Kuliah, itu sekarang tingkatan pendidikan ku. Sebuah universitas islam negeri yang cukup mempunyai nama dalam sejarah pendidikan Indonesia. Letaknya berada di pinggiran selatan Jakarta. Apa alasan ku kuliah disana, mungkin biaya pendidikan yang terjangkau. Alasan utamanya adalah itu terlepas dari apapun itu. Biarlah hanya seperti itu data diri yang kuungkapkan diawal perkenalan ku dengan seorang wanita berparas manis.
Tanpa sadar aku pun lupa mengenalkan namaku kepadanya, sambil mengulurkan tangan “oji itulah namaku lengkapnya adalah Ikhsan Fauzi” kataku. Dia pun dengan akrab menjabat tanganku lalu berkata “nung lengkapnya adalah Nur Hayati”. Ahh, nama nya sangat sederhana namun begitu persis seperti pemiliknya. Cahaya kehidupan arti dari namanya seperti apa yang kurasa seperti saat itu. Kami berdua pun mengobrol akrab setelah kami resmi memperkenalkan nama kami. Dia menceritakan dari mana asalnya, dimana kuliahnya, sampai kejadian sebelum kami bertemu. Asalnya adalah dari kabupaten Bogor, Jonggol lah tepatnya, nama daerah yang begitu asing bagi telingaku. Dia berada di Jakarta baru saja mengunjungi rumah saudaranya. Kuliah di Bandung, semester 7 fakultas keperawatan. Aku begitu takjub dengan wanita seperti ini, yang langsung mengobrol akrab dengan orang yang baru dikenal. Dia ke Jakarta katanya habis melihat saudara sepupunya lamaran. Sambil sedikit kesal dia berucap “apaan si hanya lamaran aja aku dipaksa datang dari Bandung ke Jakarta hanya untuk menjadi pendamping saja dikira nikahan kali, kan lelah, lelah badan lelah pikiran aku kan juga harus istirahat” ucapnya. Dalam hati malah aku mensyukuri permintaan sepupunya tersebut “karena permintaan sepupunya aku bisa bertemu denganmu” gumamku sambil tersenyum kecil. Sial, dia melihat senyum anehku itu, “kenapa kau senyum-senyum sendirian! Ada yang aneh yah?” tanyanya. “mmm, tidak kok aku hanya lucu dengan sepupu mu itu lamaran saja pakai minta didampingi lagi” kilahku. “ iya yah, aneh bangat sepupu ku itu” timpalnya.
Sambil melihat kesekeliling, aku sesekali melirik wajahnya yang mampu membuat cair dinginnya hati ini. Hujan yang tidak hentinya turun dari langit sejak setengah jam yang lalu membuat kami bercengkrama akrab. Awalnya aku hanya membantu mengambilkan buku-buku yang terjatuh saat dia pegang, karena tasnya tidak terlalu muat untuk dimasukkan buku tersebut apabila dicampur dengan pakaian yang dia bawa. Sambil berlari kecil untuk menghindari hujan setelah turun dari angkot, aku juga baru saja turun dari bus kota yang biasa ku naiki untuk menuju kampus. Tempat pemberhentian terakhir diterminallah aku memutuskan turun. Biasanya aku turun diluar terminal supaya angkot selanjutnya yang akan ku naiki untuk menuju rumahku tidak ngetem didalam terminal. Namun hari ini lain, hujan yang begitu deras aku tidak mau turun disana, takut pakaian yang aku kenakan basah kuyup. Ketika aku turun dari bus kota, aku melihat seorang gadis berlari kecil dengan memegang payung ditangan kanannya dan tangan kirinya untuk memegang buku. Mungkin karena derasnya hujan membuatnya terburu-buru sehingga buku yang dipegangnya pun terjatuh, akupun langsung bereaksi. Dengan berlari cepat utnuk mengambil buku tersebut agar tidak terlalu basah. Aku hanya menggunakan jaket hitam dan handuk kecil untuk menutupi kepalaku. Dia yang sudah sampai tempat tunggu penumpang hanya bisa menyesal bukunya terjatuh, akupun lalu menyusul dia ketempat tunggu terminal. Tanpa basa-basi aku memberikan buku yang suduh cukup lumayan basah kepadanya.
Berkerudung hitam, menggunakan jaket berwarna biru, dan rok panjang berwarna hitam juga terlihat manis sekali. Kulitnya yang sawo mentah, bibirnya yang mungil, hidungnya yang biasa saja, matanya yang seukuran orang Indonesia layaknya cukup membuat aku terpesona. Terlebih dalam gaya pakaiannya yang begitu sopan. Lirik lagu dangdut yang “dia tidak cantik mak, dia tidak terlalu jelek mak, dia sedang-sedang saja” begitu pas dengan penampilan dia.
Itulah awal pertemuan kami, sebelum kami mengobrol lebih panjang lagi. Hujan yang tidak kunjung henti juga sejak setengah jam yang lalu memaksa kami mengobrol lebih panjang lagi. Aku mengtakan padanya aku semester 7 fakultas ilmu dakwah dan ilmu komunikasi jurusan komunikasi dan pnyiaran islam disebuah universitas islam negeri di Jakarta. Berlanjutlah obrolan kami berdua. Dia pun terkejut mendengar nama fakultas ku. “fakultas ilmu dakwah, berarti kamu calon ustad dong?” tanyanya. Sudah kuduga, seperti teman-teman dan saudaraku pasti bertanya seperti itu apabila aku baru saja aku menyebutkan nama fakultas ku. Dengan tenang aku menjawab “aku tidak konsentrasi di ilmu dakwahnya, aku konsentrasi di ilmu komunikasinya, lebih dalamnya aku tertarik kepada komunikasi massa dan komunikasi politiknya”. “ohh, aku kira kamu calon ustadz hehehe” ucapnya.
Jam 15.15 sudah saat itu, adzan ashar pun berkumandang dari musholla yang sengaja didirikan pihak terminal untuk memudahkan umat islam yang sedang berada didalam terminal tersebut. Letaknya tidak terlalu jauh dari tempat tunggu penumpang, lagi pula untuk menuju musholla dari tempat kami atas jalannya dibuatkan penutup, jadi tidak ada alasan untuk melaksanakan sholat walaupun sedang hujan. “alhamdulillah adzan sudah berkumandang, yuk kita sholat terlebih dahulu sambil menuggu hujan reda?” pintaku. “iya Alhamdulillah kita masih diberikan kesempatan bersujud untuk mensyukuri rahmat-Nya hari ini, yuk” jawabnya. “kamu bawa mukenah?” tanyaku sebelum kami berdua menuju musholla. “iya aku bawa kok, tenang ajah”. Mendengar jawabannya aku semakin kagum dengan dirinya. Di jaman seperti ini, dimana kebanyakan anak muda sudah menomor duakan nilai-nilai agama, masih saja ada wanita seperti dia. Pakaian yang tertutup dan sopan, namun tidak mengurangi bagaimana menjaga hubungannya dengan orang lain, termasuk diriku yang baru dikenal belum genap satu jam olehnya. “ahhh,, apalagi ini, jangan terlalu mudah terpesona kepadanya” gumamku dalam hati.
Kami pun berdua menuju musholla tersebut. Dia berjalan menuju tempat wudhu wanita, akupun menuggunya di pelataran musholla. Dia meminta aku untuk menjaga barang-barang yang dibawanya agar tidak terlalu risih dalam berwudhu. Lagi-lagi dengan sikapnya yang seperti ini, membuatku semakin tergila-gila. Tidak menyangka saja, dipertemukan di tempat yang banyak orang menaruh curiga terhadap orang yang tidak dikenalnya, dia malah dengan penuh percaya menitipkan barang bawaannya kepadaku. Ini sungguh jarang terjadi.
“Maaf ya lama, aku tadi buang air kecil dahulu baru berwudhu” ucapnya menghillangkan lamunanku, tentang bagaimana sikapnya yang begitu mudah percaya kepada orang lain. “iya gak apa-apa, aku wudhu dulu ya, kamu langsung saja masuk ke musholla, solat berjamaah sudah hampir dimulai tuh” ucapku. “Mmm, sehabis solat bila kamu masih ingin ngobrol sama aku tunggu aku ya disini?”. “Mmm, liat gimana nanti ya, yaudah aku masuk duluan ya”. Dalam hati aku masih berharap kamu menuggu aku disini, aku ingin lebih jauh mengenal seorang gadis yang mampu membuat ku kagum. Manis, sopan, terbuka, dan soleha. Ohhh, pria mana yang tidak jatuh cinta kepada sikap dan kebaikanmu itu. Iqomah berkumandang, membuat ku tersedar telah lama aku memikirkan dirinya dalam hati, lalu cepat-cepat aku mengambil air wudhu.
Sesudah salam, aku lalu berdoa agar dia tetap menungguku didepan sana. Aku terlambat dua rakaat dalam solat berjamaah tadi. Sehabis berdoa, aku bergegas ke pelataran musholla dimana tempat aku memintanya menuggu apabila ingin bertemu lagi. “Mungkinkah dia akan menunggu ku?” sambil berjalan aku memikirkan hal itu. Kulihat didepan sana ada dirinya, sambil berduduk dia ku lihat sedang menulis di selembar kertas, “di masih menugguku, oooh senangnya aku” dia pun memasukkan kertas yang habis dia tulis kedalam tasnya. “sudah sholatnya, jangan ke GR an dulu ya kamu, aku disini karena masih hujan, jadi susah deh aku naik busnya” ucapnya. “iya, aku gak ke GR an kok” jawabku. “aku mau bertanya, kok kamu begitu cepat akrab dan percaya sama orang yang baru kamu kenal?” tanyaku. “kenapa, gak boleh ya, kenapa kita tidak harus percaya kepada orang yang telah berbuat baik buat kita, ya walau hanya mengambilkan buku yang terjatuh hehehe. Sederhana memang tapi setidaknya kamu telah menolong aku” jawabnya. “Hehehe, iya-iya, walau hanya mengambilkan buku mu saja ya” timpalku.
Hujan sudah terlihat agak reda, “sial, belum terlalu jauh berkenalan hujan sudah mulai reda saja. Ya Allah izinkanlah lebih lama aku mengenal dewimu yang Kau turunkan hari ini” gumamku dalam hati. “Alhamdulillah hujan nya sudah mulai reda, jadinya kita bisa melanjutkan perjalanan masing-masing ya” ucapnya. “Iya, Alhamdulillah hujan nya reda” jawabku dalam keadaan kecawa yang melihat hujan pun berhenti.
Berakhirlah perjumpaan aku dengan wanita yang sebenarnya biasa saja jika dilihat dari luarnya saja, namun begitu luar biasa wanita ini jika dilihat dari sikapnya. Aku tidak rela berpisah dengan dia, walau hanya 45 menit perbincangan kami namun aku telah menemukan cinta dalam diri ini dari sikapnya. Tidak ada tulisan atau istilah yang dapat kuungkapkan sebagai ungkapan diri ini tentang dirinya. Cantik pun tidak pas untuk mengistilahkan dirinya, bukan karena dia memang tidak terlalu cantik tapi karena dia memang lebih dari istilah tersebut jika dilihat dari sifatnya. Anggun, ohh sangat tidak pas, karena dia lebih anggun dari pesona matahari waktu mulai memancarkan sinarnya di waktu fajar. Lebih anggun dari burung merak betina ketika melebarkan sayap-sayapnya untuk menggoda si jantan. Pelangi yang muncul pun saat itu tidak sebanding dengan keanggunannya. Sikap dan gaya dia berpakaian mengalahkan segalanya. Istimewa sungguh. Wanita biasa yang menjadi luar biasa dengan kepribadiannya.
Aku meminta izin kepadanya agar aku boleh mengantarnya sampai naik kedalam bus. Sebenarnya mau ikut mengantarnya sampai Bandung, namun keuangan kurang mendukung. Apa daya hanya bisa mengantarnya sampai naik bus. Dia pun mengizinkan aku untuk ikut mengantarnya. Yaaa, aku senang sekali diizinkannya untuk mengantarnya naik bus. Raut wajahnya pun agak sedikit berubah, mungkinkah dia juga merasa kecewa dengan berhentinya hujan. Karena tidak dapat lagi mengobrol denganku. Hahaha harapan yang tidak mungkin. Mana mungkin dia tertarik dengan diri ini. Kulit hitam, rupa yang tidak tampan, uang pun tidak punya, apa yang mau aku banggakan dihadapan wanita.
“ Nung, boleh aku meminta no hp (hand phone) mu? Untuk kita tetap saling bersilaturahmi” pintaku dengan rasa gugup. “ Gimana ya, bukan aku gak mau kasih, tapi ya kalu kita memang masih di ijinkan oleh Allah untuk tetap saling bersilaturahmi yang pasti suatu saat nanti kita pasti akan dipertemukan lagi. Kamu paham kan maksudku?”. Ohhh, bumi serasa runtuh mendengar jawabannya, mungkin aku memang yang terlalu menganggapnya lebih dari pertemuan kami yang sederhana tersebut. Aku pahami memang jawabannya tersebut, tapi aku tidak bisa menolakya. Mana mungkin dari kisaran waktu hanya 45 menit mampu membuat seseorang jatuh cinta. Seperti apa rasa ku saat itu. Wanita yang telah mampu membuat ku terjatuh ke dalam hatinya yang terdalam tetapi menolak permintaan ku walau hanya sekedar no hape saja. Ingin rasanya aku mengatakan kepadanya, aku sudah terdampar jauh didalam hatimu. Aku yang tidak bisa menolak perasaan itu. Aku yang bahkan untuk bangkit lagi untuk keluar dalam hatimu tidak mampu. Aku yang telah menyandarkan jiwa kepada pesona sinar mentari diwaktu pagi. Aku yang tidak tahu besok masih dapatkah ku menemukan cahaya kehidupan seperti apa yang kau pancarkan hari ini melalui kebaikanmu. Aku jatuh cinta padamu. 45 menit seperti waktu pertandingan sepakbola satu babaknya. Kau telah mengalahkan ku dalam waktu 45 menit. Aku meminta waktu yang 45 menit selanjutnya untuk menaklukan hatimu. Namun kau menolaknya. Tidak ada 45 menit selanjutnya. Dia membiarkan aku kalah, tanpa harus menjalankan 45 menit selanjutnya. Itulah yang aku rasa pada saat itu.
Tersadar sudah sampai didepan pintu bus. “kamu melamun saja sepanjang jalan tadi” ucapnya. “tidak kok, aku sedang memandangi sekitar saja bagaimana keadaan setelah hujan” jawabku. Dia pun mengulurkan tangan sambil berkata “makasih ya telah menolong dan menemani aku tadi”. Ku ulurkan tanganku sambil berkata “iya sama-sama, hati-hati ya”. Dia pun melepaskan jabatan kami berdua, lalu bergegas masuk kedalam bus untuk mencari tempat duduk. Aku melihatnya duduk tepat 2 bangku dibelakang supir, dibelinya sebotol minuman mineral untuk menemani perjalanan pulangnya. Aku pun hanya diam berdiri disamping bus sambil menuggu bus tersebut jalan.
Dalam hati ku berpikir akankah waktu dapat mempertemukan kita lagi dilain waktu, sambil berharap Allah mengijinkan kita untuk bertemu lagi menyambung tali silaturahmi yang hari ini terlah Dia pertemukan seperti ucapmu tadi. Atau mungkin Allah tidak lagi mengijinkan kita berdua untuk bertemu. Ku serahkan kepada-Mu itu Ya Allah.
Bus pun berjalan, dia pun berdiri melambaikan tangan kepada ku, tidak lupa juga senyuman manis dari bibir kecil yang begitu ramah tersebut dia lemparkan kearahku. Ku balas lambaian tangannya dan senyuman manisnya. Tukang-tukang jajanan pun pada berturunan agar tidak terbawa terlalu jauh keluar terminal oleh bus tersebut.
Aku pun langsung berjalan sedih, menuju tempat angkot kearah rumahku biasanya mangkal. Terdengar suara laki-laki memanggilku dari belakang. “ Mas mas mas tunggu” tiga kali laki-laki itu memanggilku mas. Ku tolehkan wajahku kebelakan, ternyata laki-laki tersebut adalah pedagang minuman yang ddibeli oleh Nung tadi didalam bus. Aku pun menanya nya “ada apa pak?” “ini mas ada titipan tadi dari temen perempuan mas yang tadi di dalam bus” jawabnya. “terima kasih pak telah menyampaikannya” kuambillah selembar kertas yang berada di tangan pedagang tadi.
Ku buka kertas tersebut secara perlahan, didalamnya tertulis kata-kata begitu indah darinya, kata-kata pengaharapan.
“ Jika memang nanti Allah mengijinkan kita kembali bertemu. Aku ingin sekali mendengar ucapan dari dirimu. Sederhana memang pertemuan kita kali ini. Namun kau ubah dengan kesopanan dalam dirimu. Tutur katamu begitu santun. Membuat aku merasa nyaman berada di hadapan seorang pria. Tidak biasanya pria sepertimu. Makanya buru-buru aku tulis pesan ini setelah aku solat tadi. Aku berharap sekali Allah mempertemukan kita lagi. Semoga kau pun menaruh rasa pada diri ku. Kutuliskan no hape ku disini supaya jika memang kau mengharapkan kita bertemu lagi kamu dapat menghubungiku. Tentunya disela-sela waktu libur kita. Terima kasih untuk hari ini tertanda Nung”.
Ahhh bahagia sekali ku membacanya. Dalam hati kukatakan “ ya nanti kita akan bertemu lagi, dan akan kukatakan kepadamu tentang satu kata yang begitu sederhana, cinta”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar