Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kian menyebar ke seluruh pelosok dunia. Mengatarkan manusia pada pintu gerbang peradaban baru, yang lebih toleran dan santun. Dengan pengetahuan, kemajuan teknologi dapat memudahkan kehidupan manusia. Dan dengan teknologi, dapat memudahkan manusia untuk memperoleh pengetahuan. Inilah dunia baru, yang jauh lebih modern dari tahun-tahun silam.
Begitupun di Indonesia. Efek dari majunya perkembangan ilmu pengetahuan mampu membawa perubahan yang drastic pada pola kehidupan bernegara. Dan puncaknya adalah runtuhnya rejim Orde Baru pada tahun 1998 yang mengakhiri kekuasaan kejam dan otoriter penguasa masa lampau selama 32 tahun. Ini adalah salah satu dari pesatnya ilmu pengetahuan dalam bidang politik terutama demokrasi.
Namun di sini kita tak akan terlalu jauh membahas demokrasi. Efek dari semakin berkembangnya pengetahuan dan teknologi selain itu ialah gerakan feminis di Indonesia. Perempuan sudah seharusnya keluar dari kurungan yang selama ini menutup gerakan mereka. Agama, budaya, keluarga, semuanya harus dihilangkan. Karena itu semua dianggap membuat perempuan semakin terbelakang. Yang paling populer adalah istilah budaya dari Portugal yang kini sedang bergeliat, ladies first. Kerap kali baik perempuan maupun laki-laki selalu mengucapkan ini jika hendak melakukan sesuatu. Hendak memberikan kesempatan terlebih dahulu pada kaum perempuan. Dan perempuan ingin meneguhkan dirinya bahwa mereka bisa tanpa harus terlebih dahulu melihat laki-laki melakukannya.
Tidak heran dari gejala feminis ini, sekarang banyak sekali perempuan yang bekerja di luar rumah. Perempuan bukan lagi kaum yang tertinggal yang hanya mampu mengurusi urusan rumah. Dari segala jenis pekerjaan, perempuan kini telah mendapati porsinya yang penuh. Inilah kebangkitan perempuan?
Leila S. Chudori dalam “dunia tanpa koma” nya pernah menganggap hal ini masih sebagai sebuah intimidasi terhadap perempuan. Karena menganggap perempuan hanya diberikan peluang yang sama dengan laki-laki namun belum memiliki apresiasi yang setara. Perempuan dipaksa kerja sesuai dengan jam lelaki, namun tidak mendapatkan tunjangan yang sama juga. Belakangan ini masih sering terjadi di beberapa perusahaan. Perempuan tidak mendapatkan hak yang sama dengan lelaki.
Lebih jauh lagi kita harus melihat, industry yang kian gencar masuk ke daerah-daerah membuat para perempuan semakin terjepit. Lahan yang mereka jual tak sesuai dengan harga aslinya. Bahkan lahan mereka kerap kali diambil alih oleh perusahaan yang dimandatkan oleh pengadilan negeri. Ini membuat masyarakat kehilangan ekonomi strategisnya. Macam bertani dan lain-lain, karena lahannya telah diambil alih. Alih-alih untuk terus mencoba bertahan hidup, kini banyak perempuan yang menjadi budak di kampungnya sendiri. Mereka di eksploitasi. Setelah kaum lelaki gagal mempertahankan pendapatan mereka untuk bertahan hidup setelah lahannya diambil alih, kini perempuan dimingi pekerjaan dengan syarat pendidikan yang rendah dan tentunya dengan pendapatan yang rendah pula. Perempuan kembali menjadi bahan eksploitasi namun kini modernitaslah yang mengeksploitasi mereka.
Kini kita kembali pada perempuan kota. Sebelum terjebak lebih jauh dari permasalahan perempuan di daerah-daerah.
Jatuhnya rejim Orde Baru membuat angin reformasi begitu kencang sehinggga bagi mereka yang berada di jamannya menjadi terlena. Mereka-mereka yang sebelumnya membenci dan memusuhi Negara karena dianggap terlalu otoriter dan gagal mensejahterakan rakyat mencoba berebut masuk ke dalam kuasa Negara. Termasuk kaum feminis modern. Mereka mencoba masuk ke dalam kuasa Negara untuk menciptakan keadilan bagi kaumnya.
Di kota, kontestasi politik kaum perempuan sedang diperjuangkan. Kuota 30% dari semua caleg yang ada wajib dipenuhi oleh semua partai peserta pemilu. Ini menjadi satu daya tarik yang luar biasa dari kebangkitan kaum perempuan. Dengan memodifikasi gerakan kaum feminis dunia pertama, kaum feminis di negeri kita memperjuangkan hal yang sama. Kontestasi di dunia politik. Mereka menganggap semua hal yang menimpa penderitaan kaum perempuan sama, terlepas dari adat, budaya dan agamanya.
Mendobrak pintu parlemen untuk menempatkan kaum perempuan di sana adalah hal yang terburu-buru. Yang menjadi persoalan penindasan perempuan adalah masalah lemahnya hukum, bukan lemahnya Negara. Jadi tidak perlu perempuan duduk menjadi bagian dari Negara. Ditakutkan nanti malah membuat Negara semakin represif terhadap kaum perempuan dengan segala bandul hukumnya yang baru.
Banyaknya perempuan yang menjadi pejabat publik tak pelak menciptakan suatu tatanan perempuan yang bebas dari tekanan pihak luar. Bahkan malah menjadi sebuah bom waktu yang malah akan menyudutkan perempuan itu sendiri.
Kini kita malah sering mendengar perempuan terlibat dalam kejahatan korupsi. Sri Mulyani yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Keuangan dengan kewenangannya diduga terlibat dalam penyelewengan dana bail out Bank Century sebesar 6,7 T. Angelina Sondakh mantan Wasekjen Partai Demokrat dihukum 12 tahun penjara karena menerima suap pengurusan anggaran di Kemenpora dan Kemendikbud dengan nilai 39,9 M. Wa Ode Nurhayati mantan anggota DPR RI dari Fraksi PAN dihukum 6 tahun penjara karena menerima suap 6,25 M dan pencucian uang sebesar 50,5 M. Adalagi Hartati Murdaya Po mantan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat dihukum 2 tahun 8 bulan karena melakukan suap terkait perizinan kebun sawit senilai 3 M. Dan yang saat ini terjadi adalah Ratu Atut Gubernur Banten menjadi tersangkan atas kasus penggelapan dana peralatan alkes daerah Banten. Ini adalah sebagian kecil yang dari sekian lagi para perempuan yang menjadi pejabat publik terlibat kasus korupsi atau suap. Mereka semua adalah perempuan yang “katanya” sedang melawan tirani Negara, budaya, agama dan kaum lelaki. Namun mereka pun terjebak atas kesalahan yang dilakukan oleh kaum lelaki. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah mereka melakukan itu semua karena untuk memenuhi hasratnya atau malah dimanfaatkan oleh oligarki elit partai politik. Dan dari ini semua tentunya akan memberikan penilaian bahwa perempuan belum mampu menjadi alternative untuk melakukan perbaikan bangsa dari segala permasalahannya.
Gayatri Spivak telah memperingatkan kaum feminis Negara maju agar tidak selalu merasa istimewa di hadapan para perempuan dunia ketiga. Yang menuju pada gerakan perempuan dunia ketiga haruslah seperti mereka, yang dijadikan identitas standar bagi perempuan dunia ketiga.
Identitas perempuan dunia ketiga adalah identitas yang cai. Menjadi perempuan adalah menjadi perempuan dengan segenap komponen identitas lainnya yakni agama, budaya, gender, etnik, ras, dan kelas. Identitas perempuan dunia ketiga adalah upaya untuk mendefinisikan dan mendefinisikan kembali kehidupan mereka di tepi kekuasaan Negara.
Ahmad Baso dalam tulisan “Ke Arah Feminisme Postradisional” menjelaskan bahwa seharusnya gerakan perempuan dunia ketiga bahwa gerakan feminis bukanlah tradisi kesarjanaan yang bebas nilai, melainkan tradisi yang punya komitmen begi rekonstruksi social dengan melibatkan diri dalam kritik politik. Dan bertujuan untuk memahami dan megubah struktur dominasi di mana-mana. Tujuan tetapnya adalah menungkapkan hubungan kekuasaan atau relasi-relasi kuasa dan mengkaji bagaimana hubungan tersebut mempengaruhi dan membentuk praktik kebudayaan. Kita juga harus ingat, postradisionalisme bukan hanya mengkaji kebudayaan, seakan ia terpisah dan tersendiri dari konteks social dan politik seperti anggapan kaum modernism. Tujuannya adalah memahami budaya dalam segala bentuk kompleksitasnya dan menganalisa konteks social dan politik tempat budaya mengejewantahkan dirinya.
Maka, identitas perempuan dunia ketiga adalah berupaya mengangkat hal-hal yang selama ini dianggap tradisional dan lokal sebagai arena kontestasi mereka dalam melakukan perubahan. Selama ini, gerakan feminis hanya dianggap dengan dilakukannnya perempuan melakukan kegiatan-kegiatan yang dianggap modern seperti apa yang ditularkan kaum perempuan dunia pertama sehingga menjadi fokus utama gerakan feminis kita. Sehingga kaum feminis menganggap beberapa bagian penting dari budaya perempuan negeri ini yang sebenarnya mampu membawa dampak baik bagi terlaksananya perubahan.
Saya kira, menjadi isteri yang baik merupakan sebuah gerakan feminis juga. Meski ia harus tetap sabar menemani suaminya terus-terusan dalam rumah tanpa harus keluar lebih jauh dari wilayah keluarga. Kita melihat Ibu Ani Yudhoyono sebagai ibu Negara yang amat modernis. Namun, ia gagal mengurangi angka korupsi dalam jajaran Partai politiknya maupun jajaran kementerian. Seharusnya dengan menjadi ibu Negara ia mampu memberi pengaruh yang signifikan dengan memberikan wacana-wacana bagi para ibu pejabat lainnya agar tidak tergiur untuk melakukan korupsi. Entah dengan wacana keagamaan ataupun wacana kebangsaan. Sehingga menciptakan sebuah pemerintahan dalam lingkungannya berkurang angka korupsinya. Tanpa harus selalu mengikuti suaminya pergi dinas kemana saja.
Lemahnya pengawasan hukum kita membuat siapapun mudah melakukan tindak korupsi. Namun jika disamping kita ada isteri yang selalu mengingatkan, kiranya hati tak akan berkenan melakukan tindak korupsi. Inilah yang sering diabaikan dan dianggap kolot oleh sebagian kaum perempuan saat ini. Namun padahal ini juga gerakan feminis disaat Negara abai terhadap para pelaku korupsi.
Inilah sisi yang kini dianggap kolot oleh sebagian perempuan namun sebenarnya mampu mampu membawa dampak positif terhadap perubahan. Tulisan ini bukan untuk mengembalikan perempuan pada keterbelakangan, namun hanya mengajak sebuah peluang yang kosong yang sering menjadi lubang bagi rubuhnya pembangunan bangsa kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar