta yang Engkau berikan
Setelah pagi datang
Ku serahkan pada Tuhan
Apakah Dia masih mengijinkan ku menulis sebuah puisi kerinduan
Atau hanya mengutusku sebagai pria yang hanya meninggalkan nisan.

Hijabers

Sebuah fenomena kini terus berlanjut. Diantara kemajuan jaman yang begitu dahsyat, kini kita banyak melihat kaum wanita yang memakai kerudung. Kini banyak kalangan perempuan yang memilih jalan untuk mengenakan kerudung dalam segala aktifitasnya. Tidak hanya kalangan santri dan madrasah saja yang mengenakan kerudung. Kini sudah banyak yang mengenakan kerudung baik kalangan pelajar, mahasiswi, maupun karyawati. Bahkan belakangan para polisi wanita pun sedang memperjuangkan agar mereka diperbolehkan mengenakan kerudung dalam menjalankan tugas negaranya. Ini sungguh luar biasa.

Yang sedang berkembang dalam dunia muslimah saat ini ialah komunitas hijabers. Melalui komunitas inilah salah satu penyebab dari makin merebaknya perempuan-perempuan Indonesia memilih menggunakan kerudung dalam kehidupan sehari-harinya. Seperti tadi disebutkan, kini segala peran perempuan dalam dunia pendidikan maupun dunia pekerja, sebagian dari mereka menggunakan kerudung. Dan yang paling utama ialah kerudung yang mereka gunakan ialah bertipe sesuai dengan yang sedang dikampenyekan komunitas hijabers.

Komunitas ini mampu berkembang pesat dan mampu menarik perhatian kaum perempuan melalui fesyen yang mereka kampanyekan baik dalam media cetak maupun elektronik. Mereka juga mengenalkan komunitas mereka kepada masyarakat khususnya kaum perempuan melalui model-model yang mereka iklankan. Hijabers kini sudah sebagai sebuah komunitas yang besar yang mampu membawa kaum perempuan memilih menutup kepalanya dengan kerudung.

Hijabers tentu sangat berbeda dengan kalangan kaum santri dalam menutup kepala mereka. Kaum santri yang lebih mengedepankan pada tuntutan lembaga pendidikan dimana mereka mengemban ilmu untuk menggunakan kerudung. Namun, setelahnya mereka mendapatkan bekal agama yang cukup sehingga tuntutan tersebut menimbulkan sebuah kesadaran pada diri mereka untuk benar-benar teguh dalam memakai kerudung. Mereka memiliki kedalaman makna dan pelajaran pada akhirnya.

Sedangkan hijabers kini lebih berkembang pesat ketimbang kaum santri. Dengan memakai kerudung yang sedikit bahkan sampai berlebihan di modifikasi sehingga tampak sedikit ribet dilihatnya namun menimbulkan sebuah persepsi bagi kaum perempuan bahwa inilah cara muslimah dalam menutup kepala yang kekinian. Biasanya mereka mengenalkan cara mereka berkerudung melalui media massa. Melalui iklan, televise dan internet mereka mengenalkan cara mereka kepada kaum perempuan kota dalam berkerudung. Dengan “tanda” lebih kekinian dan kemodernan muslimah dalam menutup kepala pada ahirnya banyak kalangan muslimah yang mengikuti mereka. Hijabers lebih berkembang dengan fesyen dan kekiniannya berbeda dengan kalangan santri.

Televise, internet, dan fesyen adalah sebuah alat propaganda paling dahsyat kaum modernism lanjutan dalam membius khalayak sehingga menjadi tak berdaya. Karena di dalamnya banyak sekali “tanda-tanda” buatan yang tampak lebih real daripada yang real. Mereka mengedepankan penampakan ketimbang kedalaman dalam merayu khalayak. Kini kita melihat muslimah dalam mencari jati dirinya hanya melalui televise dan fesyen sehingga menjadikan mereka sebagai masyarakat/muslimah tontonan. Di mana masyarakat tontonan / muslimah tontonan adalah muslimah yang hampir seluruh hidupnya dipenuhi pelbagai tontonan, dan menjadikannya sebagai rujukan nilai dan tujuan hidup. Masyarakat seperti ini lebih mengedepankan penampkan ketimbang kedalaman. Dalam masyarakat yang mengedepankan penampakan ketimbang kedalaman maka segala sesuatu ditampilkan sebagai citra-citra yang bahkan nampak lebih real dibanding realitas sebenarnya. Dengan televise dan media massa misalnya, realitas buatan seolah-olah lebih real dari aslinya. Lebih jauh, realitas buatan kini tidak lagi memiliki asal-usul, referensi atau kedalaman makna.

Muslimah yang berkerudung macam hijabers adalah muslimah yang lahir dari fesyen. Dan mereka kini termasuk ke dalam sebuah budaya massa. Dalam fesyen, setiap orang merasa perlu memperbarui dirinya setiap tahun, setiap musim atau setiap bulan, melalui barang-barang baru. Namun, wacana semacam ini sebenarnya bukanlah satu bentuk kemajuan, sebab fesyen senantiasas berubah, berganti-ganti, berputar dan tidak menambah apa-apa pada nilai seorang individu. Dengan kata lain, wacana fesyen adalah wacana kemajuan semu.

Hijabers yang lahir dari kemajuan teknologi dengan fesyen sebagai landasan dasarnya merupakan sebuah bentuk yang sangat sulit untuk kita nilai. Untuk dilihat secara kuantitas, mungkin muslimah yang berkerudung sangat berkembang dengan cepat dan pesar karena adanya komunitas hijabers. Namun, jika dilihat dari segi kualitas, kemajuan yang semu. Hijabers lahir dari sebuah tontonan yang mengedepankan penampakan saja tanpa memiliki kedalaman pemahaman yang bagus tentang pengetahuan islam. Tantangan ke depan adalah agar bagaimana komunitas ini mampu membina para anggotanya untuk lebih dalam lagi mengetahui islam yang sesungguhnya, bukan hanya menonjolkan fesyen saja.

Berbeda dengan kaum santri. Walaupun dari awal hanya sebagai tuntutan dalam menutup kepala namun mereka selanjutnya dibimbing dan dibina dengan pengetahuan yang cukup. Pada akhirnya yang awalnya tuntutan kini menjadi sebuah kesadaran.

Wassalam.

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae