Jika saat ini publik sepak bola tanah air membicarakan sebuah klub asal ibu kota Jakarta, tentulah akan sangat miris dan sangat minim prestasi. Persija Jakarta sebuah klub yang memiliki nama besar di masa lalu, beberapa tahun belakangan tampil compang camping dalam menghadapi liga resmi di bawah naungan PSSI maupun turnamen-turnamen yang diselenggarakan oleh pihak lain di tanah air.
Siapa tidak ingat, tim yang berjuluk Macan Kemayoran tersebut sudah sepuluh kali meraih gelar tertinggi dalam persepakbolaan di Indonesia. Gelar yang terakhir kali di raih pada tahun 2001 tersebut, masih tersimpan dalam memori Jakmania. Setelah gelar tersebut, Persija nihil dalam meraih prestasi. Meski di periode awal tahun 2000-an masih tampil impresif dan sempat menjadi klub yang paling besar memiliki peluang juaranya.
Namun semua berbanding terbalik ketika Ferry Paulus datang memimpin Persija Jakarta. Tidak dapat dipungkiri Macan Kemayoran hampir menjadi tim yang tak jauh dari kata kalah. Terlebih lagi pada gelaran Torabika Soccer Championship kali ini. Meski di awal turnamen sempat tampil mengejutkan dengan menahan Persipura Jayapura di kandangnya, anak-anak Macan Kamayoran kerap tampil buruk dalam laga-laga selanjutnya. Penampilan terbaiknya terakhir kali adalah saat menahan Persib Bandung. Sisa-sisanya kerap kali kalah. Meski sedikit ada perubahan ketika Jan Saragih menjadi pelatih sementara setelah Camargo mengundurkan diri, hal tersebut belumlah cukup untuk dijadikan acuan jikalau Persija Jakarta telah bangkit. Yang terpenting adalah pengembangan strategi dari tim kepelatihan dan juga pengembangan bisnis dari pihak manajemen.
Yang selalu menjadi alasan klasik dari pihak manajemen ialah terkendalanya mereka dalam meraih dana segar dari pihak sponsor. Entah menjadi kebiasaan, jika dilihat-lihat penampilan Persija selalu mengejutkan di awal musim. Selanjutnya tampil kurang baik di pertengahan musim, sampai pada akhirnya melempem di akhir musim. Banyak pemain yang lesu dan kurang bergairah. Hal yang terburuknya adalah ketika berakhirnya liga, banyak pemain mengaku tak menerima gaji dari manajemen. Bahkan bisa lebih sampai tiga bulan. Ini sungguh mengejutkan mengingat Persija Jakarta berada di ibu kota tercinta.
Mengingat pada turnamen kali ini semua pertandingan yang ikut serta dalam TSC A disiarkan langsung oleh stasiun tv, setidaknya hal tersebut dapat membantu sebuah klub dalam meraih minat perusahaan untuk ikut menjadi sponsor Persija Jakarta. Tetapi kita juga tidak dapat melupakan, perusahaan-perusahaan yang ada di Jakarta tentulah bukan yang cakupannya hanya masuk ke dalam pasar nasional semata. Perusahaan yang bermain di Jakarta ialah mereka yang sudah mantap memasuki pasar internasional. Rata-rata mereka yang datang ke ibu kota sudah pasti memiliki cabang-cabang di seluruh Indonesia dan juga luar negeri. Inilah yang membuat mereka lebih mementingkan iklan lewat media massa terutama TV ketimbang menjadi sponsor sebuah klub sepak bola.
Berbeda dengan klub-klub lain yang berasal dari luar Jakarta. Di daerah lain, banyak perusahaan lokal yang tumbuh dengan pangsa pasar yang sesuai dengan kondisi perekonomian penduduknya. Mereka tak memiliki cabang-cabang yang menyeluruh di level nasional, sehingga pemasaran dengan mensponsori klub lokal ialah cara yang efesien ketimbang melalui TV dengan biaya yang sangat mahal.
Lihat saja ada banyak bank-bank lokal yang masuk menjadi sponsor utama sebuah klub sepakbola. Ada dua hal yang mesti dilihat, pertama saham klub tersebut masih dikuasai oleh pemerintah daerah setempat. Sebagai pemilik saham mayoritas, mereka merasa memiliki hak untuk memasang logo badan usaha milik daerah pada jersey klub. Yang kedua adalah kondisi penduduk dan sebaran ekonominya. Contohnya adalah rival dari Persija sendiri. Sebaran penduduk Jawa Barat yang begitu banyak dan wilayah yang cukup luas membuat banyak perusahaan ingin menjadi sponsor mereka. Persib yang sangat identik dengan suku Sunda mampu menjadi identitas yang mengikat mereka. Apapun yang terjadi pada klub asal Bandung tersebut akan menjadi perhatian utama bagi para pendukungnya.
Tampaknya dalam tubuh manajemen Persija tidak terlalu serius membangun tim sepak bola yang modern di masa kini. Permasalahan gaji selalu terulang. Minimnya dana dari sponsor membuat tim ini selalu mengalami permasalahan menjelang akhir musim. Pemain menjadi setengah hati dalam membela tim asal ibu kota.
Sebuah manajemen dalam era sepak bola modern harus mengetahui dimana posisi mereka saat ini. Di setiap musimnya mereka harus mengevaluasi kondisi tim. Manajemen dalam masa kepengurusannya harus memiliki target yang dicapai. Mereka juga harus tau apa yang meski dilakukan dalam setiap musimnya untuk memenuhi pembiayaan klub. Jika sudah mengetahui itu semua, mereka akan mengetahui kekuatan dan kelemahan klub tersebut. Bukan malah mengulang kesalahan yang sama.
Misi dan tujuan sebuah manajemen klub juga harus jelas. Baik jangka pendek, menengah ataupun jangka panjangnya. Hal ini akan mudah mengukur kemampuan mereka sendiri. Sudah berada diposisi mana dari target yang ingin mereka capai. Begitupun dengan pembiayaan klub. Persiapan mengarungi kompetisi yang panjang haruslah dipikirkan secara matang-matang. Pembentukan tim bukan hanya menargetkan tim menjadi sebuah pemenang semata, namun juga harus melihat proyeksi pendapatan permusimnya. Dari sponsor, hak siar, maupun penjualan tiket dan merchandise tim.
Jika kelemahan dan kekuatan sudah terlihat dari musim-musim sebelumnya, ini juga akan mempengaruhi strategi dan taktik manajemen dalam menggaet sponsor. Harus ada hubungan yang baik antara klub dan supporter. Karena keduanya sedang memperjuangkan satu nama yang sama dihadapan para pemberi dana tersebut. Hubungan keduanya akan membuat sponsor semakin tertarik dalam bekerja sama. Karena sponsor akan menilai, dengan nama Persija Jakarta apakah produk mereka akan memasuki pasar yang lebih luas dan menguntungkan.
Namun, kerja sama antara manajemen dengan suatu sponsor sebenarnya tidak terlalu mengikat supporter untuk menjadi konsumen ataupun pembeli aktif dari produk perusahaan sponsor tersebut. Alasannya ialah dengan memasang logo perusahaan mereka di jersey kebanggaan Persija Jakarta dan memasang iklan pada papan iklan di pinggir lapangan jika Bepe cs bermain di kandang sendiri secara tidak langsung mereka telah memamerkan produk mereka kepada khalayak luas. Terlebih jika pertandingan tersebut disiarkan secara langsung. Pihak sponsor sudah mendapat keuntungan sangat besar karena logo mereka terpampang selama 90 menit di atas lapangan yang disaksikan jutaan pemirsa televisi.
Yang terpenting dan harus dilakukan ialah pembentukan citra di masyarakat. Dengan melakukan kegiatan-kegiatan sosial, yang mengatasnamakan Persija Jakarta akan membuat tim dan sponsor dekat dengan khalayak. Ini akan memberikan nilai plus kepada seluruh komponen masyarakat. Selain memanfaatkan laga-laga resmi, sebuah tim juga mampu membentuk citra positif dengan melakukan kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Misalnya, dengan memberikan pelatihan khusus kepada anak-anak jalanan ataupun panti sosial lainnya.
Sekiranya ini sedikit peluang yang masih bisa diharapkan untuk membantu keuangan Persija. Kesulitan mendapatkan sponsor harus bisa teratasi. Karena setiap manajemen harus memiliki target-target yang harus dicapai tiap musimnya. Itu menandakan bahwa mereka bekerja serius dan bukan malah mengulangi kesalahan yang sama. Manajemen pun harus terbuka kepada supporter, menjabarkan hal-hal apa yang menyulitkan mereka dalam mencapai hasil maksimal. Supporter berhak tahu keadaan internal dalam tim seperti apa. Bukan malah terus-terusan menyembunyikan masalah dan cuma menjadikan supporter sebagai customer belaka.
Tak layak kiranya menargetkan juara namun selalu terkendala masalah yang sama. Alternatif lain bisa dilakukan jika tim selalu kesulitan dalam hal pemasukan. Pembinaan yang merata di usia dini, perbaikan kualitas liga internal, kepercayaan kepada pemain binaan, hal-hal tersebut akan membentuk tim yang tangguh. Tentu ini akan memakan waktu yang panjang, namun hal tersebut akan menjaga konsistensi bertarung para pemain. Daripada yang terjadi pada belakangan tahun terakhir, cara instan dengan mendatangkan pemain-pemain berbajet mahal tapi selalu bermasalah dalam gaji pemain tentu ini tidak akan mendatangkan apa-apa. Gelar juara akan selalu lepas setiap musimnya. Lebih baik saat ini manajemen konsisten dalam pembinaan pemain, dan memproyeksikan mereka dalam tim utama. Hal tersebut kiranya akan lebih mudah mendatangkan gelar juara.
Keengganan manajemen untuk mengakui bahwa dirinya telah gagal merupakan hal terburuk dari kondisi Persija Jakarta saat ini. Terlebih orang-orang penting yang ikut bermain dalam menentukan siapa yang pantas dan bertanggung jawab menjadi presiden klub Persija seperti hanya duduk manis tanpa mendengarkan kegelisahan dan kekecewaan publik Jakmania.
Tak ada lagi keraguan loyalitas Jakmania terhadap Persija Jakarta. banyak yang rela meluangkan waktunya demi mendukung Bambang Pamungkas cs baik bermain di Jakarta maupun di luar Jakarta. Namun suara-suara kekecewaan dan kegelisahan tersebut nyaris tak digubris oleh mereka yang duduk sebagai pengambil keputusan di internal Persija Jakarta.
Jarak antara manajemen Persija, Pengurus Pusat Jakmania, komunitas Jakmania dan simpatisan-simpatisan Persija lainnya sangat amat renggang. Komunikasi yang terjalin tak terdengar sama sekali. Pengurus Pusat Jakmania selaku pemangku tertinggi organisasi Jakmania sudah saatnya mengambil tindakan. Bukan hanya mendengar kegelisahan Jakmania, tapi sudah harus memasuki audiensi dengan manajemen dan para anggota klub Persija untuk mendengar apa yang terjadi dengan kondisi internal. Sejauh mana mereka bekerja dan sejauh apa yang telah manajemen capai.
Atau hal yang lebih jauhnya, pengurus Jakmania mengajukan sebuah tim untuk melakukan evaluasi bersama, dimana para anggotanya adalah perwakilan dari Pengurus Jakmania, manajemen, anggota internal Persija, dan bahkan bisa saja mengajak perwakilan dari pemerintah provinsi DKI Jakarta. Setidaknya yang harus dilakukan oleh tim tersebut adalah menyiapkan tongkat estafet kepada siapa kepemimpinan akan diberikan. Saya kira Ferry Paulus sudah harus berani membuka kondisi keuangan tim. Beliau juga saya sakin amat sangat dengan sadar bahwa kebesaran Persija Jakarta di tangannya menjadi hilang dan sirna. Ferry Paulus pun yakin Jakmania sudah tidak menginginkan dirinya menjadi presiden klub. Mengganti jabatan presiden klub bukan perkara mudah. Ada beberapa nama yang menginginkan posisi tersebut. Masalahnya mereka yang ingin menjadi presiden tim, kerap kali membatalkan niatnya. Bahkan pihak pemerintah daerah DKI Jakarta yang sempat ingin mengambil alih manajemen Persija mengurungkan kembali niatnya. Sampai akhirnya Macan Kemayoran masih dalam kondisi terburuk sampai pada saat ini.
Hal lain yang harus dilaksanakan adalah revolusi citra yang harus dilakukan oleh para Jakmania. Masih ada sebagian kecil dari mereka yang kerap kali melakukan hal-hal yang merusak nama baik tim kebanggaannya sendiri. Ingat, di Jakarta merupakan kantor-kantor pusat setiap perusahaan yang ada di negeri ini. Mereka menyaksikan langsung apa yang terjadi di luar stadion jika Macan Kemayoran berlaga. Mereka merupakan para pengambil keputusan kepada siapa perusahaan mereka harus dekat dengan sebuah klub. Berbeda dengan daerah lain yang tak pernah terekspos oleh media nasional tentang perilaku supporternya. Sehingga citra yang tersampaikan hanya ada di dalam stadion melalui media TV.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar