Jalan telah ramai oleh kendaraan. Motor dan mobil sudah lalu lalang. Padahal baru pukul 05:00 pagi saat ini. Namun sudah banyak para pejuang hidup sudah mulai melakukan kegiatan. Menuju kantornya, sekolahnya, dan kampusnya. Ayam-ayam masih saja sibuk berkukuruyuk, burung-burung baru saja terbangun, membunyikan kicauannya. Pagi datang dengan penuh kepastian.
Hari ini ku awali dengan shalat subuh berjamaah di masjid dekat rumah ku. Lalu ku mandi dan bersiap menuju kampusku tercinta. Secangkir teh hangat menanti ku. Ku hirup aromanya, mampu membangunkan jiwa yang masih agak sepi. Ku buka pesan dalam telepon genggamku, ada satu pesan masuk dari setadi subuh. Dan aku belum sempat membukanya. Pesan itu datang dari orang yang teramat istimewa, mencoba mengingatkan ku untuk bangun agar segera meluncur ke kampus. Ahhh ada-ada saja gumamku. Pesan yang telat datangnya, karena aku telah siap untuk bergegas menuju kostan nya. Sengaja memang ku tidak sarapan, sudah seperti biasanya, dia menyiapkan sarapan untuk ku di kostannya. Sederhana, namun istimewa. Roti panggang. Ya, itulah caranya menyapa ku di kostannya.
Ku tancap motor ku. Melewati kejamnya jalanan TB Simatupang yang macet menyambut ketika mentari sudah mulai menampakkan sinarnya. Macet dimana-mana, disekitar wilayah Jabodetabek. Apalagi kalau pagi hari. Sudah menjadi pandangan umum bagi kami warga Jakarta.
Aku sangat mencintainya, sedari awal perkuliahahnku. Dia sederhana, namun istimewa, dalam bersikap dan mencintaiku. Gadis pemalu, gemar menulis, dan mencintaiku. Tak ada yang patut lagi untuk diragukan dalam cintanya untukku.
Di siang itu, aku sengaja bertemu dengannya. Di saat hari libur. Ku buat alasan kepadanya untuk mencari buku bersama ke perpustakaan umum UIN. Tak sulit untuk mengajaknya. Karena sebelumnya kami telah akrab walaupun hanya berkata lewat SMS. Ini cara kami memulai lembaran manis. Tak ada jarak diantara kita. Mungkin memang sudah merasa sama dalam tujuan kedepannya dalam membina hubungan. Aku mencintainya, dan dia menantiku untuk mengucapkannya di hadapannya, lalu menerima aku untuk menjadi kekasihnya. Hidup yang cukup sederhana numun sulit untuk dikatakan.
“Rafa, Rara, Nia” ucap dosen Civic Education dalam menyebutkan nama anggota kelompok ke tiga. Ahhh dalam hati aku sangat menikmati sekali kelompok ini kedepannya. Ya, Tuhan membuka jalan untukku dalam mendekati orang yang paling ku cinta di kampus baru ku.
“sunyi ini merdu seketika… sunyi ini merdu seketika,.. sunyi ini merdu seekeetiikaa” nyanyiku dalam hati. Lagu payung teduh yang berjudul di ujung malam ini langsung berkumandang dalam hati ku yang ceria.
Rara dia adalah wanita yang selalu membuat ku semangat ke kampus. Hari itu kita dipertemukan dalam satu kelompok. Ya, anak Adam mana yang tak senang didekatkan dengan wanita pujaan hatinya. Jadilah hari itu aku dan Rara mulai mengenal lebih dekat.
Sampai di saat itu, disaat ku mengajaknya ke perpustakaan untuk mencari buku bacaan bareng. Aku telah menyiapkan segalanya termasuk mental untuk mengatakan cinta kepdanya. Dan dia, ahh sudah seperti mengetahui rencana ku hari itu. Dia tampil cukup anggun. Sebenarnya tak ada yang begitu mencolok dari penampilannya hari itu. Sederhana, ya, dia selalu sederhana namun begitu istimewa di mataku.
“aku ingin mengatakan padamu sesuatu yang sangat penting, namun ini akan diungkapkan pada desktop dalam laptop ku. Ku harap kau memaklumi caraku yang sederhana ini” ucapku. “memang kamu mau ungkapin apa, kamu mau ungkapkan sayang ke aku. Tanpa kamu ungkapkan pun aku sudah tahu itu” katanya. Ahhh siallll, mukaku langsung memerah. Tak sanggup lagi untuk menahan senyum. Ku matikan saja laptop. Dan dengan mudahnya aku katakan kepadanya “aku cinta kamu, maukah kau menjadi kekasihku”. “aku tak butuh itu, aku butuh kamu selamanya, butuh kasihmu selamanya semenjak detik ini” ungkapknya. Betapa senangnya aku mendengar itu. Lalu ku pegang saja jemarinya, dan dia pun menolaknya. Malu, namun begitu manis.
Dihari itu aku menghabiskan waktu berdua dengannya. Di malam haripun aku menemaninya di teras kostannya. Dan dia mulai berkata, “apa yang bisa ku sajikan untuk pertama kalinya untuk pria di masa depanku ini”. “kopi, ya kopi hitam, jangan terlalu manis, karena aku ingin menikmati lebih banyak lagi senyum manis yang kamu berikan untukku” ucapku. Bergegaslah dia ke dapur kostannya, membuatkan kopi yang begitu nikmat untukku. Yang terus dapat ku nikmati sepanjang hidupku.
Semenjak itu, sampai hari ini, setangkup rindu selalu ku bawa setiap harinya dari rumah menuju kostannya. Aku di malam yang sepi, dia di malam yang sunyi. Senyum malam, senyum siang. Senyumnya selalu untukku. Tak ada duka. Semesta merestui langkah kami. Namun banyak yang mati. Banyak yang terluka. Termasuk malam, melihat kemesraan kami. Membuka malam, dan menutupnya dengan kata-kata indah dari ucapan kami berdua. Ada yang sedih, melihatku begitu menikmati segelas kopi yang selalu dihidangkannya. Dedaunan selalu pada gugur dari batangnya, merana tak sanggup melihat kemesraan kami walau setiap hari disiram oleh sang majikan. Hari ini, malam ini angin berhembus kencang. Menyapa kerinduan kepada kami. Sampai kami harus berpisah pada ketentuan alam. Bu kost memisahkan kami di malam hari. Setelah aku pulang, mulailah di rindu kepadaku. Itu yang selalu ia ucapkan untukku ketika aku pulang. Kembali, maka aku akan selalu kembali dalam senyumannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar