Perdebatan ini saya kira akan terus hidup. Selalu bersebrangan. Selalu menimbulkan polemik. Dan akan selalu menjadi perbincangan publik. Ada yang setuju dan ada juga yang kontra. Tak pernah lelah. Dan tak pernah berakhir. Antara hubungan Negara dan agama. Dan semoga dari perbedaan pendapat ini tidak menimbulkan perpecahan dan konflik fisik. Karena pendapat hanyalah sebuah cara kita menuju sebuah kebenaran.
Indonesia yang kini penduduk muslimnya menjadi penduduk beragama mayoritas di negeri ini menjadi sebuah kebenaran tersendiri. Menjadi mayoritas bagi mereka tidak cukup, harus ada sebuah penegasan yang lebih. Yang mampu memberikan sebuah representasi yang lebih nyata bagi keberadaan mereka. Yang mampu menjadi adikuasa. Maka, tidak jarang kita melihat berbagai upaya dari kalangan umat islam untuk menjadikan Negara ini sebagai Negara islam. Usaha tersebut ada yang dilakukan baik melalui secara terang-terangan maupun diam-diam. Ada yang secara langsung dan ada juga yang “pura-pura” sangat mendukung demokrasi, namun dibalik itu memiliki misi “tertentu.”
Bahkan runtuhnya Orde Baru juga begitu dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok ataupun individu yang memiliki kepentingan seperti di atas tadi. Angin segar reformasi begitu membawa tipu daya. Mereka-mereka yang awalnya begitu membenci, mencurigai dan menyalahkan Negara sebagai penyebab dari bebrbagai penderitaan rakyat kini setelahnya mereka mencoba masuk ke dalam wilayah Negara. Apapun itu caranya, lewat Ormas maupun Partai Politik. Mereka mencoba memanfaatkan reformasi ini sebagai wadah untuk mewujudkan tujaun mereka. Syariat islam dalam Indonesia.
Tidak hanya itu bahkan setelah terlaksananya Otonomi Daerah banyak daerah-daerah yang mencoba menjadi musuh dalam selimut bagi demokrasi. Lihat di Aceh, mereka sudah mulai mencoba syariat islam sebagai hukum utamanya ketimbang memakai hukum nasional. Dan ada lagi cara-cara yang terselubung. Ormas islam, lembaga pendidikan islam, bahkan tokoh-tokoh islam yang memiliki sebuah otoritas dalam masyarakat mencoba merayu para calon pemimpin daerah melalui mekanisme Pilkada dan Pilgub mereka menjanjikan sebuah dukungan. Namun, dibalik dukungan tersebut mereka mencoba untuk mengajak calon-calon kepala daerah untuk menerapkan syariat islam jika ia menang nanti. Tentu atas dukungan yang mereka berikan.
Ciri-ciri dari bentuk di atas adalah menandakan sebuah bentuk dalam demokrasi, yakni “democrat islamis.” Democrat islamis ialah mereka yang menjalankan demokrasi hanya sebatas pemilihan saja, namun dibalik itu semua mereka masih menegaskan untuk mendirikan syariat islam dan agenda-agenda islam lainnya. Jauh kebelakang, sebelumnya para Wali pun sering terlibat akan hal ini. Mereka mendekati raja bukan sebatas sebagai penasihat saja. Mereka ada juga yang mempengaruhi Raja untuk menetapkan satu hukum islam dalam peraturan kekuasaan mereka.
Saat ini ada MUI sebuah lembaga independen yang dibiayai oleh Negara. MUI kerap kali membuat kebijakan-kebijakan yang controversial yang dianggap berbagai kalangan dapat membuat wacana “Bhineka Tunggal Ika” menjadi pudar. Yang saat ini sibuk diperbincangkan adalah pelarangan bagi umat islam untuk mengucapkan selamat natal kepada umat kristiani. Islam tampak begitu tak bersahabat bagi umat lainnya. Kenapa harus diharamkan, bukan dengan “umat islam dianjurkan ikut menjaga kedamaian pada perayaan natal nanti.” Tentu ini akan lebih bersahabat. Seperti leluhur kita dahulu, yang sebelum islam datang umat Budha dan Hindu saling hidup berdampingan. Beragam berarti beragam, bukan harus menjadi seragam. Itu yang sering dilupakan.
Dan untuk saat ini persoalan masyarakat semakin meluas. Islam selalu akan bersinggungan dengan agama, adat dan budaya lain. Perubahan baru melahirkan pendapat baru. Pendapat yang mampu untuk keselamatan dan kemaslahatan seluruh umat manusia. Ada pendapat yang malah menimbulkan kesulitan untuk umat lainnya. Pendapat yang mampu membawa keselamatan, kemaslahatan, kenyamanan dan kedamaian untuk umat islam dan umat lainnya itulah pendapat yang dibutuhkan. Tentu kita mengingat satu hadis nabi, “berikan kemudahn, dan jangan menyulitkan orang.”
Dalam sebuah tulisan lama saya, sungguh berbahaya jika syariat islam mau dikehendaki. Ini akan mengganggu kepribadian umat islam itu sendiri. Bagaimanapun, umat islam baik mayoritas maupun minoritas dalam menjalankan syariat islam harus berangkat dari tuntutan kewajiban beragama bukan karena adanya tuntutan dari pemerintah/pemimpin. Hal ini akan terwujud apabila pemerintah/pemimpin bersikap netral terhadap semua doktrin/mahdzab keagamaan dan tidak memksakan mereka untuk melaksanakan perintah agama sesuai dengan kehendak pemerintah/pemimpin. Baiknya pemerintah tidak menggunakan kekuasaan Negara untuk memaksakan pemahaman mereka tentang syariat kepada masyarakat secara keseluruhan, baik muslim maupun non muslim.
Selain itu yang perlu kita ajukan sebagai perntanyaan adalah, bagaimana syariah islam yang diajukan oleh kelompok tersebut untuk berdiri di Indonesia mengingat kompleksitas dalam syaraih islam itu sendiri. Kita mengenal madzhab syafii, maliki, hambali dan hanafi yang saling berbeda dalam menjalankan syariat islam itu sendiri. Belum lagi perbedaan yang mencolok antara sunni dan syiah. Apakah Negara nantinya akan mampu bersikap netral terhadap kompleksitas perbedaan tersebut? Atau Negara nantinya akan memaksakan satu madhzab saja kepada rakyat dan harus melepaskan keyakinan mereka yang telah mendarah daging. Jika memang harus memaksakan satu madzhab saja berarti syariat islam itu sendiri telah melanggar satu prinsip islam yakni, agar tidak memaksa orang lain dalam menjalankan keyakinannya. Mengingat di Indonesia ada dua kutub besar yang berbeda diantara umat islamnya, yakni golongan Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah. Yang diantara mereka saling berbeda dalam merepresentasikan ke islamannya. Belum lagi di sini ada kelompok syiah yang baru berkembang, namun mendapatkan perlakuan yang tidak sehat dari kelompok lainnya. Apakah syariat yang diajukan mampu bersikap netral nantinya terhadap perbedaan ini.
Menurut Abdullahi Ahmed An-Na’im syariat akan terus memainkan peran penting dalam membentuk dan mengembangkan norma-norma dan nilai-nilai etika yang dapat direfleksikan dalam perundang-undangan dan kebijakan publik melalui proses politik yang demokrastis. Namun, prinsip-prinsip atau aturan-aturan syariah tidak dapat diberlakukan dan diterapkan secara formal oleh Negara sebagai hukum dan kebijakan publik hanya karena alasan bahwa prinsip-prinsip dan aturan-aturan itu merupakan bagian dari syariat.
Semoga kedepannya nanti kita dapat mewujudkan Indonesia yang bebas dan netral dari satu kepentingan umat beragama tertentu. Lebih Indonesia yang beragama namun beragam dan aman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar