Rabu, 14 Oktober 2015
Jakarta Melawan
Saat ini merupakan saat yang tidak mengenakan untuk para Jakmania. Penolakan mereka kepada penyelenggara turnamen piala presiden agar tidak menyelenggarakan partai final di Stadion Utama Gelora Bung Karno agar suasana Jakarta tetap aman dan kondusif terabaikan. Pihak Mahaka selaku penyelenggara menetapkan partai puncak tetap berlangsung di GBK pada hari Minggu 18 Oktober 2015.
The Jakmania selaku supporter yang tinggal di Jakarta dan setia dan loyal terhadap Persija Jakarta menolak dengan keras hal tersebut dari jauh-jauh hari.
Viking dan Bobotoh yang kerap kali merugikan Persija Jakarta apabila bertanding di Bandung bukanlah tamu yang patut diterima dengan tangan terbuka. Supporter Bandung kerap kali melakukan provokasi untuk memancing keributan dengan Jakmania. Terbukti jika mereka bermain di Sijalak Harupat, nyanyian-nyanyian rasis kerap kali mereka suarakan. Semua penonton sepak bola tanah air mungkin sudah sangat akrab mendengar Viking dan Bobotoh menyanyikan “the jak anj*ng dibunuh saja” kerap kali terdengar melalui stasiun tv apabila Persib berlaga. Belum lagi tentang sebuah doktrin dari panglima mereka yang mengatakan bahwa “permusuhan antara Viking dan The Jak abadi”. Hal-hal inilah yang tak pernah masuk dalam media-media berita nasional.
Sejatinya supporter Bandung pernah masuk ke Jakarta dengan aman dan nyaman sebelum mereka melarang Jakmania masuk ke Stadion Siliwangi. Pada final 1985 yang mempertemukan Persib dan PSMS kedua supporter dapat masuk dan menyaksikan pertandingan tersebut dengan aman dan nyaman. Namun pada beberapa waktu kemudian, mereka menolak supporter dari Jakarta masuk ke dalam kandang mereka. Inilah sedikit kepingan awal mula Jakmania menolak Persib main di Jakarta.
Terakhir pihak kepolisian pernah mencoba mendamaikan perseteruan The Jak dan Viking. Namun itu hanya perjanjian belaka, pihak kepolisian sendiri yang menyerang dan menghadang rombongan Jakmania ketika sedang menuju ke Stadion Jalak Harupat saat Persija akan melawan Persib. Padahal dalam kesepakatan tersebut, Jakmania berhak hadir ke dalam stadion, namun pihak polisi dan juga Bobotoh menolaknya. Inilah omong kosong yang tak pernah masuk dalam arus media.
Saat ini semua pihak sok ikut campur dalam permasalahan penolakan Jakmania menolak Persib main di Jakarta. mereka-mereka hanya mendengar dan membaca berita-berita arus utama saja, tanpa pernah mencoba mencari tahu lebih dalam akar permasalahannya.
“Bad news is a good news”, itulah sekiranya cara kerja yang dipakai oleh sebagian awak media jika ingin memberitakan tentang Persija dan juga Jak Mania. Pengalaman telah banyak terjadi, bahwa hal-hal negatif lah yang sering kali masuk pemberitaan nasional. Lantas kenapa fakta-fakta provokatif dari pihak Bobotoh sengaja diabaikan dan lebih menyudutkan The Jakmania karena menolak laga final nanti.
Alex Sobur mendefinisikan media massa sebagai, “suatu alat untuk menyampaikan barita, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, ia mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik antara lain, karena media juga dapat berkembang menjadi kelompk penekan atas suatu ide atau gagasan, dan bahkan suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan untuk diletakkan dalam konteks kehidupan yang lebih empiris.”
Dari penjelasan di atas, kita dapat pahami bahwasanya media massa bukan saja menyampaikan informasi yang murni dari lapangan sesuai dengan fakta yang terjadi, namun media massa juga mampu membentuk opini publik sesuai dengan kepentingannya. Media massa di sini dijelaskan bukan sebagai institusi yang memberikan fakta apa adanya.
Mengingat kembali salah satu tulisan saya, dalam teori Jarum Hypodermik, media massa memiliki dampak yang kuat, terarah, segera dan langsung. Media ampuh memasukkan ide pada benak khalayaknya. Media arus utama telah mencipakan citra yang buruk kepada Persija dan juga Jakmania selama ini. Khalayak terus menerus diterpa tentang hal-hal buruk tentang mereka, sehingga dalam benak khalayak munculah persepsi bahwa Jakmania adalah komunitas yang kerap kali membuat onar di Ibu Kota. Padahal, yang justru harus kita ingat ialah pendapat Brian McNair dalam bukunya Cultural Chaost: Journalist, News and Power in a Globalised World terkait pendapatnya tentang media. Ia menunjukkan bahwa berita yang tersaji di media merupakan realitas media tersebut, bukan realitas sungguhan yang terjadi di lapangan. Lebih jauh, realitas yang diciptakan media massa merupakan hasil ciptaan pekerja medianya, terkait tentang latar belakang, pendidikan dan juga pandangannya melihat sebuah kejadian yang terjadi di lapangan.
Laga final nanti sudah jelas memiliki banyak kepentingan. Dari pihak promotor, presiden, politisi, pihak keamanan dan tentunya media massa. Pemberitaan ini akan terus dibahas agar mereka meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.
Jika masih banyak yang mempertanyakan sikap Jakmania, coba tanyakan pada pihak bobotoh dan batu nisan “kenapa mereka menginginkan permusuhan ini abadi?”.
Dan untuk Pak Jokowi dan para politisi jangan jadikan rivalitas ini untuk panggung pencitraan. Sejatinya sepak bola tanah air tak banyak kemajuan di tangan pemerintahan anda, justru kini dalam jurang kehancuran.
Mempertahankan harga diri lebih baik daripada memperoleh simpati.
Sajete
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Mengenai Saya
- ahmad fauzi
- bekasi, jawa barat, Indonesia
- sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar