Kini bangsa kita sedang sedikit sakit. Perubahan yang begitu drastis dari para pemilih kita dalam setiap pelaksanaan pilkada dan pilgub. Angka golput kini sedang sangat meningkat. Hampir di setiap pemilihan, angka golput masih lebih besar ketimbang angka yang diraih oleh pemenang pemilu tersebut. Pemilih sedang dilanda kejenuhan. Praktik korupsi yang terus-terusan dilakukan oleh para pelaku politik baik ditingkat pusat maupun daerah menjadi salah satu penyebabnya. Belum lagi betapa bobroknya partai yang mengaku sebagai partai islam dan mewakili umat islam di Indonesia. Mereka tak lebih dari para politikus pada umumnya. Pandai janji, banyak omong kosong, koruptor bahkan ada yang sampai tukan selingkuh. Ini sungguh-sungguh menyedihkan.
Kini alternative dari semakin terpuruknya demokrasi sedang didengungkan oleh beberapa kelompok ormas islam di Indonesia. Sebagai umat beragama terbesar di Indonesia kelompok tersebut sedang memperjuangkan mendirikan khilafah islamiyah di negeri ini. Dengan menjadikan syariah islam sebagai dasar hukumnya mereka ingin menjadikan Indonesia sebagai Negara dengan hukum islam menggantikan hukum yang telah lama berdiri di sini. Perjuangan mereka sudah hampir setiap hari kita dengar. Baik di lingkungan kampus maupun social.
Yang menjadi pertanyaan apakah syariah islam mampu menjadi solusi di negeri ini. Sebelum lebih jauh membahas itu mari kita lebih mendalam mengenal syariah islam. Menurut Abdullahi Ahmed An-Na’im syariah akan terus memainkan peran penting dalam membentuk dan mengembangkan norma-norma dan nilai-nilai etika yang dapat direfleksikan dalam perundang-undangan dan kebijakan publik melalui proses politik yang demokrastis. Namun, prinsip-prinsip atau aturan-aturan syariah tidak dapat diberlakukan dan diterapkan secara formal oleh Negara sebagai hukum dan kebijakan publik hanya karena alasan bahwa prinsip-prinsip dan aturan-aturan itu merupakan bagian dari syariah. Apabila pemberlakuak syariah itu diusahakan, hal itu merupakan kehendak politik Negara dan bukan hukum islam.
Sungguh berbahaya jika syariah islam mau dikehendaki. Ini akan mengganggu kepribadian umat islam itu sendiri. Bagaimanapun, umat islam baik mayoritas maupun minoritas dalam menjalankan syariah islam harus berangkat dari tuntutan kewajiban beragama bukan karena adanya tuntutan dari pemerintah/pemimpin. Hal ini akan terwujud apabila pemerintah/pemimpin bersikap netral terhadap semua doktrin/mahdzab keagamaan dan tidak memksakan mereka untuk melaksanakan perintah agama sesuai dengan kehendak pemerintah/pemimpin. Baiknya pemerintah tidak menggunakan kekuasaan Negara untuk memaksakan pemahaman mereka tentang syariah kepada masyarakat secara keseluruhan, baik muslim maupun non muslim.
Selain itu yang perlu kita ajukan sebagai perntanyaan adalah, bagaimana syariah islam yang diajukan oleh kelmpok tersebut untuk berdiri di Indonesia mengingat kompleksitas dalam syaraih islam itu sendiri. Kita mengenal madzhab syafii, maliki, hambali dan hanafi yang saling berbeda dalam menjalankan syariah islam itu sendiri. Belum lagi perbedaan yang mencolok antara sunni dan syiah. Apakah Negara nantinya akan mampu bersikap netral terhadap kompleksitas perbedaan tersebut? Atau Negara nantinya akan memaksakan satu madhzab saja kepada rakyat dan harus melepaskan keyakinan mereka yang telah mendarah daging. Jika memang harus memaksakan satu madzhab saja berarti syariah islam itu senditi telah melanggar satu prinsip islam yakni agar tidak memaksa orang lain dalam menjalankan keyakinannya. Mengingat di Indonesia ada dua kutub besar yang berbeda diantara umat islamnya, yakni golongan Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah. Yang diantara mereka saling berbeda dalam merepresentasikan ke islamannya. Belum lagi di sini ada kelompok syiah yang baru berkembang, namun mendapatkan perlakuan yang tidak sehat dari kelompok lainnya. Apakah syariah yang diajukan mampu bersikap netral nantinya terhadap perbedaan ini.
Lalu apa yang perlu kita ajukan untuk memperbaiki negeri ini, mengingat kita sebagai muslim menjadi umat terbesar di Indonesia ini.
Berangkat dari pemikiran Imam Khomeini sumber dari setiap pendekatan politik adalah akhlak. Pada dasarnya, tanpa akhlak, politik tidak mampu menuntun manusia dan menjamin kepentingan sejati mereka. Politik adalah perluasan etika, sedangkan etika adalah fondasi politik.
Imam Khomeini juga berpendapat bahwa persoalan dunia kontemporer adalah persoalan moral dan jika tidak diselesaikan, dunia akan bergerak lebih buruk menuju kehancuran. “hal-hal yang mengancam dunia bukanlah senjata-senjata, bayonet-bayonet, misil-misil dan sebagainya. Tetapi yang mengakibatkan umat manusia dan negeri-negeri binasa dan mengalami dekadensi, seperti adanya penyelewengan tugas dan korupsi oleh para pemimpin pemerintahan berikut pejabat pemerintahnya. Penyelewengan yang terjadi disebabkan oleh dekadensi moral.
Inti dari ajaran akhlak adalah kebenaran dan hak, tuntutan akhlak atau etika adalah kita meski berbicara jujur meskipun itu melawan dan merugikan “kepentingan” kita, tidak melakukan kezaliman, tidak memperalat masyarakat demi kepentingan kita, selalu menjadi pembela keadilan, tidak berbohong, pantang malakukan penipuan, tidak menyembunyikan kebenaran, dan seterusnya.
Akhlak juga merupakan kepemilikan jiwa seseorang atas sifat buruk dan sifat baik yang dari kepemilikan sifat tersebut memunculkan perbuatan secara mudah tanpa orang tersebut merasa terbebani. Ini berkaitan dengan sifat ilmu yang non materi. Atas sifatnya tersebutlah maka letak ilmu terdapat dalam jiwa. Maka agar ilmu tersebut benar-benar mencapai hakikatnya sebagai cahaya kita harus terlebih dahulu menyiapkan akhlak.
Jadi kerusakan moral, korupsi yang merajarela, hukum yang memihak itu semua bukan di sebabkan oleh faktor demokrasi semata, melainkan karena akhlak yang dimiliki oleh para pejabat kita sudah sangat rendah. Yang kita harus persiapkan kedepannya adalah bagaiman generasi mendatang memiliki akhlak yang benar sesuai dengan tuntutan hukum. Bukan malah mengganti sistem demokrasi kita dengan sistem khilafah. Khilafah adalah seperti mimpi di siang bolong yang tak akan menjadi kenyataan. Tak akan mungkin khilafah akan berdiri, selain sulit ini juga malah akan menimbulkan permasalahan baru bagi umat islam di Indonesia itu sendiri.
Agama dan politik kaitannya hanya sebatas pada titik akhlak bukan sampai pada titik kita harus mendirikan Negara islam. Ini yang perlu kita jaga.
Sebagai pengingat demokrasi merupakan bukan sesuatu yang sangat menyimpang dari nilai islam. Beberapa intelektual muslim merumuskan titik temu antara islam dan demokrasi melalui pencarian kolektif prinsip-prinsip tentang pengaturan kehidupan. Islam memiliki kesesuaian dengan demokrasi karena adanya koherensi nilai yang ada didalamnya, seperti prinsip persamaan (al musawah), kebebasan (al hurriyah), pertanggung jawaban publik (al ma’uliyyah) dan kedaulatan rakyat atau musyawarah (syura).
Intinya ialah khilafah islamiyah tak sebaiknya kita terus-teruskan perjuangkan. Karena ini sendiri akan mengganggu pertumbuhan keberagaman dan demokrasi kita sendiri.
Wasssalam…
khilafah islamiyah akan menjadi naungan yang paling indah bagi seluruh umat islam yang ada di dunia. karena ia memakai hukum syariat islam dan dengan tatanan politik islam. http://transparan.id
BalasHapus