Kamis, 08 Desember 2011

sepak bola dan politik

Kebanggaan masyarakat mulai tumbuh kembali kepada sepak bola tanah air. Setalah tim senior terseok-seok di babak kualifikasi piala dunia 2014 dan sudah dapat dipastikan tidak akan lolos ke putaran selanjutnya kini anak-anak asuh Rahmad Darmawan di tim nasional U-23 menorehkan permainan luar biasa pada gelaran Sea Games yang ke 26 ini. Permainan Egi Malgiansyah dan kawan-kawan di ajang ini mampu membuat para pecinta sepak bola kembali lagi mendatangi stadion kebanggan Gelora Bung Karno. Walau bukan level asia, tetapi apa yang ditampilkan oleh mereka menunjukkan betapa ada harapannya untuk tersenyum manis bagi para pecinta sepak bola yang menyaksikannya. Timnas sepak bola Sea Games kita berhasil masuk final walaupun tidak berhasil menjadi juara. Tapi ini pun sudah membangkitkan kembali harapan pecinta sepak bola negeri kita untuk bermimpi meraih prestasi di tahun-tahun berikutnya.

Sebenarnya kebanggaan seperti ini pernah muncul ketika gelaran Piala AFF pada awal tahun ini. Alfred Riedl yang waktu itu memimpin Tim Nasional senior mampu masuk hingga babak final sebelum dikalahkan oleh Malaysia. Ya, memang lawan-lawan yang dihadapi oleh Tim Garuda tidak setangguh di babak kualifikasi piala dunia 2014. Qatar, Iran, Bahrain memang jauh kualitasnya jika dibandingkan dengan Negara-negara Asia Tenggara. Namun kekompakkan tim, permainan kolektif, hubungan yang harmonis antara pemain dan pelatih, semangat juang pemain di Piala AFF lalu jelas jauh lebih baik dibandingkan dengan babak kualifikasi piala dunia ini. Penonton hadir ke stadion bukan semata ingin melihat Timnas menaklukkan Qatar, Iran dan Bahrain. Penonton puas jika apa yang di perjuangkan oleh pemain di dalam lapangan begitu optimal seperti yang dilakukan Timnas di Piala AFF lalu.

Kini apa yang dinantikan kembali oleh para pecinta sepak bola tanah air dibayar dengan menyakinkan oleh para Garuda Muda di gelaran Sea Games ini. Kompak di dalam dan di luar lapangan, permainan kolektif yang cukup bagus, hubungan yang harmonis antara pelatih dan pemain, di sajikan dengan sempurna oleh para Garuda Muda kita.

Ini mampu menghilangkan sejenak bagaimana kepemimpinan Djohar Arifin yang dapat dikatan minus di PSSI. Pecinta sepak bola mungkin pada saat ini akan sedikit melupakannya, namun jangan sampai terlena sampai gelaran ini usai. Control yang harus terus dilakukan oleh kita sebagai pecinta sepak bola tentunya harus terus dilanjutkan.

Kontroversi PSSI setelah Era Nurdin Halid Lengser

Setelah sekian lama sepak bola kita dipimpin oleh Nurdin Halid yang dapat dikatakan gagal dan begitu banyak polemic di dalamnya, kini muncul nama Djohar Arifin sebagai penggantinya. Hal ini sungguh dinantikan oelh para pecinta sepak bola tanah air, semoga setelah era Nurdin sepak bola kita menemukan kembali prestasi-prestasi di pentas internasional, pembinaan pemain muda yang kompeten, liga yang dijalankan professional dan lepasnya sepak bola dari kepentingan partai politik semata. K-78, kelompok penentang Nurdin yang menuntut diadakannya Kongres Luar Biasa (KLB) untuk menurunkan Nurdin dan para kawanannya. Kongres berhasil dilakukan, dan pemilihan ketua umum baru pun digulirkan. Namun nama-nama seperti Nurdin Halid, Nirwan Bakrie, Arifin Panigoro, dan George Toisutta tidak boleh disertakan oleh FIFA. Muncullah calon-calon baru, Djohar Ariifin pun terpilih malalui dukungan yang diberikan oleh K-78.

Harapan dan perubahan baru mulai ada, namun tidak bertahan lama. Mulai dari pemecatan controversial Alfred Riedl sebagai pelatih Tim Nasional dan Wolfgamg Pikal sebagai assistennya. PSSI pada waktu itu menganggap kontrak Riedl dan Pikal hanya terikat kepada Nirwan Bakrie saja tanpa ada kaitannya dengan PSSI. Riedl pun mengadukan polemic ini ke FIFA karena merasa dirinya dikontrak oleh PSSI bukan oleh Nirwan Bakrie, lagipula setelah seminggu pemecatan Riedl tidak kunjung menerima kompensasi yang harus diberikan oleh PSSI.

Belum lagi masalah pengaturan liga yang akan dijalankan oleh PSSI pada musim depan. Bermula dari memutuskan peserta liga diikuti oleh 36 klub dan dibagi menjadi 2 wilayah, lalu diputuskan kembali liga hanya diikuti oleh 18 klub, lalu berubah lagi menjadi 24 klub. 18 klub berasal dari klub yang musim lalu mengikuti Liga Super ditambah klub yang baru promosi dari divisi utama, dan 6 klub yang ditunjuk secara langsung oleh PSSI dengan berbagai alasan yang diajukan. Keputusan yang berubah-ubah tersebut sungguh membuat liga semakin tidak jelas bagaimana berjalannya musim depan. Hal ini pun membuat para klub-klub yang tidak setuju bergulirnya liga dengan 24 klub membuat liga lagi yang dianggap sesuai dengan statute yang telah diputuskan PSSI di Bali. Berdasrkan hasil kongres di Bali, di dalam statute tersebut, liga yang sah adalah liga yang dijalankan oleh PT. Liga Indonesia dan diikuti dengan 18 klub.

Dari sebagian kecil permasalahan diatas, tidak mungkin pelatih sekelas Alfred Riedl melakukan kontrak hanya sebatas dengan pribadi seorang saja tidak dengan PSSI. Terkait dengan keputusan PSSI yang memutuskan liga diikuti oleh 24 klub ini menimbulkan tanda Tanya besar kepada PSSI. Bagaimana tidak, liga ditambah oleh 6 klub yang tidak berhak mengikuti liga. Tanpa mengikuti kompetisi yang sah mereka langsung di sertakan ke level tertinggi sepak bola kita. Ini menodai spotifitas.

Kritik untuk K-78

Setelah runtuhnya dinasti Nurdin Halid di PSSI, kini berganti kepengurusan yang tidak jauh berbeda dengan kualitas dari nurdin Halid. Beitu banyak keputusan yang controversial yang dilakukan oleh pengurus sekarang. Lalu bagaimana peran K-78 yang begitu ngotot ingin menurunkan Nurdin pada waktu itu?. Sikap mereka terhadap masalah ini seperti apa?

Kelompok 78 terpecah menyikapi apa yang dilakukakn ketua PSSI saat ini. Sehingga mereka membentuk kelompok baru dan membuat sebuah kompetisi yang mereka anggap sah menurut kongres yang pernah dilakukan di Bali. Liga Super kembali mereka bentuk dan PT Liga Indonesia sebagai administatornya. Kompetisi ini terdiri dari klub-klub yang tidak setuju dengan komeptisi yang akan dimainkan 24 klub. Untuk yang ada di dalam kelompok ini mereka berani melawan penyakit-penyakit baru yang muncul di PSSI setelah turunnya Nurdin dari titah kekuasaan. Sebagian yang lain dari Kelompok 78 menyetjui apa yang di lakukan oleh pengurus PSSI saat ini.

Seperti kata Hannah Arend, filsuf kelahiran Jerman, “Mereka yang paling radikal mendukung revolusi akan menjadi kelompok paling konservatif, sehari setelah revolusi terjadi.” Ini terjadi kepada sebagian besar anggota Kelompok 78 yang waktu itu begitu ngotot untuk menurunkan Nurdin Halid. Mereka diam saja, melihat begitu banyak permasalahan-permasalahan baru yang di buat oleh pengurus PSSI saat ini.

Kini sudah saatnya supporter-suporter sepak bola tanah air melakukan pendekatan untuk memikirkan bagaimana sepak bola Indonesia tidak lagi menjadi alat untuk meraih keuntungan semata kelompok-kelompok tertentu. Lawanlah mereka, dengan kecintaan kalian terhadap sepak bola. Mungkin sudah saatnya seluruh insane yang memang mengaku cinta terhadap sepak bola tanah air menunjukkan jati dirinya dengan cara melakukan sebuah diskusi besar untuk melahirkan sebuah keputusan bahwasanya PSSI saat ini sudah tidak benar dan harus diganti kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae