Sabtu, 17 Oktober 2015

Final Piala Presiden Sebuah Ajang Untuk #negaralagingelawak



Sepak bola memang akan selalu memiliki ceritanya sendiri. Sebelas lawan sebelas, tiga orang pengadil di atas lapangan. Tentunya juga tidak bisa dilupakan adalah loyalitas dan fanatisme para pendukungnya. Sepak bola akan selalu memiliki keindahannya sendiri – bagi kita yang menekuninya.

Di atas lapangan memang tampak sederhana, 11 vs 11 mengadu kejituan strategi sang pelatih. Semua pemain ingin selalu merasakan kemenangan. Entah itu dengan cara menyerang atau dengan cara menunggu lawan lengah. Sepak bola, tentua tak bisa kita sama ratakan maknanya pada semua orang.

Membicarakan sepak bola Indonesia pada saat ini mungkin dengan perasaan benci tapi rindu. Benci, ya jelas karena semenjak rezim Jokowi bersama Menporanya sepak bola tanah air berada dalam titik nadir. Pembekuan PSSI oleh Menpora berujung dengan di banned nya PSSI oleh FIFA. Akhirnya peringkat Indonesia di ranking FIFA menempati posisi terburuk sepanjang tanah air.

Mafia bola selalu saja menjadi pokok utama Menpora dan pembisiknya. Hasilnya, sampai saat ini mafia-mafia tersebut belum jelas wujud dan bentuknya. Lalu alasan selanjutnya prestasi Timnas yang tak pernah menjuarai ajang internasional. Ya kita semakin geram saja melihat Menpora ini, mau sepak bola berprestasi kok kompetisi dihentikan. Lah Pak Menpora yang terhormat ini apa kabarnya. Sehat pak?

Awalnya sepak bola yang hanya 11 vs 11, saat ini berubah menjadi kepentingan vs kepentingan antar penguasa. Loh kok bisa gitu, PSSI selama ini dituding menjadi alatnya salah satu partai di negeri ini untuk meraih simpati dari masyarakat. Makanya, sejak jamannya SBY sampai Jokowi banyak yang ingin menjungkalkan petinggi-petinggi PSSI. Djohar Arifin bersama kelompoknya pernah berhasil merebut kekuasaan tersebut, namun sayang revolusinya gagal berantakan. Liga yang dikelolanya gak laku dipasaran. Sponsor, pemain dan bahkan klub-klubnya pun terbilang kelas dua. Akhirnya sepak bola pada masa itu berada dalam titik suram. Timnas dibantai sana-sini saat berlaga pada ajang internasional. Akhirnya orang nomor satu di persepak bolaan tanah air itu nyebrang ke kelompok lama. Menata kembali sepak bola pada jalurnya.

Setelah Jokowi berkuasa, revolusi yang sempat tertunda dan gagal total tersebut ingin diulang kembali. Pak Imam memutuskan membekukan PSSI. Tak lama kemudian beliau membentuk tim transisi – ala-ala Jokowi sebelum dilantik jadi presiden membentuk pemerintahan transisi – yang tugasnya untuk memperbaiki tata kelola sepak bola tanah air. Kerja sana, kerja sini akhirnya Pak Menpora menggulirkan Piala Kemerdekaan. Hasilnya? Tentu tak jauh berbeda dari revolusi pertama, GAGAL TOTAL. Sponsor telat masuk, pemain-pemainnya tak terlalu menonjol, dan bahkan pesertanya pun berasal dari kasta kedua sepak bola tanah air.

Di saat yang bersamaan Mahaka Group datang mengajukan proposal pengajuan turnamen sepak bola. Turnamen ini terbilang lebih berhasil dari turnamen yang diadakan oleh Menpora. Mahaka berhasil membawa klub-klub beken kasta tertinggi sepak bola tanah air. Sponsor dan bahkan jumlah penonton yang hadir langsung ke stadion maupun yang melalui layar kaca begitu membludak. Mahaka yang juga dimiliki oleh Erick Tohir sang pemilik klub Inter Milan, mampu menjadikan turnamen ini sebagai penghapus rasa haus pecinta sepak bola nasional. Setiap pertandingannya disiarkan langsung oleh stasiun televise.

Namun tampaknya pemerintah tampak tak ingin jadi penonton saja menyaksikan turnamen besar tersebut. Mereka menyelipkan satu nama yakni Maruarar Sirait – yang pernah dijagokan jadi Menpora namun gagal karena koalisi gemuk Jokowi-JK – masuk dalam jajaran pelaksana.

Imam Nachrowi seakan dilupakan oleh pemerintahan Jokowi. Seperti ada permainan dua kaki dari Jokowi dan penasehat-penasehatnya dalam ranah sepak bola nasional. Menpora dibiarkan begitu saja, Piala Kemerdekaan seperti hanya sebuah tarkam yang minim menarik penonton dan pundi-pundi uang. Bahkan, kabarnya sampai saat ini hadiah untuk juaranya belum sempat dicairkan. Disaat yang bersamaan, Jokowi memiliki Maruarar yang ia titipkan untuk ikut masuk dalam kepanitiaan penyelenggara. Sampai di sini kita sadar bahwa dunia politik memang sangat sadis.

Menpora awalnya diberikan tugas untuk merebut kekuasaan PSSI melalu kekuasaannya. Setelah berkaca dari hasil Piala Kemerdekaan, Menpora seperti Macan ompong yang sudah tak bertaring lagi. Memiliki kekuasaan namun tak memiliki andil, khususnya untuk pencitraan melalui ajang Piala Presiden. Tugas pertama Imam Nachrowi terbilang gagal.

Oke, kembali ke ranah sepak bola nasional. Partai final piala presiden akan berlangsung. Sriwijaya melawan Persib di Stadion Gelora Bung Karno. Sepanjang sejarah dunia sepak boal, mungkin ini adalah pertandingan paling ribet yang akan di gelar di tanah air tercinta. Permintaan ini itu dari pihak Persib dan juga pendukungnya seakan menjadi bahan tertawaan bagi para penggemar sepak bola tanah air – tentu yang aktif mengikuti bukan yang sekedar sok peduli.

Jakarta pada tanggal 18 Oktober 2015 status keamanannya menjadi siaga I dikarenakan partai final sebuah turnamen sepak bola di luar federasi sepak bola dunia (FIFA).

Sudah sangat mahfum, Jakmania dan Bobotoh memiliki rivalitas yang sangat kuat. Keduanya bahkan jarang dipertemukan dalam satu stadion. Di Jakarta dan di Bandung kepolisian tak berani menjamin keamanan apabila keduanya bertemu. (Dalam dua tulisan sebelumnya saya sudah membahas rivalitas mereka).

Jokowi dan Mahaka untuk kali ini sangat menginginkan agar partai final di gelar di stadion GBK. Kepolisian seperti tertantang akan hal tersebut, akhirnya dari pihak mereka mengizinkan dengan meningkatkan status keamanan Jakarta menjadi siaga 1.

Pada piala presiden kali ini sepertinya banyak orang yang ingin bermain. Jokowi, jelas ia sangat menginginkan panggung besar yang dekat dengan rakyatnya. Sepak bola adalah olah raga favorit penduduk Indonesia. Setelah Menporanya gagal memperbaiki tata kelola sepak bola nasional, Jokowi ingin sekali berada di panggung tertinggi piala presiden nanti. Apalagi keadaan di luar sepak bola sangat merugikan Jokowi. Ekonomi yang tak stabil bahkan cenderung menyusahkan masyarakat. Kasus pembakaran hutan yang tak kunjung mampu dipadamkan oleh Jokowi. PHK buruh dan karyawan pabrik. Impor beras yang begitu besar dari negara luar. Kerugian Pertamina akibat harga BBM yang anjlok. Dan masih banyak lagi masalah-masalah kekuasaannya yang terbilang cukup menggoyang kursinya di istana.

Posisi Maruarar Sirait pun cukup menguntungkan. Keberhasilannya bersama Mahaka seakan menunjukkan bahwa ia lebih layak menjabat Menpora dibanding Imam Nachrowi. Dan Mahaka selaku promotor sudah jelas akan meraih keuntungan yang besar dari turnamen ini. mungkin kerjasamanya bersama Maruarar Sirait pun akan berlanjut pada penyelenggaraan-penyelenggaraan lainnya. Bahkan bisa jadi nanti Mahaka akan menjadi operator pelaksana liga Indonesia selanjutnya. Ini baru kemungkinan saja.

Negara memang sedang butuh panggung untuk pencitraan. Namun tidak segitunya juga. Memaksakan final di Jakarta seperti menyulut kembali api permusuhan Jakmania dan Viking. Aksi penolakan sudah jelas dan lantang dilakukan oleh Jakmania. Bukan karena apa, ini adalah masalah keadilan yang belum selesai. Kasus Cikampek tahun kemarin sungguh tidak mengenakan buat Jakmania. Perjanjian damai yang dipelopori oleh pihak kepolisian berakhir dengan kelam. Kepolisian sendiri yang memukul mundur secara membabi buta rombongan The Jakmania untuk hadir langsung menyaksikan pertandingan Persib vs Persija di Sijalak Harupat.

Perdamaian bukan untuk kepentingan sesaat. Sebelum penentuan venue final, baik Mahaka, Pemerintah, Kepolisian, maupun pihak-pihak lain – yang kini merasa sebagai pahlawan – tidak pernah mendengungkan perdamaian secara langsung.

Kini nasi sudah dicampur sayur, begitulah. Jakarta siaga 1. Berapa banyak biaya dan personil polisi yang dikerahkan. Semua sibuk mengurusi final ribet kali ini. Hanya pihak Sriwijaya FC saja yang adem ayem dan tidak banyak tuntutannya.
Personel kepolisian tersiar kabar akan diterjunkan sebanyak 30 ribu personel untuk mengamankan jalur Bandung-Jakarta. Belum lagi anggaran yang dikeluarkan. Bayangkan, jika Jokowi serius menjadi pemimpin bangsa ini, ia pasti lebih memilih menerjunkan personel sebanyak itu untuk mematikan api di Kalimantan dan Sumatera yang sudah banyak memakan korban, daripada untuk memenuhi hasratnya untuk hadir pada final nanti.

Sepak bola jelas bukan hal yang sederhana lagi bagi para petinggi negeri ini. Ajang perebutan kekuasaan. Bahkan sampai lupa masalah-masalah yang lebih penting lainnya. Sepakbola saat ini sudah ditunggangi oleh banyak kepentingan. Sehingga tak ada lagi suka cita yang dirasakan oleh masyarakat.

#NegaraLagiNgelawak yang disampaikan oleh netizen memang cukup mewakili pemerintahan Jokowi saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae