Disaat kita sudah lelah melihat tayangan-tayangan televise yang sedikit berbau hiburan semata. Perlawanan terhadap pemerintah sedikit berkurang. Hampir disetiap jamnya stasiun televise kita terlalu sibuk menayangkan acara-acara hiburan yang tidak berisi. Tayangan-tayangan tersebut mampu menyedot perhatian penonton untuk meraih keuntungan semata. Memang tayangan-tayangan hiburan menjadi tontonan yang menarik untuk ditonton. Di pagi hari kita sudah disuguhkan gossip-gosip para pegiat panggung hiburan kita, dari isu artis sinetron sampai pemain band mengisi acara gossip tersebut. Belum lagi acara music yang menghadirkan para remaja kita hadir langsung ke lokasi menyaksikan acara tersebut. Gossip, music, dan lawakan-lawakan hampir setiap jam ada di televise kita. Stasiun televise memang menjadi media yang paling sering diakses oleh khalayak.
Hampir 60 juta penduduk kita menjadi penikmat televise. Memang acara-acara seperti di atas tadi mampu menjadi tontonan pemirsa televise kita. Mampu membuat kita sedikit melupakan ketidak adilan pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Mampu membuat kita terlena dengan dunia walau diluar sana penindasan terhadap kita terjadi. Lalu dimana nilai media televise sebagai pemberi control terhadap pemerintah. Mungkin memang sengaja televise kita dibuat seperti itu oleh para pemegang kekuasaan agar kita terlena dengan mimpi-mimpi yang diberikan melalui kisah sinetron. Control terhadap pemerintah pun berkurang, tuntutan masyarakat pun untuk dilakukannya perbaikan ekonomi berkurang, keadilan yang berimbang, hokum yang sama, dan pendidikan yang murah sedikit terlupakan oleh kita karena terlalu terlena dengan tayangan televise kita yang tidak memberikan hiburan. Penguasa pun aman duduk sambil menginjak kepala rakyatnya ketika itu semua sudah terlupakan.
Lalu dimana media sebagai pilar demokrasi yang terus mengontrol penguasa ketika stasiun televise kita sudah dimonopoli oleh orang-orang yang bergabung bersama penguasa untuk menipu kita? Akankah selamanya seperti ini? Mayoritas penduduk kita adalah penduduk miskin yang menjadikan televise sebagai media pemberi informasi bagi kehidupan mereka. Nyatanya stasiun televise kita sudah menjadi terlalu buruk untuk kita jadikan media informasi.
Lalu setelah televise kita mati untuk mengawal demokrasi lantas kita memberikan harapan kepada media cetak sebaga pelaku control demokrasi? Ada sedikit harapan yang diberikan oleh media cetak untuk terus mengontrol pemerintahan kita. Jika kita perhatikan setiap harinya media cetak khusunya Koran memberikan berita-berita hangat yang berkaitan dengan pemerintahan. Namun terkadang di media cetak masih terlalu keras sensor yang diberikan pemilik media terhadap isi pemberitaan. Masih ada main aman yang dilakukan pemilik media terhadap pemberitaan yang diberitakan oleh medianya apabila terlalu keras mengkritik pemerintahan. Ini sedikit mengurangi peran media cetak untuk terus mengontrol pemerintahan. Lagi pula jika dilihat dari sisi konsumen, media cetak tidak begitu familiar bagi rakyat menengah kebawah rakyat Indonesia. Budaya baca penduduk kita tidak lebih dari 40 juta orang, masih dibawah penonton televise kita. Kurangnya minat membaca penduduk kita menjadi kelemahan media cetak sebagai penjaga demokrasi di Negara kita tercinta ini. Tentunya kita sangat butuh media yang menjadi pengawas bagi berjalannya demokrasi di negeri kita. Jangan sampai rakyat benar-benar melupakan atau acuh terhadap perkembangan yang terjadi di negeri kta ini.
New Media
Internet tumbuh drastic di Indonesia ini. Penggunanya pada tahun 2000 hanya berjumlah 2 juta orang. Seiring majunya perkembangan teknologi, lebih-lebih sekarang dengan menggunakan hand phone saja kita bisa mengakses internet maka jumlah pengguna pada tahun 2009 sudah berkisar pada 30 juta orang. Penduduk kita sudah menjadi pengguna terbesar internet di penjuru dunia. Tentunya kita sebagai yang peduli terhadap perkembangan demokrasi memanfaatkan ini sebagai alat baru untuk terus mengontrol pemerintahan. Jumlah yang akan terus bertambah tentunya akan memudahkan kita untuk terus mengajak pengguna internet agar tetap peduli mengontrol pemerintahan kita.
Mengutip dari bahan kuliah yang diberikan oleh Gun-gun Heryanto pada kuliah Sosiologi Komunikasi Massa, Jurgen Habermas menjelaskan tentang public sphere. Ia melihat ini sebagai perkembangan wilayah social yang bebas dari sensor dan dominasi. Maksudnya, yakni semua wilayah yang memungkinkan kehidupan social kita untuk membentuk opini public yang relative bebas.
Apa yang dimaksud oleh Habermas melalui public sphere nya mengajak kepada kita untuk menggunakan internet ini sebagai media untuk mengontrol terhadap pemerintah. Apalagi internet merupakan media yang terbilang masih bebas dan terhindar dari dominasi. Menuliskan apa yang menjadi perhatian public terhadap isu umum dan pemerintahan kedalam sebuah media yang baru ini membuat control terhadap pemerintah yang kita berikan semakin ketat. Di saat matinya stasiun televise kita dan di saat media cetak kita bukan menjadi media yang digemari oleh public, mari kita jadikan internet ini sebagai alat untuk terus mengawasi pemerintahan. Internet jangan hanya digunakan sebagai alat kenarsisan bagi remaja, internet jangan hanya dijadikan mesin pencari data, dan internet juga jangan dijadikan sebagai media mencari kesenangan, tetapi jadikanlah internet sebagai media pengawasan terlebih sebagai media perubahan. Ini memiliki potensi yang cukup besar jika dilihat dari terus bertambahnya pengguna internet di setiap tahunnya.
Melihat dari apa yang terjadi di Tunisia, ketika internet umumnya social media menjadi alat perjuangan, dan alat peruntuhan dominasi presiden Ben Ali kita harus menirunya. Bukan berarti kita juga harus seperti warga Tunisia yang menjadikan internet sebagai media revolusi, tetapi setidaknya melalui internet ini kita menumbuhkan dan meningkatkan pengawasan terhadap pemerintahan yang sudah agak sedikit melemah di negeri kita tercinta ini.
Gerakan-gerakan perlawanan di social media di tanah air setidaknya telah melahirkan sebuah gerakan positif. Masih ingat kasus “cicak vs buaya”, “koin untuk prita”, ini salah satu gerakan yang diawali melalui social media.
Tugasnya sekarang adalah menyadarkan pengguna internet yang lain agar menjadikan kekuatan baru ini sebagai media yang terus mengawasi pemerintahan. Jangan hanya digunakan untuk mencari kesenangan dan menghilangkan bosen saja, jadikanlah internet khusunya social media sebagai media yang mampu menjadi penjaga demokrasi nomor satu di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar