Pada tahun 1995 kita dicengangkan oleh rencana pemerintah dengan membuka satu juta lahan gambut di Kalimantan Tengah. Lahan ini ingin dijadikan oleh Soeharto presiden pada saat itu menjadi lahan padi. Kepanikan melanda beliau waktu itu. Impor 2 juta ton beras memaksanya berbuat seperti itu, setelah pada decade 80 an pemerintah berhasil swasembada beras.
Impian itu kini hanya menjadi isapan jempol belaka. Lahan yang diimpikan menjadi kuningnya padi kini malah berdampak buruk bagi kelangsungan penduduk asli sana. Kering, tak bisa lagi ditanami oleh tanaman lain. Proyek yang ambisius dan gagal. Pukulan telak bagi manusia. Yang mencobe menseragamkan alam.
Hutan gambut ditanah air mencapai 20 juta hektar. Kini sekitar 6 juta hektar telah dikonversi. Dan sisanya diancam berubah menjadi perkebunan. Hutan gambut menyimpan sekitar 42 milyar ton karbon, dan jika cadangan karbon ini terlepas ke atmosfer maka akan mempercepat pemanasan bumi.
Dan proyek 1 juta hektar itu kini hanya menjadi bekas yang menyakitkan bagi penduduk asli sana. Mereka kehilangan pendapatan aslinya dari hutan gambut, dan bekasnya pun yang kini ditelantarkan begitu saja oleh pemerintah akan sangat mudah terbakar jika musim kemarau panjang. Dampak yang sangat tidak dipikirkan oleh pemerintah kala itu. Dampak yang membuat penduduk asli sana terus menderita sepanjang hidupnya.
Alam yang coba diseragamkan oleh manusia modern mengsampingkan kehendak alam. Alam dicoba diseragamkan oleh manusia rakus hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Tingkat keasaman yang dimiliki oleh lahan gambut sangat tinggi, tidak cocok untuk ditanami tumbuhan pangan seperti padi. Kabanyakan jenis tumbuhan tidak bisa hidup dengan PH 2,7 seperti yang ada di hutan-hutan gambut tersebut. Alam yang coba diseragamkan, jelas hal yang sangat bodoh. Manusia tamak, sok bisa menguasai alam semaunya sendiri. Mengabaikan hukum alam.
Kini kegagalan proyek tersebut tak menjadi pelajaran bagi pemerintahan sekarang. Di Merauke kini sedang dicanangkan proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Proyek ini akan mengubah 1,6 juta hektar hutan dan rawa-rawa papua menjadi kebun dan pabrik. Pelajran pahit kini tak menjadi obat bagi pemerintah yang lalim terhadap kehendak rakyatnya. Kepanikan akan sumber pangan yang kian menipis membuat pemerintah mencanagkan proyek ini. Maka untuk menanggulangi masalah ini lahan harus segera dicari. Namun kenapa harus di alam yang bukan menjadi tempatnya. Lagi pula, Merauke merupakan tampat yang jauh dari para konsumen pangan yang menggunakan produk tersebut. Lagipula, penduduk asli sana telah berabad-abad menghuni dan menjaga alam sana. Dengan cara mereka sendiri. Kini alam akan diseragamkan kembali.
Selain itu pemerintah juga mengabaikan punahnya suku Amungme dan Kamoro akibat eksploitasi habis-habisan alam nya menjadi Freeport. Mereka tak menerima untung sama sekali. Alamnya dirusak. Ketidak mampuan mengelola alam dengan cara yang baru, membuat mereka terbelakang. Alam yang sebelumnya menjadi tempat mereka mencari makan kini telah berubah. Tak ada lagi berkah alam yang dapat di konsumsi mereka. Air menjadi tak layak minum akaibat limbah yang berbahaya. Kepunahan dua suku asli ini tidak membuat pemerintah surut untuk terus mengeruk alam yang hanya menguntungkan pemodal dan tentunya dompet mereka pribadi. Penduduk asli diabaikan. Konversi ala mini pun selalu menimbulkan konflik. Setelah alam mereka habis dikeruk, maka ditingggalkan begitu saja. Alam yang tadinya menjadi harapan mereka hidup berabad-abad kini hanya tinggal kenangan.
Pemerintah yang terus mengabaikan alam.
(Ditulis dari Novel Sarongge, yang bercerita tentang alam di Indonesia dan saya menangkap pesan dari novel ini. Jaga Alam Kita. Lawan mereka yang melawan kehendak alam bersama orang yang paling lemah sekalipun.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar