Rabu, 29 Januari 2014

Demokrasi Sunyi

Indonesia kini telah berumur kurang dari 69 tahun. Proses demokratisasi terus bergulir demi mengupayakan kesejahteraan dan keadilan social di kalangan masyarakat. Menurut Adnan Buyung Nasution bukan hanya sebuah cara, tetapi juga tujuan yang harus terus menerus kita bangun sebagai sesuatu proses yang akan memakan waktu. Demokrasi bukan sekedar alat untuk mencapai tujuan, melainkan tujuan demokrasi ialah harus mengandung aspek-aspek demokrasi tersebut.

Penciptaan demokrasi yang sehat bukan hanya membutuhkan konsep yang baik dan itikad yang murni saja. Menurut Adam Malik dalam teks klasiknya “Menuju Pelaksanaan Demokrasi Pancasila” untuk menciptakan demokrasi yang sehat ialah dapat atau tidaknya diciptakan suatu mekanisme politik yang ampuh.

Pada saat ini ketika Indonesia menjadi Negara diperingkat ketiga paling demokrasi di dunia setelah Amerika Serikat dan India realitasnya justru sangat berbalik. Setelah melaksanakan pemilu secara jujur dan adil dalam menentukan arah kekuasaan dan kebijakan rupanya para bapak reformasi kita terbuai oleh hal tersebut. Tidak dapat dipungkiri memang pelaksanaan pemilu secara langsung jujur dan adil selama dua kali berturut-turut dan hasilnya diterima dengan baik oleh para pelaku di dalamnya merupakan sebuah kebanggaan. Namun kebanggan tersebut kini diiringi oleh skeptisme dan lemahnya kinerja partai politik sebagai pilar utama demokrasi.

Pertentangan utama yang sangat jelas dalam “sakitnya” perjalanan demokrasi di Indonesia ialah gerak-gerik partai politik yang sudah menyimpang. Partai politik sudah tidak lagi menjembatani aspirasi rakyat dalam menyuarakan kehendak mereka dalam aktifitas pembuatan peraturan dan perundang-undangan yang baru di level Negara. Fungsi utama ini telah terabaikan. Hal ini terjadi karena dua alasan. Yang Pertama ialah karena partai politik hanya menganggap demokrasi sebagai sistem procedural dan mekanisme perebutan kekuasaan saja. Komunikasi yang terjalin antara partai politik dan masyarakat hanya terjadi menjelang pemilihan umum. Terungkap janji-janji manis yang disampaikan oleh partai kepada calon pemilih dan untuk mencapai ke tahap selanjutnya pada hari pelaksanaan pemilihan umum terjadi negoisasi-negoisasi berbau materi antara Parpol dan pemilih. Di saat seperti itu, partai politik menganggap sudah selesai hubungan mereka dengan masyarakat ketika mereka sudah memberikan imbalan kepada masyarakat.

Yang kedua ialah terjadinya sebuah reproduksi oligarki dikalangan internal partai. Para aktivis era reformasi yang kini menjabat sebagai pimpinan-pimpinan partai malah terjebak pada sifat butuk lawan politiknya di masa silam. Roda perjalanan partai politik kini hanya sebatas kepentingan dan kehendak elit partai. Hal ini sangat meminimalkan terjadinya debat argumentasi yang lebih luas di kalangan kader internal partai. Kader-kader partai politik kini bekerja hanya untuk memenuhi kepentingan dan kehendak elit partai, bukan lagi menyuarakan pendapat-pendapat progresif dari publik untuk didiskusikan sehingga menjadi kebijakan politik melalui partai politik. Suara-suara yang mewakili kepentingan dan kehendak publik harus dinegoisasikan ulang oleh para keder partai jika itu semua bertentangan dengan kepentingan dan kehendak elit partai politik dan bahkan hal tersebut lebih sering diabaikan. Publik kini hanya menjadi sebuah pelengkap tanpa harus lebih jauh bersikap dalam kancah politik.

Dua masalah besar tersebut yang terdapat di dalam partai politik yang justru sangat mempengaruhi proses demokrasi ke arah yang semakin suram. Jalan tersebut semakin berliku ketika praktik kotor partai politik tidak diberingi dengan tumbuhnya masyarakat yang demokratis – partisipatoris, reflektif dan dewasa. Jika pemerintah melalui partai-partai politiknya sudah menyimpang maka harus ada sebuah kontrol yang kuat dari masyarakat berupa civil society yang mapan.
Menurut Nurcholish Madjid, jika perlambang demokrasi ialah pemilihan yang jujur dan adil maka civil society adalah rumahnya. Strategi penguatan civil society ke arah pembentukan masyarakat yang demokratis – partisipatoris, reflektif dan dewasa adalah sebuah syarat utama bagi penyeimbang atas kecenderungan praktik negative partai politik. Melalui gerakan civil society masyarakat disadarkan hak nya sebagai pemilik kedaulatan dan hak untuk mengontrol kekuasaan yang mengatasnamakan rakyat tersebut.

Agar demokrasi berjalan tidak ke arah yang semakin suram maka dituntut kepada kita semua untuk terus berkorban. Perjuangan demokrasi dituntut perjuangan tiada henti, mengambil resiko pribadi, mobilisasi dan daya tahan dari banyak orang, dari rakyat. Larry Diamond menambahkan demokrasi niscaya akan langgeng jika ia didukung dengan perkembangan civil society yang bersemangat, gigih dan pluralis.

Mengutip Jurgen Habermas, civil society adalah bagian dari lifeworld, yaitu wilayah kehidupan dimana tindakan-tindakan social warganya tidak didorong oleh hasrat untuk mengakumulasi kekuasaan maupun uang tetapi oleh nilai dasar yang muncul dalam kehidupan social seperti keadilan, kebenaran, kebaikan dan yang sejenisnya.

Hal ini harus didukung oleh adanya sebuah ruang publik yang bebas. Manusia mandiri menurut Hannah Arendt ialah manusia yang terbebas dari himpitan kebutuhan dasar dan pada saat yang sama mampu berwacana dalam ruang publik. Ketika manusia mandiri ketika itulah ia menjadi warga Negara yang sebenarnya, dan saat itu pula demokrasi bisa berjalan.

Namun kenyataannya pada saat ini kita tidak bisa berharap begitu banyak dari kelompok kemasyarakatan yang tumbuh di Indonesia. Kelompok kemasyarakatan yang menjadi pilar utama dalam civil society kerap kali dipengaruhi oleh dua kepentingan, yakni ekonomi dan politik. hal inilah yang disebut dengan “kolonisasi civil society”. Yakni sebuah keadaan dimana vitalitas civil society digrogoti oleh sistem politik dan ekonomi.

Rupanya masyarakat Indonesia harus bekerja keras untuk membawa angin demokrasi ke arah yang lebih baik. Ketika partai politik dan civil society yang seperti mata uang hubungannya dalam demokrasi sudah kehilangan pondasi demokrasinya, maka untuk saat ini dibutuhkan terus perjuangan dan tekad yang gigih untuk mengembalikan kesucian demokrasi.

Senin, 27 Januari 2014

Menolak Oligarki Elit Partai

Mengutip dari Anas Urbaningrum dalam bukunya “Janji Kebangsaan Kita”, partai politik merupakan cermin dari masyarakatnya. Variasi ideologi partai-partai politik yang ada merupakan cerminan dari variasi ide yang hidup di masyarakat. Partai politik yang berdiri setelah reformasi mengedepankan nasionalisme, dalam arti menjaga keutuhan Negara bangsa dan memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia melalui jalan demokratis. Inilah hasil dialektika komunitas politik yang menghasilkan sintesa sesuai dengan aspirasi dan kepentingannya masing-masing.

Kebaradaan partai politik yang berkompetisi secara fair dalam proses politik adalah prasyarat utama dari eksistensi sistem demokrasi.

Pada Pemilu 2014 ini, ada 12 partai politik yang berkompetisi. Hampir kesemuanya mengusung ideologi Pancasila. Hanya PPP dan PKS saja yang masih menonjolkan dirinya sebagai partai islam, meskipun terkadang mereka mengakui dirinya sebagai partai berdasarkan Pancasila. Kesemuanya tersebut mencoba merebut suara rakyat untuk siap menjadi pemenang pada Pemilu nanti.

Partai politik bukan hanya menjadi elemen utama dalam berjalannya demokrasi. Mereka hadir bukan hanya bertarung untuk menjadi pemenang dalam pemilihan yang terlaksana secara jujur dan adil. Atau lebih tepatnya partai politik bukan hanya menjadi elemen utama dalam menentukan arah dan kebijakan suatu bangsa melalui pemilihan umum. Jika kita hanya melihat demokrasi secara procedural, pendapat-pendapat tersebut sudahlah tepat. Artinya setelah partai politik memenangi pemilihan umum, mereka dalam menjalankan mekanisme kekuasaan mengabaikan kepentingan partisipasi masyarakat yang lebih jauh. Partai politik hanya menganggap aktifitas politik masyarakat sebatas sampai di bilik suara yang tak lebih dari lima menit tersebut.

Sebaiknya partai politik menjalankan aktifitasnya, baik menjadi pemenang saat Pemilu ataupun menjadi pihak yang kalah mereka ikut memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik yang lebih jauh. Hal ini seperti perwujudan demokrasi partisipatoris, yang mendorong keterlibatan masyarakat untuk ikut aktif dalam proses pembentukan peraturan dan perundang-undangan. Bagaimanapun juga hal ini menyangkut kehidupan mereka agar nantinya peraturan dan perundang-undangan tersebut memihak kepada kepentingan dan kebutuhan masyarakat ke depan nantinya.

Menurut Geovani Sartori, partai politik memiliki peran untuk menjaring dan menjadi jembatan antara kehendak publik dan proses-proses pengambilan kebijakan di level Negara.

Namun realitasnya pada saat ini partai politik hanya menganggap demokrasi sebatas dalam konteks procedural saja dan mekanisme perebutan kekuasaan. Sering kali atau bahkan memang tidak sama sekali partai politik memberikan kesempatan kepada warga Negara untuk terlibat aktif dalam pembentukan peraturan dan perundang-undangan. Dan hal inipun sejalan dengan apa yang terjadi pada lapisan masyarakat. Mereka menganggap demokrasi sebatas permainan kepentingan-kepentingan elit politik saja dan tidak berhubungan dengan upaya merealisasikan kesejahteraan dan keadilan social pada tahap kehidupan mereka.

Kesadaran politik masyarakat juga harus kita kembali tingkatkan agar pelaksanaan demokrasi bukan hanya sebagai mekanisme pergantian kekuasaan saja. Mereka juga memiliki hak untuk mengawasi dan mengontrol kekuasaan. Bahkan masyarakatpun berhak untuk ikut dan bahkan mengajukan suatu rancangan peraturan atau perundang-undangan yang baru. Agar mandat yang telah mereka berikan kepada partai politik melalui pemilihan umum tidak disalahgunakan.

Sudah menjadi barang umum, partai politik melalui elit dan kedernya selalu mengabaikan kepentingan masyarakat. Jangankan hal tersebut, mereka (Parpol) rela menghianati janji-janjinya semasa kampanye ketika sudah terpilih menjadi penguasa.

Menarik untuk menyimak apa yang dituliskan oleh Jeffrie Geovani dalam Civil Religion (2013), menurutnya partai politik tak lebih dari sekedar mesin politik manakala ada hajatan politik. Di luar itu partai menjadi ajang berkumpul untuk sekedar merawat dan melanggengkan kekuasaan oligarki elit. Disamping tidak mengartikulasikan aspirasi rakyat, pada faktanya politik lebih dijalankan secara kotor, penuh tipu muslihat, dan lebih berbahaya lagi, sarat fitnah.

Sejauh ini, partai politik dalam praktiknya selain sering kali mengabaikan aspirasi masyarakat dalam pembentukan peraturan dan perundang-undangan, partai politik hanya menganggap demokrasi sebatas sistem procedural dan mekanisme perebutan kekuasaan. Tak lebih dari itu. Ideologi partai seringkali mereka campakkan, demi memenuhi hasrat untuk berkuasa atau untuk ikut berkuasa.

Permasalahan partai politik bukan hanya sebatas hal tersebut di atas, oligarki dan personalisasi kepemimpinan dalam partai politik juga menghambat terlaksananya proses demokratisasi. Airlangga Pribadi menuangkan pikirannya dalam makalah “Sepuluh Tesis tentang Problem Kepemimpinan dan Demokratisasi Politik Kepartaian” menuliskan bahwa keberhasilan mendobrak rezime otoriatarian pada masa Soeharto justru diikuti dengan reproduksi habitus otoriter melalui sikap oligarkhi politik di internal partai pada masa reformasi, yang dijalankan oleh para aktivis-aktivis utama demokrasi yang menjadi petinggi puncak partai politik.

Rupanya hal ini juga menjadi alasan utama kenapa kepentingan masyarakat kerap kali diabaikan oleh partai politik. Kader-kader partai politik hanya bekerja untuk memenuhi ambisi dan kepentingan elit-elit partai saja, bukan bekerja menjadi jembatan untuk mengartikulasikan kepentingan dan kehendak masyarakat. Hingga pada akhirnya, kehendak dan kepentingan masyarakat akan tersingkirkan jika tidak sejalan dengan kehendak elit partai.

Kenyataan ini sungguh sangat menyakitkan. Antara partai politik dan masyarakat tidak lagi sejalan untuk membangun pondasi demokrasi yang kokoh. Partai yang kerap kali mengabaikan masyarakat setelah pemilihan umum dan masyarakat hanya menganggap demokrasi sebatas permainan kepentingan-kepentingan elit partai tanpa mengetahui bahwa demokrasi berhubungan dengan upaya merealisasikan kepentingan mereka dan menciptakan keadilan social membuat perjalanan demokrasi hanya isapan jempol semata. Demokrasi belum mencapai hakikatnya.

Robert Dahl menyatakan bahwa demokrasi merupakan sesuatu yang berjalan terus menerus bukan sesuatu yang diciptakan langsung jadi. Ia tidak berjalan linear seperti garis lurus, karena dalam prosesnya kerap kali harus menghadapi benturan dan jalan penuh liku. Ada baiknya kita (masyarakat) dan mereka (partai politik) terus bergandengan tangan dan tidak sampai menghianati satu sama lainnya, agar demokrasi dapat membawa manfaat bagi kita semua.

Minggu, 26 Januari 2014

Mata Pena Perempuan

Karin sedang berdiam diri di dekat taman perpustakaan. Suasana saat itu begitu bersahabat. Awannya cerah. Ada sedikit angin. Sesekali menyibakkan rambut Karin yang panjangnya sebahu. Matanya terlindungi oleh kacamaata yang ia kenakan. Karin menunduk. Menikmati hari yang begitu tenang.

Sesekali Karin melongok telepon genggamnya. Berharap datang sebuah pesan dari orang yang ia nanti-nantikan. Kadang ia juga membuka-buka buku catatan yang ada di dalam tasnya. Mengulangi pelajaran yang belum lama ia terima. Kini ia merasa telah terlalu jauh kehilangan waktu. Karin merasa dirinya telah mengkhianati ke dua orang tuanya. Ia abai akan kewajibannya sebagai mahasisiwi. Aktifitasnya habis semua di luar memperdalam ilmu penjurusannya.

“Sudah lama kamu di sini? Aku tadi melihatmu dari kejauhan. Lalu kuputuskan untuk menyapamu.” Kalimat tersebut mengagetkan Karin yang sedang melayang jauh ke angkasa atas apa yang ia pikirkan saat itu. “Karin, kamu masih memikirkan hal yang kemarin terjadi. Kamu masih tak sanggup menerima kenyataan pahit yang terjadi. Memang terkadang apa yang kita inginkan jauh berbeda dengan kenyataan. Tapi jangan sampai kamu terus berdiam diri. Apa lagi di tengah keramaian seperti ini.” Kalimat panjang tersebut membuat Karin semakin jauh terbang bersama pikirannya. Ia masih terdiam. Tidak mengucap kalimat sedikit pun.

Matahari sudah agak sedikit tenggelam meninggalkan bumi. Cahaya keemasan tampak dari sela-sela dedaunan. Pohon-pohon yang dibiarkan membesar di taman tersebut membuat suasana semakin sejuk. Cahaya mentari kadang tak tembus melewati pertahanan yang semakin kokoh tersebut. Manusia yang berkumpul di bawahnya semakin nyaman untuk menghabiskan hari di sana. Semua hanyut dalam perbincangan masing-masing.

“Kamu tak juga berbicara Karin. Kamu terus sibuk membuka lembaran-lembaran catatan tersebut. Sedangkan aku di sini hanya terdiam melihat tingkahmu yang kian muram tersebut.” Tiba-tiba Karin meneteskan air mata. Dirinya tenggelam dalam kesedihan setelah tak mampu lagi membendung beban perasaan yang kini ia rasakan.

“Aku telah dibohongi. Aku lelah menerima itu semua.” Tiba-tiba Karin berucap dan langsung disambut dengan sebuah pelukan yang diberikan oleh sahabatnya yang sedari tadi menunggu kalimat yang akan keluar dari mulutnya tersebut.

“Semuanya telah terjadi, dan kamu menyaksikannya secara langsung. Aku tidak berani memberikan saran kepadamu.”

Sahabatnya tak mau mencampuri kehidupan Karin terlalu dalam. Baginya, mendampingi Karin dalam sebuah kesulitan ialah hal yang sudah selayaknya ia lakukan. Namun, jika ia sampai memberikan saran atau bujukan untuk Karin dalam mengambil sebuah keputusan pribadi ia tak berani. Baginya itu sudah terlalu jauh dalam arti sebuah persahabatan.

“Terimakasih kamu selalu ada untukku. Selalu menemani masa-masa sulitku.” Ucap Karin. Dan pelukan mereka semakin erat. Air mata Karin semakin deras bercucuran. Sahabatnya ikut menangis melihat Karin seperti itu.

“Tak ada yang tahu akan garis kehidupan di depan nanti. Kita harus siap menerima semuanya.” Mereka berdua melepas pelukannya. Karin menghapus air matanya. Ia tabah menerima semua ini. Dan menerima dengan baik ucapan dari sahabatnya tersebut.

“Aku harus melupakannya. Meski selama ini aku telah dibohonginya, kini aku berharap, dapat kembali fokus kuliah. Aku telah lama kehilangan waktu berharga dan menggantinya dengan keralaan ku untuk terus dibohongi oleh pria yang sangat brengsek itu. Aku ingin mengubah kesalahan ku dengan memperbaiki kualitas diriku dalam kelas. Aku ingin selalu berbicara seperti mu. Berdebat dengan lelaki akan hal pengetahuan. Bukan cuma seorang gadis yang hanya bisanya duduk manis dalam kelas dan hanya memikirkan perihal cinta semata.” Ujar Karin kepada sahabatnya.

Sahabatnya memberikan sebuah pelukan kembali kepada Karin. Mereka berdua memang sudah sangat dekat sejak awal kuliah. Namun belakangan Karin mengabaikan sahabatnya tersebut. Karena termakan oleh buaian lelaki pemalas yang bisanya hanya mengandalkan kejayaan orang tuanya dan mengedepankan materi dalam kehidupan. “Aku akan selalu ada disampingmu Karin. Kita akan berjalan berdua. Memperbaiki kualitas hidup masing-masing, terutama dalam bidang pengetahuan.” Bisik sahabatnya di telinga Karin. Bergetar hatinya mendengar hal tersebut. Ternyata ia tak akan sendiri dalam menempuh sebuah perubahan dalam dirinya. Ada sahabat yang akan selalu mendampinginya. Meski belakangan ia sadar, telah begitu lama ia melupakannya.

“Kupikir aku akan sendiri menghadapi ini.” Sahabatnya cepat memotong, “perempuan akan terus tetap sama, meski telah “diraut” berkali-kali. Ia akan menjaga janjinya, yang berujung pada kebaikan.”
Itulah perempuan, mereka akan selalu menjaga sebuah janji yang tertuju pada sebuah kebaikan. Meski ia telah dikhianati, ia akan memaafkan. Dan kembali pada sebuah jalur janji kesetiaannya. Ia akan selalu memaafkan lawan jenisnya namun tak mau mengulangi kembali kesalahannya yang telah lalu. Dan ia akan kembali mengasihi sesama jenisnya, meski telah lama terlewatkan. Perempuan akan selalu menjaga persahabatannya kepada siapapun. Pikir Karin dalam benaknya. Perbincangan mereka berakhir seraya alunan adzan berkumandang. “Hayya a’lal falaaaahhhhh” jelas kumandang adzan tersebut di telingan mereka berdua. “Marilah kita menuju kemenangan” ucap sahabat Karin kepadanya.

Selasa, 21 Januari 2014

Bangku Taman Taman Mimpi

“Seharusnya tak ada kemuraman malam ini. Tak ada jalan yang perlu disesali. Tak ada juga waktu yang harus diulang. Renungan malam ini seharusnya tak berujung pada kepedihan. Hati yang teriris. Yang seharusnya terjaga rapi. Atau malam yang seharusnya purnama terang namun ditutupi awan gelap. Aku tak menduga ini. Dan tak mau merasakan ini.” Hujan rintik menemani mereka dalam taman mimpi.

Kepedihan kian menjalar ke alam sekitar. Cuaca mendung kian tak terbendung. Gemercik gerimis turun dari langit yang tak seharusnya menetaskan air. Membuat ratapan kian menyakitkan. Malam sendiri. Sepi. Dan sedikit tak berarti.
Akhir dari perjalanan panjang ini. Belajar banyak dari waktu yang terlewati bersama. Masih sangat teringat dalam diri. Kamu ya kamu, yang masih ingin ku peluk kehangatan tubuhmu, kini telah pergi. Tak lagi ada cerita yang akan kita lewati bersama. Perih dan pedih.

“Seharusnya tak kusampaikan ini. Tak kurasakan ini sebagai sakit. Seharusnya bahagialah kita malam ini dan malam-malam selanjutnya. Lebih banyak kenangan yang akan kita buat. Lebih banyak tawa yang kita perdengarkan kepada orang lain. Lebih banyak lagi-lagi dan lagi yang orang lain perlu ketahui dari cerita cinta kita.” Perempuan itu semakin menyatu dengan alam. Mendengar ucapan kekasihnya tersebut, air matanya turun bersamaan dengan gerimis sore.
“Alam seakan bergetar saat kita tapaki. Angin serasa tak berhembus saat kita berdekapan. Tanah dan air tak lagi bernyali untuk saling mencinta ketika bersamaan. Wangimu, senyummu, semangatmu, ketakutanmu, dan pedihmu. Aku masih teringat itu.” Balas perempuan tersebut. Ia tak mau diam seribu bahasa ketika kekasihnya berpurus asa.

“Ajal memang tak ada yang mengetahui. Tak ada yang bisa menghindari. Tak ada yang mampu melawannya. Namun kenapa ajal begitu cepat mendatangi? Apa ajal tak punya cinta? Apa aja tak punya kekasih? Apa ajal selalu kejam?” Kesal sang lelaki menghadapi mimpi yang telah terjadi dalam tidurnya. Ia hirup kopi hitam yang ada di sampingnya. “Bahagia memang tak selalu bersama. Sedih memang tak selalu harus dibagi. Cinta memang tak perlu pada satu orang saja. Cinta bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja. Namun kamu hanya satu di dunia ini.”

“Kita tak perlu bersama. Kita tak perlu berpisah. Kita tak perlu menjadi kita.” Perempuannya semakin meracau.

“Sore ini kubegitu pedih. Air mata masih tersisa dalam mataku. Sepi masih membuatku beku. Seperti belum beranjak dalam mimpi. Mimpi kau telah pergi selamanya. Mimpi yang kusaksikan kekasihku dibaringkan dengan damai dalam liang lahat. Mimpi yang membuat mu pergi selamanya. Dan mimpi yang membuat ku takut seumur hidupku.” Lelaki itu semakin dalam mengungkapkan kegelisahannya. Alam kian bernyanyi. Angin kian berpuisi. Hujan kian penuh arti.

Perempuan mendekati wajah kekasihnya. Ia kecup manis bibir lelakinya tersebut. “Jemarimu yang masih kugenggam. Senyummu yang masih ku simpan. Bibir tipismu yang masih bisa ku kecup. Tawamu yang manja. Sedihmu yang dewasa. Aku begitu mencintai kamu yang tak pernah menjadi aku. Dan kamu yang mencitai aku yang tak pernah menuntut menjadi kita. Kita hanya untuk memudahkan penyebutan cinta aku dan kamu. Aku dan kamu yang tak pernah kehilangan sifatnya atau dipaksa menjadi ke akuan.”

Kini berbalik keadaanya, lelaki muda tersebut mencium kening gadis mungilnya, “Kini di sore hari kau telah memastikan dirimu masih terjaga. Masih mencinta ku seperti sedia kala. Kita akan menikmati pagi sampai sore bersama. Tak ada orang lain. Aku ingin mendekapmu selama mungkin. Kehilanganmu di dalam mimpi membuat ku takut.”

“Aku begitu mencintaimu, saat ini dan sampai kapanpun.” Perempuan tersebut memberikan keyakinan kepada kekasihnya tersebut.

“Salam hormat, karena aku memang menghormati kau sebagai wanita yang ku cinta.” Balas kekasihnya.

Mimpi tentang kematian seorang kekasih memang terasa pahit. Banyak mitos mengatakan kita akan berpisah kasih. Berpisah. Bumi tak merestui hubungan kita. Kita akan menjadi saling menyedihkan diri. Menangisi kepergian kita. Kita yang harus terpisah karena bumi tak sanggup menahan cemburunya. Bumi yang iri akan mesranya kita. Namun, kutahu pasti. Kita akan bersama selamanya.

Iklan Politik Dalam Media Massa

Kini menjelang Pemilu 2014 banyak sekali aktor-aktor politik bermunculan di hadapan masyarakat. Berbagai cara mereka lakukan untuk memperkenalkan diri mereka terhadap publik, sambil berharap apa yang mereka lakukan dapat mengubah perilaku politik dikalangan khalayak. Tidak sedikit pula dari mereka yang rela merogoh kocek dalam-dalam untuk memasang iklan di televisi. Mereka rela melakukan hal itu demi meraih popularitas.

Hal ini diamini oleh media sendiri, diantara kebutuhan untuk menghidupi media massa yang begitu besar dan merekapun berlomba mencari pengiklan demi meraih keuntungan, media massa rela menghilangkan netralitas media di bidang politik. Media massa pada umumnya pun berani mendapatkan teguran dari pihak KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) karena pada nyatanya kerap kali mereka mampu mengelak dari tuduhan yang diajukan. Bagi mereka (media massa) dengan mengiklankan elit politik dalam stasiun tv nya itu bukan dianggap sebagai sebuah kampanye politik. Dan sebaliknya, pihak media massa malah menuntut anggaran kampanye elit maupun partai politik dibatasi. Itu yang sering kali terjadi.

Dilain pihak para aktor politik yang “nekat” beriklan melalui media massa selalu meremehkan peraturan yang dibuat oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum). Bagi aktor politik yang memiliki anggaran besar tidak takut akan sanksi yang akan dijatuhkan kepadanya.

Pada jaman sekarang ini media massa baik cetak maupun elektronik mudah dimiliki oleh siapa saja dan demi kepentingan apa saja. Yang sudah menjadi barang umum ialah media massa pada jaman sekarang ini berada dalam dua sisi yang berlainan, yakni melayani kepentingan umum atau mementingkan mencari keuntungan semata. Dan dalam kenyataannya saat ini adalah media massa telah terkooptasi ke dalam kepentingan politik. informasi-informasi yang ditampilkan dalam media massa saat ini cenderung tidak berimbang.

Media di Indonesia bisa dikatakan sebagai media paling bebas di seluruh dunia. Sangat jarang sekali pers yang mampu tampil kritis dalam menyikapi isu-isu pemerintahan. Bahkan keadaan seperti ini cenderung ke bablasan, media terlebih dahulu menghakimi elit politik yang diduga terlibat dalam kasus korupsi atau kasus kemanusiaan lainnya, walaupun hal tersebut belum terbukti kebenarannya. Hal ini terjadi lantaran bukan pekerja medianya yang berani, namun tak lain adalah kepentingan dari pemilik media yang juga berkepentingan di ranah politik.

Kini pergerakan media telah bergeser, dari yang awalnya hanya melaporkan kejadian politik kini media massa menjadi aktor politik yang aktif mengubah perilaku politik khalayak. Hal ini terjadi tidak bukan karena adanya kepentingan politik yang dimiliki oleh pemilik media.

Menurut Veven SP. Wardhana dalam “Budaya Massa, Agama, Wanita” ia mengatakan jika penguasa menguasai media, bahkan penguasa adalah pemilik media itu sendiri, hanya pembenaran belaka yang kemudian bermunculan. Tidak heran untuk memuluskan kepentingan mereka dalam bidang politik, pemilik media saat ini melalui medianya lebih cenderung menjual fitnah terhadap lain pihak sambil menyembunyikan borok diri sendiri.

Seharusnya hal di atas mampu ditindak oleh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), merujuk pada kolom opini majalah Tempo edisi 20-26 Januari 2014, Pasal 36 butir 4 Undang-Undang penyiaran, yang mengatur kewajiban menjaga netralitas isi siaran terhadap semua golongan. Selain itu, Undang-Undang No. 32 Tahun 2002, yang dikenal sebagai undang-undang penyiaran, mengatur media siaran seperti televisi dan radio haruslah sebesar-besarnya untuk kepentingan umum bukan kepentingan golongan dan pribadi.

Sejauh ini kita mampu melihat kinerja KPI yang kian ompong. Pelanggaran-pelangaran yang terjadi yang dilakukan oleh media massa dan pemiliknya selama ini didiamkan saja. Bahkan dalam sebuah stasiun televisi tertentu setiap harinya mampu mengiklankan salah satu calon presiden yang juga memiliki stasiun tv tersebut. Tv One, MNC Grup, Metro Tv kerap kali mengiklankan pemiliknya yang juga memiliki kepentingan politik.

Seharusnya memang peran media massa dalam menyampaikan informasi politik sangat penting. Karena hal ini akan memberikan informasi yang menarik bagi publik. Selain itu juga mampu meningkatkan gairah aktifitas.

Seperti mengutip dari pendapat Guverith dan Blummer merujuk pada makalah Siti Aminah yang berjudul “Media dalam Demokrasi Postmodern” dalam Jurnal Politika Vol No. 1 Tahun 2013 yakni informasi politik yang berlimpah dan dapat diandalkan akan memudahkan warga Negara untuk membuat pilihan politiknya. Prinsip utama berjalannya komunikasi antara pemerintah dan yang diperintah adalah potensi yang dimiliki oleh media untuk memperbaiki kualitas demokrasi perwakilan dan menyediakan sejumlah fungsi pelayanan dalam sistem politik termasuk penguasaan lingkungan social politik, agenda setting, dialog lintas sektor sehingga rakyat bisa belajar, memilih dan pada akhirnya menjadi terlibat.

Realitas saat ini adalah sebuah kebalikan dari apa yang dicitakan oleh Guverith dan Blummer. Media massa saat ini menampilkan sebuah informasi politik yang justru sangat berlebihan dan malah menjurus membuat masyarakat jenuh akan aktifitas-aktifitas politik yang terjadi. Ini terjadi karena media massa kini telah menjadi ajang rebutan bagi para pemiliknya yang juga memiliki kepentingan politik.

Menurut Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta, Gun Heryanto, kepemilikan media menjadi hal yang sangat dilematis dalam dinamika industri media. Dalam hal ini, siapapun yang memiliki modal besar dan mempunyai kepentingan akan berusaha menguasai media. Karena era perpolitikan Indonesia saat ini telah memasuki fase politik pencitraan.
Semoga semakin kedepannya, kita berharap KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) mampu berjibaku untuk memberikan sanksi-sanksi tegas terhadap stasiun-stasiun tv dan media massa lainnya yang kerap kali melanggar aturan.

Bukan Jalan Pulang

Awan mendung memang belakangan selalu hadir di atas kampung ini. Siang berganti sore, sore berganti malam, malam berganti pagi, pagi berganti siang kembali. Awan mendung menyelimuti ini hampir dua hari belakangan. Orang-orang pun mungkin tak akan keluar jika hari ini adalah hari libur. Mereka bakal lebih senang kumpul dirumah bersama keluarganya. Membagi cerita, membagi kenangan, membagi harapan di masa depan nanti. Namun hari ini adalah hari senin, hari dimulainya perjuangan manusia untuk bertarung dengan dunia agar menjadi pemenang di hari kelak nanti. Hari dimulainya harapan untuk kehidupan esok hari. Banyak yang menentukan kesuksesan esok hari apabila di hari senin ini kita semangat dalam beraktifitas.

Namun di hari senin ini ada getar begitu kencang di dalam jantung bapak tua ini. Dia akan pergi kerumah sakit untuk mengambil hasil pemeriksaan kesehatannya. Sakit yang selama ini dia tahan tak sanggup lagi dia rasakan sendiri. Sakitnya sudah begitu luar biasa. Dan mungkin untuk sakit yang ini dia ingin sedikit berbagi dengan anak-anaknya. Berbagi sakit yang sangat di sekujur tubuhnya. Akibat dari sakit kecil yang sebelumnya dia tanggung sendiri. Kini akibatnya sangat sakit. Sakit sekali.

Pergi bersama isteri dan anaknya, bapak ini berjalan dengan perih, lebih banyak istirahatnya daripada jalannya. Isteri dan anaknya sangat tegar memenamaninya. Tak ada keluh untuk menunggu. Tak ada habis kata semangat. Kedua hal inilah yang membuat lelaki tua ini melanhkah dibalik sangat sakit tubuhnya. Tak ada harapan besar dalam dirinya, yang ada hanyalah sehat kembali dan meneruskan perjuangan seorang ayah untuk anak-anaknya. Sederhana namun begitu berarti.
Menghadap sang dokter pun semangat untuk sembuhnya sungguh luar biasa. Dia ceritakan semua yang dia rasakan.

Dokternya pun hanya tersenyum saja. Karena ada getir yang akan sangat dirasa oleh bapak dan juga anak isterinya. Hari ini adalah hanya mengambil hasil pemeriksaan sebelumnya. Dan hasilnya mampu membuat awan ikut mendung disekitar rumah lelaki tua itu. Penyempitan tulang belakang, dan bergeser pula, jenis penyakit dalam dunia kedokteran yang tidak dimengerti ketiga orang ini. Akibatnya akan sangat buruk jika tidak segera ditangani dalam jangka waktu dua minggu. Lumpuh secara perlahan. Tak ada lagi semangat dan senyum dari ketiga orang ini. Takut yang luar biasa. Dunia runtuh. Air laut memuntahkan isi-isinya ke daratan. Gunung-gunung meletus. Air mata tak terbendung. Kiamat kecil sekejap terjadi. Duka bagi mereka bertiga diruangan itu.

Tak banyak harapan, biaya penanganan yang tak sanggup dibayarkan. Menunggu kebesaran Tuhan yang hanya bisa dilakukan oleh lelaki tua ini.

*

Sesampainya di rumah, keluarga mereka terasa tak ada lagi harapan yang cerah. Vonis yang diterima lelaki yang paling dicintai dalam keluarga itu sangat menyakitkan. Apabila dua minggu tak mendapatkan penanganan yang terbaik, maka akan segera lumpuh perlahan. Namun, berbeda dengan yang dirasa oleh anak-anaknya, lelaki tua itu tetap menunjukkan dirinya sebagai kepala keluarga. Dia hanya menyimpan rasa takut itu sebentar saja. Kini setelah sesampainya di rumah, bapak itu malah pergi kembali ke pekerjaan yang telah lama ia tekuni sebagai tukang kebun dan pemelihara burung di rumah tuannya. Pekerjaan ini telah dilakukan bapak itu belasan tahun. Namun jangan kira ketekunannya tidak berpengaruh terhadap kehidupan keluarganya. Dia mampu menyekolahkan tiga anaknya sampai bangku perkuliahan. Kegigihannya dalam bekerja sangat istimewa. Dalam batinnya cukuplah sudah kesusahan hidupnya sampai pada dirinya saja. Namun anak-anaknya harus mencapai pendidikan sebaik mungkin agar tidak ikut merasakan kepiluan yang telah lama dialaminya.
Setiap hari bapak itu bekerja sedari pagi sampai sore. Dia selalu ada rumah tuannya untuk tetap memenuhi apa yang dibutuhkan tuannya terkait masalah halaman rumah, bangunan yang rusak, atau bahkan hanya untuk member makan burung atau ikan-ikan peliharaannya. Memang lelaki tua itu sangat terampil dalam bekerja, dalam hal kerja yang keras bapak ini cukup dihandalkan. Apapun bisa ditekuninya, dan hasilnya pun tidak mengecewakan tuannya. Jadilah tuannya itu senang dan sangat percaya kepada bapak itu. Mungkin karena impiannya melihat anak-anaknya sukseslah yang membuat itu mudah dilakukan. Pekerjaan apapun asal halal sanggup dikerjakannya. Hidup memang sugguh butuh perjuangan. Tak ada yang instan, semua butuh proses dan bapak itu menunjukkan kegigihannya.

Kini setelah vonis itu diterima, jiwa dan semangatnya tidak luntur. Dia tetap gigih untuk bekerja meraih rezeki demi anak-anaknya atau lebih tepatnya untuk memenuhi waktu senggangnya. Anak-anaknya kini ada yang berhasil dengan ijazah S1 dan kini sedang kuliah S2, ada yang baru lulus S1, dan ada yang sedang menunggu jadwal sidang skripsi saja. Adapun sang ibu yang telah menemani lelaki tua itu puluhan tahun hanya menekuniki hidupnya di rumah saja. Keluarga kecil, sederhana, namun penuh kepastian untuk merajut mimpi di masa depan nanti.

*

Bukan waktu untuk pulang

Namun setelah satu minggu di vonis akan segera lumpuh walaupun dengan cara pelan-pelan bapak ini tak lelah untuk melawan vonis tersebut. Bahakn yang tak menjadi dugaan untuk anak-anaknya adalah melihat bapaknya terus bekerja sedia dulu kala. Tak pernah berhenti pergi ke masjid waktu maghrib, isya dan subuh. Tak pernah lelah menafkahi anak-anaknya, sungguh perlawanan yang sangat keras dalam melawan vonis dokter tersebut.

Kini lelaki tua itu ingin terus tersenyum untuk anak-anaknya, cucunya, dan orang-orang terdekat beliau. Seakan tak ada rasa sakit di dalam dirinya. Begitu semangat melawan segala gejala yang perlahan dia rasakan. Anak-anaknya hanya bisa terdiam dan berharap bapaknya bisa melawan sakit yang teramat.

Cuaca alam ini semakin kacau. Pagi, siang, sore malam, dini hari hampir selalu diguyur hujan. Jakarta belakangan ini seperti sawah, banjir dimana-mana. Makin banyak orang-orang merasakan stress dalam dirinya. Tak ada yang bisa melawan kehendak alam ini. Manusia yang sedikit sombong dalam dirinya bahwa dia akan bisa menaklukan alam kini hanya terdiam. Jakarta ibu kota yang penuh rasa sakit. Jakarta mencoba diseragamkan dengan bangunan-bangunan mencakar langit, perumahan-perumahan mewah, pusat perbelanjaan, kini menjadi lautan. Menyempitnya saluran air, tak adanya lagi lahan peresapan air menjadi problem terbesar pembangunan ibu kota kita ini. Seakan tak ada lagi yang peduli dengan alam, semua bagian alam Jakarta dibangun dengan gedung-gedung mewah. Tak seimbang.

“Aku bukan alam yang kini telah tenggelam, aku akan melewati ini semua sembari menanti mentari akan bersinar di kemudian hari.” Suara Bapak tersebut memecah lamunan di ruang tamu yang kecil tersebut. Sajiang Singkong rebus hadir menemani keluarga mereka. “Semuanya akan baik-baik saja, aku akan kembali bekerja, dan esok kita akan terus makan enak.” Lanjutnya sambil membelai kepala mungil cucunya yang duduk manja di atas pangkuannya.

Sambil menghidangkan minuman di tengah-tengah anak dan suaminya, perempuan yang sudah setengah tua seraya berkata sambil menguatkan sebuah pengharapan “Yang kita lakukan adalah usaha, hasilnya ada di Tangan Yang Kuasa. Jangan sampai kita semua berputus asa.”

Cucunya duduk manja sambil memainkan bulu-bulu yang tidak begitu panjang yang tumbuh di janggut kakeknya. Ia kadangkala mengelus pipi yang sudah mulai mengkerut tersebut.

“Aku ingin melihat dia menikah nanti” sambil menunjuk ke arah anak perempuannya yang terakhir. Anaknya kaget bukan kepalang. Dibenaknya kini ada sebuah beban yang begitu besar. Pernikahannya menjadi sebuah obat jangka panjang yang dikonsumsi ayahnya.

“Sembuh saja dulu, baru memikirkan hal tersebut.” Balas anaknya. Ia tidak mau ayahnya berharap begitu banyak akan pernikahannya. “Sekarangkan sudah Habibi, yang menjadi obat dari segala masalah.” Ujarnya.

“Kamu jangan pesimistis. Sakit ini bukanlah jalan pulangku menghadap Sang Khalik. Dan bahkan bagiku, ini bukanlah sebuah penghalang untuk terus bekerja. Mempersiapkan yang terbaik buat kalian.” Ucap ayahnya, sambil memperhatikan orang-orang yang hadir dalam pertemuan tersebut. “Aku akan sembuh.”

Minggu, 19 Januari 2014

Nyali Juang dalam Tika

“Kamu akan kembali ke dalam sana lagi?” Tanya Tika memecah keheningan, ketika sore telah beranjak naik ke atas pangkuan bumi. Di saat kesibukan telah pudar dalam kegelisahan anak muda. Hujan turun penuh malu, rintiknya sedikit tak menimbulkan riak dipermukaan tanah. Anginnya syahdu tak begitu kencang dan mata pun semakin sayu bagi yang tertimpanya. Badan sudah pada mulai lelah semua. Pikiran ingin sekali diistirahatkan. Kegiatan mahasiswa saat seperti ini begitu banyak. Pemilhan ketua BEM yang baru akan segera dilaksanakan dalam hitungan hari. Semua kelompok kemahasiswaan menyiapkan calonnya. Begitupun dengan mereka mahasiswa-mahasiswa non-kelompok yang kini ikut meramaikan opini ke permukaan, mereka ingin calon perseorangan mulai diberikan kesempatan untuk bertarung dalam perebutan kursi kekuasaan.

“Kawan-kawan sudah banyak yang menyingkir, mereka lelah dan merasa percuma. Aku mencoba menegaskan kepada mereka semua, bahwa jangan sampai hal ini terjadi terus menerus. Kita harus menyuarakan sebuah perbedaan dalam peradaban politik kampus kita.” Jawab Juang, sembari menenggak air mineral dihadapannya. “Kelompok di dalam sana semakin kuat, tiap tahun mereka merekrut kader baru, ingat sebatas kader, pengetahuan mereka akan kelompok mereka sedikit, dan kesadaran politik mereka sangat rendah. Mereka direkrut hanya untuk melanggengkan kekuasaan bodoh di kampus kita. Terlebih di Fakultas kita ini. Sedangkan kelompok yang lain kehabisan strategi, mereka sudah tak berniat mengambil alih Fakultas kita dari penguasa lama.” Panjang Juang berargumen di depan teman-temannya.

Sementara itu, banyak sekali mata-mata yang terus mengawasi pembicaraan mereka. Tiap kali ada mahasiswa yang lewat, mereka selalu memasang kuping dan mata mereka. Memperhatikan siapa saja mereka dan menguping apa yang sedang mereka bicarakana.

Asap rokok keluar dari beberapa sekeliling Juang. Mereka semua mencoba mengambil nafas, sebuah udara pengharapan diantara kelesuan yang sudah mulai menganga. Tika beberapa kali menatap mata Juang, seakan memberikan sebuah kepastian dalam sebuah kepaitan. “Ia akan selalu bersamanya, dalam keadaan bagaimanapun” itulah isyarat yang terbaca dari tatapan tersebut. Sedangkan Juang masih menimbang-nimbang keyakinan kawan-kawannya, terutama juga keyakinan dirinya.

“Lalu langkah apa yang akan kita ambil? Mengajak kelompok lainnya bergabung, atau kita akan berjalan sendiri dengan menyiapkan sebuah kekalahan bagi kita semua.” Ucap salah satu kawan, sambil menikmati kopi hitam yang sudah dingin karena sudah termakan oleh hitungan menit demi menit yang menyiakan kehadirannya. “Kopi ini sudah tak ada rasanya. Seperti kalimat-kalimat kita.” Tambahnya.

“Kelompok lain tak mungkin bergabung, mereka hanya berniat memecah suara di Fakultas saja. Tujuan mereka ialah memenangi kantong suara di daerah kekuasaan masing-masing dan mengambil alih tampuk kepemimpinan tingkat Universitas. Teteua mereka membiarkan kita bersuara karena mereka berharap anak-anak muda seangkatan kita akan terpecah suaranya. Tidak fokus pada kelompok lama saja. Mereka tertarik akan keberanian kita. Itu saja perhatian mereka pada kita.” Kawan lainnya bersuara, mengambil haknya untuk menyampaikan pendapat, memasang wajah keyakinan ketika berargumen, sambil berharap dianggap ia memang layak masuk dalam barisan “pemberontak” dan bukan sekedar penghibur belaka.
“Peta kita sudah kalah, Juang sudah terusir dari dalam sana (sambil menunjuk ruangan kecil di pojok gedung fakultas). Pergerakan kita semakin diawasi oleh musuh-musuh utama kita. Dan kita hanya dimanfaatkan oleh “kawan” kita. Posisi ini semakin membuat kita sulit di dalam “rumah” sendiri.”

“Modal itu kita bisa manfaatkan.” Potong Tika. “Kita bisa memnyebarkan selebaran tulisan yang mengaitkan kelompok ini yang terus diawasi oleh musuh utama kita. Sambil menuliskan bahwa kelompok ini menjadi opsi utama sebuah perubahan dalam ranah politik Fakultas kita, karena sudah menjadi common enemy bagi para penguasa lama.” Saran Tika. Tika begitu tampak tertarik dengan pergerakan ini. Selain ia juga memang banyak belajar dari Juang kekasihnya tersebut, ia juga sangat suka membaca literatur-literatur politik.

“Kita harus mengikuti saran Tika, kita harus memanfaatkan keadaan ini untuk menarik suara-suara gamang teman-teman kita. Sambil menyematkan kelompok ini sebagai kelompok yang kian terancam keberadaannya, karena dianggap mampu menggoyang kekuasaan lama dalam Fakultas, kita harus yakin teman-teman kita akan memberikan simpati kepada kita. Dan mereka perlahan akan berada dalam barisan ini. Sambil menunggu akan datangnya perubahan dalam susunan kemahasiswaan fakultas tercinta ini. Kita yakin, mereka sebenarnya sama gelisahnya dengan kita, namun karena belum adanya suara yang memulai, jadi mereka masih malu-malu untuk menuntut hal tersebut. Jangan sampai Fakultas kita hanya menjadi roda perputaran keuntungan sebuah kelompok saja. Duit yang tak jelas ujungnya kemana, dan juga yang lebih penting, suara kritis mahasiswa terhadap kebijakan fakultas, kampus, dan pemerintah semakin menipis. Malam ini kita buat selebaran propaganda tersebut, jangan sampai cita-cita kita ini tertunda.” Ucap Juang.

Malam mulai menggelapi halaman utama fakultas tersebut. Suara mereka semakin jelas arah dan tujuannya. Juang terus memimpin diskusi pergerakan tersebut. Gairah muda mereka menjadi mesin utama gerekan tersebut. Kemarahan mereka menjadi penguat kehadirannya. Dan gagasan mereka menjadi senjata utama serangan mereka menghancurkan tirani. Kolonisasi kelompok mahasiswa dari satu kepentingan saja membuat mereka berkumpu. Mahasiswa kini hanya digrogoti oleh kepentingan politik dan ekonomi satu kelompok saja. Mahasiswa telah kehilangan “kesuciannya.” Hampir semua kelompok ekstra mahasiswa di kampus mereka memiliki afiliasi dengan partai politik nasional. Dan mereka kerap kali terjebak dalam romansa tersebut. Menghilangkan hak mereka untuk berusara kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Dan di kampus, kelompok-kelompok tersebut hanya menjadi ajang untuk memuluskan langkah mereka kedepannya, agar setelah lulus mereka mendapatkan kemudaha birokrasi dalam mencari posisi pekerjaan. Organisasi hanya sebatas tersebut. Tidak lebih. Dan inilah yang sedang dilawan oleh Juang dan kawan-kawannya di saat mentari mulai meredup.

Kamis, 09 Januari 2014

Dualisme Media Massa Dalam Ranah Politik

Isi media merupakan sebuah informasi yang dapat merubah sebuah persepsi masyarakat terhadap apa yang disampaikan oleh media tersebut. Apalagi isu yang disampaikan mengenai sebuah pemberitaan mengenai pemerintahan. Ini merupakan isu sangat sensitif bagi khalayak. Semakin gencarnya media dalam memberitakan isu tentang boroknya pemerintahan kita maka akan semakin gencar juga fokus khalayak terhadap isu tersebut.

Sejak pertumbuhan era kapitalis media massa mulai terjebak pada dua pilihan, yakni mengutamakan kepentingan publik atau malah mengutamakan menciptakan sebuah keuntungan. Ini membuat media massa menjadi sangat dilematis.
Pada tahapan konstruksi realitas media massa, pekerja media massa memeliki tiga keberpihakan: Pertama ialah keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Sebagaimana diketahui saat ini hampir tidak ada lagi media massa yang tidak dimiliki oleh kapitalis. Dengan demikian, media massa tidak bedanya dengan super market. Semua elemen media massa, termasuk orang-orang media massa berpikir untuk melayani kapitalisnya, ideologi mereka adalah membuat media massa yang laku di masyarakat.

Kedua ialah keberpihakan semu kepada masyarakat. Bentuk dari keberpihakan ini adalah dalam bentuk empati, simpati dan berbagai partisipasi kepada masyarakat, namun ujung-ujungnya adalah untuk “menjual berita” dan menaikan rating untuk kepentingan kapitalis. Dan yang ketiga ialah keberpihakan kepada kepentingan umum. Bentuk keberpihakan kepada kepentingan umum dalam arti sesungguhnya sebenarnya adalah visi setiap media massa, namun akhir-akhir ini visi tersebut tidak pernah menunjukkan jati dirinya, namun slogan-slogan tentang visi ini tetap terdengar.
Lahirnya berbagai media massa bukan malah menjadi tonggak utama pers untuk memberdayakan kualitas khalayak. Lahirnya mereka tidak semata atas sebuah kepentingan dari para pemiliknya.

Menurut Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta, Gun Heryanto, kepemilikan media menjadi hal yang sangat dilematis dalam dinamika industri media. Dalam hal ini, siapapun yang memiliki modal besar dan mempunyai kepentingan akan berusaha menguasai media. Karena era perpolitikan Indonesia saat ini telah memasuki fase politik pencitraan.

Memang kini peran yang dimainkan oleh media massa bukan lagi hanya sekedar memainkan informasi-informasi politik saja. Melalui jangkauan mereka yang begitu mudah digapai oleh khalayak kini mereka juga menjadi aktor dari sistem politik tersebut.

Komodifikasi isu-isu yang berkaitan dengan aktor-aktor politik, elit politik dan elit pemerintah, dan juga tokoh partai lebih penting disampaikan oleh media massa ketimbang dengan ideology partai, program partai atau bahkan program pembangunan pemerintah. Bahkan media massa kini telah sampai pada kondisi sanggup untuk menurunkan elit partai maupun elit pemerintah melalui entitas berita yang terus menerus disampaikan kepada khalayak dengan mengedepankan aspek negatif elit tersebut.

Tentu kini kita tersadar bahwa apa yang terjadi pada media massa bukanlah sesuatu yang apa adanya terjadi. Seperti yang dikatakan oleh Gun Heryanto di atas, kini era perpolitikan kita telah masuk pada fase politik pencitraan. Mereka yang memiliki modal dan kepentingan menjadi penguasa satu persatu memiliki media massa sebagai alat pencitraannya. Kini keberpihakan media massa semakin jelas bahwa mereka bekerja atas kemauan sang pemilik bukan lagi atas kepentingan umum. Kini ideology media massa adalah melayani kepentingan pemiliknya dan juga mengemas sedemikian rupa kepentingan tersebut agar menjadi laku di khalayak. Ini satu hal yang tidak bisa dipungkiri.

Seperti apa yang dikatakan oleh Pamela J Shoemaker dan Stephen D Reese dalam bukunya Mediating the Message: Theories of Influence on Mass Media Content isi media massa kini dibentuk oleh berbagai faktor yang menghasilkan beragam versi mengenai sebuah realitas. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam membentuk isi media antara lain ialah: orientasi personal dari para pekerja media, professionalisme, kebijakan perusahaan, pola kepemilikan perusahaan, lingkungan ekonomi, pengiklan, dan pengaruh-pengaruh ideologi. Dan yang saat ini lebih menonjol adalah kepentingan pemilik yang dibungkus dengan kebijakan perusahaan. Para pekerja di media massa seakan tidak lagi berdaya untuk menentukan isi sebuah realitas dalam media.

Memang betul saat ini media massa menjadi actor politik melalui apa yang disampaikannya. Bahkan seperti dikatakan di atas media mampu menurunkan elit partai maupun elit penguasa melalui isi yang disampaikan mereka kepada khalayak. Semakin gencarnya media dalam memberitakan isu tentang boroknya pemerintahan kita maka akan semakin gencar juga fokus khalayak terhadap isu tersebut sehingga akhirnya membuat khalayak bergerak untuk menuntu mundur mereka elit partai maupun pemerintah yang terlibat dalam sebuah kasus negatif tersebut. Namun ini bukan lagi menjadi sebuah realitas yang murni yang ditampilkan oleh media massa. Ini merupakan peang kepentingan yang dimainkan oleh pemilik media yang juga memiliki kepentingan di pemerintahan.

Menurut Veven SP. Wardhana dalam Budaya Massa, Agama, Wanita, ia mengatakan jika penguasa menguasai media, bahkan penguasa adalah pemilik media itu sendiri, hanya pembenaran belaka yang kemudian bermunculan. Tidak heran untuk memuluskan kepentingan mereka dalam bidang politik, pemilik media saat ini melalui medianya lebih cenderung menjual fitnah terhadap lain pihak sambil menyembunyikan borok diri sendiri.

Kecenderungan ini sesungguhnya membuat khalayak semakin skeptis terhadap politik itu sendiri. Peran aktif mereka melalui pemilihan umum kini semakin hari semakin memudar. Ini yang diabaikan oleh para penguasa dan pengusaha tersebut. Dan hal ini juga yang membuat mereka tak kunjung sadar.

Melalui hak istimewa mereka dalah menentukan siapa penguasa yang akan memimpin dan kebijakan apa yang akan mereka jalankan seperti yang ditawarkan sebuah kekuasaan, khalayak kini malah cenderung memilih untuk tidak memilih. Padahal kedaulatan Negara ada di tangan rakyat itu sendiri. Legitimasi pemerintah menjadi sedikit berkurang dimata rakyat.

Seperti yang disampaikan Siti Aminah melalui tulisannya yang berjudul Media dalam Demokrasi Postmodern yang terdapat dalam Jurnal Politika, jika ada rakyat yang memilih untuk tidak memilih pada pemilihan umum baik pemilihan legislatif, pemilihan presiden dan wakilnya sampai pada pemilihan kepala daerah mereka bukanlah sesuatu individu yang bodoh, melainkan sudah tidak lagi tertarik dengan daya tawar yang diberikan oleh kontestan pemilu tersebut.

Seharusnya ini menjadi sebuah kesadaran tersendiri bagi pelaku politik agar mereka sadar bahwa apa yang mereka sampaikan tidak sejalan dengan kenyataan. Begitupun dengan pemilik media yang juga memiliki kepentingan di kekuasaan, bahwa fitnah dan isu buruk terhadap lawan politik mereka yang disampaikan melalui medianya malah membawa dampak buruk bagi pemikiran khalayak.

Senin, 06 Januari 2014

Surat Kekecewaan Untuk SBY

Kelelahan demi kelelahan terus terjadi pada benak rakyat miskin jelata. Biaya hidup yang kian tak terkendali semakin membuat hidup putus asa. Kepastian politik akan angin perubahan kian menjauh. Rakyat terus disuguhi konflik politik yang dipertontonkan elit politik melalui media massa. Hidup semakin sempit, mimpi semakin buruk.

Berbagai aksi demonstrasi terus bergulir sepanjang periode 2009 – 2014. Rakyat bersama mahasiswa bergantian turun ke jalan. Menolak kebijakan demi kebijakan yang dianggap menyengsarakan rakyat. Sementara itu di parlemen kita makin sering melihat mereka yang katanya wakil rakyat saling bertikai. Saling serang satu sama lainnya. Kata-katanya kian kasar. Gesture tubuhnya menunjukkan sebuah ketidakbersahabatan. Tatapan matanya tajam saling siap menjatuhkan. Demi satu kepentingan. Kekuasaan.

Elit partai politik semakin gaduh. Bertikai demi kepentingan pribadi. Menjilat pimpinan partai untuk mencari pertahanan hidup. Ideologi dikalahkan demi secangkir darah nafsu kekuasaan. Mereka siap saling bunuh dan saling menjilat demi satu tujuan. Uang.

Politik kian gaduh semakin menjauhkan aktifitas rakyat dalam ranah politik. Kondisi psikis rakyat semakin lelah. Perhatian mereka semakin acuh terhadap ritme kekuasaan. Tak lagi peduli akan perubahan. Politik telah masuk kedalam kantong celana mereka. Yang siap dikeluarkan jika ada yang masuk menggantikan isi kantong tersebut.

Menjelang pemilu 2014 peluang politik uang semakin terbuka. Kejenuhan pemilih semakin kuat potensi uang untuk menjadi daya tawar. Kegaduhan politik yang kian membuat perubahan tidak pasti membuat rakyat kian tak berperhatian. Mereka kian lapar dan bosan. Mereka kian pragmatis. Pemilu 2014 bukan lagi persaingan gagasan antar partai politik melainkan persaingan berapa banyak uang yang siap ditawarkan kepada rakyat.

Ditahunnya pemilu, sudah dibukan keran kefrustasian dalam benak masyarakat. Kenaikan harga gas 12 kg membuat jeritan penderitaan semakin kuat. Kini semua beralih pada gas 3 kg yang disubsidi pemerintah. Harga di pasar terlanjur melejit tinggi. Kebodohan pemerintah yang tak mampu menjaga stabilitas harga ditambah keserakahan tengkulak membuat rakyat semakin menderita. Menjelani pesta demokrasi, rakyat membakar penderitaannya. Dalam hal ini, presiden dan menteri pura-pura bodoh atau mereka memang bodoh betulan. Tak ada yang tahu pastinya.

Lalu apa fungsi demokrasi kalau semua sudah hancur lebur. Masihkah rakyat kuat menjaga kesuciannya ataukah semakin dimanfaatkan oleh elit penguasa dan pengusaha untuk menambah pundi-pundi uang mereka.

Demokrasi diterima bukan karena ia dianngap mampu membawa masyarakat dalam tatanan posisi yang sempurna. Melainkan karena adanya kesempatan untuk melakukan koreksi pada kesalahan yang dibuat oleh penguasa. Selain itu juga adanya kesempatan masyarakat untuk terus berperan aktif dalam mengontrol kebijakan-kebijakan yang akan merugikan kepentingan rakyat.

Dari kondisi ini yang sangat dipentingkan adalah kondisi psikis rakyat itu sendiri dalam sebuah Negara demokrasi. Jikalau demokrasi hanya dianggap proses penyerahan kekuasaan dari pemimpin lama kepada pemimpin baru melalui proses pemilihan umum yang adil, jujur dan rahasia maka demokrasi telah jauh dari hakikat sesungguhnya. Setelah rakyat melalui pemilu memutuskan kepada siapa mereka akan dipimpin dan kearah mana mereka akan dibawa melalui kebijakan-kebijakannya, rakyat seharusnya menyadari mereka masih satu tugas lagi yakni mengontrol kekuasaan tersebut agar mereka tidak terlempar jauh dari pertarungan kepentingan kekuasaan. Ini yang perlu kembali kita perjuangkan.


Kita kembali teringat akan tulisan Yudi Latif yang berjudul “Krisis Legitimasi Negara” yang diterbitkan dalam salah satu harian media cetak nasional. Yudi begitu emosional dalam tulisan tersebut. “Rangkaian korupsi dan kebohongan penyelenggara Negara yang satu persatu terkuak di hadapan publik membawa Negara pada krisis legitimasi yang akut. Di Republik korup dan penuh penuh kebohongan, persahabatan madani hancur. Tiap warga berlomba mengkhianati Negara dan temannya. Rasa saling percaya lenyap karena sumpah dan keimanan disalahgunakan. Hukum dan institusi lumpuh karena tak mampu meredam penyalahgunaan kekuasaan. Ketamakan dan hasrat meraih kehormatan merajalela. Akhirnya timbul kematian dan pengasingan: kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan. Krisis multidimensi membayangi kehidupan negeri.” Begitu Yudi menuturkan kegelisahannya.

Tingkat kepercayan rakyat kepada pemerintah semakin memudar. Mereka kerap kali dimanfaatkan demi kepentingna satu kelompok saja. Dan mereka terabaikan dalam gemuruh kepentingan elit penguasa. Krisis legitimasi dan runtuhnya rasionalitas rakyat membuat Negeri ini semakin amburadul.

Ditengah rakyat yang semakin kehilangan akalnya dalam berpartisipasi aktif dalam proses demokrasi baiknya ada bagian kelompok masyarakat yang mampu membawa angin kepastian perubahan walaupun tidak terlalu kencang. Meskipun usaha tersebut lebih sering gagal namun tak apa karena secara perlahan masyarakat akan tersadar akan hal tersebut. Karena suatu saat nanti mereka akan dinanti dan dimengerti.

Sebuah perubahan dapat terjadi apabila segenap rakyat bersatu dan siap menerkam musuhnya. Tidak ada perjuangan yang berhasil jika masalah-masalah social hanya menjadi sebuah latarbelakang dan perjuangan tersebut dilaksanakan di bawah panji nasional dan regenerasi republikanisme borjuis. Hanya taktik-taktik independen kelas bawah, yang dari posisi kelasnya menghimpun dukungan, dan hanya dari posisi kelasnya mendapatkan kemenangan mutlak dalam perubahan.

Minggu, 05 Januari 2014

"Si Dia" Berbaju Kuning

Mentari masih teramat malu untuk menyinari bumi kala itu. Sehingga membuat anak-anak manusia terlelap dalam lautan mimpinya. Hanya segelintir orang yang sudah terbangun untuk memulai kehidupan. Beberapa lainnya urung untuk beranjak. Ini adalah pekan terakhir untuk menikmati libur tahun baru. Bagi anak sekolah maupun pegawai kantoran. Semua berbahagia.

Kini ku menghadapi banyak orang yang sudah siap menjemput bahagia. Tampak wajah-wajah sumringah dari kebanyakan mereka. Menanti terucapnya ikrar setia di hadapan penghulu. Satu dari anggota keluarga besar kami akan mengikrarkannya. Menjaga makhluk yang paling lembut hatinya. Paling tulus ucapannya. Paling manis dikala mereka tersenyum. Perempuan, bahagialah kalian karena kami kaum lelaki siap dan terus belajar menjadi ksatria idaman kalian. Mewujudkan segala impian masa depan.

“Jangan terburu-buru mengucapkannya, tenang ajah semua pasti lancar.” Ucap Ayah dari mempelai calon pria. Wajah teduhnya mampu memenenangkan hati sang anak yang akan menghadapi akadnya.

Tak ada jawaban dari anaknya. Ia hanya tertunduk sambil merapikan dasinya yang belum rapih terpasang.
Sementara yang lain sedang mengambil parsel-parsel yang akan diberikan kepada keluarga mempelai perempuan, sebagai tanda kasih dari keluarga kami. Petasan sepanjang dua meter telah siap dinyalakan. Menggantung di ujung bambu.

Sebagai tanda keluarga mempelai pria akan melakukan perjalanan menuju kediaman mempelai perempuan. Tak jauh memang. Bersebelahan kampungnya. Tak memakan waktu lama. Kira-kira 15 menit perjalanan jalan kaki. Barisan panjang rombongan menyeberangi jalan raya. Yang sempat memacetkan jalan beberapa saat.

Untungnya tak ada palang pintu seperti biasanya pada pesta perkawinan. Prosesnya tidak memakan waktu lama. Saat menjelang akad akan dilaksanakan, ku duduk di bangku paling pinggir. Berharap jauh dari keramaian. Demi menikmati kekhidmatan sebuah ritual pernikahan. Suara Haji Mursyid mampu menggelagar kehangatan jiwa. Saat menyampaikan khutbah nikah. Tiba-tiba suasana menjadi hening, nikmat dalam kekhidmatan.

Kulihat kiri kanan. Semua terdiam. Namun pikiranku melayang saat ku menumakn sesesok wajah yang teramat teduh. Tanpa ku sadari dia tepat berada di depan hadapanku. Dia tertunduk malu saat pertama kali ku manatapnya. Pernikahan saudaraku kini menjadi sebuah berkah tersendiri bagi kesepian hati ini. Sejenak ku berpikir inikah jawaban dari sekian lama penantian.

Diam-diam beberapa kali ku foto dirinya. Kenekatan itu harus ku lakukan demi sebuah perkenalan. Mata kami kerap kali saling bertatapan. Namun kerap kali juga aku menghindar. Tak sanggup ku manatap lama-lama pesona wajahnya.

Ku perhatikan jarang kali ia mengobrol bersama orang-orang disebelahnya. Lebih banyak diam. Apa ia menikmati sebuah akad pernikahan ataukah memang dirinya seorang perempuan pendiam. Aku menjadi semakin berfikir dalam tentang dirinya.
“Kenalan sana jangan kau fotoi saja dirinya.” Tiba-tiba seorang saudaraku mengagetkanku dalam sebuah perenungan. “Dia saudaranya Selamet, langsung dari Pekalongan datang ke sini. Jangan tunggu lama-lama, tersiar kabar sudah banyak yang menanti dirinya untuk berkenalan. Jangan sampai kau menyesal kemudian.” Nasihatnya.

Ingin ku beranikan diri untuk berkenalan dengannya. Tak akan sulit memang, ternyata dia juga masih kerabat dalam anggota keluarga kami. Namun, aku berlari dari keinginan tersebut. Aku hanya terdiam memandangi bibirnya yang lebih sering tersenyum ketimbang menyampaikan seuntai kata. Itu menjadi sebuah keistimewaan tersendiri bagiku. Senyum manisnya mampu merias wajah cantiknya begitu sempurna. Seuntai harapan akan kembali tumbuh esok pagi dalam taman mimpiku. Aku begitu mendambanya. Namun tak sanggup ku sampaikan.

Namun keindahan itu segera sirna. Hari itu juga ternyata ia kembali ke Pekalongan. Wajahku tertunduk lesu. Taman impian yang sudah siap kutata rapih seketika runtuh. Tak sanggup ku menahan beban rindu, beban tanya dan beban penyesalan.

Beban rindu, karena aku sudah menyiramkan sebuah benih cinta dalam hati yang sudah lama kering. Aku cinta padanya pada pandangan pertama.

Beban tanya, apakah ia tertarik kepada diriku. Seperti diri ini yang jatuh hati kepadanya. Ku berani bertanya karena beberapa kali kami saling memandang. Saling tersenyum akan hal yang berbeda. Namun aku kerap kali tertunduk setelah itu.

Beban penyesalan, karena aku tak sanggup berkenalan dengannya. Yang dalam hitungan detik mampu meluluhkan hatiku. Tatapan matanya dan senyum manisnya mampu menjebol kerasnya batin cintaku. Terpesona dalam hitungan detik. Namun siap hancur dalam beberapa waktu. Menyesal, karena tak sanggup kusampaikan kepadanya sebuah perkenalan.

Kini aku hanya tertunduk. Rindu semakin membuncah, memandang langit berharap ia akan kembali. Menikmati semilir angin, berharap angin membawa rindu dan ia menyadari betapa rindunya diri ini. Tertunduk memohon kepada Tuhan, agar kami kembali bertemu dan diperkenankan menyatukan hati dan berharap diapun memohon hal yang sama kepada Tuhan.
Kini hanya tulisan yang bisa kubuat. Berharap ia suatu hari nanti membacanya. Dan kembali membawa sebuah balasan rindu ini. Malam kekasih yang tak kunjung kusadari betapa besarnya cintaku kepadamu.

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae