Mungkin kita terlalu sering mendengar kata suap, korupsi dan kampanye pada era reformasi ini. Kehidupan kita selalu disesaki oleh ketiga kata ini. Suap sering kali kita melihat atau membaca berita di media massa yang melibatkan pejabat negeri ini. Korupsi, siapa yang tidak pernah mendengar kata ini. Setiap harinya selalu ada pejabat pemerintahan baik di daerah maupun di pusat yang ditangkap oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Kampanye, di era demokrasi seperti saat ini begitu sering kita mendengar kata kampanye. Lalu apa kaitannya ketiga kata tersebut dengan partai politik?
Suap, secara logika awam saja kita dapat memahami arti dari suap. Dari sudut logika awam suap adalah pemberian “sesuatu” dari pihak yang merasa diuntungkan oleh kebijakan yang dibuat oleh pihak lain. Secara Istilah (kamus Bahasa Indonesia) adalah memberi uang dan sebagainya kepada petugas (pegawai), dengan harapan mendapatkan kemudahan dalam suatu urusan. Tentunya pemberian ini bukan dari seorang sebut sajalah seorang majikan yang memberikan kepada pembantunya. Pemberian ini diterima dari pihak luar. Contohnya, kasus pemilihan Deputi Gubernur Senior BI.
Korupsi, sudah menjadi musuh besar bangsa ini sejak dahulu. Korupsi merupakan ancaman besar bagi pembangunan bangsa yang merata, adil dan makmur. Korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang dapat membunuh rakyat miskin secara perlahan. Ironisnya korupsi tidak pernah hilang dari muka bumi pertiwi ini. Selalu aja muncul bagaikan rumput liar.
Kampanye mengutip dari bahan kuliah yang diberikan oleh Gun Gun Heryanto, menurut Roger dan Storey (communication campaign) kampanye adalah serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu. Kampanye pada Negara yang cukup luas seperti bangsa Indonesia ini tentunya tidak cukup hanya menggunakan biaya yang sedikit. Maka dari itu setiap partai politik harus mempunyai dana yang kuat untuk mengikuti pemilu.
Keadaaan
Memang ini bukan sebuah fenomena baru lagi. Suap yang diterima oleh para keder partai politik sering kali terjadi. Bukan ingin berasumsi bahwa hasil suap tersebut untuk membiayai kampanye parpol, tetapi hanya ingin melihat fenomena tersebut sering terjadi. Kita lihat saja anggota komisi IX DPR periode 1999-2004. Dalam pemilihan deputi gubernur senior BI, Miranda Gultom memberikan aliran dana sebesar Rp 9M. Dalam kasus suap ini melibatkan 19 nama anggota komisi IX DPR yang berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Aliran itu masuk ke rekening anngota DPR tersebut kisaran dari Rp 200 juta- 500 juta. Hanya ada 1 orang yang menerima lebih dari Rp 1M.
Sehabis pemilu 2009, muncul kasus dugaan penyalahgunaan dana bailout Bank Century sebesar Rp 6,7 T. Kasus ini melibatkan Wakil Presiden terpilih Budiono dan Sri Mulyani yang waktu itu menjabat sebagai menteri keuangan. Hal yang paling buruk dalam kasus ini ialah dugaan bahwa uang tersebut mengalir ke dalam Partai Demokrat.
Belum lama ini ada lagi kasus suap yang melibatkan anggota partai dalam dana pembangunan wisma atlet untuk Sea Games yang akan segera diselenggarakan. Lebih menonjol, dalam kasus ini melibatkan bendahara Partai Demokrat M Nazaruddin. Dalam kasus ini M Nazaruddin tidak mau hanya dijadikan tumbal oleh partainya, lalu dia “bernyanyi” kepada media bahwa bukan hanya dia saja yang menikmati hasil korupsi dana tersebut. I Wayan Koster dan Angelina Sondakh ikut terseret dalam pengakuan Nazaruddi.
Korupsi yang melibatkan para anggota DPR ini tentunya sangat merisaukan. Hal ini memunculkan kecurigaan pada diri kita ada apa dibalik kejadian tersebut. Biasanya hal-hal seperti diatas sering kali terjadi kepada mereka yang memiliki akses kekeuasaan. Biasanya korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki akses kekuasaan akan lama terungkapnya. Biasanya dalam hal ini KPK, Mahkama Agung (MA), Kejaksaan dan Kepolisian terjebak dalam pola obstruction of justice atau pengadilan dan pertanggungjawaban pidana hanya orang-orang korup tetapi tak berkuasa.
Mungkinkah hasil korupsi tersebut digunakan untuk membiayai kampanye partai politiknya. Hal ini sulit dibuktikan, karena BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) selaku badan yang berdiri untuk memeriksa keungan tidak bisa masuk keranah dana kampanye. Hal ini menyebabkan BPK tidak bisa mengawasi dan mengontrol dana kampanye partai politik. BPK hanya berwenang mengawsi dan mengontrol penggunaan serta pengelolaan keuangan Negara. Terlebih lagi, pada pemilu 2009 lalu, Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) mengaku kesulitan untuk masuk kedalam partai politik untuk melihat penerimaan dan penggunaan dana kampanye.
Memang dalam menghadapi pemilu, banyak partai berlomba-lomba untuk mencari dana kampanye ke pihak-pihak yang ingin memberinya. Dilema memang, untuk menghadapi pemilu partai membutuhkan banyak dana untuk mengkampanyekan visi dan misi mereka sampai kepelosok negeri ini. Apalagi bangsa kita begitu luas wilayahnya.
Kita memang takut, meriahnya demokrasi bangsa ini menyisakan luka bagi rakyat Indonesia. Begitu besarnya dana kampanye yang dibutuhkan membuat partai politik gelap mata untuk mengambil uang Negara. Jangan sampai demokrasi kita terus seperti ini. Perlu cara dan undang-undang yang tegas untuk mengatasi permasalahan ini.
Semoga semua partai politik arif dalam mencari dana kampanye yang mereka butuhkan untuk menghadapi pemilu. Bangsa kita banyak menjadi contoh bagi Negara-negara lain dalam hal demokrasi. Semoga keunggulan kita dalam hal demokrasi tidak sampai perlu melakukan tindakan korupsi oleh partai politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar