Senin, 11 April 2016
Jakarta Tolak Reklamasi
Babak panas tentang rencana reklamasi di Jakarta terus bergulir. Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan tangkap tangan suap yang melibatkan anggota DPRD DKI Jakarta dan perusahaan pengembang reklamasi banyak masyarakat ibu kota pada khususnya dan masyarakat pegiat lingkungan yang menolak rencana dari Pemprov DKI tersebut.
Jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, reklamasi dipandang sebagai suatu prospek yang sangat menggiurkan dan mendatangkan sejumlah manfaat dari segi pendapatan. Program tersebut juga digadang-gadang akan meningkatkan jumlah wisatawan. Hal tersebut berbanding lurus dengan bertambahnya tingkat hunian hotel. Masyarakat lokal pun akan memperoleh banyak manfaat, seperti semakin terbukanya lapangan kerja baru, bertambah peluang bisnis dan berinvestasi, selain itu pemerintah mendapat penambahan penambahan asli daerah (PAD).
Namun menurut Kusfiardi dari Analisis Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dalam harian Republika (4 April 2016), jika dilihat dari aspek sosial jangka panjang dapat membahayakan. Bahaya paling besar adalah bencana alam yang diluat batas kendali. Menurutnya, alasan ekonomi tidak bisa dijadikan acuan untuk mengabaikan dampak lingkungan dan sosial yang akan terjadi di masyarakat apabila reklamasi dilangsungkan. Ia menyebut, reklamasi juga berpotensi memaksa adanya alih profesi yang bisa berujung pada timbulnya kemiskinan baru.
Hal ini senada dengan apa yang dialami oleh nelayan di kawasan Teluk Angke Jakarta Utara. Rencana Pemprov yang akan meciptakan 17 pulau baru seluas 5.100 hektare dengan melibatkan pengusaha kaya raya dan akan memakan biaya sekitar Rp. 500 triliun tersebut akan sangat merugikan nelayan ibu kota. Menurut Ketua Bidang Hukum dan Pembelaan Nelayan DPP KNTI, Marthin Hadiwinata dalam komentarnya di harian Republika (6 April 2016), sejak dilaksanakannya proyek reklamasi Pulau G, sitausi Teluk Jakarta menjadi kian kritis. Hal itu antara lain ditandai dengan kematian ikan yang terus berulang dikawasan tersebut. Padahal, ikan dan sumber daya laut lainnya merupakan sumber kehidupan dan mata pencarian bagi bagi masyarakat pesisir seperti nelayan-nelayan tradisional di Muara Angke.
Program yang merugikan rakyat kecil dan lingkungan hidup memang kerap kali menimbulkan masalah. Selain terjadinya penyuapan seperti yang telah terjadi, kebijakan tersebut juga masih bisa dipertanyakan terkait masalah melangkahi wewenang pemerintah pusat. Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti menyatakan perizinan yang dikeluarkan Ahok melangkahi wewenang pemerintah pusat. Menurutnya, reklamasi baru bisa berjalan setelah adanya rekomendasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Beliau meminta agar Pemprov DKI menunda reklamasi tersebut dan memikirkan dampak proyek tersebut terhadap lingkungan hidup dan nelayan.
Pemimpin tidak bisa serta merta memanfaatkan alam untuk mengambil keuntungan materi sebanyak-banyaknya dan mengabaikan keselamatan bagi lingkungan hidupnya. Dalam konsep “Ekokrasi”, alam semesta juga harus dipandang sebagai pemegang kekuasaan tertinggi kehidupan. Ekokrasi tidak hanya diartikan pemerintahan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, tetapi keuasaan pemerintah itu sendiri lahir atas dasar kekuasaan yang diberikan oleh lingkungan.
Wacana ekokrasi merupakan perkawinan antara konsep lingkungan dan pembangunan. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan terkandung ide dasar agar aspek lingkungan mendapat prioritas yang sama dengan aspek ekonomi dan aspek sosial dalam strategi pembangunan. Pembangunan berkelanjutan hendak memadukan tiga aspek secara serasi, yaitu aspek ekonomi, aspek sosial-budaya, dan aspek lingkungan hidup. Kelemahannya adalah konsep ini dari praksisnya memiliki banyak penyimpangan, terutama masih dominannya watak developmentalisme sebagaimana sebelum lahirnya konsep tersebut.
Yang terjadi pada masalah reklamasi adalah sudut pandang yang menempatkan kepentingan manusia di atas segala-galanya. Nilai dari segala sesuatu yang ada di alam semesta ini dilihat dari sudut pandang kepentingan manusia semata. Berdasarkan perspektif ini. alam semesta dan lingkungan hidup perlu dimanfaatkan dan dilindungi semata-mata untuk kepentingan manusia.
Hal tersebut harus dilawan karena dua alasan, pertama, manusia adalah bagian dari alam. Manusia hanyalah merupakan satu diantara spesies organis yang hidup dalam suatu sistem yang saling bergantung. Kedua, hewan-hewan sebagai makhluk alam – yang seperti manusia – juga mempunyai rasa sakit. Seharusnya diakui haknya sebagai suatu kaidah moral manusia.
Jika suatu alam sudah rusak – yang merusak pun manusia – seharusnya mereka yang memiliki keuasaan tidak serta merta malah merusaknya, alam perlu diselamatkan demi anak cucu kita nanti. #JakartaTolakReklamasi
sumber gambar: www.republika.co.id
Langganan:
Postingan (Atom)
Mengenai Saya
- ahmad fauzi
- bekasi, jawa barat, Indonesia
- sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae