Kampung sudah memasuki waktu sore. Kumandang adzan maghrib sedikit lagi tiba. Mentari sudah setengahnya membenamkan diri. Binatang ternak semua sudah masuk kandang tertata rapih. Petani sudah mulai kembali ke rumahnya. Namun anak-anak sudah tampak siap untuk pergi bersama menuju rumah “Sang Baba.” Mereka menuju bersama, membelah persawahan, menyebrangi sungai, dan memasuki daerah perkebunan.
Sang Baba memang memilih tempat tinggal yang jauh dari kerumunan. Ya, walalupun saat itu kampung masih sangat jarang penduduknya, namun, diantara kesepian itu Sang Baba masih merasakan keramaian yang akan menjauhkan ia dari kedekatan Sang Khalik. Sang Baba hanya tinggal berdua bersama isterinya. Di dalam rumah tersebut, tak ada kamar, yang ada hanya ruang kosong di tengah rumah yang biasa disebut dengan “langgar”. Biasanya ruangan ini dipakai Sang Baba untuk mengajar mengaji dan melakukan shalat berjamaah bersama para muridnya. Kamar mandinya pun hanya terdapat satu sumur air dan bak untuk mengambil air wudhu. Jika ingin melakukan buang air besar, Sang Baba beserta isterinya dan juga murid-muridnya biasanya mereka melakukannya di empang ikan belakang rumahnya.
Cerita Sang Baba saat pertama kali masuk ke kampung tersebut cukup mengejutkna para penduduk sekitar pada masa dahulu. Sebelum kehadirannya, kampung tersebut memiliki daerah yang sedikit angker. Mereka menganggap tempat tersebut banyak penghuni ghaibnya lantaran di sana dahulu menjadi makam para leluhur mereka. Di tambah lagi tempat tersebut banyak ditumbuhi oleh pohon-pohon besar. Posisinya berada di atas persawahan penduduk setempat yang apabila malam tiba mereka tidak berani melawati kawasan tersebut. Sore harinya kebun tersebut masih kosong belum ada bangunan atau gubuk yang layak untuk ditempati. Mereka pulang kerumahnya seperti biasa.
Awalnya kampung tersebut tak memiliki guru mengaji yang rutin hadir mengajar di sana. Mereka hanya mengenal islam dari pertunjukan wayang yang ditampilkan oleh para ulama yang sekedar melakukan pementasan lalu pergi lagi ke kampung lain untuk melakukan pementasan. Mereka awalnya hanya mengucap syahadat dengan terbata-bata tanpa ada pendidikan lanjut mengenai ajaran islam.
Kampung tersebut benar-benar gelap akan pendidikan agama. Mereka belum menerima satupun guru mengaji yang tetap tinggal di sana dalam kurun waktu yang cukup lama sebelum kehadiran Sang Baba tiba-tiba secara mengejutkan.
Siapa tidak heran, sore hari mereka meninggalkan persawahan dan masih melihat kebun tersebut kosong belum berdiri bangunan yang cukup luas untuk melakukan syiar agama, namun ketika mereka kembali lagi esok paginya sudah ada bangunan tersebut. Mereka mendatanginya secara bersamaan, dan mereka menemukan sepasang suami isteri setengah tua sedang melakukan dzikir bersama.
“Assalamualaikum Pak Kiai.” Ucap para penduduk yang menemui Sang Baba di gubugnya. Dipandanginya oleh mereka ruangan Sang Baba sedang melakukan ritual agama tersebut. Semuanya sudah terbangun rapi. Walaupun dindingnya hanya terbuat dari anyaman bambu.
Sang Baba lalu menyudahkan ritualnya tersebut, dan membalikan tubuhnya seraya menjawab salam yang diberikan oleh para penduduk tersebut. Lalu para penduduk di terimanya dengan ramah dan mereka pun mengobrol bersama dalam “langgar” tersebut. Sanga Baba menjelaskan kepada mereka maksud kedatangannya ke kampung tersebut dan belum sempat ijin kepada kepala kampung tersebut untuk singgah beberapa kurun waktu untuk menjalankan perintah yang diberikan langsung oleh Kanjeng Sunan Gunung Jati Cirebon. Sedangkan isterinya langsung masuk ke dalam dapur menyiapkan teh hangat untuk disantap oleh Sang Baba dan para penduduk kampung tersebut.
“Saya minta maaf kepada para penduduk sekitar, sekiranya saya belum ijin kepada kalian semua untuk menempati lahan kosong ini. Saya datang langsung dari Cirebon diperintah oleh Kanjeng Sunan untuk menetap di sini menyiarkan agama islam. Mengingat kabar yang diberikan oleh para prajurit kerajaan bahwa di sini para penduduknya telah memeluk agama islam namun belum ada seorang yang membimbing agar para penduduk memiliki ilmu lebih dalam tentang agama kita. Sekiranya apakah betul kabar tersebut dan bapak-bapak mengijinkan saya di sini untuk memberikan sedikit pelajara kepada kita semua.” Sang Baba mengawali perjumpaan mereka di pagi tersebut.
“Kami senang sekali mendengar Pak Kiai datang langsung dari Cirebon dan diperintah Kanjeng Sunan untuk memberikan pendidikan agama islam di kampung kami. Memang sudah lama kami mengucapkan dua kalimat syahadat. Itu kami terima dari salah satu dalang yang melakukan pementasan di kampung kami beberapa tahun yang lalu. Namun, dalang tersebut tidak singgah di sini dalam kurun waktu yang lama. Setelah ia mengajarkan kami menghafal bacaan shalat ia langsung pergi dengan tujuan menyebarkan islam ke seluruh penjuru Pulau Jawa. Setelah tidak ada yang membimbing kembali tentang islam kepada kami, satu persatu dari kami pun hilang hafalan tersebut. Mohon maaf Pak Kiai kami tidak menjalankan perintah agama secara taat.” Ucap Mang Emul kepala kampung tersebut kepada Sang Baba.
Obrolan mereka semakin lama semakin hangat. Keteduhan jiwa Sang Baba yang memiliki ketinggian tentang pemahaman agama yang tulus membuat ucapannya selalu mudah dipahami dan ditaati dengan sepenuh hati oleh para penduduk. Mulai sejak itu Sang Baba resmi mengajarkan pengajian kepada penduduk sekitar dari mulai anak-anak sampai pada para orang tua. Namun waktu mengajarnya dipisah-pisah sesuai dengan umur. Khusus ibu-ibu yang memberikan pengajaran adalah Emak Nyai. Dan pada saat itu juga Sang Baba yang awalnya dipanggil dengan sebutan Kiai oleh penduduk sekitar menolak panggilan tersebut karena merasa belum memiliki ilmu dan ketakwaan yang setara dengan Kiai-Kiai lain, dan meminta dengan segala hormat kepada para penduduk untuk memanggilnya “Baba” sesuai dengan ciri khas kampung tersebut.
Kampung ini memang terletak cukup jauh dari pusat kerajaan islam di Cirebon. Dan juga berada dipinggiran dari wilayah Jayakarta dimana di sana juga dahulu ada Fatahillah yang diutus oleh kerajaan Cirebon untuk menaklukan Pelabuhan Sunda Kelapa dari tangan penjajah. Kampung ini sering jadi perlintasan, namun jarang ulama yang menetap di sini.
Sang Baba memilik metode pengajaran yang sederhana. Dengan ketinggian ilmunya ia tidak ingin terlebih dahulu mengenalkan islam pada tahapan yang lebih tinggi dan dikenalkan dengan janji-janji surgawi atau bahkan menakuti-nakuti penduduk dengan ancaman neraka yang sangat menyeramkan jika tidak menjalankan perintah agama. Sang Baba mengenalkan islam kepada penduduk dengan awal bahwa dengan menjalankan perintah demi perintah yang dianjurkan oleh agama akan membawa jiwa-jiwa mereka semakin teduh yang akan memberikan dampak positif pada tingkah laku mereka saat beraktifitas seperti bertani dan akan membawa diri pada kejujuran pada sendirinya pada saat melakukan jual beli beras di kota.
Penanaman akhlak yang menjadi tujuan Sang Baba melaksanakan dakwahnya. Akhlak dalam pemikiran Sang Baba dianggap memiliki dua sisi sifat manusia, yakni sifat baik dan sifat buruk. Dan apabila sifat buruk menguasai akhlak manusia maka manusia akan terjerumus dalam penyesalan-penyesalan hidup. Namun jika sifat baik yang berada dalam jiwa manusia tersebut, maka manusia tersebut akan memiliki ketenangan hidup yang lebih berarti dan akan selamat dalam urusan-urusannya baik di dunia maupun akhirat. Jika jiwa manusia memiliki sifat-sifat baik maka akan dengan sendirinya ia akan berbuat baik pula tanpa harus merasa terbebani. Ini sesuai dengan misi diturunkannya Nabi Muhammad diutus ke muka bumi, yakni menyempurnakan akhlak manusia.
Murid Sang Baba kian hari kian bertambah. Tidak hanya dari kampung tersebut saja, melainkan juga para penduduk yang berada di luar wilayah kampung mengikuti pengajiannya. Tentu jangan membayangkan keramaian yang sangat amat pada jaman tersebut, penduduk saat itu masih sangat jarang, jadi kemungkinan terbanyaknya adalah sekitar 50 an orang kurang lebihnya.
Sang Baba bersama Emak Nyai sudah tinggal di sana beberapa tahun, namun mereka tak kunjung memiliki anak. Inilah katasawufan seorang Sang Baba. Ia ikhlas jika tidak hendak diberikan keturunan oleh Sang Khalik namun disaat yang bersamaan ia tetap diberikan kesabaran dan keistiqamahan oleh Sang Khalik dalam mendakwahkan agamanya.
Sang Baba selalu berpesan kepada muridnya, agar shalatnya bermanfaat bagi Rasa Ketuhanan-Nya maka mereka pun seharusnya dapat memberikan kemanfaatn pada makhluk sekitar agar tidak semena-mena berbuat termasuk kepada rumput sekalipun. Tidak ada ibadah yang bermanfaat kecuali ia dapat memberikan kesalehan social kepada para makhluk lainnya. Tidak ada kekerasan dan paksaaan untuk melaksanakan ibadah dan juga selalu menanamkan kejujuran dalam segala transaksi jual beli. Tak banyak hafalan surat-surat yang dalam al-Qur’an yang diperintahkan kepada murid-muridnya oleh Sang Baba. Baginya segalanya akan percuma jika mereka begitu banyak menghafal namun tidak memberikan energy yang positif terhadap keberagaman penduduk sekitar, yang saat itu masih banyak penganut agama lain sisa-sisa kerajaan Padjajaran. Sejak saat itu Sang Baba telah mengajarkan Ke Bhinekaan Tunggal Ika kepada penduduk sekitar. Sang Baba bukan sekedar bapak agama, namun juga telah menjadi bapak bangsa sebelum Soekarno dan Hatta ada.
Sampai akhir hayatnya Sang Baba menetap di Kampung Bojong Rawa Lele. Ia tidak hanya disegani oleh umat islam, melainkan juga para penganut agama lain dan juga termasuk para pedagang Tionghok yang melintasi kampung tersebut.
Sang Baba telah mewariskan Bhineka Tunggal Ika sebelum bangsa kita jauh meraih kemerdekaan dan di saat pendidikan masih sangat minim diterima oleh penduduk bangsa ini. Namun saat kini kenapa kembali muncul fanatisme berlebihan dalam beragama sehingga seringkali yang minoritas tertindas untuk melaksanakan keyakinannya dengan tenang. Marilah kita belajar dari Sang Baba ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar