Kamis, 28 November 2013

Sebuah Rahasia



Jakarta semakin padat semakin hari. Tak ada cuaca yang cocok untuk ibu kota saat ini. Kemarau hanya akan membuat udara semakin panas. Efek rumah kaca, polusi knalpot, asap rokok, dan sinar mentari mencoba menyatu membunuh penduduk ibu kota. Musim penghujan, ah, jangan ditanyakan lagi, macet dan banjir membuat umur penduduknya semakin pendek. Entahlah, apa yang diharapkan lagi. Jakarta.

Jangan salah, macet, polusi, efek rumah kaca, banjir, dan sebagainya hanya membuat manusia Jakarta menjadi pengeluh. Mereka berlomba, meng update nya dalam social media. Keluh kesah mereka tertuang di sana. Mereka berkeluh banjir, namun masih membuang sampah sembarangan. Mereka berkeluh macet, namun masih duduk di atas kendaraan pribadinya. Mereka berkeluh panas, namun menjadi penyumbang bagi polusi. Mereka, penduduk Jakarta, pengeluh.

Namun, bukan itu yang menjadi persoalan Agus malam ini. Dua tahun setelah kelulusannya, membuat iya merasa rindu dengan masa kuliah. Setelah lulus ia tak lama menganggur. Bekerja di Bank. Menjadi teller. Sebuah pekerjaan yang membuatnya bosan namun bahagia ia menjalaninya. Sedikit saja bahagia itu ada. Hanya sedikit.

Datang pagi, mengerjakan tugas, buat laporan dan pulang menjelang petang. Selayaknya begitulah semua pekerjaan. Membosankan mungkin. Sedikit mungkin ia tangkal. Mungkin juga ingin ia muntahkan.

Ia kini kembali teringat akan masa kuliahnya, melompat begitu jauh dari tutinitas yang ia lakukan kini. Begitulah hidup, bagaikan cerita. Kadang melompat begitu jauh. Masa muda membayangkan kebahagian nanti di masa tua. Dan masa tua merindukan kenangan masa muda. Bahkan seorang pasangan yang telah menikah kadang meresakan rindu pada mantan kekasihnya dahulu. Melompat jauh. Yang tak bisa kita hindari.

Udara dingin kaki Gunung Gede Pangrango segera menyergap rombongannya. Pukul 02:30 pagi Agus dan kawan-kawannya sampai di bawah kaki Gunung tersebut. Jumlahnya 7 orang dalam rombongan tersebut, termasuk dirinya. 4 lelaki dan 3 perempuan. Pasangan kekasih, dan sisanya 1 perempuan dan 2 lelaki saling bersahabat yang sama-sama mencintai Gunung.
Kala itu ialah masa-masa sulit mereka dalam kehidupan di kampus. Tugas-tugas kuliah yang kian menumpuk menjelang UAS. Masa-masa Pemira yang begitu intrik dari para kalangan politikus mahasiswa. Membuat mereka jenuh. Terlebih mereka melihat kampusnya sudah seperti Stadion Sepak Bola. Atribut-atribut dari klub-klub sepak bola begitu melekat pada sebagian besar mahasiswa. Sungguh menjengkelkan bagi dirinya dan juga kawan-kawannya.

Salim dan Nara, adalah ke dua teman sekelasnya. Mereka sama dalam kepribadian, pemikran dan logika mereka. Sama-sama mencintai Gunung dan tertarik pada sebuah pemikiran politik. Berkali-kali mereka, tidak hanya mendaki bersama, namun juga sama-sama membuat penelitian kecil untuk membahas fenomena politik. Jauh memang hubungan mendaki dan politik. Namun mereka menjalaninya dengan begitu dekat. Antara mendaki dan meneliti politik.
Nara, ia biasa panggil Genduk, karena berasal dari Yogya. Dan Salim peranakan asli Betawi. Dan dirinya, Agus berasal dari Sunda.

Setibanya di pos pertama, mereka istirahat sejenak di sebuah warung nasi, membeli bekal untuk sarapan nanti, setiba sampai di dekat pancuran air panas yang hadir di tengah-tengan Gunung Gede Pangrango. Sehabis subuh mereka mulai mendaki, dan Agus memimpin doa. “Tidak ada salahnya kita berdoa, memohon kepada Yang Maha Kuasa agar diberikan keselamatan dan kemudahan selama melakukan pendakian.” Katanya saat memimpin rekan-rekannya berdoa.
Walaupun sudah berkali-kali mereka daki, namun hal tersebut tak membesarkan dirinya dan melawan kekuasaan Tuhan untuk selalu memohon petunjuk dari-Nya.

Udara mungkin masih berada di bawah titik normal saat mereka mulai mendaki. Awalnya mereka bertujuh jalan beriringan, namun lama kelamaan, Agus, Salim dan Nara meninggalkan dua kawannya yang harus dengan sabar membimbing kekasihnya yang pertama kali naik Gunung. Nara jalan begitu gagah, seakan ia bukan perempua. Tapakan kakinya begitu kokoh dan terlebih ia sudah menguasai trek pendakian. Ia dan Salim bergantian sesekali mengawasi Nara, dan sebenarnya Aguslah yang selalu mengawasi jejak langkahnya Nara. Salim hanya tersenyum sinis ke dirinya. Salim tahu bahwa dirinya memncintai Nara, namun ia tak pernah berani ungkapkan.

Setibanya di kawasan air panas mereka bertiga istirahat, sambil menanti kawannya yang tertinggal. Tepat di atas kucuran air panas mereka merebahkan badan sejenak. Pancaran sinar mentari yang sudah mulai bersinar menyambut wajah mereka. Indah sekali pagi itu, karena ia mampu melihat kecantikan alamiah wajah Nara, dikombinasikan dengan pancaran sinar mentari yang masih jujur, yang belum ternoda oleh polusi udara. Selama istirahat dirinya selalu menatap Nara secara diam-diam, seperti cintanya.

Mereka sampai puncak menjelan pukul 02:00 siang, hampir sepuluh jam mereka jalan. Puncak Gunung Gede, yang dikombinasikan dengan tebing-tebing yang terbentuk begitu indah. Dan juga kawahnya yang tak kalah dengan kawah-kawah Gunung-Gunung lain di Pulau Jawa. Mereka makan siang di puncak, dan lagi-lagi sambil menunggu kawannya yang tertinggal. Tak ada perbincangan diantara mereka bertiga selama mendaki. Mereka focus, mencapai puncak tepat pada waktunya, dan perkiraan tersebut meleset satu jam lebih lama. Karena mengantri saat ingin melewati “tanjakan setan”. Jalur ke Gede memang hanya ini yang menyulitkan dan jalur setelahnya, agak curam. Berbeda dengan jalur menuju Pangrango, yang hampir setiap jalurnya curam, tanah liat dan banyak sekali pohon-pohon yang bertumbangan. Sehingga akan menyulitkan mereka-mereka yang ingin nge-camp di Lembah Mandalawangi Pangrango. Keril mereka akan sering tersangkut batang pohon yang bertumbangan.

Sedangkan jalan ke Gede hampir sama seperti jalur selama sampai ke Kandang Badak. Undakannya terbantu dari batu-batu kali yang tersusun rapi. Jelas lebih banyak yang ingin menuju Puncak Gede ketimbang Puncak Pangrango. Lembah Suryakencana yang begitu luas, membuat nilai plus ketimbang Lembah Mandalawangi di Pangrango.

Mereka bangun tenda di atas bukit-bukit kecil Suryakencana, agar sedikit mengurangi udara dingin. Jam empat sore mereka sampai Suryakencana. Melewati deretan pohon bunga keabadian, Edelweis. Yang saat itu belum berbunga. Karena bukan pada musimnya.

“Capek gak Nduk?” Tanyanya kepada Nara.

“Enggaklah, lw kali tuh yang capek, muka lw lemes begitu.” Timpal Nara, sambil mengambil logistic yang ia sengaja simpan selama perjalanan, untuk dinikmati di puncak.

“Si Agus naik Gunung mah enggak pernah capek, dia capek sama perasaannya doing tuh Ra.” Salim nimbrung seketika. Sebuah serangan awal untuknya. Dan untungnya tak mengerti akan hal tersebut.

“Kasian Lim si Agus, udah berumur belum pernah juga pacaran. Perasaannya tersiksa kali hahahaha.” Nara semakin memperburuk keadaaan.

Tawanya Nara memang lepas, sehingga kerap kali membuat orang lain kaget bagi yang pertama kali mendengarnya, kenapa perempuan secantiknya tertawa seperti itu, seperti orang Betawi tepatnya. Lepas, bahagianya utuh. Dirinya diam saja, menyimak Salim dan Nara menyudutkan dirinya.

Bulan kini menggantikan matahari. Begitu terang dan Nampak dari Suryakencanan. Purnama yang indah. Sebuah kebetulan. Menikmati cahaya Purnama dari Suryakencana merupakan sebuah keindahan tersendiri. Lembah bermadikan cahaya purnama tersebut. Malam menjadi tak begitu dingin.

Jam 11 semua memutuskan untuk tertidur. Agus tak juga kunjung merem matanya. Entah kenapa. Sudah berupaya dengan keras tak kunjung juga lelap. Gelap tenda tak mampu untuk melihat wajah para sahabatnya. Ia, Nara dan Salim satu tenda, sementara dua kawan lainnya satu tenda dengan kekasihnya.

Jam satu pagi, saat purnama tepat di atas lembah Suryakencana begitu dekat dan Nampak Agus keluar. Turun ke bukit, melihat pemandangan yang amat jarang ia saksikan, meskipun telah berkali-kali naik ke Puncak Gede. Baru kali ini ia menemui Purnama. Rebahan ia Lembah tersebut. Nyanyi dalam hati. Entah nyanyian apa.

Kembali mendekat tenda, memasak air, membuat api kecil-kecilan untuk menambah kehangatan badan, Nara tiba-tiba keluar. Ia kaget akan kehadiran Nara.

“Kenapa lw nduk?” Tanyanya.

“Gak bisa tidur gw. Lw dari kapan di sini? Kok gak bangunin gw.” Protes Nara kepadanya.

“Gak enak mau banguninnya.”

“Purnamanya bagus bener. Cahayanya menembus dedaunan. Sampai ke tanah. Wangi.”

“Iya, muka kita juga jadi keliatan hehehe.” Dirinya begitu menikmati pancaran cahaya Purnama yang jatuh ke wajahnya Nara. Sejuk sekali. Seperti tadi pagi, saat mereka istirahat di air panas, sinar mentari memberikan kesejukan pada wajah Nara. Sesekali ia memandangi Nara. Nara pun sadar, dan ia berkali-kali memberikan senyum kepadanya, syahdu.
Agus makin mencintainya, dan semakin memendamnya. Tak ingin bahagia Nara berkurang. Karena ia tahu, bahwa yang mencintai Nara adalah lelaki-lelaki yang bermateri lebih dan tampan. Dan ia sendiri, tak berani bersaing dengan mereka. Takut mengurangi kebahagiaan Nara. Dengan hadirnya mereka, kehidupan Nara menjadi mudah. Mereka memiliki kendaraan pribadi, yang dengan gagah menawarkan dirinya untuk mendampingi kemanapun Nara pergi. Sedangkan dirinya, Agus hanyalah anak muda yang telah menyatu dengan alam. Tidak berkendaraan pribadi. Tak bertampang ganteng. Dan berekonomi pas-pas an.

Hingga akhirnya kini ia sadar, akan ingatannya tentang begitu cantiknya wajah Nara ketika cahaya purnama menyempurnakan wajah cantiknya di Lembah Suryakencana. Cintanya masih tersimpan rapih dalam hati, tanpa sepengetahuan Nara. Baginya, cukuplah bahagia, hubungan mereka disatukan oleh kepribadian, pemikiran dan logika yang sama. Ia menundukan proses alamiah yang mendasar bagi setiap manusia bahwa cinta harus memiliki dan diungkapkan. Baginya ialah tidak. Cinta dan rindu adalah rahasia, yang kesetiaan menjadi tujuan akhirnya.

Agus penakluk Gunung, yang bertekuk lutut pada seorang perempuan. Menyimpan sebuah rahasia dalam setiap pendakiannya.

pernah dimasukkan ke kompasiana.

Senin, 25 November 2013

Edelweis Itu Tak Akan Layu

setangkai edelweis tumbuh dan berkembang di tengah terik dan panasnya Jakarta.
kisah Dedeh, gadis desa yang menakluukan keras dan panasnya Ibu Kota.

Wajahnya lusuh, sedikit lelah. Sinar mentari pagi mampu mengurangi kelelahannya. Rambutnya tampak lepek, berkeringat. Tas jinjingnya membuat ia sedikit bungkuk. Bekal perjalanan atau bahkan pertaruhannya di ibu kota ini. Tengok kanan kiri, mencoba mencari, namun tak tertemu, karena ia tak tahu apa yang hendak dicari. Tampak ia habis melalui perjalanan jauh, melewati garis batas kota demi kota untuk sampai ke Jakarta. Mencari hidup. Mungkin saja.

Lalu bertepi pada sebuah warung makan, meminta kepada sang penjual untuk dibuatkan teh hangat, tanpa gula. Bersandar pada dinding warung, membuka tas bawaannya, seperti hendak mencari sesuatu. Telepon genggamnya ia ambil, lalu ngotak-ngatiknya seraya berharap telepon yang akan dituju segera menjawab. Namun tak ada jawaban. Dua kali ia mencobanya, namun gagal. Tiba-tiba segelas teh hangat tanpa gula tersebut disuguhkan. Ia abaikan telepon genggamnya, segera ia teguk. Ahh leganya, tampak sekali dari raut wajahnya. Ia seperti telah lama menghadirkan air tersebut. Seperti habis berpuasa satu hari lamanya.

Lalu ia mengelap wajahnya yang berkeringat. Putih, mulus tampak cantik bagi pria yang melihatnya. Rambutnya yang terkuncir ia urai, panjangnya sedikit melebih pundak, hitam seperti rambut perempuan Indonesia pada umunya. Lumayan cukup tinggi, dengan tubuh yang tampak berisi. Namun tak terlalu gemuk juga. Bibirnya tipis. Kira-kira kembang desalah ia di daerah asalnya. Umur baru mencapai 20 tahun. Memejamkan mata seketika. Ia hirup udara yang tampak kotor, yang harus ia hirup pada setiap harinya. Beda dengan udara di daerah asalnya. Lelah.

Ada gurat rindu terhadap orang tuanya. Namun ia coba untuk menahannya. Ia kembali teringat tentang perpisahannya dengan ke dua orang tuanya. Haru tangis memisahkan mereka. Namun ia menyadarinya, mereka harus berpisah untuk mencoba mencari kebaikan hidup di ibu kota. Untuk dirinya dan juga ke dua orang tuanya. Yang menambah beban rindu kampung halaman ialah di sana ia meninggalkan seorang kekasih, yang telah lama ia cintai, sejak kelas 2 SMP.

Ayahnya seorang petani biasa. Dan ibunya seorang ibu rumah tangga. Lima bersaudara, ia anak ke empat. Kakak-kakaknya telah menikah. Ada yang bekerja di kampungya dan ada juga yang di ibu kota. Dan kini ia sedang menuju rumah kakaknya setelah menawarinya pekerjaan. Di salah satu mall. Menjadi SPG. Dengan rupa yang cantik ia tentu dengan mudah diterima.

Ia melekkan matanya, ia lihat telepon genggamnya tak kunjung memberi tanda bahwa kakaknya telah menghubunginya. Ia sampai tepat waktu, bahkan lebih awal sedikit. Setengah jam kira-kira.


“Pertama kali ke Jakarta ya dek?” Suara ringan khas Sunda tiba-tiba mengangagetkannya. Ternyata dari ibu warunglah suara itu berasal.

“Ia Bu, kok tahu? Lagi nunggu kakak nih, janjinya sih jam 9, tapi saya lebih cepat sampainya.” Jawabnya.

“Asalnya mana dek?”

“Cianjur Bu.”

Lalu mereka berdua saling bercengkrama. Dengan Bahasa Sunda. Mencoba untuk mempertahankan budayanya, di tengah kompleksnya budaya di Jakarta. Ia menjelaskan kepada Ibu warung, bahwa ia ditawari kerja di salah satu mall daerah Jakarta Timur. Deket Asrama Haji katanya. Ia tak mau diragukan oleh sang Ibu warung, karena mendengar pesan darinya bahwa hidup di Jakarta tuh sulit, terlebih jika tak ada tawaran kerja yang sebelumnya datang ketika kita masih di kampung. Ia pun sering mendengar celoteh ini dari para tetangga ataupun temannya di kampung. Namun, kedatangannya kali ini bukanlah tanpa persiapan. Ia siap kerja. Tak akan menjadi pengangguran dan menambah beban derita ibu kota.
Selang sepuluh menit kakaknya menelpon bahwa ia sudah ada di terminal Kampung Rambutan. Ia jelaskan kakaknya akan posisinya saat itu. Tak lama. Mereka bertemu. Meluncur langsung ke rumah kakaknya tersebut.

Saat menyusuri Jalan Raya Taman Mini ia tersadar bahwa beberapa tahun lalu saat masih di sekolah ia pernah mendatanginya. Memang dari pinggir jalan raya bangunan-bangunan anjungan daerah sedikit tampak. Ia senang, karena rumah kakaknya tak jauh dari kawasan wisata. Namun perjalanan tiba-tiba terhenti setelah melewati kawasan Taman Mini. Ia ditunjukkan sebuah Mall lumayan besar, ia diberitahu bahwa di sanalah ia akan bekerja nantinya. Wajahnya semakin berseri. Entah kenapa.

Perjalanan masih lumayan jauh, menyusur Jalan Raya Pondok Gede, menuju perbatasan antara Jakarta dan Bekasi. Ia baru tahu bahwa kakaknya bukan tinggal di Jakarta, melainkan di daerah perbatasan ibu kota dengan Jawa Barat. Berarti ia tidak jadi tinggal di Jakarta, masih tetap di Jawa Barat hanya berbeda kota saja.

Ia mudah sekali menyesuaikan dirinya kepada lingkungan baru. Tidak lama tinggal di rumah kakaknya, ia sudah mendapatkan teman-teman baru. Dan di tempat kerja pun sama, ia mudah mengenalkan dirinya kepada orang-orang yang baru dikenalnya. Tidak hanya kepada para perempuan ia mengenalkan diri, tapi juga kepada kaum pria ia mudah mengakrabkan diri kepada mereka yang datang mencoba untuk mengenalnya. Sejenak ia lupa akan kehidupan kampungnya.

Saat libur bekerja biasanya ia mencoba melihat-lihat suasana ibu kota, bersama teman-teman barunya. Ke Monas, Kota Tua, Kebun Binatang Ragunan dan sebagainya. Namun, lebih sering ia main ke rumah-rumah teman kerjanya. Kebiasaan-kebiasaan kehidupan di kampungya sudah mulai terkikis. Mengaji sehabis shalat maghrib, menjalankan shalat tepat pada waktunya sudah mulai bergeser. Kesibukan kerjanya dan terkadang keasikannya bermain membuatnya ia lupa akan hal tersebut. Menghubungi orang tuanya pun sudah tak sesering dahulu. Apalagi untuk menghubungi kekasihnya, sama sekali lupa. Ia hanya memberi kabar jika kekasihnya lebih dahulu menanyakannya. Ia sudah mulai mengkotakan dirinya. Gadis Jakarta.

Mudahnya ia bergaul tidak membuat juga dirinya untuk mudah tertarik pada lawan jenis. Begitu banyaknya lelaki yang silih berganti mendekatinya ia terima begitu saja, namun ia tidak memiliki perasaan apapun. Ketika lelaki tersebut mengatakan cintanya, ia dengan halus dan jujur menolaknya. Ia seperti pemberi harapan palsu kepada lelaki tersebut. Bukan karena ia mencoba setia kepada kekasihnya di kampun, melainkan karena ia memang tidak memiliki ketertarikan kepada lelaki tersebut.

Namun ia nyaman dengan seorang lelaki. Yang tidak pernah merayunya sebelumnya. Selalu bersedia menemani ia pergi. Dan begitu dewasa ketika ia menceritakan masalah-masalah yang dihadapinya. Selalu memberikan waktunya untuk keperluan ia. Sama juga seperti dirinya, lelaki itu juga perantau. Namun, dia ngekost, tidak tinggal bersama orang tua atau keluarganya yang lain. Secara tak sadar ia pun mulai menaruh hati kepada lelaki tersebut.

“Deh, kamu jangan mudah percaya sama lelaki-lelaki ibu kota. Biasanya mereka buaya yang dengan mudah meninggalkan dan menyakiti perempuan-perempuan.” Nasihat kakak iparnya suatu malam, ketika saat itu ia diantar pulang oleh Ipan, lelaki yang mampu membuatnya jatuh hati.

“Iya teh, Dedeh juga gak mudah kok jatuh cinta.” Jawabnya kala itu, namun ia menampik jawabannya sendiri. Ia sadar bahwa ia sedang jatuh cinta pada Ipan.

Bersama Ipan, ia kerap kali mengunjungi kawasan-kawasan wisata Jakarta. Keluar masuk Mall besar ibu kota. Dan tak lupa juga, ia sering nonton ke bioskop berduaan. Hubungannya begitu dekat. Namun Ipan mampu memberikan kenyamanan. Ia teduh bersamanya.

Hingga pada akhirnya, di Pantai Jaya Ancol, Ipan menyatakan cintanya. Di pinggir pantai. Angin yang berhembus perlahan. Di ujung senja. Diantara ombak-ombak yang kian menepi ke bibir pantai. Ia menerima cinta kekasih barunya. Kekasih keduanya, setelah Wahyu di kampung halamannya. Ia sadar dan getir, namun ia sangat bahagia. Akan ada lelaki yang setia mendampinginya diatara kehidupan Jakarta yang keras tersebut.

Ia semakin sering berduaan dengan Ipan. Ke bioskop, bahkan pernah berlibur ke Puncak. Dan Ipan mengajaknya untuk sekalian ke kampungnya. Namun ia menolaknya dengan alasan takut orang tuanya marah jika ia hanya berpacaran untuk tinggal di Jakarta. Ipan memahaminya.

Bahkan tidak jarang ia sering menemani Ipan di Kostannya. Mereka saling mencintai, saling mencoba jujur sambil ditutup-tutupi dengan kebohongan masing-masing. Dedeh saat ini ialah Dedeh yang bukan lagi di kampung halamannya. Dedeh telah menjadi bagian dari kehidupan ibu kota.

Sampai pada suatu saat ia tidak mampu mempertahankan cintanya yang semakin membuncah. Ia tak tahan untuk memberikan segalanya kepada Ipan. Gadis desa yang kini menjadi bagian dari gemerlap ibu kota. Yang biasanya ia hanya memberikan bagian atas, kini semuanya ia berikan. Tanpa syarat, penuh cinta. Ipan memasukinya dengan tulus dan ia menerimanya dengan yakin. Ia terkena rayuan dan tak sanggup menahannya karena wanita lemah segalanya.

Mereka akhirnya melanjutkan hubungan tersebut pada beberapa kali kesempatan. Di saat mereka saling membutuhkan.
Sampai pada akhirnya ia mengandung dan tak lama kemudian Ipan pergi meninggalkannya tanpa jejak. Kakaknya berulang kali mencari tahu keberadaannya. Namun kerap kali gagal. Teman-teman kerja Ipan tak ada yang tahu keberadaannya kini.
Dedeh sering kali menangis di malam hari. Bukan karena ia sedang mengandung. Bukan karena ia takut menanggungnya di hadapan lingkung dan juga ke dua orang tuanya. Bukan ia takut menghadapi badai di hari depan yang sudah menanti. Tapi ia menangis, karena ia tahu bahwa lelaki yang ia cintai adalah seorang pengecut. Tak lebih dari seorang penjilat.
Semakin hari semakin membesar kandungannya. Kerap kali kakak, orang tuanya, dan juga teman-temannya memintanya untuk menggugurkan kandungannya. Mereka beralasan “malu” di kemudian hari. Namun ia tidak menyerah. Ia ingin membesarkan benihnya ini dengan cinta. Yang ia buat dengan rasa tulus dan yakin kala dahulu. Ia tidak ingin, benih suci ini mati karena ketakutan manusia menanggung perbuatannya. Ia tegar.

Lingkungan tempat tinggal kakaknya kini menolak kehadirannya. Ia lalu pergi mencari kostan dekat tempat kerjanya. Di tempat kerja pun awalnya pimpinan menolaknya untuk bekerja kembali. Namun ia tetap mempertahankan haknya. Ia tidak melanggar peraturan kerja. Ia selalu hadir. Tidak bermalas-malasan. Ia adalah pekerja yang kokoh dan jujur di saat jam kerja. Terlebih ia setelah menjadi karyawan. Ia memperjuangkan haknya. Ia menganggap dirinya sama seperti perempuan-perempuan yang sudah menikah lalu mengandung. Bedanya hanya pada surat nikah semata, selebihnya mereka sama. Dan ia berhasil.

Keberhasilannya bukan ia anggap sebuah kebangkitan dari keterpurukan seperti yang orang lain katakan. Ia tak merasa terpuruk dengan mengandung seorang anak di luar pernikahan. Ia merasa karena dirinya tulus dalam melewati perjalanan hidupnya. Ia berhasil berdiri, di saat orang lain menilainya terjatuh. Ia membesarkan anaknya dengan cinta walaupun tanpa seorang ayah.

Selain itu, ketika anaknya nanti menanyakan di mana ayahnya. Ia akan katakan bahwa ayahnya meninggal di saat medan perang. Ayahnya meninggal di saat sedang mencari uang untuk membelikan susu kamu di waktu kecil. Karena ia ingin, anaknya tumbuh dan mengenal ayahnya sebagai sosok yang tangguh dan pejuang bukan seperti nyatanya. Seorang ayah yang lemah dan tak mampu bertanggung jawab.

Ia menjawab keraguan kepada wanita pada umumnya. Ia bukanlah sosok yang lemah dan lari dari kenyataan. Ia membesarkan anaknya walau tanpa ayah. Ia wanita, yang terus berjuang untuk dirinya dan anaknya. Terlihat saat ia memperjuangkan haknya pada pekerjaannya. Ia merasa tak melakukan kesalahan satupun pelanggaran yang tertuang pada saat ia menandatangani kontrak kerjanya. Dan merasa dan berhak untuk terus bekerja, sampai ia memang melakukan sebuah kesalahan yang memastikannya berhak untuk dikeluarkan.

Ia sangat menyukai lagu-lagu Payungteduh yang membuatnya menjadi kerasan saat menyusui anaknya di malam dan di pagi hari. Saat malam ia berirama di ujung malam muliailah sekarang kau bernnyanyi bersamaku. Dan di pagi hari ia bersenandung penuh suka biarkan matahari, membuka mata, membangunkan alam yang lelah.

Tulus sekali ia membesarkan anaknya hingga tumbuh dewasa. Perempuan hebat sekaligus menjadi Ibu yang kuat.

Setangkai Edelweis, berhasil menaklukan kerasnya hidup di Jakarta.

Sabtu, 23 November 2013

Jalan Revolusi

Musuu-Musuh Demokrasi

Bangsa kita telah lebih dari setengah abad. Telah memiliki enam presiden silih berganti. Dari demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila sampai era reformasi, bangsa ini seakan menunjukkan kekokohannya. Sampai pada satu titik, rakyat dengan secara langsung memilih secara bebas dan rahasia, siapa yang menurut mereka layak menjabat menjadi wakil-wakilnya di parlemen. Dan tidak hanya itu, sejak tahun 2004, rakyat telah diberikan mandate langsung untuk menentukan siapa pemimpin mereka di negeri ini. Sungguh pencapaian yang luar biasa dalam proses demokrasi electoral negeri ini. Dalam pemilihan presiden beserta wakilnya secara langsung, Susilo Bambang Yudhoyono langsung menembuskan sebuah sejarah, ia dikehendaki rakyat untuk terus menjabatnya selama dua periode. Inilah negeri kita dengan proses demokrasi elektoralnya.

Namun, perjalanan demokrasi ini harus terus kita perbaiki. Tentunya pesta demokrasi ini bukan hanya dilihat dari segi electoral saja, namun juga harus dilihat dari amanat yang diberikan oleh pancasila dan undang-undang. Masih banyak kekurangan di sana-sini, diantaranaya demokrasi yang khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam benak kita seakan terus bertanya, apa yang salah dalam perjalanan bangsa ini dan juga perjalanan demokrasi? Kenapa sampai pada saat ini, bangsa kita belum bangkit dari keterpurukan. Untuk sebuah perubahan, tentunya kita harus mengenal musuh-musuh yang terus menjadi penghamabt kemajuan bangsa.

Pertama, mari kita tempatkan kaum korporatokrasi yang menjadi hambatan dalam perkembangan bangsa ini. Tentunya kaum ini terus-terusan menempatkan bangsa kita menjadi bangsa setengah jajahan dibawah payung imperealisme.

Langkah masuk kaum imperealis ke dalam negeri ini ialah, dengan melakukan peminjaman dana dengan bunga yang sangat tinggi ketika pemerintah secara terus menerus membutuhkan uang. Tentu saja peminjaman yang secara tidak cuma-cuma ini akan memberikan dampak negative yang berkepanjangan dalam proses pembangunan negeri. Pembayaran bunga pinjaman tersebut yang cukup tinggi memakan porsi anggaran Negara, setelah sampai kepada imperealis mereka mengembalikannya ke dalam negeri dengan menginvestasikan uang tersbut ke daerah-daerah dalam bentuk capital-industrial, yang tertarik pada sumber daya alam yang belum tersentuh.

Dalam hal yang paling wajar, menurut John Perkins dalam buku Pengakuan Bandit Ekonomi menyatakan bahwa biasanya mereka (Bank Dunia dan IMF) menentukan sebuah Negara berkembang yang memiliki sumber daya yang diidam-idamkan korporasi (misalnya minyak), mengatur pinjaman yang besar untuk Negara tersebut. Setelah beberapa waktu, mereka kembali ke Negara tersebut untuk menagih hutang dan meminta beberapa jatah, diantara hal terbesarnya adalah harga minyak yang murah. Begitulah kaum korporatokrasi bekerja.

Bank Dunia yang sebenarnya bukan bank milik dunia, melainkan milik AS, yang pemimpinnya ditentukan secara tidak langsung oleh presiden mereka bekerja sama dengan para peresahaan multinasional dan juga para kaki-tangan mereka di negeri tersebut. Melalui pembayaran hutang tersebut, uang tersebut mereka kembalikan ke perusahaan yang bekerja sama dengan mereka dan juga kepada para komparador asal negeri tersebut. Seperti dijelaskan diatas, mereka membangun capital-industrial ke dalam daerah-daerah yang memiliki sumber daya yang melimpah. Mereka menghimpit kaum tani yang belum terorganisir dan belum terbiasa melawan.

Selain itu, kita juga harus mengenal apa itu imperealisme beserta ciri-cirinya. Apa benar bangsa kita berada dalam baying-bayang imperealisme. Masih dalam bukunya John Perkins tersebut, imperium adalah Negara-bangsa yang mendominasi Negara-bangsa lainnya dengan menunjukkan satu atau lebih dari ciri-ciri tersebut:

1. Mengeksploitasi sumber daya dari Negara yang didominasi,
2. Menguras sumber daya dalam jumlah yang tidak seimbang dengan jumlah penduduknya jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain,
3. Memiliki angkatan militer yang besar untuk menegakkan kebijakannya ketika upaya halus gagal,
4. Menyebarkan bahasa, sastra, seni dan sebagainya ke seluruh tempat yang berada di dalam pengaruhnya,
5. Menarik pajak bukan hanya dari warganya sendiri, tapi juga dari orang-orang di Negara lain,
6. Mendorong penggunaan mata uangnya sendiri di Negara-negara yang berada di bawah kendalinya.

Dengan membaca ciri-ciri tersebut, dapatlah dengan jelas bahwa bangsa kita ini sedang dalam berada dalam setengah jajahan.

Kini, setelah para penduduk asli negeri ini yang menjadi komparador imperealisme asing tersebut menikmati begitu banyak pundi-pundi yang diberikan hak-hak istimewa oleh penjahat sesungguhnya, yakni AS dan para sekutunya, mereka secara perlahan mencoba masuk dalam kekuasaan. Mereka memasuki daerah eksekutif bukan untuk mendapatkan hak-hak politiknya, melainkan mencoba mengamankan pundi-pundi harta mereka dengan membuat kebijakan-kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat kecil. Mereka masuk ke dalam jajaran eksekutif dan legislative agar harta mereka terhindar dari pajak Negara. Tak ayal seperti itulah mereka ingin masuk ke dalam tampuk kekuasaan.

Tidak heran, kini Abu Rizal Bakri, Hatta Rajasa, Prabowo, Hari Tanoe dan lain-lain sedang berlomba menjadi orang berpengaruh di negeri ini. Selain itu ada cara lain, seperti menjadi sponsor utama para kandidat penguasa.
Lalu apalagi yang menjadi penghambat dari perkembangan negeri ini untuk menuju bangsa yang adil dan makmur? Selanjutnya adalah para pelaku demokrasi yang mengandalkan isu-isu feodalisme untuk meraih dukunga. Seperti; agama, suku dan budaya.

Merebaknya kembali gejala seperti ini dapat dengan mudah menggantikan politik berkewarganegaraan dan wawasan kebangsaan. Merajarelanya gejala ini dapat dengan mudah terjadinya gesekan-gesekan yang dibungkus dengan identitas primordial.

Contoh paling mendasarnya adalah islamisasi ruang publik yang bebas dari kepentingan dan dominasi. Biasanya perilaku para calon pemimpin ataupun calon anggota legislative yang akan bertarung mereka kerap kali terjebak pada politik identitas yang tanpa diminta langsung oleh pemimpin umat muslim. Mereka kerap kali dalam masa mengenalkan diri mereka kepada masyarakat dengan secara tidak malu-malu menyebutnya sebagai haji yang taat, menggunakan symbol-simbol islam, dan kerap kali masuk keluar masjid dengan janji-janji yang menggiurkan. Dan mereka seakan takut tampil dihadapan masyarakat apabila tidak ada embel-embel islamnya.

Untuk meraih sebuah perubahan, tentunya kita haruslah terus berjuang untuk mencapainya. Kita harus pandai menggunakan semua bentuk perjuangan yang terbuka dan legal yang diperbolehkan oleh undang-undang dan peraturan-peraturan, oleh kebiasaan-kebiasaan, dan adat istiadat di dalam masyarakat. Dalam memupuk kekuatan yang memakan waktu yang panjang, kita harus tekun dan ulet untuk mencapainya. Jangan sampai kita terjebak kepada aksi-aksi yang keburu nafsu yang tidak akan membawa revolusi Indonesia kepada penghancuran sasaran di atas. Tekun dan ulet, harus kita tanamkan pada benak kita yang peduli dan mau berjuang demi perubahan bangsa. Demi menegakkan amanah demokrasi yang tersurat dalam Undang-Undang Dasar dan Pacasila.

Salam Perubahan. LAAAAAWAAANNNNNN

Selasa, 19 November 2013

Demokrasi dan Upaya Penerapannya

Sebuah upaya untuk penguatan Demokrasi di negeri ini. Agar Demokrasi bukan hanya dianggap sebagai sistem elektoral semata namun juga untuk dijalankan basis normatifnya.

Cita-cita Demokrasi seperti yang terbayangkan dalam Undang-Undang Dasar maupun Pancasila sampai saat ini masih membutuhkan jalan panjang. Nilai luhur kedua landasan idil bangsa ini sedang dalam pertaruhan. Maka dari hal tersebut maka seharusnya kita tak pernah lelah dalam melakukan konsilidasi Demokrasi kepada masyarakat.

Dalam pandangan awal, kita tak lagi mengelak pandangan yang diajukan oleh Fahmi Huwaydi tentang titik singgung antara demokrasi dengan nilai-nilai islam. Ia memberikan tujuh poin yang menghubungkan antara demokrasi dan islam. Pertama adalah kekuasaan dipegang penuh oleh umat; Kedua adalah masyarakata ikut berperan dan bertanggung jawab; Ketiga adalah kebebasan adalah bagi semua orang; Keempat adalah kesamaan diantara semua manusia; Kelima adalah kelompok yang berkuasa memiliki legalitas; Keenam adalah kezaliman yang mutlak tidak diperbolehkan dan meluruskannya adalah kewajiban; Dan yang ketujuh adalah undang-undang di atas segalanya. Inilah titik singgung antara demokrasi dan islam yang sekiranya sudah sampai pada hal positif dimata para pelaku demokrasi, baik dari sayap kanan dan sayap kiri. Sampai pada masalah ini, kita belum melihat apa yang menjadi kecemasan kita terhadap akan goyah cita-cita bangsa melalui jalan demokrasi.

Bangsa ini dilahirkan dengan begitu banyak perbedaan. Suku, agama, bahasa, budaya dan sebagainya mampu disatukan oleh Bapak Bangsa kita semua yakni Soekarno. Beliau mempersatukan segala perbedaan tersebut tanpa pertumpahan darah manusia. Upaya utamanya adalah akan lahirnya wawasan kebangsaan yang lahir pada abad kedua puluh. Sumpah Pemuda mampu menjadi obat dari segala penderitaan dan arah yang tak jelas pada masa penjajahan. Setelah lahirnya kemerdekaan, barulah lahir ide brilian, berupa nilai-nilai luhur Pancasila yang menjadi landasan ideology bangsa. Kedua hal ini diharapkan mampu menjadi pegangan hidup masyarakat untuk menghindarkan kedalam jurang fanatisme SARA ataupun kelompok agar tak berkembang secara tak terkendali sehingga menjadi bencana bagi terciptanya cita-cita bangsa.

Perjalanan demokrasi bangsa kita sudah cukup panjang tentunya. Berganti penguasa berganti pula penerapan sistem demokrasinya. Baru setelah jatuhnya Orde Baru demokrasi tumbuh subur di negeri ini. Partai-partai politik berdiri, wakil rakyat dipilih langsung oleh rakyat. Tidak mau kalah Presiden dan Wakilnya pun langsung diberikan kepada rakyat untuk mengambil keputusan. Apakah rakyat masih menginginkan rejim lama untuk berkuasa atau mereka menghendaki rejim baru untuk berkuasa, semua itu diserahkan langsung kepada rakyat. Bahkan partai politik dan organisasi berdiri tanpa harus menjadikan Pancasila sebagai ideologynya, akibatnya banyak partai ataupun ormasyang lahir berdasarkan suatu nilai agama maupun budaya.

Namun, apakah itu semua menandakan demokrasi telah mencapai puncaknya terkait pelaksanaannya di negeri ini? Bukan ingin berpandangan sinis ataupun skeptis. Namun saya hanya ingin berpandangan realistis saja dengan segala perkembangan demokrasi belakangan ini. Mengingat tahun depan adalah peristiwa yang sangat kita tunggu-tunggu demi terlaksananya perbuhan perbaikan dalam kehidupan bangsa, yakni pelaksanaan Pemilihan Umum.

Kita harus mengambil poin lain yang menjadi bahan perdebatan yang kerap kali terlupakan karena jika ini kita anggap sebagai kelamahan dari demokrasi maka kita akan dianggap telah melawan kehendak reformasi paska tahun 99. Tidak bisa dipungkiri pastinya, pelaksanaan pemilihan kepala daerah baik di tingkat Kota maupun Kota/Desa menjadi sebuah bom waktu bagi terciptanya amanat demokrasi yang dituangkan dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar. Perlukah hal ini harus kita takutkan?

Pertanyaan di akhir paragraph di atas sangat perlu kita perhatikan. Memang saat ini, gerakan untuk melakukan atau mengubah landasan bangsa dari Pancasila menjadi sistem syariah islam sudah berkurang bahkan berlalu begitu saja. Masyarakat secara langsung kerap kali menolak ajakan tersebut yang kadangkala diusung beberapa kelompok. Kita tak perlu lagi memperdebatkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Index of Political Right and Civil Liberty yang dikeluarkan oleh Freedom House, yang menyatakan bahwa Negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim kerap kali gagal membangun politik yang demokratis. Menurut mereka, jika ada orang islam yang hendak memperkenalkan model demokrasi kepada penduduk mereka akan gagal. Karena orang islam menganggap bahwa demokrasi tidak akan berpengaruh pada kehidupan mereka, islamlah yang menjadi acuan utama mereka. Lebih jauh kita tidak perlu memperdebatkan ini dengan pandangan yang menentangnya seperti yang diutarakan oleh Fareed Zakaria. Beliau sebgai pemikir muslim berada dalam posisi yang dilema, disaat ia melihat dunia muslim pada diri darah dagingnya yakni bangsa Timur Tengah ia menilai memang sangat jauh bila demokrasi liberal dapat diwujudkan di sana. Ia mengakui bahwa dunia Arab terjebak pada sistem autokrasi dan masyarakat tidak liberal. Namun ia secara tegas jika Islam menjadi momok utama yang membuat demokrasi tidak tumbuh subur di seluruh dunia. Masalah utamanya adalah menurutnya terdapat pada dunia Timur Tengah sendiri bukan pada dunia islam. Memang kita sering terjebak bahwa islam adalah Timur Tengah dan Timur Tengah adalah islam. Padahal, menurutnya adalah bukan. Timur Tengah hanya memiliki 260 juta penduduk muslim, dan di luarnya ada sekitar 650 juta muslim yang hidup di Negara demokrasi yang tumbuh sempurna. Inilah dua kutub pendapat yang sudah tidak relevan lagi untuk kita perdebatkan.

Lantas apakah umat muslim di bangsa kita sudah sepenuhnya menerima dan mengamalkan nilai-nilai demokrasi? Secara procedural dapat kita katakan ya, mereka umat muslim sudah secara suka rela menjalankan demokrasi untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin. Namun, ini yang perlu kita garis besarkan, mereka umat muslim hanya menjalankannya sebagai bentuk procedural belum sampai pada nilai normatifnya. Muslim seperti ini kerap kali disebut sebagai “democrat islamis” yakni umat muslim yang menjalankan demokrasi hanya sebatas pemilihan semata, namun dibalik itu semua masih menyimpan agenda-agenda islam untuk diperjuangkan. Indikasinya dapat kita lihat secara kasat mata, pada setiap pemilihan umum, pemilihan gubernur atau kepala Wali Kota maupun Bupati kerap kali pemimpin umat muslim melakukan lobi politik kepada para calon-calon yang akan bertarung. Mereka menggunakan otoritas kekuasaannya dimata umatnya, yang apabila ia berkata “A” maka seluruh umatnya – karena otoritas keagamaannya – seluruh umatnya akan mengatakan “A” pula. Inilah yang menjadi senjata utama pemimpin-pemimpin umat muslim di suatu daerah tertentu. Ia menjanjikan otoritasnya tersebut untuk memberikan suara kepada para calon pemimpin tersebut, sambil meminta agar calon tersebut apabila sudah terpilih mau menjalankan amanah syariah yang ia tuntutkan. Inilah yang menggerogoti demokrasi secara perlahan. Umat islam hanya menjadi alat mobilisasi suara yang di jual oleh pemimpinnya kepada para calon pemimpin.

Diperparah lagi oleh perilaku para calon pemimpin ataupun calon anggota legislative yang akan bertarung. Mereka kerap kali terjebak pada politik identitas yang tanpa diminta langsung oleh pemimpin umat muslim. Mereka kerap kali dalam masa mengenalkan diri mereka kepada masyarakat dengan secara tidak malu-malu menyebutnya sebagai haji yang taat, menggunakan symbol-simbol islam, dan kerap kali masuk keluar masjid dengan janji-janji yang menggiurkan. Dan mereka seakan takut tampil dihadapan masyarakat apabila tidak ada embel-embel islamnya. Merebaknya gejala seperti ini juga akan mengakibatkan gesekan-gesekan yang dibungkus dengan identitas agama.

Lalu sebenarnya apa cita-cita demokrasi? Seperti yang secara umum sudah kita ketahui bersama, demokrasi merupakan bukan hanya proses penyerahan kekuasaan dari rejim lama kepada penguasa rejim yang baru yang dipilih langsung oleh rakyat. Atau bahkan rakyat memutuskan rejim yang lama untuk terus berkuasa melalui proses yang sama. demokrasi bukan hanya seperti hal tersebut.

Cita-cita demokrasi adalah masalah melindungi kebebasan dan hak individual masyarakat dari tindakan sewenang-wenang para penguasa. Lebih jauh lagi, yakni untuk menjamin hak individu untuk menjalani kehidupan menurut pihaknya masing-masing. Individulah dalam nilai normative demokrasi ini yang menjadi titik pusat perhatian pemerintah demokratis, bukan pada konsep-konsep transcendental – Tuhan, yang menjadi pusat perhatian dari dan ukuran untuk tatanan demokratis.

Semoga kedepannya umat muslim di bangsa kita menjadi democrat sejati, yakni seorang yang mampu menempatkan kebebasan individu, toleran terhadap perbedaan, kesamaan hak dihadapan hukum, dan sebagainya. Inilah cita-cita demokrasi.
Kebebasan individu disini jangan kita anggap manusia yang bebas melakukan apapun, justru sebaliknya, karena kesamaan hak dihadapan hukum, kebebasan individu baru bisa dijalankan apabila ia telah memberikan kewajibannya dihadapan publik. Bukan individu yang secara bebas melakukan apapun.

Sabtu, 16 November 2013

Cahaya Dari Lorong Mimpi

Bagian Ketiga Dalam Nyanyian Anak Negeri

Awalnya ku duga akan menjadi sulit, jika kesibukanku dalam kuliah ditambah lagi dengan kesibukan membantu Tama memberikan pengajaran pada anak-anak lorong jembatan. Bukan hanya dalam mengatur jadwal antara jam kuliah ku dan jam mengajar anak-anak di sana, tetapi jam untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen ku akan sedikir berkurang. Memang Tama tak memaksaku untuk ikut membantunya, namun aku ingin membantu mereka, mencerdaskan mereka, dan memberi sinar dalam lorong-lorong mimpi mereka.

Pagi ini sinar mentari begitu tulus memberikan cahayanya kepada umat manusia. Tak panas, tak juga mendung. Ini bagiku adalah syahdu. Mampu membuat diri ini kedalam peraduan rindu, pada orang-orang yang terkasih. Setelah membuat sarapan pagi, aku mandi lalu bersiap untuk menuju lorong tempat tinggal Tama. Memberikan pengajaran.

Secangkir susu manis, roti panggang, dan juga sekepal semangat dalam hati untuk memberikan ilmu yang tulus kepada anak-anak tersebut. Hari ini Mila tidak ikut mengajar, ia sedang sibuk mencari bahan-bahan tugas yang diberikan oleh dosennya. Sedangkan diriku sudah tak tertarik lagi untuk kuliah. Setelah sekian lama menjalani profesi baru ini, pengajar.

Orang tua ku belum mengetahui hal ini, karena mereka terlalu sibuk untuk mengurusi pekerjaannya, dan aku tak peduli juga dengan mereka. Kami hanya bertemu sebulan sekali jikaku mau, namun sering kali aku menolaknya. Uang pemberiannya sebisa mungkin aku sisihka, untuk membelikan buku-buku bacaan kepada anak-anak. Mila kerap kali memperingatkan ku agar tak melupakan bangku kuliah yang sudah memasuki masa akhir. Namun aku tak peduli.

Sebenarnya selain Mila ada juga Rendi yang selalu mengawasi gerak-gerik ku selama ini. Ia adalah pria yang mengaku tulus mencintaiku, menyanyangiku, dan peduli terhadap kekecewaanku terhadap orang tua ku. Namun, aku menganggapnya hanya sebagai angin lalu, karena ku anggapnya sama seperti mereka-mereka yang merengek kepada orang tuanya untuk memenuhi nafsu kemudaannya, dan juga mengharapkan perjalanan yang mudah dalam mencari pekerjaan setelah masa kuliah karena pengaruh yang dimiliki oleh orang tuanya. Pemuda yang tak punya harapan menurutku.

Tanpa kusadari sudah mendekati pukul setengah tujuh pagi ini. Masih menikmati irama pagi ini dari lagu-lagunya Payungteduh. Syairnya begitu teduh, sederhana namun penuh makna.

Kita adalah sisa-sisa keikhlasan yang tak diikhlaskan merindung ku mendengarnya. Mengingatkan ku akan masa sekolah, masa dimana Tama tak mendapatkan posisi sejatinya sebagai juara sekolah. Ya, dia masih merupakan murid terpintar namun kelebihannya tersebut tak di ikhlaskan oleh kami dan oleh pihak sekolah pada kala itu. Aku benci.
Masih ingin bersantai, aku memutar satu lagi lagu dari Payungteduh yang berjudul Resah. Bukan karena aku resah dalam kehidupanku saat ini, tapi memang sedang resah dalam seuah rasa.

Aku menunggumu dengan damai di atas sini melayang-layang, ah entahlah aku menjadi melayang mendengar lirik ini.
Apalagi ditambah dengan aku ingin berdua denganmu diantara daun gugur, aku menjadi semakin resah. Tak ada yang aku ketahui tentang apa yang ada dalam rasa diriku saat ini.

Jam pelajaran memang dimulai jam 8. Ini dipilih Tama, karena melihat kondisi yang kurang memadai mengenai jumlah MCK yang dimiliki. Jumlah MCK hanya tiga. Berapa lama antrian untuk mendapat giliran dari sekitar empat puluhan kepala keluarga.

Lokasi Tama dengan tempat kost ku memang cukup jauh. Aku kost disekitaran kampusku di wilayah Depok. Sedangkan Tama berada di daerah Jakarta Timur, berbatesan dengan wilayah Jakarta Selatan. Dekat dengan wilayah Pasar Rebo Jaktim. Mereka berada dekat dengan jalan tol JORR menuju arah TB Simatupang. Disekitarnya ada sungai yang mengalir menuju wilayah Pasar Minggu. Banyak pepohonan, hijau dan sejuk. Berimbang dengan jumlah polusi mobil yang lalu lalang di jalan tol tersebut.

Selama perjalanan menuju tempat Tama, aku asik mendengarkan irama musik dari Kitaro dengan judul Into The Forest. Ya tempat tinggal Tama merupakan satu tempat yang ku anggap taman kota yang sangat dibutuhkan dari tatanan ibu kota ini. Musiknya sederhana, namun mampu membawa kita begitu jauh.

Berduyun-duyun berebutan jalan bersama pengguna jalan lainnya merupaka salah satu kegiatanku kali ini. Jika mahasiswa keluar dari tempat kostnya untuk menuju kampus, maka aku tidak. Aku pergi menemui para anak-anak yang tak henti-hentinya menyanyikan pujian-pujian untuk negerinya. Kampus kini menjadi tujuanku nomor sekian, tujuan utamaku adalah Tama dan para muridnya.

Hari ini tidak begitu sibuk aku agendakan untuk mengajar. Setelah dzuhur aku berniat mengajak Tama untuk mencari buku-buku bacaan baru meskipun buku-buku tersebut buku bekas. Aku mengajaknya ke Point Square Lebak Bulus. Buku sangat penting menurutku, selain menjadi teman hidup yang paling setia, buku merupakan salah satu alasan utama ketika kita berhasil menulis.

Pada saat mengajar ku berniat untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk membacakan puisi-puisinya yang dua hari lalu aku tugaskan kepada mereka. Satu per satu mereka maju, percaya diri, tanpa malu. Tak sedikit dari mereka ada yang masih grogi saat berada di depan anak-anak yang lain. Namun mereka setidaknya sudah diberikan motivasi yang begitu besar dari Tama. “Guncangkan dunia dengan tulisan kalian, beritahu mereka bahwa dari lorong ini kalian mempunyai mimpi.” Kira-kira seperti itu Tama memnyemangati mereka.

Sebenarnya aku tidak ingin mengkategorikan tulisan-tulisan mereka termasuk dalam kategori puisi, cerpen, opini atau apapun. Aku ingin mereka menulis. Bebas, sesuai dengan kehendak mereka. Mengisi kertas putih yang suci dengan garis pemikiran mereka yang tulus.

Ada satu tulisan yang membuatku sedikit kaget. Ya mereka berhasil menggemparkan aku yang belum lama mengenal mereka. Seperti ini kiranya tulisan tersebut.

Lorong Mimpi

Kami jarang mengenal mereka
Kami berada hanya dalam mimpi
Tak pernah keluar
Bahkan untuk sekedar berkata
Hidup kami adalah mimpi
Mimpi buruk bagi mereka
Mimpi indah untuk kami

Sejengkal kami bermimpi
Orang-orang bergantian tertawa
Sejengkal kami menangis
Orang-orang makin terbahak-bahak
Sejengkal kami mati
Orang-orang bersyukur

Itulah kami,
Lorong kehidupan ini
Tempat kami bermimpi
Menjadi tempat bagi mereka untuk membuang sampah

Namun kami tak pernah berhenti
Berlari mengejar mimpi
Dari lorong sunyi ini.


Setelah kegiatan belajar, aku berhasil mengajak Tama untuk pergi untuk mencari buku untuk bahan bacaan anak-anak. Awalnya ia menolak, karena uang kas anak-anak belum cukup untuk membeli buku baru. Dan ia semakin menolak ketika aku memberitahu bahwa uangku yang akan digunakan. Ia tak mau merepoti ku nampaknya. Namun setelah beberapa lala kami bicara, aku berhasil menyakinkannya.

Membeli buku cerita anak-anak, buku-buku sejarah, dan buku-buku lainnya. Tidak lupa juga aku membelikan kepada Tama buku-buku tentang teknik menulis, macam-macam tulisan, dan juga novel. Aku memaksanya untuk menerimanya, walaupun awalanya ia menolak. Setelah itu, ia tak ada henti-hentinya memberikan ceramah kepadaku. Ia takut, kalau nanti uangku habis, ia takut juga kalau orang tuaku marah uang pemberian darinya aku belikan buku kepada anak-anak, ia juga takut kalau aku terlibat begitu jauh sehingga tak lagi melanjutkan kuliah. Tapi ketakutannya itu berhenti ketika aku bilang, “aku ingin berbagi, seperti kamu, kepada mereka, walau kita dalam keterbatasan sekalipun. Aku ingin seperti kamu.”

Tama tidak hanya berhenti ceramah setelah ku ucapkan kalimata tersebut, mukanya juga memerah malu. Aku senang membuatnya malu seperti itu, karena aku tahu bahwa ia orang yang berbudi baik. Tidak mau dipuji, sehingga ia menampakan wajah yang malu.

Aku saat itu menemukan satu cahaya baru. Cahaya dari lorong mimpi, cahaya cinta. Seraya berharap Tama berkata, “berikan tanganmu, jabat jemariku, kita melangkah bersama, selamanya, membangun hidup dari lorong mimpi ini,”

Selasa, 12 November 2013

Sejengkal Awal Revolusi

Jauh melangkah kebelakang, seperti mengutip pemikiran Aidit dalam buku Tan Swie Ling, bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat setengah jajahan dan setengah feodal. Dari hal tersebut, kita sudah dapat sasaran utama dalam gerakan perubahan yang menjadi musuh bangsa ini, kekuatan pendorongnya, tugas-tugasnya, karakter dan persepektif-perspektifnya.

Terlebih pada masa kini musuh utama kita kaum imperealis sudah menjadi kekuatan besar yang akan terus menjajah bangsa. Yang tak perlu dilupakan juga ialah, diantara kaum imperealis tersebut terdapat anak bangsa sendiri yang menjadi kaki tangan setia kaum imperealis asing. Kaki tangan – kaki tangan ini ada yang memiliki hubungan langsung dengan capital besar asing dan ada juga yang tidak, dan yang tidak memiliki hubungan secara langsung ini mereka biasanya mendapatkan dana-dana istimewa dari kaum imperealis.

Jelaslah sudah, arah kita akan kemana nantinya. Ini hanya menjadi satu jengkal pertama dalam perjalanan perubahan ini.

Langkah masuk kaum imperealis ke dalam negeri ini ialah, dengan melakukan peminjaman dana dengan bunga yang sangat tinggi ketika pemerintah secara terus menerus membutuhkan uang. Tentu saja peminjaman yang secara tidak cuma-cuma ini akan memberikan dampak negative yang berkepanjangan dalam proses pembangunan negeri. Pembayaran bunga pinjaman tersebut yang cukup tinggi memakan porsi anggaran Negara, setelah sampai kepada imperealis mereka mengembalikannya ke dalam negeri dengan menginvestasikan uang tersbut ke daerah-daerah dalam bentuk capital-industrial, yang tertarik pada sumber daya alam yang belum tersentuh, dan terutama tenaga kerja yang belum terorganisir, dan belum terbiasa melawan.

Dengan mengubah pola hidup kaum tani menjadi pekerja industry tentu ini akan merugikan kehidupan kita sendiri. Bangsa yang biasa hidup dengan bertani kini mereka secara tiba-tiba harus menjadi pekerja industry dengan budaya baca yang masih sedikit. Terjadilah social jumping dalam kehidupan masyarakat kita yang membawa pada titik menjadi pembantu di negerinya sendiri. Tata kelola yang salah dalam pembangunan ini membuat rakyat terus-terusan menderita. Ini terjadi sedari dahulu, sampai saat ini. Lahan pertanian secara perlahan diganti dengan kawasan-kawasan industry. Kaum tani dan miskin desa semakin terhimpit kehidupannya. Mereka mengahasilkan devisa Negara hanya untuk membayar hutang dan menambah penderitaan mereka, tidak mengurangi sedikitpun beban kehidupan.

Tidak dapat dilupakan juga bahwa dalam segala bentuk pinjaman yang didapat oleh pemerintah tidak semuanya masuk untuk kepentingan rakyat. Sedikit demi sedikit mereka habis saat memasuki wilayah birokrasi kekuasaaan. Dana tersebut tersunat, tak sepenuhnya atau bahkan sebagian sampai untuk kepentingan rakyat miskin. Semakin memperparah penderitaan negeri ini. Merekalah yang kini berada dalam tampuk kekuasaan sebagai kaki tangan kaum imperealis asing yang menjajah saudaranya sendiri.

Kita dapat melihat dari berbagai kawasan industry yang terbangun, seberapa banyak menyerap rakyat untuk menjadi pekerjanya. Dan seberapa besar dampaknya dari pengurangan beban kemiskinan mereka. Dari data yang didapat dari situs Kementerian Perindustrian, per Agustus 2012 pabrik industry di Indonesia dapat menyerap 118,04 juta pekerja di Indonesia. Industri alas kaki dan garmen merupakan sektor industri padat karya yang menyerap sedikitnya 4 juta tenaga kerja dan menghasilkan devisa ekspor 20 miliar dollar AS atau Rp 200 triliun per tahun. Jumlah tersebut sangat besar, namun tidak dapat mengangkat perekonomian buruh. Buruh yang dipaksa terus bekerja selama hampir 8 jam, hanya mendapatkan hasil yang kecil dibandingkan keuntungan yang begitu besar yang diraih oleh kaum imperealis dan para kaki tangannya.

Selain itu kini masuk pula para gerombolan pengusaha yang mencoba menjadi penguasa. Keinginan mereka memasuki kekuasaan bukan untuk melakukan penjaminan bahwa mereka juga memiliki hak politik yang sama terhadap seluruh warga, melainkan untuk mendapatkan jaminan bahwa harta mereka tak akan berkurang sedikitpun akibat kebijakan Negara yang merugikan mereka. Bangsa ini sudah parah dan diperparah oleh mereka yang serakah. Setelah Partai Politik yang menjadi saluran resmi untuk menjadi penguasa hanya dianggap sebagai perkumpulan elit untuk melanggengkan dan merawat oligarki elit, kini Partai Politik mencoba dimasuki oleh kaum pengusaha. Kekuasaan bukan sekedar tentang lobi-lobi politik lagi, melainkan lobi-lobi ekonomi pun sudah mulai memasukinya. Penguasa yang terpilih tidak lagi menjadikan kepentingan rakyat menjadi pilihan utama, melainkan lobi-lobi ekonomilah yang dibangun oleh pengusaha-pengusaha yang menjadi penguasa demi mengamankan asset mereka.

Sampai di sini, dimana kepentingan dan kebutuhan rakyat kecil diperjuangkan? Setelah Partai Politik yang seharusnya menjadi saluran resmi aspirasi rakyat, kini dimasuki oleh pengusaha yang mencoba mengamankan asetnya. Setelah Negara seharusnya menjadi pelindung rakyatnya, kini Negara malah melindungi imperealis asing dan menjadikan rakyatnya budak di negerinya sendiri.

Sebuah perubahan dapat terjadi apabila segenap rakyat bersatu dan siap menerkan musuhnya. Tidak ada perjuangan yang berhasil jika masalah-masalah social hanya menjadi sebuah latarbelakang dan perjuangan tersebut dilaksanakan di bawah panji nasional dan regenerasi republikanisme borjuis. Hanya taktik-taktik independen kelas bawah, yang dari posisi kelasnya menghimpun dukungan, dan hanya dari posisi kelasnya mendapatkan kemenangan mutlak dalam perubahan.

Namun, nampaknya sekali lagi yang perlu kita sesalkan bersama ialah kini mulai memudarnya persamaan kelas. Persamaan kelas diantara penduduk kota telah hilang. Kaum miskin kota sudah tidak mampu lagi melawan industry bebas, sudah tidak mampu lagi melawan kaum borjuis menengah ke atas, tertindas dan menindas, serakah namun tidak sanggup memenuhi keserakahannya. Inilah kelas buruh yang sudah tuli akan gemuruh peristiwa dan kemiskinan.

Di luar kelas buruh ada kelas terpelajar. Mereka sadar dan nyata melihat penindasan, ketidakadilan, kemiskinan, korupsi, kolusi, nepotisme, dan berbagai penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh penguasa. Namun mereka juga secara nyata terlihat diam dan merasa nyaman dengan semua kejahiliyahan tersebut. Mungkin karena mereka dibentuk semasa bangku perkuliahan hanya untuk mencapai akses birokrasi baik di swasta atau pemerintahan agar mencapai masa depan yang nyaman. Semasa kuliah mereka tidak peka terhadap problem masyarakat dan masalah social.

Namun sekali lagi kita harus optimis dan yakin, suatu hari nanti, dari sejengkal arah perubahan ini akan tercipta sebuah keadilan tanpa penindasan.

Baca dan Lawan Kawan.

Kamis, 07 November 2013

Ekalaya Seno Pratama

Nyanyian Anak Negeri

Bagian Kedua

Dia adalah Tama, seorang temanku di waktu SMA. Sesungguhnya dialah yang menjadi murid terpintar diantara seluruh siswa di sekolah. Ia sederhana, kehidupannya terkadang jauh di luar dari kehidupan kami para siswa lainnya. Bukan karena ia menghindar, dia adalah sunggguh pria yang percaya diri, namun karena dia memang sengaja kami buang dari kehidupan kami sesama siswa. Hal itu terjadi, karena kami para siswa lainnya berasal dari kelas menengah atas, dengan latar belakang ekonomi yang cukup mewah. Sedangkan dia berasal dari keluarga miskin kota, yang bisa sekolah di tempat kami karena mendapat beasiswa dari Dinas Pendidikan Pemerintah Kota Jakarta. Bukan seperti kami, yang sekolah di sini karena mampu memberi uang lebih kepada petinggi sekolah.

Oh iya, sesungguhnya pada masa sekolah dia lebih tepat jika bukan disebut sebagai teman. Dia hanya mengisi satu jatah bangku kosong yang dikhususkan untuk murid yang mendapat beasiswa. Bukan teman, karena dia sangat jarang bahkan tidak pernah diajak berbicara dengan kami. Kaum priapun menjauhinya, hanya ada satu siswa yang mendekat kepadanya, yaitu dia adalah Karim, anak penjaga sekolah yang diberikan hak khusus untuk sekolah di tempat kami. Mereka adalah dua siswa yang berlatar belakang sama. Maka wajar mereka berteman.

Dia asli Jawa, ayahnya orang Solo dan ibunya asli Semarang. Tinggal di Jakarta sejak kecil. Semenjak kelas 4 SD ia mendapat beasiswa dari Dinas Pendidikan Kota Jakarta, sampai ia tamat. Sungguh murid yang luar biasa. Dan terakhir ku dengar semasa sekolah ibunya meninggal, namun diantara kami tak ada yang menjenguknya. Ya, sungguh manusia macam apa kami pada masa itu.

Bertubuh kurus dan tinggi, berkulit hitam, dan hidungnya sedikit mancung. Tidak terlalu hitam, sebenarnya dia adalah berkulit manis, jika ku perhatikan. Setiap ada kuis dari ibu bapak guru ia selalu menjadi peserta pertama, dan mendapat nilai yang tinggi. Di kelas sungguh tak ada yang menandingi kecerdasannya. Namun jika sudah masuk lingkup luar, misalnya ada perlombaan cerdas cermat atau semacam olimpiade ilmiah ia tak pernah diberi kesempatan untuk ikut serta, kesempatan itu justru diberikan kepada ku dan siswa-siswa lainnya yang berlatar belakang seperti ku, karena pihak sekolah takut orang tua kami marah apabila anak-anaknya tak berpartisipasi pada perlombaan ilmiah. Sungguh menyedihkan baginya hal tersebut, namun tak membuatnya berputus asa.

Sekolah tidak pernah datang terlambat, dan tidak pernah pulang pertama. Waktu istirahat tidak pernah ada pada lingkungan kami para siswa lainnya, ia pergi menuju kamar sahabatnya yakni Karim yang ayahnya mendapatkan satu kamar khusus untuk tinggal di lingkungan sekolah demi menjaga seluruh inventaris sekolah. Ia berdua di sana. Makan siang dengan makanan yang ia bawa dari rumah, dan terkadang ia berpuasa, lebih tepatnya karena memang tak ada makanan yang ia bisa makan untuk hari tersebut.

Ayahnya adalah seorang pengepul barang bekas. Tinggal di lorong jalan layang daerah Jakarta. Ibunya telah meninggal, dan tak memiliki adik. Ayahnya tak memutuskan untuk menikah lagi. Ia berkonsentrasi untuk terus mencari biaya tambahan untuk keperluannya. Ayahnya dikenal memiliki kelebihan dalam ilmu agama, beliau dihormati dalam lingkungannya. Maka tidak heran jika aku sering melihat betapa salehnya Tama di sekolah. Ia pernah ingin mendirikan eskul rohis, namun gagal, karena minim peminatnya. Itulah kami, para murid yang kaya raya, jauh dari ketertarikannya pada nilai-nilai agama.

Aku sungguh tidak tertarik pada kala itu untuk mengenal Tama. Aku masa itu masih ingin menjadi bagian dari kemewahan harta yang dimiliki oleh orang tuaku. Dan aku juga masih ingin menjaga gengsiku kepada teman-teman yang berlatar sama sepertiku. Dan aku juga malas jika berkenalan dengannya dan orang tuaku mengetahuinya, maka itu akan sedikit menghambat kemanjaanku kepada mereka. Maka aku seperti teman-temanku waktu itu, manusia yang tak memiliki rasa persamaan kepada sesama. Manusia kelam yang berasal dari kesialauan harta orang tuanya.

Iya gagal memasuki bangku perkuliahan, karena tidak mendapat beasiswa lagi dari Dinas Pendidikan. Waktu itu, hanya anak-anak yang berada dalam tiga besarlah yang memiliki kesempatan mendapatkan beasiswa kuliah. Sedangkan ia tidak ada dalam tiga besar tersebut. Bahkan terlempar jauh dalam posisi sepuluh. Sungguh memukul dirinya. Telak, bahkan mampu meng KO kan dirinya dalam hitungan detik. Ini terjadi pada kelas dua belas. Nilainya diperkecil sedemikian rupa, agar anak-anak para donatur berada dalam posisi sepuluh besar.

Ku dengar ia sempat sakit akan kejadian tersebut. Namun apa peduliku padanya, aku tak tertarik mengerahui hal tersebut. Lagi-lagi kuperjelaskan, ini terjadi pada masa sekolah, sebelum aku keluar dari lingkungan rumah yang hanya menawarkan dan melihat seseorang dari kemewahan harta.

Ia gagal kuliah, dan gagal meraih pekerjaan di Ibu Kota. Sehingga akhirnya kini ku bertemu kembali padanya. Dua tahun setelah kelulusan kami dari bangku SMA. Dan satu tahun setelah aku keluar dari lingkaran manusia yang haus akan harta dan tahta.

Sebenarnya nama aslinya adalah Seno Pratama, aku sengaja menambahkan Ekalaya di depannya, karena aku melihat kesamaan antara tokoh Ekalaya dan dirinya. Ekalaya adalah seorang pemanah yang mengalahkan kemarihan Arjuna. Ia sempat mengajukan permintaan kepada Resi Dorna seorang gurunya Arjuna untuk ikut menjadi muridnya. Namun, usahanya gagal, karena dalam benak Resi Dorna ia hanya ingin melihat Arjuna seorang yang menjadi pemanah nomor satu di dunia ini. Maka Resi Dorna menolak Ekalaya untuk menjadi muridnya. Ekalaya terus berusaha, namun ia hanya mendapat restu dari Resi Dorna untuk menjadi pemanah. Senang bukan kepalang Ekalaya, dan ia pun kembali ke hutan, berlatih memanah dengan semangat jiwanya atas restu Resi Dorna tersebut, walau tertolak menjadi gurunya.

Suatu saat Arjuna pergi berburu dalam hutan, ia mengincar Kijang dalam pandangannya, namun apa daya, ketika ia sedang mengambil ancang-ancang ia didahului oleh seseorang, lima anak panah menancap tepat di dada Kijang tersebut, orang itu ialah Ekalaya. Arjuna menjadi durja pada saat itu, siapa yang mampu mengalahkan kemarihan memanahnya. Arjuna mendapati seorang pria seumurannya, keluar dari tempatnya memanah. Ekalaya.

Arjuna menanyai Ekalaya perihal dirinya. Dan Ekalaya menjawabnya dengan menyebut Resi Dorna adalah gurunya. Arjuna membawanya kehadapan sang guru tersebut, ia mengadu bahwa Ekalaya mengakui dirinya sebagai gurunya. Dalam hati Resi Dorna tersentak dan kaget, bagaimana ada murid yang tidak belajar secara langsung kepadanya mampu memiliki kemarihan memanah, dan tentunya ia pun bangga, karena dirinyalah yang dianggap sebagai guru. Namun ia sadar, bahwa Arjuna adalah murid dan juga putra raja yang manja, dan sangat ambisius menjadi pemanah nomor satu di dunia. Maka Resi Dorna dengan berat hati mengajukan permintaan kepada Ekalaya untuk melakukan tradisi guru-dakshina. Inilah tradisi antara guru dan murid yang baru saja dilimpahkan ilmunya, murid memberikan sebuah hadiah ketika keilmuannya sempurna. Dan Resi Dorna meminta kepada Ekalaya untuk memotong ibu jari tangan kanannya dan menyerahkan kepadanya, dan Ekalaya seorang murid yang patuh dan cerdas memberikannya dengan senang hati. Jadilah Arjuna menjadi pemanah nomor satu di dunia.

Begitupun dengan apa yang dialami oleh Tama. Ia murid tercerdas, namun ia harus mengakui, kecerdasannya mampu dikalahkan oleh kekuatan harta dan kemanjaan kami. Aku menangis saat semuanya membuatku sadar. Ekalaya dan Tama adalah dua orang yang cerdas dan patuh, namun kalah dari orang-orang seperti kami yang lebih memiliki kekuasaan.
Kini semuanya telah terjadi, aku bertemu kembali dengan Tama, saat aku sedang berjalan-jalan mengenal dunia yang amat jauh dari kehidupanku selama ini. Melihat secara langsung kondisi rakyat miskin di ibu kota. Aku sungguh terharu melihat keadaan mereka. Hingga pada akhirnya nyanyian anak-anak membuyarkan pikiranku. Mereka bernyanyi, memuja Indonesia, Negara yang telah membuangnya dari peradaban. Dan diantara anak-anak tersebut aku melihat Tama dengan sabar dan tegap membimbing mereka. Saat itulah kami berdua berbicara lebih dari segalanya.

Ia bercerita, ketika ia merasakan kekecewaannya karena gagal mendapatkan beasiswa untuk masuk perguruan tinggi ia jatuh sakit. Seminggu ia tak mau keluar dari kekecewaannya. Barulah ketika ayahnya kesal melihat dirinya, ayahnya menamparnya dengan sangat keras. Membangunkan tubuhnya sambil berkata tegas, “sampai kapan kamu mau seperti ini, kecewamu tak berarti untuk langkah selanjutnya, semua telah terjadi, kita kalah akan keadaan, lalu kamu mau terus menerima kekalahan ini. Bangun Tama, bangun. Tegakkan kepalamu, ajarkan anak-anak di sini membaca menulis, kamu berikan mereka pengarahan, dan gemparkan dunia bahwa anak-anak kolong jembatan mampu membuat sebuah karya tulis yang menakjubkan. Itu bakatmu, tularkan kepada mereka.”

Aku tahu, sejak sekolah Tama memang memiliki kelihaian dalam membuat tulisan. Ia belajar secara ototdidak. Ia rajin membaca karya-karya Pramoedya, Taufik Ismail, dan lain-lainnya dari buku yang ia beli di penjual buku-buku bekas. Berkali-kali tulisannya masuk dalam jurnal sekolah. Walaupun ia adalah murid jurusan IPA namun tak kalah bagus tulisannya dengan murid jurusan Bahasa.

Setelah tamparan dari ayahnya tersebut, ia sadar, ia kalah dan harus bangkit. Aku kaget, ketika ia bangkit ia memutuskan kembali ke sekolah kami. Ku kira ia ingin mencaci jajaran petinggi sekolah, ternyata ia menemui Karim dan ayahnya, agar diberikan kesempatan untuk mengambil botol-botol bekas minuman para siswa, agar menjadi penghasilannya. Ia mengatakan akan mengambilnya di malam hari setelah aktifitas mengajar anak-anak sesamanya selesai. Ayahnya Karim memenuhi permintaannya. Jadilah ia pengepul barang bekas, seorang guru, dan juga seorang guru mengaji bagi kaumnya di lorong jalan layang.

Ia tidak hanya mengajar anak-anak, untuk para ibu-ibunya pun ia ikut memberikan pengajaran membaca. Ini agar mereka tak mudah tertipu dengan orang asing.

Oh iya, jangan kita membayangkan tempat tinggal mereka kotor dan kumuh. Semua tertata rapih. Bahkan ada tanaman-tanaman yang baru mereka tanam, untuk ikut memberikan ruang hijau yang layak di Jakarta. Barang-barang yang telah mereka kumpulkan tidak ditumpuk sembarangan, disediakan gudang khusus untuk menyimpannya. Ruang bermain dan belajar untuk anak-anak sangat nyaman walaupun berada di ruang terbuka. Di sekeliling mereka membuat bulatan untuk belajar, di sekelilingnya ada tanaman kecil menggantung. Ini tampak sejuk, walaupun berada di lorong jalan layang. Itu semua adalah peran serta Tama, ialah pengusulnya, membuat lingkungan sehat diantara kotornya Jakarta.

Begitulah Tama, sosok yang baru ku kenal, walaupun sudah lama saling bertemu. Pemuda tangguh dan cerdas, memiliki cita yang amat mulia. Berjuang untuk kaumnya dan membawa mereka untuk mengguncangkan dunia dengan karya tulis.
Dan kini aku, Kame Dea, ikut serta dalam citanya tersebut. Aku sengaja membuang nama Putri ku dari nama pergaulan ku. Aku ingin dikenal dengan sebutan Dea untuk orang-orang yang baru mengenalku. Ingin menolak nama Putri yang selama ini membuat ku terlena dengan kemewahan harta orang tua ku, sehingga terkadang membuat ku selayaknya menjadi putri dalam istana. Manja, lemah, dan tak bertanggung jawab.

Ke depannya Tama ku pinta untuk memanggilku Dea, agar ia melupakan aku yang dulu, dan kenal dengan diriku yang baru.
Di lorong jalan layang yang bising, kini ku berjalan.

*bersambung*

Nyanyian Anak Negeri

Bagian Pertama

Kame Dea


Sungguh tak menyangka waktu berjalan begitu cepat. Sampai pada titik ini, semua berjalan begitu mulus. Tak ada hambatan. Bukan berarti karena kelebihan yang ku miliki, namun itu semua terjadi karena dominasi yang dimiliki oleh ayahku dan peranannya. Dari ku kecil sampai ku tumbuh dewasa. Tak ada yang mampu menghalangi langkahku, atau lebih tepatnya adalah kemauan ayahku yang dia imbaskan atas kelahiranku.

Mungkin orang lain akan merasa senang apabila mereka melihat apa yang kumuliki selama ini. Semua berjalan semestinya, namun aku tak merasa seperti itu. Bagiku itu bukan hal yang alamiah, karena semua yang terjadi pada diriku adalah kehendak ayahku. Semua sudah diatur, apabila ada bagian yang menjauh dari keinginan ayahku, maka ia akan menghukumnya. Sumpah serapah akan keluar dari mulutnya. Yang ingin menghalanginya ia tendang, semua orang dihadapannya bagaikan anak kecil yang penurut. Takut, mereka takut. Sungguh menakutkannya ayahku bagi mereka.
Aku memang tak mengerti, ketika ayahku begitu ambisius dan tak ingin mengerti atas kesalahan yang disengaja ataupun tidak disengaja yang dilakukan oleh orang-orang disekelilingnya atau orang-orang yang terlibat untuk memenuhi ambisinya, mereka tampak terlihat tabah atau sengaja mereka tabahkan. Bahkan sampai ketika aku dewasa seperti ini, aku masih tak mengerti mengapa mereka masih mau berada disisi ayahku.

Semasa kecil aku pernah melihat secara langsung, seorang guruku harus keluar dari sekolah setelah ia memberikanku nilai yang kecil. Aku sadar saat itu, hal tersebut terjadi atas kebodohanku. Aku sulit menerima apa yang diberikan oleh guruku, dan ketika diadakan ulangan harian nilaiku jelek. Ayahku tahu, dan ia dengan kekuasaannya mampu mengeluarkan guru tersebut dari sekolahku, dan kepala sekolah tak mampu menahan hal tersebut. Tampak olehku pada saat itu, ayahku begitu perkasa dan berkuasa. Namun aku tidak bangga atas keperkasaan dan kekuasaan yang ia miliki. Aku sadar, penyebab nilaku jelek adalah karena pada saat itu aku melihat pertengkaran ayah dan ibuku. Mereka bertengkar setelah pulang dari kesibukannya di luar rumah. Aku menangis namun mereka berdua tak ada yang tahu. Kakakku saat itu sudah tak ambil pusing lagi atas hal seperti itu, karena ia sudah tumbuh dewasa dan mungkin juga sudah terbiasa. Namun saat itu aku masih kelas empat SD, dan aku sungguh terpukul sehingga nilaiku memburuk.

Semasa ku mengeyam bangku sekolah ayahku adalah seorang Sekretaris Jenderal di salah satu perusahaan BUMN dan ibuku adalah seorang Deputi Bank Negeri. Sehingga mereka sering kali keluar kota untuk kepentingan bisnisnya. Mereka jarang sekali kumpul bersama aku dan kakakku. Untuk mengetahui prestasi anak-anaknya ia memutus seorang anak buahnya untuk memantua kegiatanku di sekolah. Dan tak lupa, disetiap sekolah yang aku tempati, mereka selalu menjadi penyumbang terbesar di sekolah, dengan imbalan nilai-nilai aku dan kakakku direkayasa sedemikian rupa agar kami selalu menjadi juara kelas.

Baru ketika aku memasuki bangku perkuliahan, ayahku menjabat sebagai salah satu Menteri di pemerintahan. Jabatan tersebut ia dapat atas kedekatannya dengan Presiden kala itu dan ayahku juga menjadi penyumbang dalam masa kampanye nya. Selalu ada konspiras dalam perjalanan hidupnya. Antara ayak dan Presiden, mereka kerap kali melakukan kerja sama “gelap” selama ayahku menjabat di BUMN. Setiap tender yang terjadi, ayahku selalu memberikannya kepada anak perusahaan yang dimiliki oleh Presiden tersebut. Dan itu berlanjut sampai ia menjabat sebagai seorang Menteri dan kawan sepermainannya menjabat sebagai Presiden. Tak heran, hartanya kini menumpuk, bahkan sanggup untuk memberi makan orang se-Jakarta dalam satu hari atau bahkan lebih. Kakaknya yang semasa kecilnya kerap kali menolak atas kemewahan yang dimiliki orang tua mereka kini menjadi penikmat utama atas kemewahan tersebut. Dan ia yang kini sedikit menjauh dari kemewahan tersebut harus keluar dengan beribu alasan.

Aku adalah Putri, itu adalah nama asliku, bukan putri atas segala kemewahan yang dibangun atas kedigdayaan ayahku. Aku Putri. Bukan menjadi putri dalam istana tersebut. Kini semenjak ku memasuki bangku kuliah, aku sadar perjalanan begitu singkat dan mulus. Dan yang membuat itu semua berasal dari sebuah yang ku anggap sebagai kemunafikan.
Aku keluar dari lingkaran tersebut. Awalnya aku beralasan ingin ngekost dekat kawasan kampusku, agar dengan mudah dan tidak terlalu lelah dalam perjalanan. Selain itu, agar aku juga dapat berlama-lama dan pulang-pergi ke perpustakaan. Mereka setuju, tanpa mengetahui kemuakan ku yang sesungguhnya.

Aku sudah muak dengan semua itu saat aku memasuki semester pertama ku kuliah. Aku bosan dengan kemewahan keluaga ku dan juga keluarga-keluarga lain yang menduduki jabatan seperti ayahku. Mereka keluar negeri dengan mudah, belanja di tempat-tempat elit di Eropa, sepatu, tas dan segalanya, mereka menikmati sisi lain dari yang seharusnya mereka tak nikmati. Yakni uang rakyat. Kunjungan kerja yang hanya memakan waktu tak sampai seminggu, namun mereka perlama untuk memenuhi nafsunya. Memakan waktu lama dan juga anggaran yang lama yang semua berasal dari rakyatnya yang miskin dan menderita.

Tak ada kecurigaan dari ayah dan ibuku setelah ku memutuskan keluar dari kemewahan tersebut. Aku juga kerap kali menemui penjilat-penjilat muda, yang melihat kemewahanku semata. Mereka mendekat, menaruh rasa kebahagiaan atas yang kumiliki, namun mereka mengharap yang lebih. Mencoba menikmati “diriku” yang diberikan oleh keluargaku. Harta yang mereka cari dan juga akses birokrasi untuk mempermudah mereka setelah sarjana. Aku kerap kali menolak penjilat-penjilat itu dan kecewa yang teramat dalam. Mereka adalah mahasiswa, agen perubahan, dan juga seharusnya mereka berdiri paling depan menentang kesemua itu. Namun mereka sebaliknya. Menjilat bagaikan orang-orang yang ada dilingkaran setan ayahku.

Setelah itu, aku mencoba keluar berkenalan dengan orang-orang yang berada jauh di bawah kemewahan keluargaku. Melihat kehidupannya, penderitaannya, dan ketegarannya. Dari yang sehari makan dua kali, sampai ada yang sekali makan dalam dua hari. Mereka dilorong-lorong beton yang kokoh, yang dibangun dari bagian kecil uang mereka, yang menjadi perlintasan utama kaum kaya dengan deretan mobil mewahnya. Dan mereka memanfaatkan itu untuk mereka tinggali, untuk mereka teduhi, untuk hari esok yang kian gelap.

Para orang tua di sana bekerja mengais sampah yang terbuang sembarangan oleh kaum kaya, dari sampah mereka berharap mengubahnya menjadi emas. Namun apa daya, emas tersebut hanya mampu membuatnya tersenyum sampai keringatnya belumlah hilang. Diawal menyuap nasi mereka tersenyum dan diakhir mereka kembali memikirkan, apa yang mereka makan untuk esok, atau bahkan mereka kembali berpuasa. Entahlah tak ada sedikitpun senyum yang tertahan dari mereka lama-lama, semuanya pergi dalam seketika.

Namun, anak-anak mereka tetaplah riang. Seperti anak-anak pejabat. Padahal mereka hanya seorang anak jalanan. Di tengah panasnya mentari, dan terkadang di tengah dinginnya malam, mereka selalu tersenyum. Seakan mereka bahagia. Ya, memang sesungguhnya mereka sangat bahagia dari kondisi yang mereka rasakan dan miliki, berbeda dengan bahagia yang ada dan sudah tertanam dalam diriku, kemewahan. Dan hal tersebut sedang ku buang jauh-jauh.

Saat ku berjalan disekelilingnya, aku tak melihat bangunan yang layak untuk kehidupan manusia. Aku hanya melihat, bangunan yang sedikit terbuat dari papan yang lusuh, sedikit kardu menambal kekurangannya, dan kain yang sudah tampak kotor. Tak ada bangunan yang terbuat dari pondasi rumah yang selayaknya. Mereka bilang kepadaku, “untuk apa yang bagus, toh nanti kami juga harus pindah ke lorong lainnya saat petugas merazia kami.”

Namun, dibalik semua itu aku tampak kaget, karena di antara susunan bangunan semi permanen tersebut, tampak ada papan tulis menggantung di salah satu sudut. Tidak tampak bersih, masih ada bekas tulisan-tulisan yang terhapus, tampak belum lama digunakan, dan di atasnya ada sebuah tulisan “Aku Anak Indonesia” dan diiringi dengan tulisan “Aku Cinta Indonesia.” Aku bertanya pada salah satu ibu, ia menjawab “itu kerjaannya si Tama, salah satu anak penghuni sini juga.”

Tulisan “Aku Anak Indonesia” membuat ku menenteskan air mata, mereka diajarkan mengakui bahwa mereka Anak Indonesia, padahal mereka tak menikmati Indonesia mereka. Hidup miskin, namun di saat yang bersamaan ada anak Indonesia yang kaya dan bahkan sangat kaya. Hidup menderita, namun di saat yang bersamaan ada yang bahagia. Mereka sama-sama anak Indonesia. Namun Indonesia mereka saling bertolak belakang. Air mataku semakin deras, ketika mereka seharusnya membenci ke Indonesiaannya, mereka juga diajarkan untuk Cinta kepada Indonesianya. “Siapa Tama?” dalam batinku bertanya.

Hari itu memang sudah sore, aku ditemani dengan sahabat ku, menyusuri lorong penderitaan tersebut. Tiba-tiba sayup-sayup terdengar nyanyian, koor anak-anak sedang mengharmonisasikan masing-masing suara mereka supaya terdengar merdu. Namun, apa yang di rasa, mereka begitu merdu dan syahdu disbanding dengan paduan suara kampusku. Mereka menyanyikan bersatu seakan merekalah orang Indonesia yang sebenarnya dengan segala kenikmatannya. “Indonesia ku tidak kulupakan, kan ku kenang sepanjang hidupku . . .” dan seterusnya. Mereka bernyanyi seakan mereka di masa mudanya nanti akan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan sekolah mereka. Mereka tak akan melupakan Indonesia mereka, yang penuh penderitaan dan air mata. Suara itu semakin dekat semakin nyaring terdengar, barisan anak-anak muncul di depan pandangan mataku. Mereka berbaris dengan rapid an tertib, berjalan dengan badan tegap, seolah dengan pasti dan yakin hari esok adalah milik mereka.

Mereka berbaris, seperti sedang melaksanakan upacara. Yang lebih kecil berada pada barisan terdepan. Lalu dilanjutkan dengan yang lebis tinggi dan seterusnya. Pakaian mereka sungguh apa adanya, sobekan baju dimana-mana, namun semangat mereka tak terkira. Sampai pada barisan terakhir, ku melihat seorang pria muda mengawasi dari belakang. Tinngi kurus, kulit hitam tampak mengkilat dengan keringat yang bercucuran, rambut ikal, seumuran denganku. Sampai pada pemukiman mereka, mereka berhenti dan memberi salam, lalu bubar barisan setelah mendapat izin dari pemuda tersebut. Aku mencoba mengingat, rupanya aku pernah kenal dengan dia. Pemuda lusuh itu.

“Kamu Putri?” Ia bertanya sambil mendekati ku, aku masih mencoba mengingat-ingat siapa sosok pemuda ini. Sahabatku menngangguk mengiyakan pertanyaannya. Mendengar jawaban tersebut ia tampak puas.

“Aku Tama, teman kelas dua belas mu dahulu di sekolah. Memang sulit mengingat teman seperti ku. Jauh dari dunia kalian. Apalagi kita tak pernah sekalipun berbicara. Tentu kamu sulit menerka kembali ingatanmu tentangku.” Ucapannya meringankan pikiranku, ya aku ingat dia. Dia adalah Tama, Seno Pratama teman sekelas ku. Ia berkesempatan sekolah di tempatku karena mendapatkan beasiswa. Dia merupakan yang sesungguhnya murid terpintar di sekolah. Namun dia tak pernah mendapatkan juara kelas. Selalu kalah dari kami yang orang tuanya menjadi donator dalam sekolah. Termasuk aku.
“Apa kabarmu?” Aku bertanya sambil menjulurkan tangan untuk mengajaknya berjabat tangan. Namun ia tak meresponnya.
“Aku baik, tanganku kotor dan tak mungkin ku berani menjabat tanganmu yang bersih tersebut.” Jawabnya.
“Santai saja, kita adalah teman, jangan terlalu merendah diri.” Tama tersenyum mendengar ucapanku.

“Apa kabar Put, apa yang sedang kamu cari di sini? Jika nanti ayahmu tahu kamu akan mendapat ceramah darinya, dan kehidupan kami mungkin akan kembali berpindah karena akan di gusur oleh rekanan ayahmu.” Ujar Tama.
Lalu kami pun lama mengobrol. Ku jelaskan kepadanya, bahwa aku sudah tidak lagi seperti dahulu. Aku kini ngekost dan menjauh dari kemewahan ayahku. Aku tak menikmatinya lagi selain untuk biaya kuliahku. Selebihnya selalu ku menolak hal tersebut. Lebih jauh aku sekarang sedang mencoba keluar dari kemewahan anak-anak kelas atas Jakarta pada umumnya. Mencoba mengenal dunia yang lain, dunia yang penuh perjuangan dan penderitaan. Dan aku bertemu denganmu di sini. Kini kita adalah teman yang lebih dari segalanya. Aku menyampaikannya pula kepadanya aku ingin berhgabung dengan dunianya. Mengisi kelas dalam sekolahnya yang sederhana dan tentu juga sekolah yang tak terdaftar secara resmi. Namun dengan semangatnya, mereka yakin akan menjadi bahagia di kemudian hari.

Kita saling bercerita dengan diri masing-masing sore itu. Ditemani oleh cahaya senja yang suci. Dilorong yang bahagia. Tama nampak ingin menyambut kehadiran ku yang tak disengaja ini dengan sajian yang sempurna, namun keadaan memaksa dia hanya mampu menghadirkan secangkir teh manis panas dan juga gorengan pisang. Dan itu tak membuat ku kecewa, bahkan membuat ku bahagia. Nampak sahabat ku sangat bingung kala itu. Ternyata aku bisa merasakan dunia yang begitu jauh dari yang aku dan dia alami selama ini. Dan sahabatkupun ikut bagagia, bertemu dengan anak-anak murid dan juga dengan guru mereka yakni Tama.

Saat-saat selanjutnya aku kembali ke sana, sambil memberikan kelas mengajar dan juga membawa koleksi buku-buku baru yang aku dapat dari uang kiriman orang tuaku. Sahabatku, Mila, selalu mendampingiku, bahkan ia pun ikut memberikan kelas.

Setiap Senin pagi aku dan Mila selalu menyempatkan ikut upacara, menaiki Sang Saka Merah Putih, menyanyikan Lagu Indonesia Raya, belajar mencintai Indonesia ini secara tulus, dari anak-anak yang tak pernah mendapatkan perhatian dari pemerintah dan negerinya sendiri. Mereka tampak bukan orang Indonesia, hidup miskin diantara orang-orang kaya Ibu Kota, namun ia menyakini ku, bahwa mereka orang Indonesia, walaupun mereka jauh dari perhatian orang Indonesia lainnya. Mereka yakin, Indonesia di masa depan adalah milik mereka, milik semua orang, tak ada penindasan dan diskriminasi, semua berhak menikmati Indonesia dengan selayaknya, dan pada saat itu pula aku sangat menjadi orang Indonesia dan mulai jatuh cinta pada Tama.
*bersambung*





Sabtu, 02 November 2013

Cinta Kita Sama Meski Tuhan Kita Berbeda

“Kenapa semua menjadi seperti ini? Aku tidak mengerti, kedua keluarga kita menolak hubungan kita. Padahal kita yakin, Tuhan sangat mengasihi dan mencintai jalinan kasih sayang yang dialami oleh mahluk-Nya, namun kenapa jadi seperti ini. Kita seperti pendosa besar dihadapan Tuhan. Kita, aku dan kamu yang memiliki dua cara berbeda dalam mencapai Tuhan kini harus tersakiti oleh kungkungan perbedaan itu. Apa Tuhan sudah mulai lelah memancarkan cintanya kepada manusia.” Dalam pelukan kekasihnya, Kartika menangis begitu dalam, di atas gunung, mereka berdua melepaskan kepedihan takdir mereka.

“Tidak ada yang salah tentang Tuhan dan juga tentang rasa cinta yang ditimbulkan oleh-Nya. Talk ada yang salah dari takdir Tuhan yang telah menemui kita berdua. Tak ada yang salah dari kita, karena memiliki cara yang berbeda dalam menuju cinta Tuhan. Tak ada yang salah dengan mereka yang menolak hubungan kita. Tak ada yang salah dari semua ini. Hanya kebenaranlah yang benar. Namun aku yakin kita memiliki kebenaran dalam hubungan ini.” Ujar Karim kepada kekasihnya.

“Bahkan Negara pun menolak hubungan seperti mereka. Mereka tidak merestui anak bangsanya yang saling cinta untuk menempuh jalan kasih sayang. Masyarakat juga sangat keras menentang keberadaan kita. Kita selalu terusir di negeri ini. Apa cinta hanya boleh diraih dan diberikan kepada sesama saja, bukan kepada yang berbeda. Cinta ini tulus Rim, aku mencitaimu, karena aku tahu di dalam dirimu ada kedamaian yang dapat kurasakan, seperti ketika ku sedang beribadah kepada Tuhanku, kedamaian itu sama, aku mencintaimu setulus aku mencintai Tuhan ku.” Kini Kartika melepaskan pelukannya, ia tertunduk penuh putus asa. Dan tak tahu harus bagaimana lagi kedepannya.

Kartika adalah seorang kristiani yang taat. Ia kini sedang menyelesaikan kuliahnya S1 nya di salah satu Universitas terkemuka di ibu kota. Perwakannya tidak terlalu tinggi untuk ukuran perempuan asli Indonesia. Hidungnya mancung. Kulitnya putih. Matanya tajam namun selalu memancarkan kasih sayang. Rambutnya hitam lurus. Ia selalu menguncir rambutnya. Demi kenyamanan aktifitas yang ia jalani.

Ia tinggal bersama kedua orang tuanya di salah satu bilangan elit di kawasan Jakarta Selatan. Anak pertama dari bersaudara. Adiknya juga perempuan, kini sedang duduk di kelas tiga. Di salah satu sekolah Kristen ibu kota. Ayahnya adalah pengusaha sukses, dan ibunya adalah wanita karir. Sejak kecil ia sering dirawat oleh neneknya. Diajarkan keluruhan nilai-nilai Injil pada dirinya sejak masa anak-anak. Karena Ayah dan Ibunya sering bepergian ke luar kota, ia lebih dekat kepada neneknya dibandingkan kepada kedua orang tuanya tersebut. Hanya adiknya saja, yang sejak SMP dekat dengan ibunya. Hal tersebut terjadi karena neneknya harus menghadap Tuhan. Dan sejak kepergian neneknya tersebut ia seperti kehilangan sedikit motivasi. Ia sering menyendiri namun hal itu tak berarti menurunkan prestasi belajarnya. Sampai ia lulus SMA dan akhirnya mampu masuk ke Universitas negeri.

Ia jarang sekali bicara kepada ibunya. Tradisi yang telah lama terjadi membuat ia merindukan satu sosok yang mampu menciptakan satu kedamaian dalam dirinya, seperti apa yang selalu dilakukan oleh neneknya di semasa kecil. Neneknya selalu membacakan Injil ketika ia menjelang tidur. Sehingga keluhuran nilai-nilainya tertanam dalam dirinya. Kini ia tidak dapatkan dari ibunya. Entah kenapa ia tidak ingin dekat kepada ibunya. Mungkin gejolak masa kecilnya belum terlupa pada dirinya. Ia sering ditinggal oleh orang tuanya hanya demi kepentingan karir, sedangkan ia harus menunggu di rumah. Untunglah neneknya dengan sabar menemaninya.

Hingga akhirnya ia menemukan sesosok Karim dalam lingkungan kampusnya. Ia pria sederhana, pintar dan gigih. Datang dari kalangan muslim menengah ke bawah. Mereka berdua berbeda fakultas. Namun bertemu dalam satu lingkungan diskusi yang intens. Tentang politik.

Karim menepis tanggapan dalam benaknya bahwa muslim tidak bisa menerima konsep demokrasi. Awalnya, bagi dirinya ialah muslim hanya menganggap seorang muslim hanya menjalankan demokrasi hanya sebatas aspek proseduralnya saja, seperti hanya menjalankan kewajibannya dalam partisipasi pemilu dan dilain sisi mereka mengendam misi untuk terus berusaha mewujudkan nilai-nilai syariah islam diterapkan dalam tatanan pemerintahan. Selain itu ia juga memandang umat islam mempunyai misi tertentu setelah Otonomi Daerah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Ada negoisasi-negoisasi setiap Pilkada berlangsung dari kalangan pimpinan pesantren dan tokoh agama islam. Mereka dengan kepopulerannya dan juga otonominya dikalangan umat muslim menawarkan suara kepada para calon yang bertarung dengan imbalan nilai-nilai islam diterapkan di daerah tersebut.

Traumatic yang teramat mendalam akan dominasi kaum mayoritas di negeri ini begitu mendalam dirasakan oleh Kartika. Mereka yang minoritas kerap kali mendapatkan diskriminasi. Mulai dari pendirian rumah ibadah, pelaksanaannya, apalagi untuk meraih dukungan untuk masuk menjadi anggota pemerintahan. Kerap kali mereka tertolak oleh kaum sebangsanya sendiri, hanya karena berbeda identitas. Dan ia sendiri tidak terbayangkan jika suatu saat nanti suara mayoritas tersebut menjadi penguasa. Apakah hak-hak mereka yang minoritas akan terpenuhi. Jangankan yang berbeda agama, sesama yang seagama saja mereka sebagai mayoritas masih melakukan kekerasan dan permusuhan. Sungguh tak ada harapan lagi untuk melihat bangsa ini sejalan dengan Bhineka Tunggal Ika.

Sedangkan Karim berasal dari peranakan betawi tulen. Orang tuanya merupakan Haji. Cukup terpandang di kampungnya. Orang tuanya kerap kali memakai symbol agama dalam segala aktifitasnya, seraya mengharapkan otoritasnya sebagai seorang haji yang terpandang di kampungnya. Kerap kali ia mendengarkan lagu-lagu Arab yang tak ia mengerti artinya. Namun, orang tuanya menganggapnya itu sebagai dari bagian islam. Tak jarang orang tuanya melarang anak-anaknya mengenal musik-musik yang ada di negeri ini, bagi mereka ini akan merusak keimanan dan moral anak-anaknya.
Awalnya Karim memang sangat dilarang untuk kuliah. Sejak Sekolah Dasar ia sudah dituntut untuk sekolah madrasah atau pesantren. Namun ia kerap kali dikeluarkan dari sekolah. Ia menolak hal tersebut. Dan orang tuanya terpaksa untuk menyekolahkannya di sekolah umum. Dan saat kuliah pun ia tidak direstui oleh Ayahnya, namun Karim seorang yang gigih, ia bekerja sampingan saat malam hari.

Orang tuanya sangat mengagungkan bangsa dan budaya Arab. Sebagai seorang haji ayahnya kerap kali memakai jubah putih apabila hendak berangkat ibadah. Memakai sorban panjang. Tak lupa memakai wewangian yang sangat tajam baunya untuk dihirup. Karim sering kali dipaksa untuk keluar dari pekerjaannya, dipaksa untuk mengikuti pengajian-pengajian yang lagi digemari oleh kaum muda saat ini. Pergi malam, membawa bendera besar, naik motor tanpa helm, dan terkadang mereka merasa symbol keagamaan yang melekat pada tubuh mereka membuatnya merasa agung dibanding dengan pengguna jalan lain, dan tak heran mereka menutup jalan demi kepentingan mereka. Oknum-oknum seperti itu malah merusak keteduhan para pengajarnya sendiri. Namun Karim menolak perintah ayahnya tersebut. Karim tak sejalan dengan prinsip seperti itu.

Tidak lupa Karim pun sering berdebat dengan Ayahnya. Ayahnya sering kali memerintahkan Karim untuk meniru gaya berpakaiannya. Berjubah atau setidaknya menggunakan baju takwa. Sedangkan saudara perempuannya, kerap kali diperintahkan menutup seluruh tubuhnya dengan pakaian. Menurut ayahnya dengan berpakaian seperti ini, mereka akan tampak lebih beriman dibandingkan dengan manusia lainnya. Semakin sering karim diperintahkan seperti itu, semakin sering pula mereka berdebat.

Menurut Karim, iman tidak terlihar dari berapa banyaknya symbol agama yang melekat dalam tubuh manusia. Ia heran dengan mereka yang menutup tubuhnya dengan symbol agama yang merupakan budaya Arab dan bukan ajaran agama sesungguhnya, mereka kerap kali melakukan kekerasan kepada kaum minoritas. Yang paling menyakitkan baginya adalah, mereka kerap kali melarang kaum minoritas untuk menjalankan perintah Tuhannya sedangkan disaat yang bersamaan ia memakai symbol Tuhan pada dirinya. Ini aneh, apa itu yang dimaksud ayahnya dengan keimanan?

Menurutnya iman adalah hubungan manusia dengan Tuhannya dan juga dengan manusia lainnya. Setelah ia berhubungan dengan Tuhannya ia akan memancarkan kasih sayang kepada orang lain. Memberikan orang lain kebebasan untuk menjalankan perintah agamanya. Hidup berdampingan dengan harmonis. Inilah iman yang paling mendasar bagi Karim. Tidak sulit dan juga tidak merepotkan.

Itulah sekilas tentang Karim, yang pada akhirnya Kartika mengenal Karim dan hal yang ia takuti dari kaum muslim sedikit demi sedikit terkikis. Ia berkenalan dengan Karim pada salah satu forum diskusi tentang perkembangan dan perjalanan politik bangsa ini ke depannya. Ia diajak oleh temannya yang juga seorang muslim. Diskusi ini walaupun anggotanya hanya sedikit dan juga sebagian besar adalah kaum muslim, namun mereka memiliki pandangan yang begitu moderat. Mampu tampil menjadi seorang democrat yang seutuhnya. Yang tidak hanya memandang demokrasi sebagai prosedur
untuk menyerahkan kekuasaan kepada pemimpin namun juga mampu memandang demokrasi dalam aspek yang lebih luas.

Salah satu yang ia lihat begitu tampil moderat dan kritis adalah Karim. Ia diperkenalkan dengan suatu studi analisis yang terkenal dari Charles P. Huntington yang menyatakan bahwa umat islam tidak dapat menjalankan konsep demokrasi secara utuh. Karena dianggap ada benturan antara tawaran yang diajukan oleh demokrasi dengan pondasi dasar agama islam. Namun bagi Karim penelitian itu adalah sebuah kekeliruan dengan menganggap bahwa umat islam semua sama dengan bangsa Arab yang menjadi objek penelitian Huntington. Karim mengacu pada pemikiran yang dituangkan oleh Fareed Zakaria. Bangsa Arab janganlah di samakan dengan umat muslim seluruhnya di dunia. Memang harus diakui, bahwa bangsa Arab sangat jauh dari tatanan demokrasi karena mereka dibangun berdasarkan pondasi Negara yang autokrasi dan sangat tak liberal yang keduanya sangat jauh dari prinsip demokrasi liberal. Karena hal tersebutlah masalah utamanya ada pada dunia Timur Tengah bukan pada umat islam secara keseluruhan. Dan dunia Arab hanya menjadi sebagian kecil dari umat islam diseluruh dunia.

Sejak itulah Kartika berminat untuk mengenal Karim. Bahkan ia sering mengajak Karim bertemu untuk berdiskusi tentang peran umat islam di Indonesia dalam memperjuangkan demokrasi. Memang cukup berat untuk terus memperjuangkan ini di bangsa Indonesia. Acap kali ada benturan yang terjadi. Masalah utamanya adalah masyarakat muslim masih saja menganggap demokrasi hanya sebatas proseduralnya saja, namun jauh dari konsepsi seutuhnya. Umat islam di Indonesia masih jauh dari menjamin dan melindungi wilayah kebebasan indvidu, yakni menjamin individu untuk bebas menjalankan kehidupan sesuai dengan pilihannya.

Setelah kesamaan mereka dalam memperjuangkan kaum tertindas agar dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan prinsipnya, mereka saling kenal lebih dalam lagi, di luar dunia politik Indonesia dan masa depannya.

Mereka merasa saling mengisi satu sama lainnya. Tidak ada perbedaan yang alami yang membuat mereka saling berjauhan. Malah perbedaan itulah yang mampu mempersatukan mereka. Satu kebiasaan dari mereka adalah untuk membebaskan satu sama lainnya menjalankan perintah agamanya. Jika Karim menjalankan shalat lima waktu, Kartika menungguinya di pelataran Masjid. Dan jika Kartika sedang beribadah, maka tak segan Karim menemaninya ke Gereja. Namun seperti biasanya, hubungan seperti ini sangat jarang diterima dikalangan keluarga maupun lingkungan social. Sehingga akhirnya mereka untuk memutuskan untuk kamping ke gunung untuk saling merefleksikan pikiran dan diri mereka.

Mereka bingung, kenapa Negara melarang hubungan mereka. Padahal cinta adalah nikmat Tuhan yang paling mulia. Dengan cinta, manusia mampu menciptakan cita-cita Tuhan dalam penciptaan-Nya terhadap dunia ini. Saling berdampingan diantara sekian banyaknya perbedaan. Apa salah manusia lahir di dunia ini dengan segala perbedaannya, dari mulai warna kulit, bahasa, suku, Negara, bahkan agama. Padahal mereka sebelum lahir tak meminta terlebih dahulu kepada Tuhan untuk dilahirkan menjadi apa, siapa, dan dimana mereka hidup. Mereka lahir secara suci. Sebagai manusia baru dimuka bumi ini.

Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk tidak menikah dan memilih menjalani perjalanan cinta mereka tanpa diakhiri oleh kata pernikahan. Mereka terus saling mencintai, namun tanpa ikatan. Mereka tak merasa keberatan, lagi pula pernikahan hanya dianggap sebagai pengesahan untuk memenuhi hasrat nafsu seksual oleh banyak orang. Inilah yang tidak mereka rasakan selama saling mencintai. Cinta mereka melebihi hal seperti itu. Mereka ingin saling menjaga dan memberi kedamaian satu sama lain. Walaupun hasrat tersebut terkadang muncul, namun mereka berusaha untuk menolaknya.
Perjalanan mereka seperti hidup dalam pengasingan. Tidak diakui dan direstui. Padahal ada banyak cara Tuhan untuk menakdirkan cinta. Dan ini merupakan salah satunya. Dua anak manusia saling jatuh cinta, namun harus tersiksa karena pengkotakan agama. Ternyata dunia yang terus berkembang oleh pengetahuan harus terkungung terus-terusan dengan batasan budaya dan agama, sedangkan hasrat manusia untuk terus berpikir tak terbatas oleh apapun.

Ternyata bangsa ini masih terkungkung oleh batas-batas agama, tidak hanya dalam pemilihan pemimpin melainkan juga dalam hal paling sacral pada kehidupan manusia, yakni cinta.

Jumat, 01 November 2013

Memprediksi Atmosfer Politik Pada 2014

Perjalanan menuju Pemilu 2014 semakin hari semakin dekat. Banyak para Caleg dari DPR maupun DPRD Kota dan Provinsi kini telah asik memperkenalkan diri mereka kepada para calon pemilih. Bahkan belum apa-apa, sudah banyak Partai yang memperkenalkan para calon presiden mereka kehadapan publik. Artinya gairah dalam persaingan merebutkan kekuasaan di 2014 semakin panas. Hal tersebut semakin diperparah oleh serangan-serangan politik yang disampaikan oleh para kader partai tertentu kepada partai lainnya. Mereka saling melemahkan para pesaing mereka, demi mengharapkan para pemilih terpengaruh pemikiranny terhadap serangan-serangan yang mereka rancang.
Tidak jarang kita jumpai saat ini banyak alat peraga Partai Politik maupun para calegnya terpampang di jalan-jalan protocol maupun jalan raya biasa. Mereka memasang wajah dan lambing partai mereka sebesar-besarnya. Bahkan tidak jarang kita pun menyaksikan mereka sudah mulai melakukan pendekatan secara langsung ke dalam masyarakat. Gemerlap persaingan memang sudah mulai terasa dan direkayasa oleh mereka para pelaku politik.
Pelaksanaan Pemilu seraya diharapkan masyarakat agar terjadinya perubahan kekuasaan dan kebijakan kebijakan yang akan diberlakukan oleh penguasa yang akan datang. Pemilu dalam pandangan sederhana merupakan proses penyerahan kekuasaan dari rakyat kepada pemerintah terpilih. Mereka secara bebas dan rahasia melakukan pemilihan, apakah mereka menghendaki penguasa yang baru untuk menjalankan kekuasaan atau malah memilih penguasa yang lama untuk terus melaksanakan kekuasaannya. Semua ada di tangan para pemilih.

Kajian kali ini kita lebih memperdalam tentang prediksi atmosfer politik yang akan terjadi pada periode mendatang. Setelah hanya partai yang saat ini berada di parlemen dan partai Nasdem yang baru saja berdiri, dan ditambah beberapa partai kecil peserta pemilu kali ini terbilang lumayan sedikit. Ditambah lagi dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan ambang batas minimum suara partai untuk bisa masuk kedalam parlemen sebesar 3,5 % bayangan kekuasaan yang akan terjadi setelah pelaksanaan pemilihan umum akan sedikit demi sedikit sudah mulai tampak. Banyak memang kalangan menganggap keputusan ini merusak perjalanan demokrasi di negeri ini, karena dengan sengaja menghambat partai kecil untuk mengikuti persaingan pelaksanaan pemilu di 2014 nanti.

Dari gejala tersebut banyak pengamat yang memprediksi hanya akan ada 7 sampai 8 partai yang akan masuk ke dalam parlemen. Ini menandakan hanya partai-partai besar yang memiliki dana dan basis masa yang mumpuni untuk lolos dari ambang batas. Sedangkan partai yang tidak memiliki dana dan basis masa akan hanya menjadi penghibur dalam kontestasi Pemilu di 2014 nanti. Namun semua bisa terjadi, mengingat pemilih kita sebagian besar adalah pemilih yang pragmatis jika dilihat dari kaca mata awam, yakni pemilih yang hanya akan memilih jika diiming-imingi dengan materi.

Dilain hal kita juga harus melihat hubungan yang terjadi nanti antara kekuasaan eksekutif dengan legislative. Apa yang akan terjadi jika ada 7 sampai 8 partai yang lolos dari ambang batas tersebut? Dan yang lebih buruk lagi adalah apa yang akan terjadi jika pemenang pilpres datang dari partai atau gabungan partai yang tidak memiliki suara mayoritas dalam parlemen? Inilah masalah utama dari apa yang akan terjadi pada atmosfer politik pada periode yang akan datang.

Ambang batas minimum sebesar 3,5 % tetap akan menjadikan kekuasaan dalam cengkraman multipartai ekstrem. Karena ambang batas minimum tersebut akan membawa atau meloloskan 7 sampai 8 partai ke dalam parlemen. Ini akan sangat sulit untuk menjalankan kekuasaan sistem presidensial yang dianut oleh negeri kita jika masih banyaknya partai yang lolos ke parlemen. Masalah yang akan muncul adalah terciptanya suasana buruk dari perjalanan demokrasi. Dalam masalah legislasi pun, ini akan berdampak buruk karena parlemen dan presiden sama-sama mendapat mandat langsung kekuasaanya dari rakyat.

Dengan mengacu hal tersebut, kita dapat melihat periode mendatang akan penuh dengan transaksi kompromitas dari para anggota koalisi pemerintahan dan juga para partai di parlemen. Eksekutif merasa takut jika dalam koalisi mereka tidak melebihi suara oposisi di dalam parlemen. Cara utama untuk menyelamatkan hal tersebut adalah mereka membentuk koalisi dalam membangun pemerintahan pusat. Akan banyak negoisasi-negoisasi untuk mencapai hal tersebut. Sebut saja partai/gabungan partai pemenang pilpres akan membagi-bagikan jatah menteri kepada partai lain yang bersedia bergabung dalam pemerintahan tentu dengan catatan bahwa para legislator mereka di DPR dapat mendukung kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan pusat.

Apa yang terjadi saat ini tentu tidak akan jauh berbeda dengan kekuasaan periode mendatang. Kegaduhan politik pada saat ini akan terjadi lagi pada periode mendatang. Karena koalisi dibangun bukan berdasarkan kebutuhan institusional pemerintah pusat untuk menuntaskan permasalahan bangsa melainkan koalisi hanya dibuat untuk mengamankan kekuasaan mereka di legislative.

Lihat saja pembangkangan sikap dari partai-partai yang saat ini masuk ke dalam koalisi pemerintahan pusat. Mereka acap kali berlainan jalan dengan partai utama pengusung presiden dan juga keputusan yang dibuat oleh presiden saat draf pengajuan perencanaan kebijakan diajukan ke DPR. Mereka kerap kali menolak dan sambil berharap akan ada lobi selanjutnya dari penolakan mereka. Dan juga mereka sering kali mengancam akan keluar dari koalisi jika permintaannya tidak dituruti. Kondisi seperti ini akan sangat berdampak buruk bagi perjalanan demokrasi dan juga kepastian kekuasaan.

Jika terjadi terus menerus seperti ini, sudah tidak dapat dipungkiri lagi di pemilu tahun 2019 nanti angka golput akan semakin meninggi. Negoisasi kekuasaan akan semakin sering terjadi yang tak berdampak signifikan dalam kehidupan di masyarakat. Negara berjalan tidak semestinya, pincang di sana-sini. DPR pun terlalu sibuk melakukan lobi, sehingga tugas utama mereka yakni membuat undang-undang yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan para pemberi mandat kekuasaannya yakni rakyat menjadi terbengkalai. Inilah dampak dari kecilnya batas minimum yang ditetapkan oleh DPR dan juga MK selaku pemberi keputusan terakhir.

Jawaban dari segala hal tersebut adalah dengan menaiki ambang batas minimum pada pemilu di 2019 nanti. Apakah ini akan melanggar hak demokrasi? Tentu jawabannya adalah tidak. Masalah utamanya adalah kita semua silau dengan angin segar paska runtuhnya rezim Orba. Kita semua berlomba membuat partai politik demi menjadi bagian dari pelaksanaan pemerintah, baik di eksekutif maupun legislative. Dan yang lebih memalukannya lagi adalah alasan mereka begitu antusias untuk membuat partai politik atau masuk ke dalam partai politik adalah demi menyampaikan aspirasi rakyat.
Sejatinya untuk mewakili rakyat bukanlah beramai-ramai membuat partai politik atau masuk ke dalam partai politik. Seperti dalam salah satu tulisan saya, untuk melakukan penguatan proses demokrasi melalui pemilihan umum ini, kita perlu menguatkan sistem civil society di masyarakat. Civil society dengan demokrasi merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, dengan demokrasi civil society dapat tumbuh berkembang dan dengan civil society sistem demokrasi dapat berjalan dengan baik. Demokrasi bukan dilihat dari banyaknya peserta pemilu melainkan seberapa besar keterlibatan masyarakat sebelum dan setelah pelaksanaan pemilu untuk mengontrol penguasa baik di legislatif dan eksekutif dalam membuat kebijakan dan peraturan yang sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan rakyat. Inilah makna demokrasi yang semestinya dipahami, bukan makna yang diberikan oleh mereka yang keblinger dan haus akan kekuasaan.
Kesimpulannya adalah, naiknya ambang batas minimum tidak akan menyurutkan atau bahkan menodai makna demokrasi.

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae