Sabtu, 26 Maret 2016
Mengapresiasi Teman Ahok dalam sudut pandang demokrasi
Menjelang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode mendatang, hal yang paling menarik adalah munculnya wacana agar Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa disapa Ahok untuk maju kembali dalam pertarungan tersebut melalui jalur independen. “Teman Ahok” yang menginisiasi hal demikian. Mereka bekerja mencari dukungan untuk mengajak penduduk Jakarta lainnya ikut mendukung Ahok agar maju dalam jalur perseorangan.
Munculnya “Teman Ahok” ini memang mendapati beragam pandangan. Hal yang terpenting dari ini adalah bahwa masyarakat sudah maju dalam memangdang demokrasi di negeri ini pada khususnya di wilayah DKI Jakarta.
“Teman Ahok” merupakan perwujudan khas dari civil society. Ditengah-tengah kegalauan masyarakat terhadap peran partai politik dalam menciptakan pemerintahan yang jujur dan adil. Pandangan masyarakat terhadap partai politik untuk saat ini memang amat sangat sinis. Mereka sudah tidak lagi menganggap partai politik sebagai upaya perwujudan untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Selama ini tanpa disadari nasib bangsa ini demokrasinya terganjal oleh hegemoni partai politik. Kehadiran partai politik tidak serta merta menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial. Malah justru sebaliknya, demokrasi hanya menjadi sarana persainagn kepentingan elit politik dan tidak berhubungan dengan upaya-upaya mereka dalam menghasilkan hal tersebut.
Adanya “Teman Ahok” berarti akan menguatkan suatu masyarakat politik yang demokratis – partisipatoris, reflekti dan dewasa. Dengan hal tersebut juga menyadarkan kembali kepada masyarakat behwa merekalah pemegang kedaulatan dan memiliki hak untuk mengontrol kekuasaan.
Munculnya gerakan semacam “Teman Ahok” ini yang menurut Jurgen Habermas sebagai bagian dari lifeworld, yaitu wilayah kehidupan dimana tindakan-tindakan sosial warganya tidak didorong oleh hasrat untuk mengakumulasi kekuasaaan maupun uang tapi oleh nilai dasar yang muncul dalam kehidupan sosial seperti keadilan, kebenaran, kebaikan dan yang sejenisnya.
Artinya, Ahok masih dianggap mampu oleh mereka yang menjadi bagian dari “Teman Ahok” untuk terus membenahi segala permasalahan yang ada di ibu kota. Jejak rekamnya yang selama ini dikenal tegas dan cenderung “ceplas-ceplos” dalam memberikan pendapat di muka umum layak untuk maju melalui jalur independen, supaya tidak terjebak dalam kontrol partai politik.
Dengan majunya Ahok melalui jalur independen yang didukung oleh gerakan “Teman Ahok” dapat menumbuhkan pola demokrasi yang partisipatoris bukan hanya menjadi demokrasi elit semata. Demokrasi elit merupakan sebuah upaya untuk mengesampingkan rakyat setelah pelaksanaan pemilihan umum. Setelah rakyat menjalankan haknya, maka setelah calon pemimpinnya terpilih mereka mengesampingkan aspirasi rakyat dalam menjalankan pemerintahan dan membuat kebijakan. Di dalam tipe ini, demokrasi elit sangat mungkin kepentingan rakyat yang selama masa kampanye disuarakan terlupakan.
Sedangkan dalam tipe demokrasi partisipatoris yang merupakan buah dari civil society (“Teman Ahok”) justru mendorong peran masyarakat dalam ikut terlibat dalam membuat kebijakan-kebijakan pemimpin yang terpilih atas suara mereka.
Bagaimanapun setelah terpilihnya pemimpin tersebut masyarakat tidak terlupakan untuk terus ikut terlibat dan membantu mereka membuat kebijakan yang sesuai dengan kepentingan dan kehendak rakyat. Kesimpulannya adalah makna yang benar dengan demokrasi ialah setelah masyarakat bebas dan rahasia memilih para pemimpin yang mereka pilih dalam proses pemilihan umum, masyarakatpun berperan serta dalam pembuatan keputusan dan kebijakan yang dibuat oleh para pemimpin yang mereka pilih sesuai dengan kehendak dan kepentingan masyarakat.
Ini diharapkan agar tidak terus terjadi kepunahan karifan politik yang diistilahkan oleh Jefrie Geovanie sebagai kehidupan politik yang membunuh. Inilah yang terjadi selama ini pada bangsa kita, pemerintahan yang secara umum dikuasai oleh mereka yang penuh nafsu untuk terus berkuasa dengan hasrat untuk menguasai yang lain dengan melupakan kehendak dan kepentingan rakyat.
Intinya ialah dengan penguatan civil society dengan munculnya gerakan “Teman Ahok” rakyat tidak hanya dijadikan objek mobilitas dan meraih dukungan oleh kalangan elit politik. Selain berhak untuk memilih secara bebas dan rahasia kita juga berhak untuk terus terlibat dalam pembuatan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh mereka yang telah kita pilih agar terus berada dalam jalur kepentingan dan kehendak rakyat bukan pada kepentingan dan kehendak pribadi maupun partai politik.
Yang terpenting ialah bagaimana agar “Teman Ahok” ini tetap berada dalam koridor yang benar. Karena kita harus ingat satu pesan dari Hannah Arendt bahwa manusia mandiri ialah manusia yang terbebas dari himpitan kebutuhan pribadinya dan pada saat yang bersamaan mampu berwacana dalam ruang publik. Ketika manusia mandiri, saat itulah ia menjadi warga Negara yang sebenarnya, dan pada saat itu pula demokrasi bisa berjalan.
“Teman Ahok” harus bergerak mandiri dan tidak terhimpit pada kebutuhan pribadinya menuju demokrasi yang mapan dan terpola.
Semoga “Teman Ahok” tidak terjebak dengan apa yang diistilahkan oleh Jurgen Habermas, yakni “kolonialisasi civil society” keadaan dimana vitalitas civil society digerogoti oleh sistem politik dan ekonomi. “Teman Ahok” adalah perserikatan-perserikatan sukarela yang sedang memperjuangkan ide dan cita-cita agar Jakarta tetap “bersih” dan mampu terhindar dari tingkah laku pemimpin yang korupsi.
sumber gambar: www.temanahok.com
Langganan:
Postingan (Atom)
Mengenai Saya
- ahmad fauzi
- bekasi, jawa barat, Indonesia
- sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae