Selasa, 18 Maret 2014

Demokrasi Milik Siapa?

Pada dasarnya sistem demokrasi menempatkan individu manusia sebagai pusat perhatian kekuasaan. Demokrasi pada dasarnya bukan saja menyangkut pelaksanaan pemilihan anggota eksekutif, legislatif dan yudikatif melalui pemilihan umum. Demokrasi bukan hanya saja aktifitas politik pada sistem tingkat Negara. Demokrasi bukanlah sebuah sistem yang kaku seperti hal-hal tersebut.

Demokrasi juga bukan tentang sebuah cara untuk mencapai tujuan tertentu, melainkan tujuan-tujuan tersebut haruslah sesuai dengan konsep demokrasi pada suatu Negara. Demokrasi bukan seperti yang dilakukan di Timur Tengah yang dengan melalui pemilihan umum mereka ingin mengganti konsep tersebut dengan konsep khalifah. Corak demokrasi bukanlah seperti itu.

Di Indonesia, proses demokrasi sudah tidak perlu diragukan lagi. Sebagai Negara paling demokrasi diperingkat ketiga dunia membuat negeri kita disegani akan proses demokratisasinya. Hal ini juga mementahkan penelitian Index of Political Right and Civil Liberty yang dikeluarkan oleh Freedom House yang menyatakan bahwa Negara-negara mayoritas muslim pada umumnya gagal membangun politik yang demokratis.

Namun, apakah sudah sepatutnya kita menerima itu semua begitu saja. Proses demokratisasi di Indonesia secara procedural memang sudah cukup mapan. Pergantian kekuasaan berlangsung secara damai tanpa adanya penolakan-penolakan yang diajukan oleh para elit politik yang terlibat dalam persaingan politik. Pemilihan secara langsung yang jujur dan rahasia berjalan mulus dikalangan masyarakat. Pemilihan umum pada akhirnya menghasilkan pemimpin yang memiliki legitimasi yang kuat di mata masyarakat.

Setelah reformasi bergulir, era kebebasan bermunculan sebagai penanda bangsa kita telah siap melakukan demokratisasi disegala aspek. Partai politik berdirian, setelah reformasi ada 141 partai yang muncul. Berbagai media massa baru bermunculan, kebebasan berpendapat di tegakkan. Ini merupakan satu langkah awal yang gilang gemilang menyambut babak baru bangsa ini, demokrasi yang menyeluruh.

Seperti yang tertulis pada kalimat pertama dalam tulisan ini, demokrasi menempatkan manusia sebagai pusat perhatian kekuasaan. Dalam kekuasaan yang demokrasi tidak boleh adanya pelanggaran-pelanggaran yang merugikan individu manusia manapun. Manusia bebas melakukan apapun yang mereka yakini kebenarannya. Namun demokrasi juga tidak menampilkan sebuah kebebasan individu yang kebablasan. Manusia bebas yang diidealkan dalam sistem demokrasi menurut Hannah Arendt ialah manusia yang terbebas dari himpitan kebutuhan dasar dan disaat yang bersamaan mampu berwacana dalam ruang publik. Saat manusia menjadi mandiri, disaat seperti itulah ia menjadi warga Negara yang sebenarnya, dan saat itupula demokrasi bisa berjalan.

Labih lanjut lagi, yang dimaksud dari kebebasan individu dalam sistem demokrasi ialah bukan sebuah kebebasan absolute yang dimiliki oleh setiap individu, melainkan kebebasan tersebut dibatasi oleh kebebasan orang lain. Intinya, dalam konsep demokrasi tidak ada perbedaan derajat dan nilai dalam soal hak alamiah dan politik yang dimiliki oleh setiap orang.

Cerminan dari konsep demokrasi ialah ingin melahirkan dan melindungi kebebasan dan hak individual masyarakat dari tindakan kesewenang-wenangan pemerintah. Menurut Soekarno, Indonesia merdekan ialah untuk semua masyarakatnya sejahtera, semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya. Tersirat bagi Soekarno, demokrasi bukan hanya kesetaraan politik saja melainkan kesetaraan dalam bidang politik melainkan keseteraan dalam bidang ekonomi bagi kemerdekaan yang hakiki. Tujuan dari kemerdekaan kita tidak jauh berbeda dengan konsep demokrasi, yakni sebuah pemerintahan yang menjamin hak individu masyarakatnya.

Pada saat ini, realitasnya sangat jauh dari harapan. Kebebesan individu baik dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi kembali pada sebuah titik keprihatinan. Dalam ketiga aspek tersebut, kini bangsa kita sedang mengalami pesakitan yang serius. Di bidang sosial, banyak sekali kelompok-kelompok mayoritas keagamaan yang melakukan tekanan-tekanan kepada kelompok lain agar tidak bisa menjalani keyakinan mereka dengan leluasa. Tekanan-tekanan seperti ini cukup mencederai kebebasan individu dalam menjalani keyakinannya.

Di bidang politik aspirasi masyarakat kerap kali terabaikan. Begitu kuatnya oligarki partai di dalam internal partai membuat aspirasi masyarakat sering kali berbenturan dengan kepentingan-kepentingan elit partai. Yang tadinya partai politik menjadi saluran utama bagi aspirasi masyarakat untuk dijadikan kebijakan politik melalui partai politik kini hanya menjadi isapan jempol semata. Terjadinya pengulangan kesalahan masa Orde Baru dikalangan elit partai politik yakni sebuah kekuasaan yang berpusat hanya pada segelintir kelompok saja membuat harapan rakyat akan terjaminnya aspirasi mereka terpinggirkan.

Sedangkan dalam bidang ekonomi, jurang kemiskinan begitu menganga. Kemiskinan dan penderitaan terus saja berlangsung dirasakan oleh masyarakat kita. Pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan pemerataan diseluruh lapisan masyarakat. Pembangunan ekonomi hanya dirasakan oleh sekelompok orang saja. Data-data resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah penuh kepalsuan dan tidak menggambarkan kesenjangan yang terjadi di masyarakat.

Jadi, selama ini demokrasi hanya berjalan untuk segelintir kepentingan kelompok saja. Demokrastisasi tidak menyeluruh disegala lapisan. Demokrasi kerap kali meminggirkan kelompok-kelompok minoritas. Demokrasi hanya menjadi alat utama kaum kapitalis meraup keuntungan dengan bekerja sama dengan para elit politik. Demokrasi kini hanya menjadi sunyi bagi masyarakat kecil. Namun, yakinlah dengan demokrasi kita bisa maju bersama menegakkan semua cita-cita bangsa. Karena demokrasi akan selalu dinanti dan dimengerti.

Rabu, 12 Maret 2014

Jokowi Sang Pemimpin Selanjutnya

Siapa yang akan melanggang nanti ke parlemen akan sangat ditentukan dengan siapa yang akan mereka usung menjadi calon presiden dan wakilnya nanti. Karena hampir semua partai politik yang akan berkompetisi pada pemilu 2014 ini selalu gencar menampilkan tokoh-tokoh yang mereka anggap layak menjadi pemimpin nanti. Namun hampir semua calon yang mereka tampilkan untuk menjadi calon pemimpin nantinya sebagian besar adalah tokoh-tokoh lama yang sudah keropos tajinya. Lebih parahnya, sebagian dari mereka telah memiliki rapor merah dalam sejarah peradaban bangsa kita dan sebagian lagi merupakan orang-orang yang telah gagal dalam memimpin bangsa meski telah diberi kesempatan berkali-kali.

Ada juga partai politik yang giat melakukan konvensi dalam menghadapi persaingan pada pilpres yang akan datang nanti. Namun hal ini dianggap sebagai upaya untuk menaikkan angka elektabilitas partainya setelah dalam perjalanan periode ini menjadi pesakitan karena ada banyaknya kader-kader yang terlibat dalam kasus korupsi. Konvensi tersebut juga disebut-sebut telah tersusun rapi siapa yang akan memenanginya.

Upaya lain juga dilakukan oleh partai politik lainnya dalam melakukan upaya publisitas dalam masyarakat agar partai mereka dapat lolos ke parlemen dengan melebihi ambang batas yang telah ditentukan. Partai politik seperti ini biasanya menonjolkan atau mencomot para artis dan tokoh publik figure lainnya yang notabennya bukan kader inti dari partai mereka untuk maju menjadi Caleg dalam persaingan pemilihan legislatif nanti. Ini merupakan sebuah siasat negatif partai politik dalam melakukan demokratisasi di internal partainya. Mereka tampak tak percaya diri dengan sumber daya internal partainya.

Ada juga partai politik yang memajukan sebuah wacana kekalangan publik dengan “mencalonkan” tokoh-tokoh kontroversi yang dalam kenyataannya tokoh tersebut memang tak layak untuk dicalonkan menjadi seorang presiden. Kenapa dapat dibilang seperti itu, karena tokoh-tokoh tersebut tak memiliki kemampuan lebih dalam mempertahankan sebuah wawasan kebangsaan yang telah lama terbangun. Tokoh tersebut lebih sering menonjolkan identitas primordial baik agama maupun agama tertentu untuk menjadi sebuah identitas kebangsaan yang majemuk ini. Lalu kenapa partai politik masih mengedepankan tokoh seperti ini? Sudah jelas terbaca, agar partai politik yang “bermain” dalam wacana seperti ini meraih angka ketertarikan masyarakat terhadap partainya.

Pertanyaannya adakah calon pemimpin bangsa ini yang benar-benar segar dan mampu membawa angin perubahan yang tidak hanya berpihak pada satu kelompok saja dan tidak pernah memiliki rapor merah dalam sejarah bangsa ini? Sebenarnya ada beberapa tokoh yang seperti tersebut, namun jarang yang benar-benar berani dan memiliki pendukung yang kuat.

Belakangan, nama Jokowi digadang-gadang sebagai kandidat kuat yang mampu menjadi presiden di republik ini. Ada yang memprediksi dia akan dicalonkan menjadi pendamping Megawati atau bahkan akan maju sebagai calon presiden. Siapapun yang akan didampingi atau mendampingi Jokowi, dia dalam beberapa jejak pendapat akan terpilih menjadi seorang presiden. Hadirnya Jokowi dalam persaingan dan peta percaturan di ranah politik sedikit memberi angin segar akan suramnya bangsa ini dari sebuah krisis kepemimpinan.

Jokowi merupakan satu sosok yang memiliki kesederhanaan dalam berpolitik. Dialah pemimpin yang selama ini kita cari. Dia mampu terjun langsung ke masyarakat dengan mendengar segala keluh kesah yang dirasakan oleh warganya. Ini telah terlihat di kota Solo yang telah dua periode dia pimpin. Masyarakat sana mampu terwakilkan dengan gaya asketisme politiknya. Asketisme politik secara sederhana seperti yang pernah saya baca dalam tulisan Gun-gun Heryanto merupakan upaya menjalankan aktivitas berpolitik berdasarkan atas prinsip kesederhanaan dan etika serta memproyeksikan tindakannya demi kemaslahatan rakyat banyak. Cara berpolitik seperti inilah yang selama ini kita harapkan di Indonesia dan itu telah terlihat betapa diinginkannya Jokowi menjadi pemimpin setelah ia berhasil terpilih menjadi Gubernur Jakarta saat ini.

Kehadiran Jokowi dalam dunia politik telah sedikit menghapuskan kekecewaan yang mendalam yang dirasakan oleh masyarakat. Para pemimpin yang ada selama ini, hanya mempertontonkan pertengkaran memabukkan dalam memperebutkan kekuasaan. Para calon presiden yang akan maju dalam persaingan nanti sangat dekat dengan kejahatan korupsi, kekerasan, kemiskinan, dan tentang kepura-puraan betapa mereka memiliki kepedulian.

Di saat seperti ini kehadiran calon pemimpin muda macam Jokowi adalah sebuah harapan, sebuah rekayasa generasi agar bangsa ini kedepan memiliki pemimpin yang segar dengan kemampuan yang memadai. Bangsa ini harus optimis betapa kaum muda memiliki keunggulan pada sikapnya yang progresif, berani, visioner, dan mereka mampu menyatu dengan masyarakatnya.

Belum adanya sejarah hitam yang disandang oleh Jokowi dalam menjadi seorang pemimpin merupakan sebuah kelebihan besar dirinya dalam persaingan menjadi presiden pada periode nanti. Meskipun menjadi seorang kandidat baru dalam kompetisi calon presiden, kesempatan itu tidaklah terlalu tertutup. Keberhasilannya terpilih sebagai Gubernur Jakarta melawan Hidayat Nur Wahid dan calon incumbent macam Foke menandakan bahwa masyarakat telah jenuh dengan tokoh tua dan kurang kuatnya hubungan yang terjalin antara pemilih dan kandidat membuat hal tersebut tak mustahil menjadi kenyataan.
Jokowi dengan asketisme politiknya mampu menciptakan sebuah rasa kebersamaan yang dirasakan dalam benak masyarakat. Dengan kesederhanaanya dalam memimpin membuat masyarakat telah ter influence. Jokowi tidak perlu menggunakan argumentasi, kekerasaan, atau intimidasi dan bahkan manipulasi untuk menyakinkan masyarakat agar memilih dirinya. Jokowi cukup bekerja dengan nyata, masuk keluar lingkungan masyarakat dalam mengupayakan sebuah kebijakan yang memihak kepada mereka. Meskipun Jokowi datang tidak dengan modal politik yang cukup kuat, namun kinerjanya telah menjawab semua harapan yang bersandar dalam diri masyarakat.

Rabu, 05 Maret 2014

Menata Ulang Sistem Multipartai

Bangsa Indonesia terus berusaha untuk mewujudkan sebuah Negara yang kesejahteraan dan keadilan sosialnya berdiri kokoh menyeluruh di semua lapisan masyarakat. Cita-cita kemerdekaan Indonesia bukanlah dilahirkan untuk segelintir orang yang akan memiliki kekayaan. Cita-cita sejati kemerdekaan ialah semua rakyat sejahtera, merasa dipangku oleh ibu pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya. Untuk memenuhi cita-cita tersebut, pendiri bangsa Indonesia menjatuhkan sebuah pilihan pada sebuah konsep demokrasi demi memenuhi cita-cita luhur tersebut. Bagi Adnan Buyung Nasution, demokrasi bukanlah sebuah cara untuk mencapai sebuah tujuan tertentu, melainkan tujuan-tujuan tersebut harus sesuai dengan cita-cita yang terkandung dalam sistem demokrasi itu sendiri. Soekarno merumuskan demokrasi harus sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia yakni Pancasila dan UUD 1945 agar tidak saling bertentangan perjalanannya. Ada lima prinsip dari Pancasila yang harus dipegang teguh dalam kehidupan bernegara merdeka Indonesia, yaitu kebangsaan Indonesia, perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan.

Proses demokratisasi yang terus bergulir di indoensia secara bersamaan dibarengi dengan berlahirannya partai-partai politik sebagai pilar utama dalam konsep demokrasi. Kelahiran partai politik tersebut bertujuan untuk melakukan check and balances agar proses kekuasaan berjalan jangan sampai pada titik otoriter yang bersifat oligarki dan oligopoli. Kehadiran partai politik juga diharapkan agar aspirasi-aspirasi publik dari kalangan bawah yang progresif mampu menjadi kebijakan politik melalui partai politik. Tentunya kebijakan tersebut tidak merugikan kepentingan dan kebutuhan publik itu sendiri.

Di Indonesia, kelahiran partai-partai politik baru didukung oleh adanya sebuah kebebasan untuk membentuk sebuah organisasi dan partai politik. Dengan ini, setelah keran demokrasi di buka pada tahun 1998, partai politik yang bermunculan mencapai 141 partai politik baru. Hal tersebut dianggap sebagai sebuah ledakan politik setelah sekian lama mendapat keterbatasan dan ketertutupan.

Selain itu, kelahiran partai politik baru juga karena kondisi masyarakat yang majemuk. Masyarakat Indonesia telah terbiasa hidup berdampingan satu sama lain dengan harmonis meski latar belakang mereka berbeda. Begitu banyaknya corak yang berbeda-beda namun hidup berdampingan membuat lahirnya partai politik baru semakin besar. Mereka dengan membawa kepentingan dan cita-cita masing-masing kelompok mengadu nasib melalui jalan pemilihan umum agar terwujud apa yang mereka dambakan.

Namun, hal yang kedua tersebut ibarat duri dalam sebuah perjalanan menuju Negara yang demokratis. Munculnya partai politik baru yang menonjolkan sebuah identitas tertentu, seperti agama misalnya, akan merusak tatanan kerukunan yang telah lama tumbuh. Perilaku seperti tersebut sebenarnya dapat dengan mudah menggantikan politik berkewarganegaraan dan wawasan kebangsaan dengan politik yang dibalut atas penonjolan identitas tersebut. Hal ini ditakutkan akan menjerumuskan masyarakat ke dalam jurang fanatisme kelompok atau SARA, atau berkembang secara tak terkendali yang memberantakkan cita-cita bangsa dan Negara.

Mengutip Gary W. Cox dalam tulisan Kacung Marijan “Partai Baru, Electoral Threshold, dan Masa Depan Sistem Multipartai” dijelaskan bahwa munculnya partai baru itu pada dasarnya merupakan keputusan elit politik untuk memasuki arena pemilihan sebagai kontestan baru. Keputusan demikian berdasarkan pada tiga pertimbangan penting, yaitu; biaya untuk memasuki arena, keuntungan-keuntungan yang didapat manakala duduk di dalam kekuasaan, dan adanya kemungkinan untuk memperoleh dukungan dari para pemilih.

Hal yang perlu untuk diingat ialah suara pemilih yang masih belum terikat kuat kepada partai politik yang sudah ada sehingga memungkinkan untuk berpindah mencari alternatif lain. Masih terbukanya kemungkinan memperoleh dukungan dari para pemilih semakin besar peluang untuk bermunculannya partai-partai politik baru. Hubungan yang kurang kuat antara pemilih dan partai politik menandakan bahwa proses demokratisasi di Indonesia belum mencapai pada tahap kemapanan. Berbeda dengan Negara-negara yang sudah mapan proses demokratisasinya cenderung sangat sedikit sekali kemunculan partai politik barunya.

Fenomena kemunculan partai politik baru juga tidak terlepas dari belum terlembaganya proses penyelesaian konflik di internal partai. Sehinggga mereka-mereka yang kecewa dan tersingkir di dalam konflik tersebut berusaha membentuk partai politik baru.

Namun dari gejala dan berbagai alasan di atas yang menelurkan partai politik baru di era reformasi ini tidak membawa angin perubahan bagi pemerataan ekonomi dan keadilan sosial dalam kehidupan bernegara. Reformasi hanya sebatas ledakan demokrasi politik saja, belum sampai pada tahap untuk mengupayakan terwujudnya demokrasi ekonomi, yakni sebuah pertumbuhan ekonomi yang dibarengi dengan pemerataan disemua lapisan masyarakat yang sesuai dengan amanah UUD 1945 dan Pancasila.

Hal ini didasari karena lahirnya partai politik baru hanya menjalankan kepentingan dan kebutuhan segelintir elit politik saja. Para kaum reformis masa Orde Baru yang kini menjadi petinggi partai mendaur ulang kesalahan yang dilakukan penguasa rezim masa lalu dengan menjadi pemimpin yang otoriter dalam internal partai politiknya. Partai politik kini hanya sebatas alat untuk menjalankan kepentingan dan kebutuhan para penguasanya saja. Hal tersebut diperparah dengan masuknya para pengusaha yang berlomba untuk menjadi penguasa. Kini para pengusaha tersebut tidak lagi malu-malu untuk masuk dalam ranah politik. Jika dahulu mereka hanya sebatas menjadi donatur partai, kini mereka perlahan masuk untuk menjadi petinggi partai. Tujuannya sudah jelas, agar mereka terhindar dari kebijakan pemerintah yang akan merugikan perusahaannya. Selain itu, agar perusahaan mereka juga terhindar dari pajak yang begitu besar nominalnya.

Sudah jelas, lahirnya partai politik tidak berbanding lurus dengan pemerataan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Begitu banyaknya lobi-lobi politik yang terjadi di dalam internal partai politik membuat mereka tidak sanggup lagi mewadahi aspirasi rakyat untuk dijadikan kebijakan politik melalui partai politik.

Fenomena tidak terjalinnya hubungan yang kuat antara partai politik dan pemilih sebenarnya tidak hanya membuka peluang untuk lahirnya partai politik baru. Fenomena ini juga mampu menciptakan jarak yang begitu lebar antara rakyat dan partai. Hubungan yang tidak begitu erat menyebabkan kontrol yang dilakukan rakyat kepada partai politik untuk menjaga agar kebijakan dan peraturan yang akan dibuat tidak bertentangan dengan keinginan dan kebutuhan yang dikehandaki rakyat. Sehingga pada akhirnya, partai politik yang terus bertambah jumlahnya dengan membawa konsep baru belum mampu membuat satu perubahan yang nyata dalam tatanan pemerataan pembangunan.

Sebaiknya kini kita merenungkan kembali tentang posisi Indonesia dalam Negara paling demokrasi di seluruh dunia pada peringkat ketiga setelah Amerika Serikat dan India. Apalah artinya posisi tersebut jika dalam realitasnya demokrasi yang sedang kita jalankan belum mampu menciptakan keadilan dan kesejahteraan sosial.

Untuk yang terakhir ini, Samuel P. Huntington dalam tulisan Lili Romli “Mencari Format Sistem Kepartaian Masa Depan” menjelaskan bahwa dalam konteks pembangunan politik yang terpenting bukanlah jumlah partai yang ada, melainkan sejauhmana kekokohan dan adaptabilitas sistem kepartaian yang berlangsung. Sebuah kepartaian disebut kokoh dan adaptabel kalau ia mampu menyerap dan menyatukan semua kekuatan sosial yang ada.

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae