Sudah lama aku tak duduk di tempat ini. Memandangi rak-rak buku. Membacanya, memahaminya dan berharap akan masa depan kepadanya. Satu-dua orang duduk di sampingku. Menghabiskan waktu, membelah kalimat demi kalimat. Berselancar ke dunia lain. Menemukan harapan baru di hari esok.
Ada banyak hal yang telah terlewati dalam kehidupan ini. Kadang ada tawa, kadang juga ada tangis. Esok kita bahagia, lalu terluka. Nanti kita tersenyum, lalu tiba-tiba termenung. Siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.
Jari-jari itu terus bermain. Mengikuti irama kepala yang sedang beralun merdu. Matanya terus menatap, mengejar huruf-huruf yang tertulis. Kadang tanda koma datang, namun lebih sering tanda titik yang mengisi kalbu. Aku sungguh tak tahu, ketika duduk di sini aku benar-benar tak mengenal siapa gerangan diri ini.
Ku melihat-lihat disekita. Semakin sepi. Lalu lalang orang tak lagi sesibuk waktu pertama aku menduduki bangku ini. Cahaya lampu mulai menebarkan keindahannya. Memasuki semua celah yang ada dalam ruangan ini. Sore sudah datang, siap menyambut malam.
Ahh tidak, ternyata waktu sudah lama berlalu. Ku lihat ke arah sebelah, sudah tak ada orang yang sedari awal ada di sampingku. Tetap tak ada, setalah ku perhatikan sekali lagi. Entahlah, aku tak menyadari apapun dalam dunia kali ini.
Beberapa saat kemudian, ku mulai berjalan. Melewati beberapa rak buku. Ku sempatkan melihat ke arah jendela. Cahaya mentari sore sudah mulai tampak menghadirkan pesonanya. Aku tak bisa melukiskannya. Penikmat senja pasti mampu menjelaskannya secara mendalam. Aku hanya penikmat sore, kadang bermain dengan malam, selalu ketinggalan pagi dan bahkan berlari bersama siang yang terik sekalipun.
Ku basuh wajahku. Ahh, ada rasa lain yang masuk ke dalam jiwaku. Diriku lega, aku masih di dunia yang seperti ini. Beberapa waktu yang lalu aku gak tahu sudah berada di mana. Jiwaku pergi meninggalkan jasad ku yang hanya duduk manis di tumpukan buku-buku yang sudah tercium bau wanginya karena termakan usia.
Ku kembali ke tempat duduk ku. Lap top ku masih menyala. Buku-buku yang berada di sebelahnya masih sama, termasuk buku yang sedang ku baca dan ku letakkan di atasnya, masih sama dengan halaman yang sama. Begitu juga dengan alat tulis dan buku catatanku, masih dalam posisi yang sama. Ku perbaiki posisi duduk ku. Sedikit melakukan gerakan untuk mengendurkan sendi-sendi tulang ku. Beberapa kali mengatur nafas, dan akhirnya tubuhku kembali siap untuk ku ajak terbang kembali memasuki dunia lain.
Setelah ku menenangi diri, akhirnya kembali ku menatap ke arah yang sama, memandang seseorang yang ada beberapa bangku di sebelah tempat dudukku. Benar dia nyata adanya, pikirku dalam hati. Rambutnya hitam panjang sampai melewati bahunya. Lurus, namun tak ia biarkan untuk terurai. Ia kuncir dan tertata rapih. Di keningnya ia biarkan beberapa rambut menutupinya. Berkacamata. Asik memandangi lap top dan buku-bukunya. Dialah yang membuatku untuk sejenak meninggalkan segala aktifitas ku sebelumnya. Dalam hati aku takut, perempuan itu hanyalah bumbu dalam dunia lainku, namun ternyata aku salah dia nyata benar adanya.
Detik demi detik berlalu tatapan ku masih mengarah padanya. Tak cukup lama, namun itu membuat dirinya tersadar bahwa ada seseorang yang sedang memperhatikannya. Dia menoleh ke arah ku, sebuah senyuman menyambut tatapan sunyi mataku. Kemudian ku membalasnya, namun rasa malu cepat menghampiri wajahku. Dalam hitungan detik lalu aku tertunduk dan kembali menatap lap top di hadapanku.
Waktu kian sore, langit jingga mendampingi sang mentari menemui peristirahatannya. Lagi-lagi aku adalah lelaki yang tak mampu bercerita tentang indahnya sore. Sesekali ku mencuri pandangan ke langit tersebut juga ke arah dirinya. Ahh, sore.
Tak lama kumandang adzan maghrib tiba. Dan inilah waktu untuk ku kembali dalam dunia nyataku. Ku bereskan semua yang ada dihadapan ku. Ku menelisik ke arahnya, ternyata sama. Dia pun menyudahi waktunya berselancar dalam dunianya lainnya. Entah apa yang sedang ia kerjakan. Membuat paper, skripsi atau apalah. Aku tak tahu dan tak mau menduganya.
Aku dan dia akhirnya terpisah beberap saat lamanya. Entah dia kemana, namun jiwaku bertanya-tanya akan di mana dirinya berada. Aku duduk-duduk di bawah pohon besar. Bangku panjang mengitari batangnya yang sudah amat besar. Aku tak tahu seberapa lama usianya dan apa jenis pohonnya.
Hari sudah mulai gelap. Ku lihat ke kanan dan kiri, ternyata lampu-lampu ruangan kelas masih ada yang menyala. Tampaknya masih banyak mahasiswa yang sedang menyerap ilmu dari dosen-dosen pengajarnya. Aku duduk sendirian diantara banyaknya mahasiswa yang sedang lalu lalang bergegas untuk pulang.
Ku pejamkan mata beberapa saat. Dan, suara perempuan datang masuk ke dalam daun telingaku.
“Masih di sini?” katanya. Ku tatap ke arah suara tersebut. Ahh, ternyata dia. Dia yang tadi ku perhatikan di dalam perpus.
“Iya” ku jawab singkat. Bukan karena apa, hanya kata itu yang mampu ku ucapkan saat itu. Diriku kehilangan banyak kata untuk mengajaknya bicara.
“Boleh ku duduk” sambil melirik ke tempat yang ia duduki, beberapa jengkal dari tempat ku duduk. Belum ku menjawabnya, dan dia duduk lalu berkata lagi. “Kenapa harus minta ijin ke kamu, memang kamu yang punya kampus ini” katanya kembali. Dan tawa kecil keluar dari mulut manisnya.
“Sudah berapa lama menjadi penunggu puhon tua?” katanya mencairkan suasana. Akhirnya kami pun mulai banyak berbicara, meski dirinya yang kerap kali membuka obrolan-obrolan baru dan sederhana. Lama kelamaan tampak asik bicara dengannya. Waktu terus berlalu. Sesekali dahan berjatuhan tertiup angin syahdu malam hari.
Dalam obrolan tersebut aku menyaksikan sisi-sisi lain dalam dirinya. Salah satunya adalah ia kerap kali menulis dalam sebuah buku catatan. Entah apa yang ia tuliskan, yang ku tahu sampul buku itu tertuliskan huruf “W” dan “M”, dan dipercantik oleh gambar kupu-kupu kecil dan balon-balon.
Butuh waktu beberapa lama kami baru saling mengenalkan diri. Mungkin karena sudah kekurangan bahan pembicaraan lainnya. Saling mengenalkan diri dan akhirnya aku tahu arti WM yang ada di sampul bukunya. Ternyata itu adalah dua huruf awalan dari dua kata namanya. Malam terus berlalu dan waktu membawa kami beberapa saat untuk bicara tentang pribadi masing-masing, dan aku menikmati itu.
Hampir dua jam kami mengobrol. Dan selalu ia menyempatkan diri untuk menulis sesuatu dalam bukunya. Selepas jemarinya tersebut menari-nari di atas kertas putih dia menyampaik sebuah senyuman. Ahh, kurasakan sesuatu masuk dalam tubuhku.
“Apa setiap kali bicara dengan seseorang, kamu selalu menuliskan sesuatu dalam buku catatan mu?” tanyaku, mengejar rasa penasaran diriku sedari tadi. “Enggak juga” katanya, singkat menjawab pertanyaanku. Lalu dia menyodorkan bukunya tepat di halaman yang dia tuliskan malam ini. “Baca” perintahnya singkat.
“aku berkenalan dengan seorang pria. Kami bicara, namun dia lebih banyak diam. Pertama kali ku melihatnya saat dia berada di dalam perpus. Katanya, saat itu dia sedang memasuki dunia lainnya. Sebuah rutinitas yang kerap kali dia lakukan di kala sedang rindu akan wangi buku. Entahlah, aku gak mengerti apa yang dia sampaikan. Yang jelas, aku memergokinya sedang menatap ku dalam-dalam. Lalu wajahnya memerah dan tertunduk malu.”
Membaca paragraf pertama itu membuatku sedikit malu. Aku kaget dia menuliskan apa yang terjadi diantara kami berdua di awal pertemuan. Ku melihat ke arahnya, dia hanya tersenyum.
“duduk di bawah pohon tua yang gak jelas berapa usianya membuat kami hanyut dalam obrolan ngalor-ngidul. Enggak jelas tujuannya kemana. Dia diam terus, kadang aku merasa jengkel. Namun biarlah, kali ini aku yang lebih banyak bercerita. Walau hanya cerita katak yang sedang bertengkar dengan semut. Bicara dengannya seru, karena aku bisa bercerita segalanya dan dia hanya diam seperti terpesona dengan kehebatan ku bercerita.”
Tertawa kecil aku membacanya. Lalu pada kalimat terakhir aku membaca sebuah kalimat selanjutnya.
“Tentunya aku tak mau hanya menjadi buku yang seperti penjelasannya hanya membawanya ke dunia lain. Aku mau menjadi pohon tua ini, menemaninya pada dunia nyata.”
Lalu dia mengambil bukunya dari pangkuan telapak tanganku. “Sudah segitu saja dulu” katanya. Dalam hatiku bertanya, berarti lain kali ada kesempatan lagi untuk diriku membaca kembali buku hariannya tersebut. “Baiklah” ku menjawabnya.
Dia melihat jam di tangan kanannya. Secara tiba-tiba aku pun melihat jam di ponsel ku. Pukul delapan lewat tiga puluh menit. Kami saling beradu tatapan. Begitu dalam ku menatap matanya. Wajahnya tak kehilangan pesonanya meski tubuh sudah cukup merasa lelah. Kemudian ku memalingkan tatapanku, takut ia menyadarinya.
“Yaudah, esok kita ketemu lagi ya. Nanti ku kabarin waktunya.” Katanya, kemudian menyodorkan tangan kanannya, mengajakku untuk bersalaman. Ku sambutnya dengan segera. Rasa gemetar di hati begitu terasa.
Esok pasti jumpa, ucapku dalam hati.