Rabu, 26 Februari 2014

Sosialisme Soekarno - Hatta

“Nasionalisme tanpa keadilan sosial adalah nihilisme. Bagaimana suatu negeri yang miskin dan sangat buruk seperti negeri kami dapat menganut suatu aliran selain sosialisme?” Bung Karno dalam “Bung Karno: Penyambung Lidah Rayat Indonesia” karangan Cindy Adams.

Pernah dalam pidatonya Bung Karno menyatakan sendiri dengan lidahnya bahwa dirinya ialah seorang sosialis. Namun, sosialisme Bung Karno tidak seturut dengan komunis. Hal ini disebabkan oleh; yang pertama ialah dia percaya pada demokrasi dan yang kedua dia tidak memasukkan konsep materealisme ekstrem, karena menurutnya bangsa Indonesia adalah bangsa yang bertakwa kepada Tuhan. Sumbangannya bagi sosialisme Indonesia adalah melakukan kontekstualisasi sosialisme menurut kebiasaan dan budaya bangsa Indonesia. Sosialisme Indonesia adalah sosialisme campuran, sosialisme Indonesia mengambil kesamaan politik dalam Declaration of Independence dari Amerika Serikat, mengambil persamaan spiritual dalam islam, dan mengambil persamaan ilmiah dari Marx.

Selain itu menurut Bung Karno kapitalisme yang dirasakan oleh bangsa Indonesia berbeda dengan yang terjadi di Eropa. Kapitalisme dahulu di Indonesia ialah kapitalisme pertanian, yang dominannya adalah rakyat Indonesia memiliki alat produksi sendiri namun menghasilkan petani yang melarat karena hasilnya sangat terbatas dan tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup. Dari hal ini, Soekarno berkesimpulan bahwa konsep revolusi sosialisme yang dialamatkan kepada kaum proletar yang dipraktekkan di Eropa tidak bisa diterapkan di Indonesia.

Perjuangan sosialisme ala Indonesia menurut Soekarno ialah yang berlandaskan sosio – nasionalisme dan sosio – demokrasi yang menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme, imperealisme, dan kolonialisme. Sosio – nasionalisme yang dimaksud adalah semangat kebangsaan yang menjunjung tinggi perikemanusiaan ke dalam dan ke luar, yang tidak menari di atas “gebyarnya” atau kilaunya negeri keluar saja, tetapi ia haruslah mencari selamatnya semua manusia. Adapun sosio – demokrasi adalah demokrasi yang memperjuangkan keadilan sosial, yang tidak hanya memedulikan hak-hak sipil dan politik, melainkan juga hak ekonomi.

Adapun menurut Mohammad Hatta, lahirnya sosialisme di Indonesia ialah berawal dari upaya melaksanakan demokrasi ekonomi seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 33. Demokrasi ekonomi harus diwujudkan karena dengan adanya demokrasi ekonomi barulah terjamin adanya keadilan sosial yang menjadi tiang kelima daripada Negera Republik Indonesia. Keadilan sosial menghendaki kemakmuran yang merata ke seluruh rakyat, begitulah Hatta melihat sosialisme seperti tertuang dalam “Bung Hatta dan Ekonomi Islam” karangan Anwar Abbas.

Yang membedakan pergerakan sosialisme di Indonesia dengan di Barat yang menonjol adalah corak kehidupan bangsa Indonesia yang sudah terbiasa bersifat kolektifisme dibandingkan dengan di Barat yang bersifat individualism. Hal ini terjadi karean bangsa Indonesia mencitakan sebuah kedaulatan rakyat bukan kedaulatan individualism. Kedaulatan rakyat dapat dicapai melalui sebuah cara musyawarah mufakat yang dilaksanakan oleh masyarakat itu sendiri.

Kolektifisme atau kebersamaan, menurut Hatta jangan hanya tercermin dalam kehidupan politik dan sosial saja tetapi juga harus mencakup kehidupan ekonomi. Baginya kolektifisme tidaklah sulit diterapkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena hal tersebut sudah berakar dalam kehidupan masyarakat asli Indonesia. Menurut Hatta, tanda-tanda kolektifisme tersebut tercermin dalam sifat gotong royong atas dasar tolong menolong. Dalam hal ini, masyarakat kita tidak mengenal upah-mengupah karena yang menjadi prinsip bagi mereka adalah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, sedih sama diderita dan gembira sama dirasa. Dari hal inilah lahirlah dasar-dasar bagi sosialisme Indonesia, yang bersifat kolektif, yang banyak sedikitnya masih bertahan sampai sekarang.

Namun, kolektifisme yang dianut bangsa Indonesia bukanlah kolektifisme yang berdasar atas sentralisasi atau terpusat pada satu orang dan satu kelompok manapun. Kolektifisme yang dianut oleh bangsa Indonesia ialah berdasar atas desentralisasi, yaitu tiap-tiap bagian berhak menentukan nasibnya sendiri.

Sebagai penutup, menurut Hatta demokrasi asli Indonesia tidaklah pincang seperti demokrasi politik Barat. Demokrasi asli Indonesia mengandung di dalamnya pelaksanaan cita-cita demokrasi politik dan ekonomi, pendek kata demokrasi sosial. Semuanya ini besar pengaruhnya atas perkembangan paham sosialisme yang memakai corak kolektifisme.

Intinya sosialisme Indonesia memiliki coraknya sendiri, menuju masyarakat yang adil dan makmur, suatu masyarakat yang bebas dari kemiskinan dan kesengsaraan hidup, di mana produksi dilakukan oleh orang banyak, atas dasar usaha bersama, di bawah pimpinan badan-badan masyarakat yang bertanggung jawab kepada masyarakat. Tujuannya seterusnya ialah melaksanakan perikemanusiaan dan perikeadilan, jelas Hatta dalam bukunya “Mohammad Hatta Bicara Marxis”.

Janji Kebangsaan Soekarno - Hatta

Hampir 7 dasawarsa bangsa kita merdeka. Berbagai upaya telah dilakukan guna memperbaiki tatanan ekonomi dan sosial politik. Angin segar tampak berhembus kencang pasca runtuhnya Orde Baru dan munculnya wacana reformasi.

Bermunculanlah berbagai partai politik baru dengan beragam ideology dan tak mau kalah disaat bersamaan muncul juga media massa baru. Kelahiran keduanya guna untuk menciptakan sebuah kebebasan informasi, kebebasan berpendapat dan juga kebebasan untuk mengontrol dan mengawasi pemerintahan. kemelaratan dan kemiskinan yang berkepanjangan selama Orde Baru melahirkan ledakan yang begitu besar dalam masyarakat untuk menuntut reformasi. Buruh, tani, mahasiswa, dan rakyat miskin kota bersatu padu menjadi satu kekuatan besar.

Kini menjelang kemerdekaan RI yang ke 69 dan pelaksanaan Pemilu secara langsung yang dilaksanakan secara jujur dan adil untuk ketiga kalinya, namun kemiskinan dan penderitaan terus saja berlangsung dirasakan oleh rakyat bangsa Indonesia. Data-data resmi yang disajikan oleh pemerintah penuh dengan kepalsuan dan tidak menggambarkan kesenjangan yang terjadi di dalam masyarakat. Tumbuhnya demokrasi sosial dan politik tidak dibarengi dengan pertumbuhan demokrasi ekonomi. Kemiskinan terus menjadi sebuah ancaman yang menghantui masyarakat.

Dengan kelahiran begitu banyaknya partai politik tidak begitu saja membawa aspirasi-aspirasi masyarakat terdengar dan dapat menjadi sebuah kebijakan politik melalui partai politik. Media massa bukan lagi menjadi corong utama arus informasi untuk mengontrol dan mengawasi pemerintahan. Media massa dan partai politik kini hanya mendaur ulang masa Orde Baru, memihak dan mementingkan pemiliknya/penguasanya saja. Oligarki kekuasaan yang menimpa keduanya mengecilkan terjadinya debat argumentasi yang progresif dari kalangan publik, hal ini dikarenakan media massa dan partai politik takut apa yang mereka bawa dari publik akan bertentangan dengan pemilik mereka. Inilah yang merusak tumbuh kembangnya demokrasi politik dan demokrasi ekonomi secara berbarengan.

Kita tentu heran melihat gejala seperti ini, seakan cita-cita para pendiri bangsa tak terwujudkan meski umur bangsa kita telah mendekati usia 70 tahun lamanya merdeka. Menurut Soekarno, ada 5 prinsip dari Pancasila yang harus dipegang teguh dalam kehidupan bernegara Indonesia merdeka, yaitu kebangsaan Indonesia, perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial dan Ketuhanan.

Kedaulatan ekonomi yang dimaksud oleh Soekarno ialah tentang kesejahteraan sosial. Sasaran utamanya adalah keadilan ekonomi bagi seluruh lapisan masyarakat. Dalam pertumbuhan perekonomian tidak ada kelompok masyarakat yang ditinggalkan. Rakyat memiliki hak yang sama untuk memperoleh peluang bekerja yang layak. Kesejahteraan sosial adalah tujuan yang harus dicapai dalam kehidupan bernegara di Indonesia.

Bagi Soekarno kemerdekaan Indonesia bukanlah dilahirkan untuk segelintir orang yang akan memiliki kekayaan. Cita-cita sejati kemerdakaannya ialah semua rakyat sejahtera, cukup makan, cukup pakaian, merasa dipangku oleh ibu pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya.

Sedangkan menurut Hatta, kegaiatan sosial, politik dan ekonomi bangsa Indonesia harus disadari atas sebuah kebersamaan. Konsep kebersamaan ini tidaklah sulit untuk diterapkan di Indonesia, karena hal ini sudah sangat berakar dalam masyarakat asli Indonesia. Yang perlu diperhatikan di sini ialah, kebersamaan yang dianut dalam masyarakat Indonesia bukanlah yang sifatnya tersentralisasi yang mengacu pada satu pimpinan atau segelintir orang saja, melainkan konsep kebersamaan Indonesia ialah mengacu pada sifat desentraliasi yang tiap-tiap bagian berhak menentukan nasibnya sendiri.

Untuk mewujudkan cita-cita sejati kemerdekaan berupa tegaknya keadilan dan kebenaran, bagi Hatta diperlukan sebuah perjalanan yang beriringan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Yang perlu dibangun adalah kesadaran dan keinsyafan rakyat akan hak dan harga dirinya. Menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memberi penjelasan yang efektif akan arti penting kedaulatan rakyat. Menurut Hatta, bagaimana mungkin kita dapat memperbaiki nasib petani, kalau si tani masih dapat ditipu oleh juragan pabrik yang menyewa tanahnya.

Soekarno dan Hatta bersama para pendiri bangsa lainnya telah sepakat bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Artinya di sini adalah, semua cabang kekuasaan dan pelaku kekuasaan Negara adalah penyandang dan petanggungjawab untuk melaksanakan kedaulatan rakyat sebaik-baiknya, baik di bidang politik maupun ekonomi.

Menurut Jimly Asshiddiqie dalam “Konstitusi Ekonomi”, di dunia politik kita sudah biasa mengembangkan pengertian yang sudah dianggap ideal mengenai demokrasi konstitusional atau kedaulatan rakyat berdasar hukum, sedangakn di dunia ekonomi, kita sudah sering mengembangkan pengertian mengenai ekonomi pasar konstitusional atau kedaulatan rakyat di bidang ekonomi yang juga harus dilakasanakan mengacu pada konstitusi.

Langkah awal kita sebagai generasi yang akan datang ialah menciptakan kembali kesadaran rakyat akan hak dan tanggung jawabnya dalam kehidupan bernegara. Disaat partai politik sebgai pelaku utama perlambang demokrasi sudah tidak sanggup lagi menjadikan aspirasi publik sebagai sebuah kebijakan politik dan ekonomi melalui partainya, mari kita ciptakan sebuah kelompok kemasyarakatan yang terbebas dari kepentingan untuk mengakumulasi kekuasaan dan uang. Kelompok kemasyarakatan yang muncul atas nilai dasar kehidupan seperti keadilan, kebenaran, kebaikan dan yang sejenisnya seperti yang dinyatakan oleh Jurgen Habermas.

Jumat, 21 Februari 2014

Penguatan Fungsi Pemilu

Pemilihan umum pada tahun ini tinggal menghitung hari. Periode kekuasaan SBY beserta kabinetnya akan segera runtuh dan berganti dengan pemimpin dan susunan kabinet yang baru. Begitupun dengan anggota parlemen, mereka akan segera angkat kaki dari gedung mewah tak berperikemanusiaan tersebut. Namun, sebagian dari mereka akan mencoba untuk kembali lagi, membawa sejuta cita-cita kemunafikan yang dalam masa kampanyenya memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat. Tetapi, yang pasti dari Pemilu kali ini ialah, Partai Demokrat dan SBY-nya akan segera tamat dari kekuasaannya.

Indonesia melaksanakan pemilihan umum secara lima tahun sekali. Pemilihan umum membuat rakyat secara periodic diberikan kesempatan secara bebas dan kompetitif untuk memberikan hak pilihnya pada para peserta Pemilu. Mereka bebas menentukan elit kekuasaan mana yang akan memegang kendali pada periode yang akan datang. Masa berakhirnya kesempatan untuk SBY yang telah memimpin Indonesia selama dua periode dapat dipastikan rakyat akan memilih tokoh baru untuk menjadi pemimpin bagi mereka. Hanya melalui pemilihan yang jujur dan adillah perebutan kekuasaan yang sah dalam sistem demokrasi.

Pemilihan umum adalah sebuah manifestasi dari kedaulatan rakyat. Kita telah lama membicarakan bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat dan keputusan pemerintah tidak sah jika tidak berdasarkan kepentingan dan kebutuhan rakyat. Namun, dalam pemerintahan demokratis selalu mengandaikan sistem perwakilan untuk mengekspresikan suara rakyat dalam pemerintahan. Kekuasaan rakyat dalam sistem perwakilan tidak berada dalam tangannya secara langsung, melainkan ada pada anggota parlemen yang mereka pilih melalui pemilihan umum. Itulah satu proses yang harus dijalani dalam sistem demokrasi.

Pertanyaannya adalah, apakah semua anggota parlemen yang dipilih secara langsung oleh rakyat melaksanakan apa yang dikehendaki rakyat? Tentu jawabannya cukup lumayan sulit untuk kita pelajari.

Pada saat ini, demokrasi kita telah memasuki fase demokrasi elit. Para elit kekuasaan partai politik hanya menganggap demokrasi sebagai sistem procedural dan mekanisme perebutan kekuasaan semata. Ini semikin membuat elit politik sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi dan menjadikan suara rakyat terabaikan.

Menurut Saldi Isra dalam “Pergeseran Fungsi Legislasi”, demokrasi elit cenderung menisbihkan peran masyarakat setelah proses pemilihan umum selesai yaitu dengan terpilihnya pemimpin baru dan para wakil rakyat yang baru pula. Setelah rakyat menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum, maka selanjutnya penyelenggaraan pemerintahan hanya dijalankan oleh para elit politik yang berkuasa dan mengabaikan kepentingan rakyak.

Hal di atas menandakan bahwa pemilihan umum yang secara langsung yang telah dilaksanakan ketiga kalinya ini belum mampu menciptakan sebuah kesejahteraan dan keadilan di kehidupan masyarakat. Kenyataan tersebut diperparah dengan lahirnya oligarki kekuasaan dikalangan internal partai. Para elit partai yang sebulum era reformasi begitu kuat keinginannya untuk menjatuhkan Soeharto karena dianggap ototriter yang cenderung kepada kekuasaan oligarki, kali ini malah mereproduksi ulang kelemahan lawan politiknya di masa silam. Ini menyebabkan suara rakyat yang diperjuangkan oleh kader-kader mereka walaupun hanya sedikit mentok berada dalam kepentingan elit partai politik. Selain itu, ini juga meminimalkan terjadinya debat argumen yang lebih luas dikalangan internal partai. Kader-kader partai politik kini hanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan elit politik, bukan lagi menyuarakan pendapat-pendapat progresif yang berasal dari rakyat untuk dijadikan kebijakan politik melalui partai politik.

Seperti yang dikatakan oleh Yudi Latif dalam “Krisis Legitimasi Negara”, bertahun-tahun pemerintahan demokratis diperjuangkan dengan keringat dan darah. Namun, ketika kesempatan itu diraih, politik tak berhikmat bagi kepentingan orang banyak. Aparatur Negara gagal menegakkan hukum dan ketertiban. Politisi dan pejabat Negara miskin visi dan wawasan.

Pemilihan umum yang demokratis melahirkan sebuah mekanisme control dan penyerahan kekuasaan yang menciptakan garis pertanggungjawaban yang jelas. Dalam demokrasi, penguasa bertanggung jawab kepada rakyat, rakyat melalui pilihan umum dan pilihannya, menentukan sosok-sosok aktor politik, arah politik, dan pada akhirnya, menentukan pemerintahan yang baik.

Demokrasi kini yang kita rasakan begitu menyesakkan. Pertarungan politik yang kian gaduh membuat masyarakat menjadi resah. Dan akhirnya membawa kita pada sebuah jurang perekonomian yang kian menganga antara si miskin dan si kaya. Mungkin kita terlalu berlebihan menyambut reformasi sehingga apa yang kita kerjakan saat ini merupakan sebuah kelanjutan dari kegelapan di masa silam. Kesenjangan sosial tidak dapat disembunyikan di balik data-data yang bagus. Data-data yang resmi datang dari pemerintah tidak menggambarkan bahwa kesenjangan itu terjadi.

Demokrasi saat ini hanya melahirkan kegaduhan dan kejenuhan, kesenjangan sosial, ketidakadilan ekonomi dan berbagai dampak kekecewaan lainnya yang dialami oleh rakyat. Hal ini bukan berarti kita berganti haluan atau memutar arah kembali ke masa lampau.

Adnan Buyung Nasution telah mempertingatkan kita, demokrasi merupakan bukan cara untuk mencapai tujuan. Demokrasi ialah tujuan yang harus kita bangun terus menerus sebagai sesuatu proses yang akan memakan waktu. Dan tujuan dari demokrasi haruslah mengandung nilai dan norma dari demokrasi itu sendiri.

Demokrasi bukan hanya masalah sosial dan politik, melainkan pula masalah ekonomi. Dan segala sesuatunya, yakni proses pembangunan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi harus mengacu pada UUD 1945 dan Pancasila. Dalam sebuah Negara, sistem politik yang baik akan mampu mempengaruhi keadaan ekonominya. Seperti yang sering kita dengar, bahwa masyarakat politik yang baik dan progresif akan melahirkan sebuah pemerintahan yang baik.

Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik Pasal 1 ayat 4 pendidikan politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, dan tanggung jawab setiap warga Negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebenarnya Undang-undang kita telah mengatur sangat jauh tentang pemilihan umum, hanya saja hal itu sering kali tercederai karena pada culas dan liciknya para elit politik untuk memberikan pendidikan yang cukup mengenai politik bagi setiap warga Negara. Sesungguhnya jika pendidikan politik digalakkan oleh partai politik maka proses demokratisasi ini akan segera melahirkan sebuah tatanan perekonomian dan keadilan sosial yang merata.

Maka dari permasalahan itu semua, mari kita siapkan dengan cara mengambil alih peran yang seharusnya dijalankan oleh partai politik untuk menyiapkan masyarakat kita dengan pendidikan, pendewasaan, dan partisipasi masyarakat politik yang baik, agar kedepannya melahirkan satu Negara yang sejahtera, adil dan makmur.

Kamis, 13 Februari 2014

Kedaulatan Milik Siapa?

Tentu kita masih teringat dengan pemikiran Adnan Buyung Nasution tentang demokrasi. Menurutnya, demokrasi bukan hanya cara, tetapi juga tujuan yang harus terus menerus kita bangun sebagai proses yang akan memakan waktu. Demokrasi bukan sekedar alat untuk mencapai tujuan, melainkan tujuan demokrasi ialah harus mengandung aspek-aspek demokrasi tersebut. Tentunya hal ini harus dibarengi dengan pendidikan, pendewasaan dan partisipasi masyarakat dalam proses demokratisasi. Hal ini perlu dilakukan agar masyarakat tidak hanya berada dalam lapisan terluar dalam proses demokrasi, tetapi mampu menjangkau lapisan ini dari demokrasi, yakni mengawasi dan mengontrol kekuasaan.

Kata kedaulatan sering kali kita dengan sepanjang perjalanan demokrasi bangsa ini. Rakyatlah yang menentukan kepada siapa mereka akan dipimpin dan akan kemana arah kebijakan bangsa ini akan berjalan. Ini didukung dengan adanya pelaksanaan pemilihan umum yang bebas serta jujur dan adil sebagai wadah untuk memenuhi kedaulatan rakyat.
Pendidikan merupakan sebuah faktor utama dalam mencapai demokrasi. Dengan sebuah latar belakang pendidikan yang mapan, masyarakat mampu mengontrol dan mengawasi setiap proses pembuatan peraturan dan perundang-undangan yang baru agar memihak kepada kepentingan dan kebutuhan mereka. Wujud masyarakat seperti ini ialah munculnya kelompok kemasyarakatan yang mapan dan terpola. Kehadiran kelompok kemasyarakatan tentunya harus jauh dari hasrat untuk mengakumulasi uang dan kekuasaan. Justru yang harus hadir ialah kelompok kemasyarakatan yang mengurusi kehidupan social seperti kebenaran, kebaikan, keadilan dan berbagai macam lainnya.

Kini Bangsa kita mendekati usia yang hampir 69 tahun, mendekati pemilihan umum langsung yang ketiga kalinya, dan Indonesia telah menempati posisi ketiga sebagai negeri paling demokrasi di seluruh dunia, namun berbagai macam persoalan Bangsa tak kunjung selesai, terutama maslah kemiskinan. Sebenarnya apa yang berkembang dalam kehidupan politik mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Kini jarak yang begitu menganga lebar antara si kaya dengan si miskin. Dan yang tragis, derita si miskin tak jarang yang berakhir kepada kematian.

Yang jarang kita sadari, demokrasi sebenarnya bukan hanya membawa kita pada kedaulatan politik semata, melainkan juga dibidang ekonomi dan berbagai bidang lainnya. Adanya jaminan untuk mengontrol dan mengawasi kekuasaan yang demokrasi harus dilaksanakan dengan sebaiknya dalam segala aspek kehidupan.

Kita harus ingat, yang menjadi warisan paling berharga untuk kita dari para pendiri bangsa ialah UUD 1945 dan Pancasila. Dalam alinea ke IV pembukaan UUD 1945 dinyatakan, “ … untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, …”.

Jimly Asshidiqie mengungkapkan tujuan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, ditambah prinsip keadilan sosial dalam rumusan Pancasila pada alinea IV tersebut sangat erat dengan kebijakan ekonomi. Lebih jauh lagi, rumusan tersebut terwujudkan dalam pasal 33, meskipun telah diamandemen keempat kalinya, pasal ini terus dijaga dan tak pernah diubah, hanya ditambah beberapa ayat yang dirasa diperlukan untuk memperjuangkan ekonomi.

Kembali seperti yang dituliskan pada bagian atas, apa yang berkembang pada dimensi politik akan mempengaruhi kehidupan dimensi ekonomi. Wujud dari kedua hubungan tersebut ialah dengan lahirnya konsep demokrasi ekonomi. Konsep ini merupakan pencarian dari para pendiri bangsa untuk menemukan sebuah bentuk perekonomian yang tepat dan sesuai dengan karakter masyarakat. Karena itu, konsep demokrasi ekonomi merupakan konsep yang sangat khas dengan kehidupan bangsa dan sangat jarang ditemukan pada kamus ekonomi manapun.

Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta dan Ekonomi Islam” karangan Anwar Abbas, menyatakan “demokrasi politik dan demokrasi ekonomi mendjadi sjarat bagi soeatoe masjarakat jang berdasar keadilan dan kebenaran, jang menjempoernakan tjita-tjita bahwa tiap-tiap rakjat berhak untuk menentoekan nasibnja sendiri.”

Saat ini, wujud perpolitikan kita telah banyak oleh para pengusaha, baik di parlemen maupun dalam jajaran kabinet. Bahkan menjelang Pemilu 2014 ini, kandidat para calon presiden dan wakilnya banyak yang berlatar belakang pengusaha. Kebijakan-kebijakan pemerintah kini tidak jauh dari kepentingan-kepentingan yang menguntungkan para pengusaha yang kini berwujud penguasa.

Berbicara tentang kedaulatan rakyat, yaitu kedaulatan yang dilaksanakannya harus dilakukan menurut Undang-Undang Dasar. Semua sumber daya di bidang politik dan ekonomi dikuasai oleh rakyat, rakyat yang berdaulat. Artinya di sini kita dapat melihat seharusnya semua cabang kekuasaan pemerintah dan Negara dalam melaksanakan kekauasaannya harus berdasarkan kepentingan rakyat, baik di bidang politik maupun ekonomi.

Secara teoritisnya jika semua elemen demokrasi sadar akan tugasnya masing-masing, kondisi bangsa ini akan menjadi sejahtera dan adil. Namun, hal ini sangat berbanding terbalik. Partai politik sebagai pelaku utama dalam sistem demokrasi gagal membumikan tugas-tugas utama dalam prakteknya. Setelah partai politik menganggap demokrasi hanya sebagai sistem procedural dan mekanisme perebutan kekuasaan, partai politik kini berada dalam titik terendah. Partai politik juga hanya melahirkan kembali penyakit lama pada masa Orde Baru yakni sebuah kekuasaan yang otoriter di dalam internal partai. Para aktivis pra reformasi yang kini menjadi elit partai politik malah terjebak pada sifat lawan politiknya di masa silam. Roda perjalanan partai kini hanya sebatas kepentingan elit partainya saja.

Di saat yang bersamaan, masyarakat sudah mulai jenuh. Ketidakadilan yang mereka rasakan secara terus menerus membuat mereka kini apatis terhadap sistem demokrasi. Masyarakat tidak lagi menganggap demokrasi sebagai sebuah upaya untuk merealisasikan kesejahteraan dan keadilan sosial. Kini masyarakat hanya menganggap demokrasi bagian dari pemainan kepentingan-kepentingan elit politik saja.

Pada bagian akhir ini, kita melihat sangat jelas betapa begitu eratnya hubungan antara politik dan ekonomi. Kemiskinan rakyat kita yang telah begitu lama, secara tidak langsung dibuat para pelaku elit politik. Kiranya, pada 1998 setelah kediktatoran Soeharto runtuh akan ada perubaha pada struktur kehidupan. Nyatanya tidak, malah kediktatoran Soeharto diteruskan oleh orang-orang yang begitu ingin menjatuhkannya di masa lalu. Sekarang, pengusaha yang berlomba untuk menjadi penguasa tumbuh subur. Mereka bukan ingin mengabdikan diri mereka kepada bangsa ini, melainkan ingin melanggengkan harta kekayaannya dengan cara menjadi penguasa. Ekonomi rakyat kecil tidak lagi diperjuangkan jika pengusaha-pengusaha tersebut telah berkuasa. Sebabnya ialah karena mereka adalah bagian dari kaum kapitalis yang terus mengeruk sumber daya Indonesia untuk kepentingan kelompoknya semata bukan untuk kepentingan kita semua termasuk rakyat kecil. Kini yang tersisa dari penderitaan dan ketidakadilan tersebut adalah kebodohan. Masyarakat tidak mengerti apa-apa, demokrasi hanya dianggapnya sebagai permainan elit semata, bukan lagi sebagai upaya untuk merealisasikan kesejahteraan dan keadilan sosial. Kontrol untuk mengawasi pemerintah menjadi lemah dalam kelompok kemasyarakatan akibat dari kemiskinan tersebut.


Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae