Senin, 06 Januari 2014

Surat Kekecewaan Untuk SBY

Kelelahan demi kelelahan terus terjadi pada benak rakyat miskin jelata. Biaya hidup yang kian tak terkendali semakin membuat hidup putus asa. Kepastian politik akan angin perubahan kian menjauh. Rakyat terus disuguhi konflik politik yang dipertontonkan elit politik melalui media massa. Hidup semakin sempit, mimpi semakin buruk.

Berbagai aksi demonstrasi terus bergulir sepanjang periode 2009 – 2014. Rakyat bersama mahasiswa bergantian turun ke jalan. Menolak kebijakan demi kebijakan yang dianggap menyengsarakan rakyat. Sementara itu di parlemen kita makin sering melihat mereka yang katanya wakil rakyat saling bertikai. Saling serang satu sama lainnya. Kata-katanya kian kasar. Gesture tubuhnya menunjukkan sebuah ketidakbersahabatan. Tatapan matanya tajam saling siap menjatuhkan. Demi satu kepentingan. Kekuasaan.

Elit partai politik semakin gaduh. Bertikai demi kepentingan pribadi. Menjilat pimpinan partai untuk mencari pertahanan hidup. Ideologi dikalahkan demi secangkir darah nafsu kekuasaan. Mereka siap saling bunuh dan saling menjilat demi satu tujuan. Uang.

Politik kian gaduh semakin menjauhkan aktifitas rakyat dalam ranah politik. Kondisi psikis rakyat semakin lelah. Perhatian mereka semakin acuh terhadap ritme kekuasaan. Tak lagi peduli akan perubahan. Politik telah masuk kedalam kantong celana mereka. Yang siap dikeluarkan jika ada yang masuk menggantikan isi kantong tersebut.

Menjelang pemilu 2014 peluang politik uang semakin terbuka. Kejenuhan pemilih semakin kuat potensi uang untuk menjadi daya tawar. Kegaduhan politik yang kian membuat perubahan tidak pasti membuat rakyat kian tak berperhatian. Mereka kian lapar dan bosan. Mereka kian pragmatis. Pemilu 2014 bukan lagi persaingan gagasan antar partai politik melainkan persaingan berapa banyak uang yang siap ditawarkan kepada rakyat.

Ditahunnya pemilu, sudah dibukan keran kefrustasian dalam benak masyarakat. Kenaikan harga gas 12 kg membuat jeritan penderitaan semakin kuat. Kini semua beralih pada gas 3 kg yang disubsidi pemerintah. Harga di pasar terlanjur melejit tinggi. Kebodohan pemerintah yang tak mampu menjaga stabilitas harga ditambah keserakahan tengkulak membuat rakyat semakin menderita. Menjelani pesta demokrasi, rakyat membakar penderitaannya. Dalam hal ini, presiden dan menteri pura-pura bodoh atau mereka memang bodoh betulan. Tak ada yang tahu pastinya.

Lalu apa fungsi demokrasi kalau semua sudah hancur lebur. Masihkah rakyat kuat menjaga kesuciannya ataukah semakin dimanfaatkan oleh elit penguasa dan pengusaha untuk menambah pundi-pundi uang mereka.

Demokrasi diterima bukan karena ia dianngap mampu membawa masyarakat dalam tatanan posisi yang sempurna. Melainkan karena adanya kesempatan untuk melakukan koreksi pada kesalahan yang dibuat oleh penguasa. Selain itu juga adanya kesempatan masyarakat untuk terus berperan aktif dalam mengontrol kebijakan-kebijakan yang akan merugikan kepentingan rakyat.

Dari kondisi ini yang sangat dipentingkan adalah kondisi psikis rakyat itu sendiri dalam sebuah Negara demokrasi. Jikalau demokrasi hanya dianggap proses penyerahan kekuasaan dari pemimpin lama kepada pemimpin baru melalui proses pemilihan umum yang adil, jujur dan rahasia maka demokrasi telah jauh dari hakikat sesungguhnya. Setelah rakyat melalui pemilu memutuskan kepada siapa mereka akan dipimpin dan kearah mana mereka akan dibawa melalui kebijakan-kebijakannya, rakyat seharusnya menyadari mereka masih satu tugas lagi yakni mengontrol kekuasaan tersebut agar mereka tidak terlempar jauh dari pertarungan kepentingan kekuasaan. Ini yang perlu kembali kita perjuangkan.


Kita kembali teringat akan tulisan Yudi Latif yang berjudul “Krisis Legitimasi Negara” yang diterbitkan dalam salah satu harian media cetak nasional. Yudi begitu emosional dalam tulisan tersebut. “Rangkaian korupsi dan kebohongan penyelenggara Negara yang satu persatu terkuak di hadapan publik membawa Negara pada krisis legitimasi yang akut. Di Republik korup dan penuh penuh kebohongan, persahabatan madani hancur. Tiap warga berlomba mengkhianati Negara dan temannya. Rasa saling percaya lenyap karena sumpah dan keimanan disalahgunakan. Hukum dan institusi lumpuh karena tak mampu meredam penyalahgunaan kekuasaan. Ketamakan dan hasrat meraih kehormatan merajalela. Akhirnya timbul kematian dan pengasingan: kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan. Krisis multidimensi membayangi kehidupan negeri.” Begitu Yudi menuturkan kegelisahannya.

Tingkat kepercayan rakyat kepada pemerintah semakin memudar. Mereka kerap kali dimanfaatkan demi kepentingna satu kelompok saja. Dan mereka terabaikan dalam gemuruh kepentingan elit penguasa. Krisis legitimasi dan runtuhnya rasionalitas rakyat membuat Negeri ini semakin amburadul.

Ditengah rakyat yang semakin kehilangan akalnya dalam berpartisipasi aktif dalam proses demokrasi baiknya ada bagian kelompok masyarakat yang mampu membawa angin kepastian perubahan walaupun tidak terlalu kencang. Meskipun usaha tersebut lebih sering gagal namun tak apa karena secara perlahan masyarakat akan tersadar akan hal tersebut. Karena suatu saat nanti mereka akan dinanti dan dimengerti.

Sebuah perubahan dapat terjadi apabila segenap rakyat bersatu dan siap menerkam musuhnya. Tidak ada perjuangan yang berhasil jika masalah-masalah social hanya menjadi sebuah latarbelakang dan perjuangan tersebut dilaksanakan di bawah panji nasional dan regenerasi republikanisme borjuis. Hanya taktik-taktik independen kelas bawah, yang dari posisi kelasnya menghimpun dukungan, dan hanya dari posisi kelasnya mendapatkan kemenangan mutlak dalam perubahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae