Mentari masih teramat malu untuk menyinari bumi kala itu. Sehingga membuat anak-anak manusia terlelap dalam lautan mimpinya. Hanya segelintir orang yang sudah terbangun untuk memulai kehidupan. Beberapa lainnya urung untuk beranjak. Ini adalah pekan terakhir untuk menikmati libur tahun baru. Bagi anak sekolah maupun pegawai kantoran. Semua berbahagia.
Kini ku menghadapi banyak orang yang sudah siap menjemput bahagia. Tampak wajah-wajah sumringah dari kebanyakan mereka. Menanti terucapnya ikrar setia di hadapan penghulu. Satu dari anggota keluarga besar kami akan mengikrarkannya. Menjaga makhluk yang paling lembut hatinya. Paling tulus ucapannya. Paling manis dikala mereka tersenyum. Perempuan, bahagialah kalian karena kami kaum lelaki siap dan terus belajar menjadi ksatria idaman kalian. Mewujudkan segala impian masa depan.
“Jangan terburu-buru mengucapkannya, tenang ajah semua pasti lancar.” Ucap Ayah dari mempelai calon pria. Wajah teduhnya mampu memenenangkan hati sang anak yang akan menghadapi akadnya.
Tak ada jawaban dari anaknya. Ia hanya tertunduk sambil merapikan dasinya yang belum rapih terpasang.
Sementara yang lain sedang mengambil parsel-parsel yang akan diberikan kepada keluarga mempelai perempuan, sebagai tanda kasih dari keluarga kami. Petasan sepanjang dua meter telah siap dinyalakan. Menggantung di ujung bambu.
Sebagai tanda keluarga mempelai pria akan melakukan perjalanan menuju kediaman mempelai perempuan. Tak jauh memang. Bersebelahan kampungnya. Tak memakan waktu lama. Kira-kira 15 menit perjalanan jalan kaki. Barisan panjang rombongan menyeberangi jalan raya. Yang sempat memacetkan jalan beberapa saat.
Untungnya tak ada palang pintu seperti biasanya pada pesta perkawinan. Prosesnya tidak memakan waktu lama. Saat menjelang akad akan dilaksanakan, ku duduk di bangku paling pinggir. Berharap jauh dari keramaian. Demi menikmati kekhidmatan sebuah ritual pernikahan. Suara Haji Mursyid mampu menggelagar kehangatan jiwa. Saat menyampaikan khutbah nikah. Tiba-tiba suasana menjadi hening, nikmat dalam kekhidmatan.
Kulihat kiri kanan. Semua terdiam. Namun pikiranku melayang saat ku menumakn sesesok wajah yang teramat teduh. Tanpa ku sadari dia tepat berada di depan hadapanku. Dia tertunduk malu saat pertama kali ku manatapnya. Pernikahan saudaraku kini menjadi sebuah berkah tersendiri bagi kesepian hati ini. Sejenak ku berpikir inikah jawaban dari sekian lama penantian.
Diam-diam beberapa kali ku foto dirinya. Kenekatan itu harus ku lakukan demi sebuah perkenalan. Mata kami kerap kali saling bertatapan. Namun kerap kali juga aku menghindar. Tak sanggup ku manatap lama-lama pesona wajahnya.
Ku perhatikan jarang kali ia mengobrol bersama orang-orang disebelahnya. Lebih banyak diam. Apa ia menikmati sebuah akad pernikahan ataukah memang dirinya seorang perempuan pendiam. Aku menjadi semakin berfikir dalam tentang dirinya.
“Kenalan sana jangan kau fotoi saja dirinya.” Tiba-tiba seorang saudaraku mengagetkanku dalam sebuah perenungan. “Dia saudaranya Selamet, langsung dari Pekalongan datang ke sini. Jangan tunggu lama-lama, tersiar kabar sudah banyak yang menanti dirinya untuk berkenalan. Jangan sampai kau menyesal kemudian.” Nasihatnya.
Ingin ku beranikan diri untuk berkenalan dengannya. Tak akan sulit memang, ternyata dia juga masih kerabat dalam anggota keluarga kami. Namun, aku berlari dari keinginan tersebut. Aku hanya terdiam memandangi bibirnya yang lebih sering tersenyum ketimbang menyampaikan seuntai kata. Itu menjadi sebuah keistimewaan tersendiri bagiku. Senyum manisnya mampu merias wajah cantiknya begitu sempurna. Seuntai harapan akan kembali tumbuh esok pagi dalam taman mimpiku. Aku begitu mendambanya. Namun tak sanggup ku sampaikan.
Namun keindahan itu segera sirna. Hari itu juga ternyata ia kembali ke Pekalongan. Wajahku tertunduk lesu. Taman impian yang sudah siap kutata rapih seketika runtuh. Tak sanggup ku menahan beban rindu, beban tanya dan beban penyesalan.
Beban rindu, karena aku sudah menyiramkan sebuah benih cinta dalam hati yang sudah lama kering. Aku cinta padanya pada pandangan pertama.
Beban tanya, apakah ia tertarik kepada diriku. Seperti diri ini yang jatuh hati kepadanya. Ku berani bertanya karena beberapa kali kami saling memandang. Saling tersenyum akan hal yang berbeda. Namun aku kerap kali tertunduk setelah itu.
Beban penyesalan, karena aku tak sanggup berkenalan dengannya. Yang dalam hitungan detik mampu meluluhkan hatiku. Tatapan matanya dan senyum manisnya mampu menjebol kerasnya batin cintaku. Terpesona dalam hitungan detik. Namun siap hancur dalam beberapa waktu. Menyesal, karena tak sanggup kusampaikan kepadanya sebuah perkenalan.
Kini aku hanya tertunduk. Rindu semakin membuncah, memandang langit berharap ia akan kembali. Menikmati semilir angin, berharap angin membawa rindu dan ia menyadari betapa rindunya diri ini. Tertunduk memohon kepada Tuhan, agar kami kembali bertemu dan diperkenankan menyatukan hati dan berharap diapun memohon hal yang sama kepada Tuhan.
Kini hanya tulisan yang bisa kubuat. Berharap ia suatu hari nanti membacanya. Dan kembali membawa sebuah balasan rindu ini. Malam kekasih yang tak kunjung kusadari betapa besarnya cintaku kepadamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar