Kita telah melewati masa suram selama lebih dari 32 tahun yakni ketika bangsa ini dipimpin oleh Presiden Suharto. Masa suram ini kita lihat dari tidak adanya ruang bebas yang diberikan kepada masyarakat. Masyarakat dan media semua diawasi dengan begitu ketatnya. Sehingga tak mampu memberikan kontrol yang kuat terhadap pemerintahan masa itu.
Kini semenjak tahun 1998 bangsa kita telah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Terbukanya sistem pemerintahan, kebebesan pers, dan mulai banyaknya berumbuhan partai politik sebagai tanda bahwa bangsa ini telah bengkit dari tidur panjangnya yang kelam. Sistem pemilihan umumnya pun kini telah berubah, presiden dan wakil presiden, anggota legislatif kini semua dipilih langsung oleh rakyat. Keterbukaan informasi pun sudah sangat drastis perubahannya. Media dan masyarakat mampu turun langsung untuk melakukan kritik terhadap para penguasa jika memang terdapat sebuah kebijakan yang tak sesuai dengan kepentingan masyarakat luas.
Partai politik tumbuh bagai bunga di musim hujan. Kini setelah pemilihan presiden, wakil presiden, dan anggota legislative secara langsung keterbukaan untuk mendirikan partai sangat mudah. Peraturan terkahir dalam membuat partai politik ialah mememnuhi 100 % kantor cabang di seluruh provinsi dan 75 % di kabupaten atau kota dari provinsi-provinsi tersebut. Untuk pemilu 2014 nanti hanya ada 12 partai politik yang lolos untuk bertarung memperbutkan suara rakyat.
Kini bagaimana kita melihat perkembangan demokrasi dari sisi islam.
Menurut index of political right and civil liberty yang dikeluarkan oleh Freedom House, sepanjang tiga decade terakhir, Negara-negara muslim pada umumnya gagal membangun politik yang demokratis.
Kaum muslim kayaknya enggan belajar dari sistem politik lain, dengan melihat kelebihan dan kekurangan demokrasi. Menurut Huntington bila orang islam berusaha mengenalkan demokrasi ke dalam masyarakat mereka, usaha itu cenderung akan gagal karena islam, yang sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka, tidak mendukung demokrasi. Huntington berpendapat bahwa kegagalan demokrasi di Negara-negara muslim antara lain disebabkan oleh watak budaya masyarakat islam yang tidak ramah terhadap konsep-konsep liberalisme barat.
Selain itu yang menjadi permasalah lain dalam buruknya perkembangan demokrasi dan islam adalah tidak adanya rasa kesadaran yang tinggi tentang kebebasan, toleransi dan juga kesetaraan dalam kehidupan ber masyarakat. Ini adalah konsep utama dalam demokrasi dalam menciptakan ruang publik yang kondusif bagi masyarakat. Tidak adanya rasa tersebut maka akan membawa demokrasi itu sendiri kepada suara-suara mayoritas.
Selain itu tidak adanya konsep citizenship dalam kehidupan umat islam juga akan membawa dampak buruk dalam menciptakan kehidupan yang demokrasi yang modern. Acuhnya masyarakat islam berpartisipasi dalam urusan publik sendiri akan mengurangi hak-hak sipil dan politik warga Negara untuk berpartisipasi di ruang publik. Implikasi lebih jaunhya adalah warga Negara akan terus tertekan oleh kediktatoran rezim pemerintahan. inilah yang sering terjadi dewasa ini di kalangan bangsa Timur Tengah karena tidak adanya kelompok penekan dalam masyarakat untuk mengonttrol pemerintahan.
Dari hal tersebut maka dibutuhkan sebuah penguatan dalam masyarakat islam sendiri untuk menciptakan konsep citizenship yang kuat guna menghindari tekanan yang lebih kuat kepada warga Negara dari pihak pemerintah yang otoriter. Penguatan ini kea rah pembentukan masyarakat politik yang demokratis – pastisipatoris – reflektif dan dewasa yang mampu jadi penyeimbang dan menjadi control atas kecenderungan eksesif Negara. Karena dalam demokrasi warga Negara memiliki posisinya sebagai pemilik kedaulatan dan haknya untuk mengontrol kekuasaan yang mengatasnamakan rakyat itu.
Dalam Indonesia sendiri, konsep citizenship sudah cukup kuat untuk melakukan control terhadap pemerintahan. Yang menjadi kelemahan bagi masyarakat islam kita adalah hanya menganggap demokrasi sebagai sebuah konsep procedural. Setidaknya mereka menjalankan demokrasi hanya untuk proses pemilihan pemimpin saja lalu mereka masih menjalankan agenda-agenda islam secara eksklusif untuk kehidupan publik. Titik lemah ini terus menggerogoti proses pendewasaan demokrasi di Indonesia khususnya bagi masyarakat islam itu sendiri.
Proses islamisasi sendiri dalam tingkat massa yang lebih luas pasca runtuhnya orde baru melalui masuknya proses tersebut ke dalam ruang publik yang plural dan netral membuat masyarakat Indonesia semakin gamang. Setidaknya hal tersebut malah memaksakan satu nilai kebenaran saja yang dimunculkan kedalam ruang publik yang netral dan plural menjadi sedikit terusik. Proses santrinisasi ini membuat runtuhnya nilai demokrasi yang mengedepankan kebebasan dan juga menjamin hak individu untuk menjalankan kehidupannya masing-masing berdasarkan pilihannya masing-masing. Islamisasi melalui ruang publik ini membuat dampak yang lebih parah. Pemerintahan yang seharusnya menjadi entitas sipil yang mampu mengontrol dan melindungi hak individu masyarakatnya atas satu nilai kebenaran saja sedikit mengalami kemunduran. Pemerintah gagal melindungi warga negaranya dari dominasi satu kelompok masyarakat mayoritas saja. Islamisasi ini merusak tatanan demokrasi.
Masyarakat islam Indonesia sendiri sering diistilahkan sebgai “democrat islamis.” Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa mereka menjalankan demokrasi hanya sebatas untuk menentukan pemimpin semata, namun setelahnya adalah menjalankan agenda-agenda islam secara eksklusif untuk kehidupan publik.
Model penguatan yang dibutuhkan untuk menjaga demokrasi bagi umat islam Indonesia adalah dengan cara mengajak mereka menjadi seorang democrat yang sesungguhnya. Seperti apa yang dituliskan oleh Burhanuddin Muhtadi dalam pengantar untuk buku Civil Religion yang dituliskan oleh Jeffrie Geovanie. Burhanuddin menuliskan bahwasanya seorang democrat adalah individu atau sekelompok orang yang bukan saja menilai sebagai sistem terbaik dan bersifat procedural, tapi juga yang berkaitan dengan kebebasan sipil seperti pernghargaan terhadap kebebasan individu, toleran terhadap perbedaan, kesamaan hak dihadapan hukum dan lain-lain. Di samping itu, seorang democrat adalah supporter utama kehidupan publik yang diatur atas norma-norma universal, bukan norma-norma dari suatu agama tertentu. Sebab, bila norma-norma dari suatu agama tertentu yang menjadi dasar kehidupan publik, tak terbayangkan bagaimana pluralism, toleransi, dan kesetaraan sesama warga yang berbeda agama yang asasi itu dapat dilaksanakan.
salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar