Tubuhnya hampir saja runtuh. Berdiri berjam-jam sambil berorasi bersama rekan seperjuangan menuntut penolakan kehadiran salah satu menteri yang digadang-gadang akan menjadi salah satu capres di 2014 nanti meneruskan titah SBY. Pakaiannya basah dengan keritangat, mukanya musam tertimpa sinar mentari yang begitu menyengat. Semangatnya tak pernah luntur untuk berorasi.
Teman-teman seperjuangannya ikut hadir berdampingan bersama. Mereka menyusun barisan, membuat border. Takut bila nanti ada penyusup datang merusak konsentrasi dan tujuan dari aksi kali ini. Skema telah di buat malam sebelumnya. Bila sore telah menjelang, mereka yang sekitaran hanya dua puluhan orang akan menutup jalan depan kampus sebagai symbol bahwa mahasiswa yang mampu bersuara lantang melawan pemerintah kejam dan kebijakan kampus yang semakin ngawur. Ya, mereka akan terus bersuara.
Mereka bukan lagi mahasiswa semester awal. Kebanyakan dari mereka menunda untuk lulus, mencoba untuk terus mencari ilmu dengan berdiskusi dan membaca, melawan dan terus melawan.
Waktunya telah tiba, sore yang penuh dengan kemacetan di depan kampus, akan semakin macet dengan aksi berani mereka melawan penguasa. Saat konsentrasi kepolisian dan dibantu pihak keamanan kampus mencoba membubarkan pemblokiran jalan, ada diantara mereka dengan tim yang sudah siap mencoba menaikkan bendera Merah Putih setengah tiang di depan gedung rektorat. Lalu mereka unggah ke media social dengan judul “Kami Menolak Kehadiran Menteri Perdagangang Dengan Cara Menaikkan Bendera Setengah Tiang.” Selain itu tim lain pun ada yang sudah berhasil masuk kedalam ruang audit dimana akan diselanggarakannya seminar esok hari. Mereka menyembunyikan banner yang telah disiapkan untuk dibentangkan esok hari ketika Gita Wiryawan melakuakan ceramah.
Aksi mereka kali ini berjalan mulus. Skema yang telah disiapkan berhasil. Dan para pelaku aktivis dunia maya pun tercengang dengan aksi mereka menyebarkan foto tersebut sehingga menjadi trending topic di dunia maya. Mereka gagah dan berani sore ini.
Sesampainya di kamar kosan, ia langsung merebahkan diri di atas kasur. Sambil tersenyum manis atas keberhasilan kali ini, ia pun sudah membayangkan apa yang akan menjadi respon pihak rektorat. Dan dirinya pun telah memikirkan apakah ia akan langsung ditangkap esok hari ketika membentangkan banner yang telah siap di dalam auditorium.
Kawannya datang silih berganti dengan membawa pesan apa yang sedang terjadi di kampus. Pihak rektorat terlihat belum pada kembali ke rumah. Mereka sedang rapat membuat pernyataan resmi dari pihak kampus akan peristiwa sore ini. Dan rector pun memosting sikap resmi mereka atas kejadian sore ini melaului akun pribadinya. “Kami Mengutuk Apa Yang Dilakukan Oleh Mahasiswa Sore Ini. Namun Hal Ini Tidak Menyurutkan Niat Pak Menteri Untuk Hadir Di Sini Esok Hari.”
Akbar sungguh senang atas postingan dari sang rector tersebut. Berarti aksi selanjutnya akan tetap terjadi pada esok hari. Tentunya banyak yang mengecam dan ada juga yang mendukung. Malam telah larut. Teman-temannya pun sudah mulai meninggalkannya sendiri di dalam kosan. Kini tibalah ia menyapa sang gadis pujaan hati. Tidak jarang memang perempuan yang mau berhubungan dengannya. Mereka kebanyakan menganggapnya sebagai pria aneh. Di jaman seperti ini masih saja ada pria yang mencoba idealis dan terus melakukan aksi dengan mimpi terciptanya keadilan dan kemakmuran. Pria yang dianggap sebagai pemimpi di siang bolong.
Namun, ada seorang perempuan datang mengenalkan diri kepadanya. Ketika itu ia sedang membaca buku di perpustakaan, tiba-tiba ada yang menemuinya dan menyapanya. “Aku Dita, aku sering melihatmu berorasi di depan Fakultas Ekonomi. Sungguh kagum aku padamu. Boleh aku duduk di sini?” Pintanya sambil menunjuk ke bangku kosong tepat di sampingnya. “Silahkan.” Ucap Akbar kepadanya.
“Kamu semester berapa sekarang? Sungguh aku tak pernah melihatmu sebelumnya.”
“Baru semester tiga, aku kagum atas kegagahanmu memimpin kawan-kawan lainnya di baris perjuangan. Aku suka argumentasi cerdasmu, dan aku sering menanti kehadiranmu di saat aksi berlangsung.”
Mereka saling mengenalkan tentang kehidupan mereka satu sama lain. Dan beberapa waktu berselang mereka selalu bertemu untuk saling berdiskusi. Dan akhirnya mereka saling jatuh cinta pada jalan pikiran mereka satu sama lain.
Handphone nya bordering, ada telepon untuknya. Ya, Dita menghubunginya malam ini. Ia berpesan akan segera ke kosan Akbar setelah teman-temannya pulang. Dan Akbar mengabari bahwa teman-temannya telah pulang dan meninggalkan kosannya. Dengan membawa sebungks nasi padang, Dita datang menemui Akbar.
Waktu menunjukkan pukul sepuluh. Mereka telah berbicara cukup lama. Dan mereka saling memberikan ciuman tanda kasih mereka. Saling melumar bibir satu sama lain, mereka menghabiskan waktu malam itu. Seakan esok akan terjadi perpisahan yang cukup lama. Tanpa sadar kancing kemeja Dita telah lepas satu persatu. Mereka mencoba berbagi malam ini. Berbagi resah dan berbagi kasih.
Pukul sebelas Akbar mengantar Dita kembali ke kosan. Tak lupa Dita memberi semangat kepadanya akan aksi esok hari. Agar tetap focus dan semangat. Dan tentunya Dita menyakinkan akan mencintai Akbar selamanya.
Sepasang kasih ini memang cukup sederhana. Mereka disatukan akan satu hal yang sama, perubahan. Mereka mencoba bersatu bukan hanya untuk mencinta, melainkan juga untuk saling melengkapi demi menuntaskan tuntutan reformasi yang diwariskan oleh angkatan 98.
Ada pandangangan getir yang diberikan oleh Akbar malam ini. Seakan ia tak akan sanggup lagi menghadapi esok. Ada yang ia sembunyikan mala mini kepada Dita. Kabar tentang ia akan mendapatkan peringatan tegas dari kampus. Tepatnya ia akan di drop out sebagai mahasiswa. Perjalanannya akan segera punah esok hari. Namun, ia masih berkesempatan untuk tetap melakukan aksi esok hari. Meninggalkan setu pesan kepada mahasiswa lainnya, bahwa perjuangan harus terus dilakukan. Dita memeluknya, dan tetesan air mata turun dari matanya yang indah seakan ia merasakan duka yang sedang disembunyikan oleh Akbar.
Sudah sejak lama memang ia mendapatkan peringatan dari kampus. Keluar masuk rektorat entah untuk menuntut rector melakukan perubahan akan kebijakan-kebijakan mahasiswa, dan lebih sering lagi ia dipanggil karena dianggap melakukan tindakan ketidaknyamanan di dalam kampus. Ia tak pernah surut, sampai malam ini sekalipun. Yang ia takuti hanyalah Dita dan pihak keluarganya. Kalau ia sampai di do maka pihak keluarga Dita akan menganggap remeh masa depannya.
Ya dan ya, ia resah malam ini.
Namun, takdir berkata lain. Ia malam ini tertabrak mobil saat menyebaran jalan raya setelah mengantar kekasihnya ke kosan. Mobil yang sedari berangkat telah terparkir di pinggir jalan seakan menunggunya kembali. Darah malam itu bercucuran di jalan. Perpisahan akan dunia telah terjadi. Kawan-kawan aktivis lainnya memenuhi rumah sakit tempatnya di menghembuskan nafas terakhir. Dita, hanya diam di sudut kamar kosnya. Ia tak sanggup berkata, hanya airmata yang berirama mengalunkan nada perpisahan.
Kawasan kampus mencekam seketika malam ini. Mereka yang tidak berangkat mengawal perpisahan dengan sang orator melakukan aksi dengan membakar ban. Polisi mecoba membubarkan namun mereka lebih kuat. Kuat akan tekad untuk meruntuhkan kekuasaan rektorat yang di duga menjadi dalang atas kematian Akbar. Gas air mata di tembakkan, water canon disemprotkan ke arag barisan mahasiswa. Namun, mereka tetap berdiri tegap. Menentang dan melawan sekaligus mempersembahkan salam perpisahan kepada kawan kebanggaan mereka.
Akbar telah tiada, namun perlawanan harus terus dilakukan. Dan yang menjadi perhatian kawan-kawannya adalah pesan Akbar yang sebelum kejadian ia sebarkan kepada teman-temannya melalui pesan singkat.
“Mungkin nanti aku akan tiada, kalian harus tetap berada dalam barisan. Melawan dan memberontak atas kebijakan-kebijakan yang merugikan kita dan rakyat miskin. Kalian tetap harus berada di sana. Di depan garis perjuangan sampai darah memisahkan kita. Salam dari kawanmu yang lenyap.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar