Rabu, 25 Februari 2015

Alam Indonesia

Menikmati indahnya alam Indonesia saya kira tak akan ada habisnya. Hampir di setiap bagian tanah air ini menyimpan pesona keindahan alam yang begitu menakjubkan. Dari satu tempat ke tempat lain yang kita kunjungi memiliki arti tersendiri dalam keindahannya. Gunung dan lautan Indonesia diciptakan oleh Tuhan dengan begitu sempurna, seakan menyatakan bahwa Indonesia merupakan surga bagi para petualang yang ingin menghabiskan hidupnya di alam bebas. Bahkan kini sudah menjadi dari gaya hidup anak-anak muda dalam menikmati pesona indahnya alam di ibu pertiwi ini. Anak-anak muda begitu bersemangat untuk terus mendatangi tempat-tempat nan indah sebagai tempat pelepas dahaga mereka dari kesibukan bekerja. Hampir pada setiap obrolannya, anak-anak muda selalu merencanakan akan kemana mereka dalam menghabiskan waktu di akhir pekan maupun libur panjang untuk menikmati alam Indonesia. Saya pun termasuk diantara mereka semua.

Namun ada sisi lain yang sering kali masuk dalam pikiran kita terhadap alam ini. Kelak, apakah generasi mendatang menikmati apa yang sedang kita nikmati saat ini? Pertanyaan itu kita jawab nanti saja, sunggu tak ada yang tau akan masa depan.

Yang jelas pada saat ini tentang alam di Indonesia, terutama hutannya, hutan Indonesia setiap tahunnya hilang seluas 130.000 km² atau seluas negara Inggris. Dengan hal itu, Indonesia menjadi negara kedua setelah Brazil dalam tingkat kerusakan alamnya. Hampir 5,3 miliar ton karbon dilepaskan setiap tahunnya di Indonesia. Ini terjadi karena berubahnya tata guna lahan dan kerusakan hutan.

Hutan kita merupakan rumah bagi 12 persen mamalia di seluruh dunia, 16 persen spesies reptile dan amfibi, serta 17 persen spesies burung. Lebih dari 10.000 jenis pohon tumbuh di kawasan hutan Indonesia.

Penyebab utama kerusakan hutan ialah alih guna lahan dan kebakaran hutan serta pembalakan liar. Lemahnya pengawasan terhadap aturan larangan penebangan pohon dan juga penanaman kembali bagi pemilik ijin yang berkesempatan mengelola hutan membuat keadaan hutan kita semakin parah.

Selain kerusakan hutan, di alam Indonesia semakin terpuruk dengan pembakaran lahan gambut yang sesuka hati. Gambut adalah rebahan pohon dan satwa yang tertimbun tanah pada jutaan tahun yang lalu. Karena berasal dari bahan tersebut, gambut menyimpan banyak sekali kandungan karbon. Jika lahan gambut rusak, maka akan memperburuk emisi karbon yang sudah tinggi dari kerusakan sektor kehutanan. Makanya, banyak ahli yang menyatakan bahwa lahan gambut mesti dijaga.

Dunia sangat peduli akan keberadaan lahan gambut yang hampir 60 persennya berada di wilayah Asia Tenggara, terutama di Papua, Sumatera dan juga Kalimantan. Gambut menyimpan 42 milyar ton karbon. Bayangkan jika lahan gambut semakin hari semakin sering dibakar dan disalahgunakan. Padahal dalam undang-undang, lahan gambut yang memiliki kedalaman lebih dari 3 meter tidak boleh dirusak, namun hal tersebut kerap kali dilanggar.

Selain itu kini hutang mangrove pun dalam ancaman yang serius. Keberadaannya di pesisir pantai mulai terusik dengan dikembangkannya perindustrian di kawasan pantai. Mangrove tergerus demi pundi-pundi ekonomi. Mangrove adalah tembok utama manusia dalam menghadapi bencana tsunami dan mencegah pengikisan daratan dari air laut. Mangrove juga melindungi mahluk laut dari serangan daratan, seperti menyaring sampah dan lumpur, selaim itu juga menyelamatkan terumbu karang, dan juga melindungi ekosistem laut.

Mangrove merupakan ekosistem unik, ia berisi pohon dan belukar yang digdaya. Dari 15 juta hektare hutan mangrove di seluruh dunia, Indonesia memiliki 20 persennya. Sudah hampir di beberapa wilayah kita jarang menjumpainya, kelak fungsinya baru kita sadari setelah bencana alam menimpa.

Tentang alam di Indonesia, selama ini saya hanya sering kali mengunjunginya belum sampai tahap mempelajarinya. Tentu masih banyak wilayah alam Indonesia yang terancam dari kerakusan manusia. Beruntunglah saya dapat kesempatan membaca buah karya dari Tosca Santoso dan juga Agus Purnomo. Tentu masih banyak lagi permasalahan yang terjadi pada alam kita. Ini adalah sedikit kisah tentang alam di Indonesia.

Minggu, 15 Februari 2015

Pagi Untuk Siti

“Mak, kapan Bapak akan pulang?” Kembali Siti menanyakan ihwal kepulangan Bapaknya yang sudah hampir dua tahun meninggalkan kami berdua di sini. Aku tak lagi terkejut mendengar pertanyaan seperti itu. Hampir setiap pagi, anakku selalu menanyakan. Ada beban rindu yang berat hinggap dipundaknya. Aku tak ingin dia memikulnya sendiri. Ku peluk, ku usap kepalanya, ku cium keningnya. Tak ada air mata yang terjatuh. Semua harus berjalan semestinya.

“Berdoa saja, kelak semoga Bapakmu akan kembali.”

“Aku selalu berdoa, tapi Bapak tak kunjung kembali.”

“Habiskan saja sarapanmu, segeralah bergegas nanti sekolahmu terlambat.”

Begitulah percakapan kami setiap pagi. Setelah Siti mengerti akan kehadiran seorang Bapak. Seperti yang ia lihat dalam kesehariannya. Dirinya mulai merasakan perbedaan dengan yang lain. Bila ada Emak, maka akan ada seorang Bapak yang mendampinginya. Namun, yang ia alami kini berbeda. Hanya ada aku dalam kehidupannya. Menjadi keduanya dalam mengisi hari-harinya.

*

Mentari pagi semakin menghangatkan tubuh ini. Malam-malam yang semakin dingin semakin ku rasakan betapa kehilangannya aku dan Siti terhadap sosok Warman. Aku merindukannya, meski kelabu yang selalu ia berikan kepada kami berdua.
Seperti saat kepulangannya terakhir kali ke rumah ini. Dia dalam keadaan wajah yang terluka. Katanya, dia hanya terjatuh saat sedang kembali ke pangkalan setelah mengantarkan orang ke desa sebelah. Ku percaya dengan penuturannya saat itu. Dan saat itu pula dia meminta kepadaku untuk melayaninya. Penuh gairah. Tanpa sesentipun kulit kami berjarak. Saling menyatu. Sedangkan Siti berada di ruang depan menonton televisi. Ia tak mengerti arti kegairahan kedua orang tuanya di siang bolong tersebut. Ternyata itulah hari terakhir kali ku digaulinya. Dan terakhir kali dirinya memeluk Siti dengan penuh kehangatan. Dia pergi, tanpa rasa curiga yang ku alami.

Beberapa hari tak kembali membuatku cemas. Ku pinta adik ku menyakan perihal keadaannya di pangkalan ojek. Tak ada satupun dari teman-temannya yang menjawab. Pandangan mereka sinis seakan memang sudah saatnya suamiku untuk pergi dari desa yang telah menyatukan cinta kami berdua.

Seminggu setelahnya ku baru mengerti tentang pelariannya. Seorang lentenir datang ke rumah. Menanyakan Warman. Suara pintu digedor dengan keras saat aku sedang mengajari Siti pelajarang menghitung.

“Ia juragan, ada apa?” Tanyaku, setelah ku suruh masuk Siti ke dalam kamar.

“Lama sekali, apa sudah tuli kau?”

“Maaf juragan.”

“Mana suamimu, si bajingan Warman?”

“Maaf juragan, saya pun sedang mencarinya. Sudah satu minggu ia tak pulang.”

“Jangan bohong kamu?” bentaknya semakin keras. Ku takut Siti mendengarnya di dalam kamar. Anak sekecil dia tak boleh merasakan hal-hal seperti ini. Takut dia trauma.

“Betulan juragan, demi Allah.”

“Kalau dia pulang nanti, suruh temui ku atau rumah ini akan ku sita.” Lalu lentenir itupun pergi. Meninggalkan rasa ketakutan dalam sekujur tubuhku. Semoga saja, Siti tak mendengar percakapan kami berdua barusan. Ku takut dia merasakan sesuatu yang belum pantas untuk seusianya.

Malam itu ke merenung. Ku lihat di luar sana bintang bertaburan. Keindahan tersebut tak membuat ketakutanku berkurang. Malam masih panjang. Ku mulai mengerti kenapa suamiku tercinta kembali pergi meninggalkan kami berdua.

*

Sejak malam itu, kami berdua selalu didatangi oleh anak buah lintah darat tersebut. Menanyakan keberadaan suamiku, meneror kehidupanku, dan kadang pula melecehkan kesendirianku. Aku mencoba tegar akan semua itu, terutama dihadapan Siti. Ku tak mau ia bersedih hati akan semua hal yang dilakukan oleh Bapaknya tercinta.

Dua tahun sudah ku berjuang menghidupi Siti. Ku mencoba belajar membuat kerajinan tangan yang terbuat dari anyaman bambu. Ku buat kipas, bakul nasi dan semacamnya. Yang nanti hasilnya dijual oleh adikku yang juga berjualan sayuran di pasar. Lumayan, sekedar untuk memenuhi kehidupan kami berdua.

“Sudah ku bilang, kau ceraikan saja suamimu dari dahulu. Perangainya tidak pernah berubah, selalu saja menyusahkan kau dan anakmu.” Kata-kata itu kembali keluar dari Kang Hasbi, kakak pertamaku. Ia selalu memintaku untuk meninggalkan Warman. Tapi itu tak bisa, ku tak mau Siti tumbuh besar tanpa adanya seorang Bapak. Meski, itu harus terjadi. Kini Siti besar tanpa kehadiran Bapak yang ia sayangi.

“Dulu waktu kau sedang hamil, Warman selingkuh dengan janda kembang desa sebelah. Kamulah yang harus menanggung ulahnya tersebut. Si brengsek itu kabur, setelah berjanji akan menikahinya.” Aku sedikit sedih mendengar suamiki disebut “brengsek” oleh kakak iparnya sendiri. Namun Kang Hasbi tak mempedulikan hal tersebut. Ia melanjutkan kebenciannya kepada Warman. “Harta peninggalan Bapak habis terjual, untuk membayar ganti rugi yang diminta keluarga janda tersebut. Lalu setelah semuanya berlalu, Warman kembali lagi, entah malaikat apa yang merasukimu untuk memaafkannya.”

Aku saat itu memang memaafkannya. Dia menangis menyesali kesalahannya. Aku tak tega melihatnya. Apalagi, ku rasa Siti butuh kehadirannya. Untuk memiliki seorang Bapak. Ku tak mau dia tumbuh dengan pertanyaan, “Siapa bapak ku? Dan di mana ia sekarang?” Itulah yang membuatku luluh untuk memaafkan Warman saat itu.

*

Teror dari Juragan Endang semakin menjadi-jadi. Ia tak sabar agar hutang-hutang suamiku segera dilunasi. Dia memberikan dua pilihan, aku pergi dari rumah ini dan dia menyitanya, atau aku harus melayani nafsu birahinya sambil menunggu kepulangan Warman.

Aku menikah pada usia 19 tahun. Di tahun pertama perkawinan kami, aku dikaruniai seorang anak. Siti Hidayati pun lahir dari buah cinta bahagia kami. Namun saat ku sedang hamil, Warman selingkuh. Aku memaafkannya.
Kini Siti sudah berumur tujuh tahun. Beruntung usiaku masih muda saat dia sedang tumbuh besar. Tentu kondisi inilah yang menjadi pertimbangan lintah darat tersebut untuk memintaku melayaninya. Sebagai ganti rugi keterlambatan suamiku membayar hutang-hutangnya.

Warman sangat hobi bermain judi. Ia selalu meminjam uang kepada Juragan Endang untuk modal judinya. Kadang, ia pulang hanya membawa bau alkohol yang keluar dari aroma mulutnya. Hal itu selalu ku sembunyikan dari anakku dan juga saudara-saudaraku. Kepada Siti cara itu berhasil, namun kepada kakak dan adikku, tentu saja tidak. Mereka tau sendiri perangai suamiku di luar sana. Dan demi kebahagiaan Siti lah, kami mengalah memaklumi tabiat buruk Warman.

*

Saat ini ku menemukan cara. Ku minta kepada Kang Hasbi untuk mengadakan pertemuan dengan Pak RT dan Pak RW, Pak Usman selaku orang yang mengerti agama di desa kami, Pak Lurah sebagai pemangku kuasa tertinggi, keluargaku, dan juga Juragan Endang.

Ku sampaikan pada mereka rasa terima kasih yang teramat dalam karena telah hadir dalam pertemuan tersebut. Tak perlu panjang lebar, pada pertemuan yang diadakan di Masjid Ar-Rahman tersebut, aku langsung menyampaikan apa yang menjadi maksud undanganku malam itu. Diiringi suara Jangkrik yang seakan berirama menyanyikan lagu kemenangan, dan pertunjukkan keindahan Kunang-kunang yang terbang di pematang sawah seakan ku yakin, beban deritaku malam ini akan segera berakhir.

Ku katakan kepada mereka, saat suamiku Warman meminjam uang kepada Juragan Endang untuk modal main judi, tak ada perjanjian tertulis bahwa kelak aku dan kakak adikku yang akan menanggung hutang-hutang tersebut. Ku tanyakan hal itu kepada lentenir yang mukanya mulai memerah saat ku bicara akan hal tersebut. “Iya, tapi …” sebelum lintah darat tersebut melanjutkan jawabannya buru-buru ku hentikan.

Lalu ku bertanya kepada Pak Usman, “apabila suami sudah tidak memberikan nafkah baik lahir maupun batin selama lebih dari dua tahun apakah dia masih sah menjadi seorang suami?” “Tidak” jawab Pak Usman dengan enteng dan lugas.

“Saat ini saya sudah tidak menganggap lagi Warman sebagai suami saya. Ia telah lama menelantarkan saya dan juga Siti.” Ku coba membendung air mata yang ingin segera tumpah. Ku lihat Kang Hasbi kaget mendengar kalimat tersebut keluar dari mulutku. Sudah lama ia meminta ku meninggalkan Warman. Dan kini itupun terjadi.

Ku lanjutkan dengan keyakinan, “Rumah yang saat ini ku tempati adalah harta yang sah milikku. Itu warisan dari mendiang ibuku tercinta. Tak ada sejengkalpun tanah tersebut yang dimiliki oleh suamiku.” Ku sampaikan dengan mantap kepada mereka semua yang hadir. Ku tatap mata lintah darat tersebut secara dalam-dalam, menyakinkan dirinya bahwa aku tak gentar sekalipun menghadapi ancamannya. Mana mungkin ku mau menanggung kembali beban yang ditinggalkan oleh suami macam Warman tersebut, dan mana mungkin ku rela disetubuhi laki-laki macam Juragan Endang. Aku tak mau disentuh oleh dua lelaki tersebut. Kotor, penuh kepicikan. Dan yang terpenting, para perempuan manapun harus sudah berani melawan suami-suami yang tidak bertanggung jawab.

Akhirnya aku pun resmi bercerai dengan suamiku, dengan perjanjian hitam di atas putih yang ditanda tangani oleh orang-orang yang hadir di tempat yang suci. Hutang-hutang Warman pun tak lagi menjadi bebanku, Juragan Endang harus mencari sendiri keberadaan mantan suamiku tersebut jika hutangnya ingin segera dilunasi. Tak boleh sedikitpun mengganggu keluargaku, apalagi sampai menyentuh aku dan juga bidadari kecilku.

*

Hari-haripun berjalan dengan bahagia selanjutnya. Ku sampaikan kepada Siti, bahwa akulah kini yang menjadi Bapak sekaligus Ibunya. Dan tak perlu lagi ia menunggu setiap pagi akan kepulangan mantan suamiku tersebut.

Dari kejadian malam tersebut, tentang keberanianku menyelesaikan masalah dengan bicara lantang namun bijaksana, kini banyak ibu-ibu yang berdatangan ke rumah ku. Mereka datang menuturkan permasalahan keluarga mereka, dan memintaku untuk mencarikan solusinya. Sungguh ini adalah kesibukan ku selanjutnya. Tak lupa juga mereka ku ajarkan membuat kerajinan tangan, agar dapat menambah beban kehidupan keluarganya.

Kini ku bahagia, meski kadang harus bersembunyi meneteskan air mata.

Rabu, 11 Februari 2015

Ketika Waktu Menjawab

Jam masih menunjukkan pukul 9 lewat 15. Aku sudah sampai kampus. Ini masih sangat pagi untuk mahasiswa seperti ku. Sudah dua belas semester ku kuliah, namun belum juga menemui kata lulus. Skripsi yang tertunda-tunda dan kesibukan di luar kampus membuatku seperti ini.

Mencari-cari buku bacaan yang menarik selalu menjadi rutinatas masa-masa seperti ini. Perpustakaan masih sangat sepi saat-saat seperti ini. Yang kuliah masih pada sibuk di dalam kelas, sedangkan yang sedang menyusun skripsi masih terlalu pagi untuk memulai kehidupan. Barangkali hanya aku yang ada di sana kala itu yang sudah semester sebelas, sisanya tak tahu untuk apa mereka ada di sana.

Duduk menghadap jendela merupakan salah satu kesukaanku. Dihadapannya ada gedung Fakultas Sains dan Teknologi dan juga Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Bukan untuk melihat pemandangan gedung itu, melainkan agar mataku bisa menatap suasana yang lebih segar ketimbang menghadap dinding-dinding perpustakaan. Ku buka buku-buku yang sedang ku pelajari selama ini. Mencari-cari pengetahuan baru merupakan petualangan yang nikmat dalam diri ini. Sungguh aku tak menyesal dengan kelambatan kelulusanku.

Teman-teman seangkatan sudah banyak yang diwisuda. Mereka kini sibuk bekerja dan mencari kerja. Namun ada juga teman yang senasib sama seperti ku. Masih berkutat dengan dunia kampus. Mencari-cari apa yang banyak orang tak cari. Menemui apa yang banyak orang benci. Begitulah kehidupan, saling mengisi.

Hampir setengah jam ku di sini. Membuka halaman demi halaman. Memahaminya, lalu mencatat bagian-bagian pentingnya. Tanpa sadar sudah ada seseorang duduk disampingku. Entah kenapa dia memilih bangku di deretan yang sama denganku. Mungkin dia juga merasa jenuh ketika harus memilih bangku yang menghadap dinding perpustakaan, tak ada warna, menghentikan imajinasi. Atau mungkin … ah sudahlah tak baik menerka-nerka.

Buku-buku dihadapannya begitu banyak. Jemarinya sibuk menari di atas keyboard lap topnya. Matanya melotot memperhatikan kalimat demi kalimat yang sedang ia ketik. Kadang juga tangannya sibuk mencoret-coret naskah yang dibawanya. Kembali ku duga, ia sedang sibuk mengerjakan revisi skripsi yang telah diperiksa oleh dosen pembimbingnya. Mengejar target kelulusan demi menikmati dunia baru sebagai sarjana.

Lalu ku alihkan pandangan ke sekitar. Perpustakaan masih sama, tampak sepi. Hanya ada beberapa orang saja. Sementar pukul sebelas masih amatlah lama. Jadilah ku tenggelam di sini. Membuka dunia baru, menyaksikan seorang perempuang yang sedang giat skripsi, dan menikmati perpustakaan yang sunyi sepi.

*

Kembali ku janjian dengan kawanku untuk segera bertemu di kampus. Kemarin ia gagal datang. Ada banyak alasan yang dia berikan. Ku memakluminya. Mungkin dirinya sedang dalam keadaan mendesak sehingga tak jadi menemuiku.
Sama seperti kemarin, ku datang lebih awal. Duduk manis di tempat biasa dalam perpustakaan. Melanjutkan bacaan yang sedang ku pelajari. Mencatatnya, dan kadang pula memasukkannya dalam skripsiku.

Ku lihat gadis yang kemarin sudah datang mendahului ku. Duduk dibangku yang sama. Dan entah kenapa, ku juga memilih bangku yang sama seperti kemarin. Kamipun kembali bersampingan.

Masih sama, seperti kemarin. Buku-bukunya masih menumpuk. Mencari referensi tambahan untuk skripsinya. Tenggelam dirinya dalam lautan ilmu.

Beberapa saat dia membuka obrolan, “Suka juga duduk di deretan ini?”

Lantas ku menoleh menatap raut wajahnya. “Ia suka”. Dia tersenyum. Lalu kulanjutkan menjawab, “Duduk di sini enak, pandangan kita tak terhenti sebatas menatap dinding perpustakaan yang akan membuat kita bosan.”

“Aku pun seperti itu, dan imajinasi kita akan lebih banyak bekerja karena bisa menatap langit biru”, jawabnya.
Tanpa ku tanya terlebih dahulu, dia pun menjawab pertanyaan yang dia berikan kepadaku. Begitulah awal kami mengenal. Kami mencoba mengobrol, saling kenal satu sama lain. Sampai akhirnya ku tahu, dia anak semester 8 Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

*

Sudah hampir seminggu ku tak sibuk dengan kegiatan di luar kampus. Kesibukan di luar membuatku hanya menyempatkan dua kali dalam seminggu untuk ke kampus. Pertama ialah untuk bimbingan jika sempat, dan yang kedua ialah untuk mencari bahan bacaan baru. Hari ini ku dijanjikan untuk bimbingan oleh dosen pembimbingku. Ku turuti perintahnya. Dan seperti biasa, ku datang lebih awal dan kini kembali ku menemui gadis tersebut di bangku yang sama dalam perpustakaan.

“Sudah hampir seminggu kau tak berkunjung ke sini.” Dirinya membuka obrolan, seakan ingin mencari tahu.
Sambil merapikan penampilanku, “ada kesibukan di luar yang tak bisa ku tinggal” jawabku.

“Tentang apa?” dirinya kembali mencoba mencari tahu.

“Nanti kau pun mengetahuinya, jika kau tak bosan mengenal diriku.”

Dia pun tersenyum mendengarnya. Dan kami pun kembali ngobrol sana-sini sehingga lupa untuk mengerjakan skripsi.

*

Waktu terus berlalu, skripsinya Dea pun sudah hampir selesai. Tinggal menunggu persetujuan dari dosen pembimbingnya untuk segera disidangkan. Sedangkan aku, aku masih sibuk dengan segala sesuatunya, yang tak memiliki hubungan dengan skripsi.

Dea mengenal ku lebih jauh. Ia pun mengerti apa yang sedang ku jalani. Kami bertemu hanya dua kali dalam seminggu di kampus. Lebihnya, dia lebih sering mengunjungiku. Di tempat ku menjalani kehidupan.

“Kamu harus cepat selesai, biar apa yang sedang kamu jalani kini lebih bermakna dan tak terganggu dengan skripsi mu.”

Pintanya kepadaku. Ku tahu, dia ingin sekali melihatku lulus barengan dengannya.

Ku diam sesaat. Mencoba memberi jeda agar tak ada beban dalam diri ini. “Itu semua sedang ku usahakan.”

“Lebih cepat lebih baik untuk kamu, untuk mereka dan juga untuk kita.”

“Kita” mendengar kata itu membuatku sedikit teriris. Dea sudah sangat dekat denganku. Itu yang tak pernah ku sadari sebelumnya. Memang, Dea selalu bicara “kita” untuk menjalani masa depan. Bukan hanya masa depannya, tapi juga ada aku di masa-masa yang ia impikan tersebut. Ku mulai takut pada saat itu. Takut kehilangannya dan juga takut aku tak bisa mewujudkannya.

*

Dea akhirnya wisuda, sedangkan aku baru mau memasuki masa sidang skripsi. Aku hadir di acara wisudanya. Dikenali dengan keluarganya. Sungguh, melihat mahasiswa diwisuda ada rasa tersendiri yang memotivasi diri untuk segera lulus kuliah. Mereka tampak bahagia, apalagi disaksikan oleh orang-orang tercinta. Saat itu Dea resmi menyandang gelar sarjana. Di semester sembilan dia sudah bisa membahagiakan orang tuanya.

Aku ikut pulang kerumahnya. Syukuran kecil-kecilan bersama anggota keluarganya. Berkenalan dengan mereka merupakan dunia baru yang ku jalani. Namun ada sedikit beban dihati. Malu, karena belum bisa seperti Dea yang mereka banggakan.
“Kamu kapan lulus? Sudah semester 13 belum juga selesai menyusun skripsi. Apa nanti kesibukanmu mengajar anak-anak jalanan dan juga menulis mampu menghidupi keluargamu.” Ayahnya Dea tiba-tiba bicara seperti itu, disela-sela kebagagiaan anaknya. Tentu saja itu memukul perasaan yang amat dalam. Dihadapan Dea, aku diam tak bicara mendengar pertanyaan seperti itu. Ayahnya pun tampak kecewa dan masuk ke dalam dan berkumpul dengan yang lainnya. Sedangkan aku masih terpaku diam dan hanya kekasihku yang mendampingi.

Dea menatapku dalam. Seakan tak mau hanya aku yang merasakan beban seperti itu. Dia mencoba menemani ku. Tak tega melihat kekasihnya tenggelam dalam kebisuan.

“Kau jalani saja duniamu sambil berusaha untuk lulus kuliah.” Dea menatapku dalam-dalam. “Apapun yang terjadi aku tetap di sini di sampingmu. Apa yang kau jalani adalah kemuliaan. Aku sayang kamu.” Ucapnya sambil menggenggam tanganku. Ku lihat raut matanya penuh ke syahduan, air matanya pun menetes. Tak kuasa ku melihat penerimaannya kepada ku yang begitu luar biasa.

“Begitulah kiranya, ketika teman hidup sudah diturunkan oleh Tuhan, dia akan menerima ku apa adanya tanpa penolakan dan tanpa butuh pembelaan apapun.” Pikirku dalam hati, di bawah basuhan air kecintaannya.

Senin, 09 Februari 2015

Siapa Sponsor Persija?

Sudah hampir beberapa musim Persija Jakarta sangat kesulitan mendapatkan sponsor utama untuk menjalani Liga Super Indonesia. Dampak dari kegagalan ini cukup signifikan, Macan Kemayoran kerap kali mengalami permasalahan yang sama di setiap musimnya, yakni telatnya pembayaran gaji. Dampak lanjutannya ialah pemain-pemain yang telah matang bermain untuk tim asal ibu kota ini pergi mencari klub baru. Di musim ini berbeda, dampak lanjutan yang diterima Persija dari tak adanya sponsor membuat PSSI mengultimatum skuad asuhan Rahmad Darmawan akan diberikan sanksi yang tegas, berupa pengurangan jumlah pemain dan pelarangan penggunaan pemain asing.

Padahal, musim ini disebut-sebut sebagai musim yang akan mengembalikan kejayaan Macan Kemayoran. Dibalik permasalahan yang melilit, manajemen justru berhasil mendatangkan pemain-pemain bintang dalam skuad kali ini. Bambang Pamungkas, Greg Nwokolo dan M. Ilham dibawa pulang kembali. Kabaev dan Martin Vunk bintang asal Estonia didatangkan dengan biaya yang cukup mahal. Anggota pemain timnas U-23 diboyong ke dalam skuad tim kebanggaan Jak Mania.
Hal ini menjadi sorotan utama PSSI. Mereka meminta proyeksi pendapatan untuk menjalani musim depan. Akhirnya, sampai saat ini manajemen belum mampu menjawab sorotan dari federasi. Ini sungguh aneh, karena musim lalu Ferry Paulus masih menyisakan hutang kepada para mantan pemainnya. Terakhir untuk mengatasi itu semua, Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta akhirnya berinisiatif untuk menyelamatkan Macan Kemayoran dengan mengambil seluruh saham mayoritas. Ini harapan yang cukup menyenangkan agar terhindar dari sanksi PSSI.

Kenapa di kota sebesar Jakarta, manajemen Persija sulit sekali mendapatkan sponsor? Jawaban sebenarnya ialah dari manajemen tersebut, apa mereka serius bekerja atau memang kesulitan dalam mencari sponsor. Perusahaan yang ada di Jakarta tentulah bukan yang cakupannya hanya masuk ke dalam pasar nasional semata. Perusahaan yang bermain di Jakarta ialah mereka yang sudah mantap memasuki pasar internasional. Rata-rata mereka yang datang ke ibu kota sudah pasti memiliki cabang-cabang di seluruh Indonesia dan juga luar negeri. Inilah yang membuat mereka lebih mementingkan iklan lewat media massa terutama TV ketimbang menjadi sponsor sebuah klub sepak bola.

Prestasi yang dihasilkan Macan Kemayoran selama ini belumlah menarik minat mereka. Karena tim asal ibu kota bermain di level nasional belum memasuki kompetisi level Asia. Perusahaan Multi Nasional tentulah mengharapkan sebuah klub yang menjanjikan di turnamen yang bermain di level tinggi bukan sekedar di kompetisi dalam negeri semata. Sebuah perusahaan tentulah melakukan riset seperti ini terlebih dahulu sebelum bersedia menjadi sponsor sebuah kesebelasan. Cost yang sudah mereka keluarkan dalam iklan TV sudah sangat efesien ditambah lagi dengan adanya anak-anak cabang yang menyebar diseluruh wilayan Indonesia.

Jangan membandingkan Persija dengan tim-tim daerah lainnya. Di daerah lain, banyak perusahaan lokal yang tumbuh dengan pangsa pasar yang sesuai dengan kondisi perekonomian penduduknya. Mereka tak memiliki cabang-cabang yang menyeluruh di level nasional, sehingga pemasaran dengan mensponsori klub lokal ialah cara yang efesien ketimbang melalu TV dengan biaya yang sangat mahal.

Lihat saja ada banyak bank-bank lokal yang masuk menjadi sponsor utama sebuah klub sepakbola. Ada dua hal yang mesti dilihat, pertama saham klub tersebut masih dikuasai oleh pemerintah daerah setempat. Sebagai pemilik saham mayoritas, mereka merasa memiliki hak untuk memasang logo badan usaha milik daerah pada jersey klub. Yang kedua adalah kondisi penduduk dan sebaran ekonominya. Contohnya adalah rival dari Persija sendiri. Sebaran penduduk Jawa Barat yang begitu banyak dan wilayah yang cukup luas membuat banyak perusahaan ingin menjadi sponsor mereka. Persib yang sangat identik dengan suku Sunda mampu menjadi identitas yang mengikat mereka. Apapun yang terjadi pada klub asal Bandung tersebut akan menjadi perhatian utama bagi para pendukungnya.

Makanya saat ini manajamen Persija mengeluarkan jargon #GuePersija. Cara ini adalah untuk mendekatkan mereka dengan para supporter dan juga dengan penduduk Ibu kota lainnya.

Yang terpenting dari ini semua adalah revolusi citra yang harus dilakukan oleh para Jak Mania. Masih ada sebagian kecil dari mereka yang kerap kali melakukan hal-hal yang merusak nama baik tim kebanggaannya sendiri. Ingat, di Jakarta merupakan kantor-kantor pusat setiap perusahaan yang ada di negeri ini. Mereka menyaksikan langsung apa yang terjadi di luar stadion jika Macan Kemayoran berlaga. Mereka merupakan para pengambil keputusan kepada siapa perusahaan mereka harus dekat dengan sebuah klub. Berbeda dengan daerah lain yang tak pernah terekspos oleh media nasional tentang perilaku supporternya. Sehingga citra yang tersampaikan hanya ada di dalam stadion melalui media TV.

Kisah Tentang Pagi

Dunia masih saja menyalahkan orang-orang yang tak bersalah. Terutama dicari-cari kesalahannya. Misalnya seperti angkutan umum. Kehadirannya sungguh tak bisa diterima dengan baik oleh masyarakat. Seperti angkutan umum, kadang kehadirannya selalu dianggap sebagai biang kerok dari kemacetan dan pencemaran udara. Ini adalah salah yang disalah-salahkan. Coba lihat, lebih banyak mana jumlah kendaraan pribadi atau angkutan umum? Sebagai salah satu pengguna angkutan umum tentu aku merasa keheranan dengan tuduhan-tuduhan yang disematkan kepadanya. Sial sekali memang nasibnya hadir di negeri setengah merdeka ini.

Seperti biasa, pagi ini sampai kampus lebih awal dari sebagian mahasiswa yang lain. Kemacatan Ibu kota membuatku belajar semakin disiplin waktu. Berangkat lebih awal ialah salah satu caraku untuk terhindar dari masalah besar kota metropolitan ini. Banyak juga yang seperti diriku, datang lebih awal akan memudahkan kita menerima pelajaran. Ini dikarenakan kondisi fisik sudah stabil dan pikiran masih terhindar dari sentimen negatif macam kemacetan jalan raya. Dan bagaimanapun juga kita tak boleh menghindari pagi hari, karena pagi adalah awal bagi kita untuk memulai kehidupan. Maka awalilah pagi dengan riang dan gembira.

Ada banyak orang melewati pagi. Dan banyak pula yang membenci pagi. Seperti aku. Akulah penggemar pagi. Pagi yang selalu ku nanti.

Seperti pagi di sekolah anak-anak berkebutuhan khusus. Di sana pernah ku temui pagi yang ceria. Mereka bermain-main dengan penuh kejujuran. Tak ada yang disembunyikan. Mereka berlarian, canda, tawa dan kadang juga merengek menangis. Di sana ada kejujuran yang Tuhan simpan agar tak tersentuh manusia-manusia munafik yang selalu menyimpan kebenaran. Di sana juga aku merasakan sesuatu, kenapa kita yang sempurna tidak bisa menerima mereka dengan tulus dilingkungan yang lebih luas. Apa salah mereka. Kesempurnaan kadang membuat kita berbohong pada Tuhan.

Aku bersama mahasiswa lainnya mencoba berinteraksi dengan mereka. Mencoba belajar memahami dan mengenal mereka lebih dekat. Ejekan-ejekan yang kerap kali mereka terima dilingkuangan bebas membuat mereka merasa takut. Mereka dijauhi. Dicaci. Kadang, kekurangannya dijadikan bahan candaan oleh manusia-manusia lainnya. Sehingga mereka bersembunyi, menyendiri.

Pagi itu, dikala kami sedang berkomunikasi dengan para siswa kulihat satu mata yang penuh dengan air mata. Mata yang sudah tak mampu menampung keharuan. Mata yang seakan menyesali, kenapa tak mengenal anak-anak seperti mereka sejak dahulu. Mata yang seakan penuh gerakan ingin memeluk mereka semua. Mata Ainun yang kini tak sanggup lagi membendung air matanya. Akhirnya iapun menangis. Berlari ke kamar mandi untuk menyembunyikannya.

Biasanya aku melihat Ainun penuh semangat dan gairah. Matanya selalu antusias tiap kali melihat orang lain bicara. Mata yang selalu fokus ketika dosen-dosen mempersembahkan ilmunya kepada mahasiswa. Mata yang selalu marah ketika kaumnya diremehkan. Mata yang selalu menampakkan ketulusan ketika berpapasan dengan seorang pengemis. Dan bagiku, menatap matanya di pagi hari adalah sebuah harapan.

Aku juga pernah melihat Ainun menangis. Suatu pagi. Ketika kami semua mengunjungi lapas anak. Ia bicara dengan anak-anak disana. Dari hati ke hati. Seakan ingin menjadi pengadilan yang ingin mendengar semua beban yang menimpa mereka. Matanya menatap, penuh penerimaan. Ia seakan ingin menyudahi penyesalan anak-anak di dalam lapas. Air matanya tumpah, ketika ia mendengar alasan mereka sampai melakukan kesalahan yang tak patut untuk diulangi. Mereka bicara jujur kepada Ainun, karena tatapan matanya yang penuh perhatian. Anak-anak itu mengatakan kepada Ainun, “Kami kurang perhatian dari bapak ibu. Kami hidup di jalan. Penuh kebencian dari kaum yang lebih beruntung. Jeratan kemiskinan memaksa kami melakukan hal itu. Hal yang membuat kami takut bila mengingatnya kembali.”

Ainun menangis, seakan ia tak tega melihat balasan yang tak terkira dari perbuatan yang terpaksa mereka lakukan. Keadaan membuat mereka berbuat sesuatu yang merugikan orang lain untuk menyelamatkan kehidupan mereka. Inilah ku pertama kali melihat Ainun menangis.
Itulah pagi yang tak akan terlupakan.

Ainun kerap kali menangis ketika melihat suatu yang terasa tak adil. Dua momen itu merupakan sesuatu yang indah. Yang kerap kali merasuki malamku. Betapa tulusnya hati Ainun.

Aku juga pernah melihat mata Ainun bahagia. Suatu pagi, saat kami semua melakukan malam akrab dengan para anggota baru di organisasi kami. Saat itu ia duduk bersampingan dengan seorang laki-laki. Bercerita riang. Lagi-lagi mata itu menunjukkan betapa dirinya penuh dengan ketulusan. Dan pagi itu pun seakan berkata, aku tak sanggup lagi menatap.

Mataku menitikkan air mata. Ternyata pagi juga membawaku pada kecemburuan. Kini giliranku yang bersemubunyi. Menghilang dari keramaian. Menyimpan pagi dengan penuh luka.

Kamis, 05 Februari 2015

Masih Tentang Gadis Petualang

Seperti tak ada jarak ketika kita mengenal dia. Seorang perempuan yang begitu cerdas dalam bergaul selalu mudah untuk berbagi. Dari seorang sahabatnya mengatakan, “dia adalah gadis yang cerdas namun selalu bersedia menerima masukan-masukan dari orang lain. Dirinya diibaratkan gelas yang kosong yang selalu bersedia bertukar pikiran dengan orang lain dan mengisi gelasnya tersebut dengan pendapat-pendapat yang diberikan kepadanya.” Dari itu semua, maka tak heran jika akhirnya kita sama-sama tahu bahwa ia memiliki begitu banyak teman.

Dirinya juga tampak berbeda dari perempuan lainnya, seorang yang selalu tersenyum untuk semua orang yang ia temui membuat mereka-mereka yang mengenalnya tak mau kehilangan kehadirannya. Canda dan tawanya selalu ditunggu. Kehadirannya selalu dinanti. Seperti sebuah waktu subuh, dirinya adalah kesejukan.

Aku sendiri mengenalnya tak cukup lama, kurang lebih satu tahun. Awalnya yang ku tahu namanya ialah Sisy. Seorang perempuan asal Surabaya yang duduk di bangku kuliah jurusan Psikologi di sebuah Universitas di daerahnya. Lama-kelamaan baru ku tahu siapa nama aslinya.

Keseruan dari perkenalan dengannya makin lama makin berlanjut. Pernah ia menceritakan memiliki seorang teman yang pandai menulis. “Tulisan-tulisannya”, katanya “penuh dengan humoris.” Salah satunya adalah “Boker sepanjang masa.” Ketika dibaca tentunya sangatlah menarik dan mampu membuat kita terbahak-bahak.

Sisy juga memiliki jiwa petualangan yang cukup besar. Sudah banyak tempat ia datangi untuk merasakan betapa indahnya Tuhan menciptakan alam raya ini. Sungguh patut untuk disyukuri kita masih bisa menikmati masa-masa seperti ini. Alam sadar kita kelak akan bertanya, akankah generasi setelah kita nanti masih bisa menikmati apa yang kita rasakan saat ini? Inilah yang membuat petualangan kita terhadap alam semakin tertantang, bukan sekedar untuk menikmatinya tapi juga untuk menjaganya sebagai warisan anak cucu kita di masa mendatang. Itulah yang dirasakan Sisy.

Pengalamannya yang pernah bekerja sebagai pemandu wisata membuatnya kerap kali berinteraksi langsung dengan alam dan tentunya juga dengan berbagai karakter manusia. Hal tersebut semakin menumbuhkan kedewasaannya dalam bersikap. Banyak hal yang ia bisa pelajari dari masa-masa seperti ini. Tentang alam dan juga tentang karakter manusianya. Yang paling utama ialah ketika manusia berinteraksi dengan alam itu sendiri, akankah manusia rela menjaganya atau hanya menikmatinya belaka? Tentu, Sisy bisa menilainya.

Sisy juga menceritakan tentang petualangannya yang paling berkesan dengan sahabatnya Risna ketika mengunjungi pantai Bajul Mati. Perjalanannya semakin berkesan ketika ia salah memilih jalur. “Ku berdua salah ambil jalur Ji ternyata. Saat berangkat ku melewati kawasan hutan yang jarang penghuninya.” Ku baca ceritanya dengan menikmati secangkir kopi. “Jalanannya berbatuan, dan jarang ku temui pengendara yang lewat sana. Namun ada sedikit hadiahnya, yakni pemandangan yang indah” lanjutnya.

Jalan ia tempuh saat itu membuat heran seorang petugas yang menjaga pintu masuk pantai tersebut. “Lalu ku diberitahu oleh Bapak tersebut, agar jangan lewat jalur sana saat pulang nanti karena rawan. Kami berdua diberi tahu jalan yang lebih aman dan ramai pengendara.” Tambah ceritanya.

Dari Surabaya ke Malang hanya dengan berdua saja, tentunya akan terasa kaget mendengarnya. Apalagi berangkatnya mereka salah memilih jalan. “Risna sampai mendengar suara-suara aneh selama perjalanan menuju pantai tersebut,” ujarnya. Namun hal tersebut tak membuatnya urung membatalkan kunjungannya. Mereka berdua terus berpacu agar sampai tepat waktu meski akhirnya hanya satu jam mereka di sana.
*
Selain itu, anak kedua dari dua orang bersaudara ini juga tertarik mengadopsi binatang. Hidup akrab dengan binatang menjadi salah satu ciri utamanya. Sentuhan pertamanya dengan binatang ialah sejak kecil. “Kala itu, aku sedang tertidur pulas” ceritanya kepada ku, “dan tanpa sadar ada ular liar yang tak tahu darimana asalnya. Anehnya saat itu aku tak merasa takut.”

Sisy atau yang akhirnya mengaku namanya adalah Siti Alfia Hidayati sudah lama mengadopsi Musang. Dua musang tersebut ia beri nama Axsah dan juga Boni. Keduanya ia rawat penuh dengan perhatian, selayaknya anak sendiri. Kesehatan dan juga kebutuhannya tak pernah ia abaikan. Dari pengalamannya tersebut, ia merasa betul-betul konsen pada masalah perlindungan hewan, baik yang dilindungi maupun tidak.

Dengan alunan yang syahdu dari Kitaro membuat perpaduan yang seru mendengarkan cerita anak Hawa yang sedang giat membangun dirinya untuk berbagi dengan alam. Ini tampak istimewa, sebab yang terpenting dari kehidupan ini ialah bukan berapa lama kita hidup, melainkan berapa banyak yang telah kita perbuat.

Sejak ia memutuskan untuk mengadopsi Axsah dan Boni, ia makin tahu tentang jual beli binatang. Menurutnya, ia kerap kali menemui para pemelihara hewan musiman. Maksudnya ialah mengadopsi hewan hanya pada waktu tertentu saja, setelah bosan lalu dijual kepada orang lain. Inilah yang membuat hewan menjadi tidak terpelihara dengan semestinya, cenderung untuk asal-asalan dalam menjaganya.

Dara kelahiran 7 Februari kini sedang menyusuri dunia barunya untuk mengenal lebih luas tentang bagaimana menjaga keseimbangan alam. Seperti pepatah bilang, alam mampu memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia, namun tak akan cukup untuk memenuhi kerakusan satu manusia. Alam kini sedang mengalami masa kerakusan umat manusia. Sumber daya alam semakin tergerus tanpa memikirkan keseimbangannya. Akhirnya membawa pada perubahan iklim yang sangat drastis dan membawa kesengsaran tersendiri bagi umat manusia.
*
Malam semakin larut dan semakin asik mengenal Alfi (sapaan akrabnya). Dirinya yang berkerudung membuat ku bertanya-tanya apakah hal tersebut tak menghalanginya dalam berinteraksi dengan alam yang tentunya akan juga berinteraksi dengan banyak kaum Adam.

“Dengan berjilbab apa kamu tidak merasa terhalangi berinteraksi dengan alam yang lebih dominan disukai oleh kaum laki-laki?”

Lalu dia menjawab dengan santai namun penuh makna, “ini tidak menghalangiku sama sekali Ji. Malah ini membuat diriku terlindungi.”

Lebih jauh dia menjelaskan, dengan hijab ia merasa terhormati. Jika bertemu dengan lawan jenis maka ia akan terhindar dari godaan kaum Adam tersebut. Umumnya, menurut dirinya “perempuan yang berhijab akan terhindar dari godaan lelaki. Jika tak mengenakan jilbab biasanya perempuan akan digodain, dengan kata-kata “hai” dan semacamnya, dan jikalau tidak menjawab nanti akan dikatakan sombong dan lain sebagainya. Berbeda jika sudah mengenakan jilbab, kaum lelaki yang berpapasan akan cenderung memberikan salam. Ketika kita menjawab salamnya pasti mereka sudah senang dan tak timbul perasangka-perasangka buruk lainnya. Itu yang ku rasakan Ji.” Lanjutnya, “dan aku ngerasa dengan memakai jilbab lebih banyak laki-laki yang menghargai wanita, baik dalam perilaku maupun ucapan mereka pasti lebih mereka jaga.”

Membaca jawabannya tersebut sungguh sederhana namun bermakna. Alfi menjawabnya dari sisi kemanusiaan. Seperti pandangan dari tokoh feminis postmodern Camille Paglia, kaum perempuan diingatkan beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika ingin memperjuangkan kesetaraan yang sama dengan kaum pria. Perempuan masa kini terus dicekoki dengan mimpi bahwa perempuan bebas melakukan apa saja, pergi kemana saja, mengatakan apa saja, dan mengenakan apa saja. Namun Paglia menentangnya dengan jelas, bahwa perempuan selalu ada dalam bayang-bayang bahaya seksual.

Feminism yang perlu diagendakan pada masa kini ialah feminism yang menekankan pada kemandirian dan tanggung jawab perempuan. Belajar bertanggung jawab atas diri sendiri serta menerima resiko merupakan bentuk bela diri terbaik bagi perempuan dan hakikat utama feminism. Perempuan tidak boleh bermimpi dapat menggunakan Negara sebagai instrument pemaksaan etika dan moral atas laki-laki, atau bermimpi mengubah dunia menjadi surga yang bagi perempuan.
Gadis penyuka Durian ini sungguh wujud perempuan masa kini yang tak melawan kodratnya sebagai perempuan dan juga sebagai seorang yang beragama. Hijab baginya seperti wujud tanggung jawab dan kemandirian seorang perempuan dalam kehidupan sosial yang selalu berinteraksi dengan lawan jenis.
*
Dari cerita banyak tentangnya, aku mengetahui bahwa dirinya belum memiliki seorang kekasih. Entah apa alasannya, tak ada yang tahu. Dirinya memang sempat dekat dengan beberapa lelaki namun tak dijadikannya kekasih. Menurut pengakuannya juga beberapa kali ia menolak cinta lawan jenisnya tersebut. Ku kira itu masalah pribadi yang tak perlu ditanyakan lebih jauh. Namun kini, ia sedang dekat dengan seorang lelaki. Ketika ditanyakan akan hal tersebut, menurutnya biar waktu yang menjawabnya.

Sosok Alfi adalah perpaduan yang pas antara manusia kepada sesamanya, kepada alamnya dan juga manusia sebagai makhluk Tuhan. Tak ada yang saling tumpang tindih, semua itu dijalaninya dengan porsi yang sesuai.

Terakhir, nama Hidayati dalam dirinya tentu saja mengingatkan saya pada sosok Karen Hidayati dalam tokoh di novel “Sarongge” karangan Tosca Santoso. Kedua Hidayati ini benar-benar hidup dengan alam. Keduanya memiliki karakter yang sama dan juga keteguhan yang sama terhadap semangatnya menjaga alam ini agar tak rusak termakan manusia rakus.

Semoga kita bertemu lagi nanti, dengan gadis petualang dan Hidayati yang tangguh. Selamat Ulang Tahun Alfii.

Senin, 02 Februari 2015

Gadis Petualang

Cuaca di Jakarta saat ini sedang tidak karuan. Hujan selalu turun di setiap harinya. Bahkan, tak jarang pula turun sampai sehari penuh. Pagi, siang, malam hujan membasahi tanah ibu kota ini. Macet dan banjir merupakan efek lanjutan yang ditimbulkan oleh hujan. Maka, tak sedikit yang merasa frustasi dengan keadaan seperti ini, namun tak urung meninggalkan kota para pemenang.
Seperti pagi ini, hujan telah mengguyur ibu kota sejak subuh. Matahari enggan bersinar untuk membakar semangat para pekerja keras. Yang ada hanya awan mendung yang menyelimuti aktifitas penduduknya. Begitulah Jakarta dikala musim penghujan, seakan menjadi lesu.
Pikiran menjadi terbang melayang entah kemana. Sejenak berpikir untuk meninggalkan kota ini, lalu segera kembali dalam alam sadar bahwa di tanah inilah kami tumbuh dewasa sedari kecil. Maka mau tak mau tetaplah cintai Jakarta sampai kapan pun.
Pagi ini sungguh berbeda, ada yang menyelinap sejenak. Apa kiranya, entahlah. Tak ada yang tahu. Tetapi, mendengar cerita kawan-kawan tentang kehidupannya di luar Jakarta sungguh mengasyikkan. Jauh dari hingar bingar politik itulah yang kita semua inginkan.
“Naik kerete ke Surabaya” tiba-tiba lirik lagu tersebut masuk kedalam telinga. Lantas membuat diri ini berpikir jauh tentang Surabaya kotanya buaya hijau.
Ada banyak berita dari Surabaya yang naik menjadi perhatian nasional. Salah satunya ialah sosok Walikota mereka yakni Bu Risma. Sosok perempuan yang mampu menutup tempat prostitusi terbesar se-Asia Tenggara. Sosok yang memiliki kemampuan tata kota yang mumpuni. Sosok yang kini digadang-gadang akan memimpin kembali Surabaya dalam lima tahun ke depan.
Selain itu ada juga kabar buruk yang menimpa kota tersebut, yakni lalainya pengelola kebun binatang yang menyebabkan banyak satwa-satwa tak terurus sehingga menjadi perhatian utama masyarakat nasional. Namun, mengenal Surabaya tak lupa kiranya dengan rujak cingurnya dan Boneknya.
Tiba-tiba nama Siti Alfia Hidayati menjadi sesuatu yang harus diingat. Perempuan asal Surabaya ini merupakan sosok yang tangguh dan juga berbeda. Hidup akrab dengan binatang menjadi salah satu ciri utamanya. Binatang kesayangannya hampir tak luput dari perhatiannya. Merawat mereka selayaknya merawat seorang teman, penuh perhatian dan kasih sayang.
Boni dan Axsah merupakan mahluk yang paling sering merasakan kasih sayang dari perempuan tersebut. Dua ekor musang tersebut hampir setiap hari menemani kehidupannya. Kadang selalu ia ceritakan kepada siapa saja tentang kedekatannya dengan Musang-musang tersebut. Ini tentu saja akan menimbulkan kecemburuan yang berat setiap pria yang diam-diam menyukai gadis tersebut.
Selain itu, perempuan yang memiliki nama lain Alphin Chan ini juga sangat berkonsentrasi di bidang perlindungan satwa-satwa liar. Ia akan sangat marah jika bertemu dengan seorang yang memperjualbelikan satwa liar secara illegal dan bebas. Kemarahannya akan sungguh luar biasa. Tak memandang lawannya itu siapa, baik lelaki maupun perempuan, ia lantang menghadapinya. Baginya, satwa liar layak mendapatkan tempat yang khusus yang layak untuk mereka huni. Ini diharapkan agar satwa tersebut tidak cepat mati dan populasinya tetap terjaga. Satwa-satwa haruslah dilindungi, agar mereka tak mudah stress karena tak mendapatkan perlakuan dan hunian yang layak dari manusia.
Petualangan gadis ini tak cukup sampai di situ. Bagi yang mengenal sosoknya pasti juga akan mengetahui bahwa dirinya seorang yang tangguh di alam terbuka. Sudah banyak tempat di Jawa Timur yang ia kunjungi. Dari pantai, gunung dan juga penangkaran hewan-hewan. Banyak cerita yang akan ia bagi kepada orang-orang betapa indahnya alam di Jawa Timur. Yang mengangumkan ialah betapa beraninya ia dengan seorang teman perempuannya pergi mengunjungi sebuah pantai, melewati jalan yang panjang dan berliku, ditambah dengan suasana alam yang masih polos dan sepi penghuni. Mendengar ceritanya yang ini cukup mengagetkan. Ternyata ia benar-benar pemberani.
Oh iya, dulu dirinya adalah seorang pemandu wisata, namun pekerjaan tersebut terpaksa ia tinggalkan karena merasa tak cocok dengan manajemen di tempat ia bekerja.
Kedekatannya dengan alam membawa ia masuk ke sebuah organisasi yang konsen melindungi dan memelihara kelestarian dan kelangsungan flora dan fauna di tanah air. Ia bergabung dengan Pro Fauna, dan kerap kali terlibat aksi organisasi tersebut. Ini sangat berbeda, dan ia menunjukkan ke istimewaannya. Di Pro Fauna ia belajar menganai bagaimana mencegah, melindungi dan melestarikan alam dan isinya agar tak tersentuh dan rusak oleh tangan-tangan manusia yang tak bertanggung jawab.
Kecintaannya terhadap alam bukanlah dari gaya hidup yang berkembang bagi para pemuda dan pemudi di kota-kota besar saat ini. Banyak memang yang mengaku cinta terhadap alam, namun sekedar cinta dan mengunjungi tidak melakukan upaya pencegahan dan penolakan terhadap tangan-tangan manusia yang memiliki kepentingan untuk mengeksploitasi alam. Bahkan pengetahuan mereka tentang ancaman yang sedang melanda alam Indonesia sangat minim. Ini karena mereka hanya sekedar mengaku, bukan mendalami. Beda dengan Alfi, ia mau belajar itu semua.
Yang mengejutkan ialah bahwa gadis ini masih jomblo dan mengaku sulit jatuh cinta. Entah kenapa alasannya jarang yang tahu. Satu hal yang pasti, para pria yang jatuh cinta kepadanya akan sangat sulit untuk menaklukkan gadis petualang ini.
Terakhir, nama Hidayati dalam dirinya tentu saja mengingatkan saya pada sosok Karen Hidayati dalam tokoh di novel “Sarongge” karangan Tosca Santoso. Kedua Hidayati ini benar-benar hidup dengan alam. Keduanya memiliki karakter yang sama dan juga keteguhan yang sama terhadap semangatnya menjaga alam ini agar tak rusak termakan manusia rakus.
Semoga kita bertemu lagi nanti, dengan gadis petualang dan Hidayati yang tangguh.
Salaammm.

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae