Senin, 08 Juli 2013

Islam dalam Lingkaran Kapitalis

Ramadhan telah kembali menghampiri kita. Salah satu bulan yang dianggap istimewa oleh umat Islam. Limpahan pahala yang cukup besar bagi siapapun yang melakukan ibadah di bulan ini. Orang-orang yang beriman pasti bergembira dapat berjumpa lagi dengan bulan ini. Suasana pun akan sedikit berubah baik di malam hari maupun di siang hari. Warung-warung makanan yang biasanya buka sejak siang hari kini harus menundanya demi menghormati orang-orang yang berpuasa dan warung remang-remang pun dipaksa tutup satu bulan penuh.

Begitupun dengan apa yang kita tonton di layar televisi. Akan banyak sekali perubahan dari segi isi maupun iklannya. Kini iklan-iklan yang menghiasi layar televisi kita banyak yang berkaitan dengan kebutuhan kita selama bulan ramadhan. Iklan-iklan kini dikemas lebih khusus berbeda dengan bulan-bulan biasanya, kini iklan ada unsur Islamnya. Inilah sebagian yang terjadi di layar tv kita.

Begitupun dengan tayangan sinetron, talkshow, film televise, acara komedi, acara musik dan acara-acara lainnya semua dikemas dengan nuansa islami. Lebih kurang 40 hari ke depan layar televise kita akan seragam. Islami dan tampak religi sekali. Pertanyaannya adalah apakah ini sebuah apresiasi terhadap islam atau ini hanya sebagai eksplotasi industry televise dalam mencari keuntungan sebanyak-banyaknya? Atau lebih dalam, apakah acara-acara tersebut dapat meningkatkan kualitas keimanan umat islam atau hanya sekedar dianggap sebagai sebuah hiburan semata?

Dalam menjawab pertanyaan di atas, mari kita bahas melalui pisau postmodern yang manganggap era kini adalah eranya kapitalisme lanjutan di mana televise menjadi salah satu alat propaganda terbesarnya.

Dalam era kapitalisme lanjut tidak ada lagi nilai guna dan nilai tukar, kini adalah eranya nilai tanda. Di mana tanda dan symbol menjadi komoditas utama dalam era kapitalis lanjut.komoditas yang diperjualbelikan karena makna yang ada di dalamnya, bukan karena manfaat atau kegunaannya. Aktifitas konsum bukan hanya didasarkan pada kebutuhan, namun lebih kepada alasan simbolis: kehormatan, status, dan pretise.

Televise adalah ruang praksis tempat melenurnya segala tanda, citra, impian dan kenyataan. Dalam televise realitas dijadikan komoditas, ruang dan waktu dilipat dalam satu dimensi (kekinian). Dalam arus kapitalisme lanjut yang dikejar adalah prinsip kemajuan, kebaruan, percepatan, dan perbedaan, segala sesuatu didaulat sebagai komoditas. Namun komoditas disini tidaklah semata barang dagangan. Komoditas dalam masyarakat konsumen adalah juga representasi citra diri konsumen. Idnetitas, gaya hidup, prestise, impian, semua menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah komoditas.

Dalam ramadhan ini televise menjadikan yang tidak nyata tampak lebih nyata dari kenyataan sesungguhnya. Keberagamaaan dalam islam didaur ulang menjadi sebuah tontonan yang membuat umat islam menjadi bisu. Televise menembus batas-batas sacral, ustadz-ustadz menyatu bersama para comedian dan artis-artis dalam menampakan sebuah kepalsuan. Mereka dijadikan bahan dagangan melebihi kenyataan yang sesungguhnya. Ustadz tak tampak lagi menjadi panutan, mereka dijadikan sebatas boneka yang bisa kita bercandain dalam tausyiahnya. Ini menjadikan yang tak nyata tampak lebih nyata dari sebuah kenyataan yang ada.

Umat islam dijadikan masyarakat tontonan dalam ramadhan ini oleh para pelaku industry televise. Dengan mengedepankan penampakan kini umat islam tidak lagi memiliki kedalaman. Umat islam dibius menjadi tak berdaya.
Dalam era kapitalis lanjut masyarakat tontonan ialah masyarakat yang kehidupannya secara terus menerur di terpa oleh tontonan, dan menjadikannya rujukan nilai dan tujuan hidup. Tontonan adalah juga komoditas, namun dalam bentuknya yang lebih sublime dan abstrak. Dengan tontonan, komoditas ditampilkan dengan lebih halus dan menyenangkan. Era kini ialah era yang identik dengan mengedepankan penampakan. Dalam masyarakat yang mengedepankan penampakan ketimbang kedalaman maka segala sesuatu ditampilkan dengan citra-citra (tanda-tanda) yang nampak lebih real dibanding realitas sebenarnya.

Televise dalam ramadhan ialah lebih mengedepankan kepalsuan ketimbang kenyataan. Tidak ada kedalaman makna dari apa yang mereka tayangkan. Televise lebih mengedepankan penampakan sebagai sebuah komoditas untuk meraih keuntungan ketimbang kedalaman makna dari sebuah nilai ajaran agama islam. Campur aduk, daur ulang, reproduksi, kenyataan menjadi lebih nyata dari yang aslinya. Inilah televise, yang menjadikan islam sebagai sebuah eksploitasi untuk meraih keuntungan ketimbang sebuah apresiasi. Berhati-hatilah dalam melihat tayangan televise karena di sana penuh dengan kepalsuan.

Wasssalam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae