Rabu, 14 Agustus 2013

Benturan Antara IM dan Demokrasi

Mesir kini benar-benar dalam keadaan krisis. Setelah penggulingan Presiden Moursi oleh Militer para pendukung Moursi turun ke jalan mengutuk keras perbuatan Militer Mesir tersebut. Moursi adalah Presiden Mesir yang sah terpilih melalui jalur yang demokrasi. Namun entah alasan apa yang jelas pihak Militer menggulingkan kekuasaannya. Para pendukung Moursi dengan masa yang begitu besar langsung turun ke jalan meminta kekuasaan Moursi di kembalikan. Terjadilah perang saudara antara rakyat Mesir dengan Militernya. Ratusan korban sudah berjatuhan, sebagian adalah rakyat sipil yang mendukung Moursi.
Tulisan ini bukan menuju kepada konflik pendukung Muorsi dan Militer Mesir, tulisan singkat ini hanya melihat perspektif Ikhwanul Muslimin sebagai latar belakang gerakan Moursi dan juga demokrasi sebagai masa depan dunia yang lebih mulia.
Melihat lebih jauh, Ikhwanul Muslimin adalah sebuah gerakan dakwah yang didirikan oleh Hasan al-Banna pada tahun 1928. Bersama dengan enam orang temannya al-Banna melihat bahwa kondisi Mesir pada masa itu sedang dalam keadaan terburuk. Orang islam di sana tidak berada dalam posisi yang mulia. Tujuan utama berdirinya Ikhwanul Muslimin ada dua: yang pertama adalah membebaskan Negara islam dari kekuasaan asing. Yang kedua adalah menegakkan di Negara itu suatu pemerintahan yang merdeka yang sanggup melaksanakan hukum-hukum islam sebagai hukum sosialnya, mengumandangkan dasar-dasarnya yang lurus dan menyampaikan dakwahnya yang bijaksana kepada seluruh umat.
Seiring perkembanngannya di masyarakat Mesir, Ikhwanul Muslimin mendirikan sayap-sayap gerakannya dengan cara menyebarkan ideology mereka dengan membentuk media-media cetak. Dengan media tersebut mereka menyampaikan kepada rakyat Mesir yang lebih luas bahwa mereka memiliki lima pondasi awal dalam gerakannya. Yang pertama adalah penjelan kembali ajaran islam. Mereka mengemukakan ajaran islam akan selalu serasi dengan perkembangan jaman dan pengetahuan yang semakin modern, dan juga bahwa islam adalah ajaran yang terbaik untuk umat manusia. Yang kedua adalah membuktikan kelangsungan tuduhan yang dialamatkan kepada gerakan Ikhwan. Yang ketiga adalah menggalang persatuan umat islam. Yang keempat adalah menyakinkan kepada umat islam sendiri bahwa agama mereka tidak memiliki pertentangan dengan agama manapun. Dan yang kelima adalah menunjukkan jalan menuju islam.
Sejak awal, didirakannya gerakan dakwa Ikhwanul Muslimin ini dalam melihat problema di kalangan masyarakat Mesir sudah menginginkan terciptanya pemerintahan islam dalam Negara Mesir. Sampai pada masa selanjutnya pada tahun 1939 Ikhwan kembali menegaskan bahwa islam adalah ibadah dan kepemimpinan, agama dan kenegaraan, kerohanian dan kerja nyata, shalat dan perjuangan, ketaatan dan hukum, mushaf dan senjata, yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Kemudian mereka menyatakan bahwa program mereka di dasarkan atas tiga prinsip: 1) islam adalah sistem yang lengkap dan jalan terbaik dalam semua aspek, 2) islam bersumber dan didasarkan pada dua asas fundamental; Al-Qur’an dan Sunnah. 3) islam dapat diterapkan pada segala jaman dan tempat.
Tujuan akhir dari gerakan Ikhwan adalah dapat berdirinya “Pemerintahan Islam”. Ini terlihat jelas dari rumusan-rumusan yang mereka sendiri dengungkan.
Kini kita melihat kaca mata demokrasi. Secara awam demokrasi diartikan sebagai pemerintahan yang dilahirkan atas kehendak rakyat. Kedaulatan ada di tangan rakyat melalui pemimpin yang dipimpin secara teliti dan jujur.
Namun, dalam melihat lebih jauh demokrasi, sebenarnya demokrasi bukan hanya masalah procedural pemilihan pemimpin baik eksekutif, legislative dan yudikatif. Lebih dari itu, demokrasi juga mencakup bagaimana interaksi kehidupan di dalam masyarakat. Misalnnya interest group, pressure group, dan juga kelas. Demokrasi modern sangat mengedepankan masalah melindungi kebebasan dan hak individu masyarakat dari tindakan kesewenangan penguasa. Fungsi normative pemerintahan demokratis adalah melindungi dan menjamin hak individu untuk menjalankan kehidupan mereka sesuai dengan keyakinan yang mereka yakini masing-masing. Dari sini kita melihat bahwa pemerintahan yang demokratis menempatkan individu pada posisi utama dalam pusat perhatian pemerintah, dan bukannya konsep-konsep transcendental – Tuhan, misalnya – yang merupakan pusat dan perhatian untuk tatanan demokratis.
Dari dua penjelasan singkat tersebut kita melihat ada sedikit persinggungan antara konsep yang diajukan oleh Ikhwanul Muslimin dengan konsep yang tertuang dalam demokrasi. Meminjam istilah “democrat islamis” maka secara tidak langsung istilah tersebut menuju kepada gerakan Ikhwan yang hanya menganggap demokrasi hanya sebatas pemilihan saja, di sisi lain mereka masih menjalankan dan memperjuangkan islam untuk menjadi dasar hukum dalam tatanan kehidupan publik. Sebenarnya antara islam dan demokrasi sendiri bisa berjalan beriringan selama islam mampu mengadopsi nilai-nilai kebebasan, kesetaraan dan toleransi dalam kehidupan masyarakat yang menjadi dasar utama bangunan demokrasi. Penjelasan lebih jauh tentang kebebasan di sini bukanlah manusia yang bebas bertindak dan berucap semaunya. Kebebasan di dalam tubuh demokrasi adalah adanya batasan yakni kebebasan individu yang dibatasi oleh kebabasan manusia lainnya. Lebih jauh lagi, dalam tatanan pemerintahan yang demokratis ialah yang terbebas dari agama. Yang dimaksud adalah bahwa pemerintah harus terbebas dari dogma agama manapun dalam melakukan kontrolnya terhadap warga negaranya.
Kini pertanyaannya adalah sanggupkah kita umat islam umunya dan Ikhwanul Muslimin menjadi seorang democrat sejati tanpa harus menjadi democrat islamis. Menjadi seorang democrat yang sesungguhnya. Seperti apa yang dituliskan oleh Burhanuddin Muhtadi dalam pengantar untuk buku Civil Religion yang dituliskan oleh Jeffrie Geovanie. Burhanuddin menuliskan bahwasanya seorang democrat adalah individu atau sekelompok orang yang bukan saja menilai sebagai sistem terbaik dan bersifat procedural, tapi juga yang berkaitan dengan kebebasan sipil seperti pernghargaan terhadap kebebasan individu, toleran terhadap perbedaan, kesamaan hak dihadapan hukum dan lain-lain. Di samping itu, seorang democrat adalah supporter utama kehidupan publik yang diatur atas norma-norma universal, bukan norma-norma dari suatu agama tertentu. Sebab, bila norma-norma dari suatu agama tertentu yang menjadi dasar kehidupan publik, tak terbayangkan bagaimana pluralism, toleransi, dan kesetaraan sesama warga yang berbeda agama yang asasi itu dapat dilaksanakan.
Untuk kedepannya semoga kita warga Negara Indonesia dapat pelajaran berharga dari perang saudara tiada guna yang terjadi di Mesir sana. Kita sebagai bangsa yang majemuk, harus menunjukkan bahwa islam dan demokrasi dapat beralan beriringan tanpa harus saling mengkhianati. Bangsa yang masih dalam proses menuju democrat seusungguhnya.
Salam….

Selasa, 13 Agustus 2013

Menyoal Demokrasi dan Islam Indonesia

Kita telah melewati masa suram selama lebih dari 32 tahun yakni ketika bangsa ini dipimpin oleh Presiden Suharto. Masa suram ini kita lihat dari tidak adanya ruang bebas yang diberikan kepada masyarakat. Masyarakat dan media semua diawasi dengan begitu ketatnya. Sehingga tak mampu memberikan kontrol yang kuat terhadap pemerintahan masa itu.
Kini semenjak tahun 1998 bangsa kita telah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Terbukanya sistem pemerintahan, kebebesan pers, dan mulai banyaknya berumbuhan partai politik sebagai tanda bahwa bangsa ini telah bengkit dari tidur panjangnya yang kelam. Sistem pemilihan umumnya pun kini telah berubah, presiden dan wakil presiden, anggota legislatif kini semua dipilih langsung oleh rakyat. Keterbukaan informasi pun sudah sangat drastis perubahannya. Media dan masyarakat mampu turun langsung untuk melakukan kritik terhadap para penguasa jika memang terdapat sebuah kebijakan yang tak sesuai dengan kepentingan masyarakat luas.

Partai politik tumbuh bagai bunga di musim hujan. Kini setelah pemilihan presiden, wakil presiden, dan anggota legislative secara langsung keterbukaan untuk mendirikan partai sangat mudah. Peraturan terkahir dalam membuat partai politik ialah mememnuhi 100 % kantor cabang di seluruh provinsi dan 75 % di kabupaten atau kota dari provinsi-provinsi tersebut. Untuk pemilu 2014 nanti hanya ada 12 partai politik yang lolos untuk bertarung memperbutkan suara rakyat.

Kini bagaimana kita melihat perkembangan demokrasi dari sisi islam.

Menurut index of political right and civil liberty yang dikeluarkan oleh Freedom House, sepanjang tiga decade terakhir, Negara-negara muslim pada umumnya gagal membangun politik yang demokratis.

Kaum muslim kayaknya enggan belajar dari sistem politik lain, dengan melihat kelebihan dan kekurangan demokrasi. Menurut Huntington bila orang islam berusaha mengenalkan demokrasi ke dalam masyarakat mereka, usaha itu cenderung akan gagal karena islam, yang sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka, tidak mendukung demokrasi. Huntington berpendapat bahwa kegagalan demokrasi di Negara-negara muslim antara lain disebabkan oleh watak budaya masyarakat islam yang tidak ramah terhadap konsep-konsep liberalisme barat.

Selain itu yang menjadi permasalah lain dalam buruknya perkembangan demokrasi dan islam adalah tidak adanya rasa kesadaran yang tinggi tentang kebebasan, toleransi dan juga kesetaraan dalam kehidupan ber masyarakat. Ini adalah konsep utama dalam demokrasi dalam menciptakan ruang publik yang kondusif bagi masyarakat. Tidak adanya rasa tersebut maka akan membawa demokrasi itu sendiri kepada suara-suara mayoritas.

Selain itu tidak adanya konsep citizenship dalam kehidupan umat islam juga akan membawa dampak buruk dalam menciptakan kehidupan yang demokrasi yang modern. Acuhnya masyarakat islam berpartisipasi dalam urusan publik sendiri akan mengurangi hak-hak sipil dan politik warga Negara untuk berpartisipasi di ruang publik. Implikasi lebih jaunhya adalah warga Negara akan terus tertekan oleh kediktatoran rezim pemerintahan. inilah yang sering terjadi dewasa ini di kalangan bangsa Timur Tengah karena tidak adanya kelompok penekan dalam masyarakat untuk mengonttrol pemerintahan.
Dari hal tersebut maka dibutuhkan sebuah penguatan dalam masyarakat islam sendiri untuk menciptakan konsep citizenship yang kuat guna menghindari tekanan yang lebih kuat kepada warga Negara dari pihak pemerintah yang otoriter. Penguatan ini kea rah pembentukan masyarakat politik yang demokratis – pastisipatoris – reflektif dan dewasa yang mampu jadi penyeimbang dan menjadi control atas kecenderungan eksesif Negara. Karena dalam demokrasi warga Negara memiliki posisinya sebagai pemilik kedaulatan dan haknya untuk mengontrol kekuasaan yang mengatasnamakan rakyat itu.

Dalam Indonesia sendiri, konsep citizenship sudah cukup kuat untuk melakukan control terhadap pemerintahan. Yang menjadi kelemahan bagi masyarakat islam kita adalah hanya menganggap demokrasi sebagai sebuah konsep procedural. Setidaknya mereka menjalankan demokrasi hanya untuk proses pemilihan pemimpin saja lalu mereka masih menjalankan agenda-agenda islam secara eksklusif untuk kehidupan publik. Titik lemah ini terus menggerogoti proses pendewasaan demokrasi di Indonesia khususnya bagi masyarakat islam itu sendiri.

Proses islamisasi sendiri dalam tingkat massa yang lebih luas pasca runtuhnya orde baru melalui masuknya proses tersebut ke dalam ruang publik yang plural dan netral membuat masyarakat Indonesia semakin gamang. Setidaknya hal tersebut malah memaksakan satu nilai kebenaran saja yang dimunculkan kedalam ruang publik yang netral dan plural menjadi sedikit terusik. Proses santrinisasi ini membuat runtuhnya nilai demokrasi yang mengedepankan kebebasan dan juga menjamin hak individu untuk menjalankan kehidupannya masing-masing berdasarkan pilihannya masing-masing. Islamisasi melalui ruang publik ini membuat dampak yang lebih parah. Pemerintahan yang seharusnya menjadi entitas sipil yang mampu mengontrol dan melindungi hak individu masyarakatnya atas satu nilai kebenaran saja sedikit mengalami kemunduran. Pemerintah gagal melindungi warga negaranya dari dominasi satu kelompok masyarakat mayoritas saja. Islamisasi ini merusak tatanan demokrasi.

Masyarakat islam Indonesia sendiri sering diistilahkan sebgai “democrat islamis.” Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa mereka menjalankan demokrasi hanya sebatas untuk menentukan pemimpin semata, namun setelahnya adalah menjalankan agenda-agenda islam secara eksklusif untuk kehidupan publik.

Model penguatan yang dibutuhkan untuk menjaga demokrasi bagi umat islam Indonesia adalah dengan cara mengajak mereka menjadi seorang democrat yang sesungguhnya. Seperti apa yang dituliskan oleh Burhanuddin Muhtadi dalam pengantar untuk buku Civil Religion yang dituliskan oleh Jeffrie Geovanie. Burhanuddin menuliskan bahwasanya seorang democrat adalah individu atau sekelompok orang yang bukan saja menilai sebagai sistem terbaik dan bersifat procedural, tapi juga yang berkaitan dengan kebebasan sipil seperti pernghargaan terhadap kebebasan individu, toleran terhadap perbedaan, kesamaan hak dihadapan hukum dan lain-lain. Di samping itu, seorang democrat adalah supporter utama kehidupan publik yang diatur atas norma-norma universal, bukan norma-norma dari suatu agama tertentu. Sebab, bila norma-norma dari suatu agama tertentu yang menjadi dasar kehidupan publik, tak terbayangkan bagaimana pluralism, toleransi, dan kesetaraan sesama warga yang berbeda agama yang asasi itu dapat dilaksanakan.

salam.

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae