Selama hidupnya manusia tidak lepas dari komunikasi. Biasanya manusia dalam keadaan seperti ini akan mencari informasi yang seluas-luasnya untuk dia cari tahu dan komunikasikan dengan orang lain. Manusia tanpa mengetahui sebuah informasi tentang apapun itu akan tertinggal pengetahuannya dengan lingkungan di sekitarnya dan akan menjadi mahluk yang pasif dalam dunianya. Untuk itu biasanya kita membaca Koran, menonton televise, dan mendengarkan radio untuk memperoleh sebuah informasi. Biasanya yang menjadi andalan bagi kita adalah dengan cara membaca Koran, karena hampir disetiap isinya terdapat informasi-informasi terbaru mengenai seluruh bidang kehidupan, politik, ekonomi, maupun olah raga.
Yang menjadi perhatian adalah apakah semua media tadi berimbang dalam memberikan informasi. Biasanya kita menilai apa yang diberitakan oleh pers terdapat sebuah tujuan tertentu dari media tersebut untuk memojokkan seseorang. Itu tidak lagi lazim di Indonesia, karena hampir semua orang berkepentingan di negeri ini memiliki media sebagai alat pencitraan dirinya dan sebagai alat untuk memojokkan tokoh tertentu.
Kembali ke awal tujuan pers adalah sebagai alat untuk mengawasi orang-orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan. Dalam konteks ini, mau tidak mau pers harus membela kepentingan masyarakat. Dalam hal mengawasi, biasanya pers menjadikan berita sebagai alat control social. Maksudnya jelas sebagai control social, yaitu memberitakan peristiwa yang buruk, keadaan yang tidak pada tempatnya, dan ihwal yang menyalahi aturan: supaya berita buruk tidak berulang lagi dan keadaan berbuat baik serta menaati peraturan semakin tinggi. Maka, berita sebagai control social bisa disebut “berita buruk”.
“Berita buruk” kepada sebuah lembaga pemerintahan mampu membuat opini kepada public yang baru terhadap sebuah lembaga pemerintahan. Biasanya, “berita buruk” mampu merangsang pengawasan yang lebih besar terhadap lembaga tersebut dari masyarakat, dan mampu menimbulkan gagasan-gagasan baru dari masyarakat kepada lembaga tersebut untuk memperbaiki kinerja lembaga tersebut. Kalau “berita buruk” tidak disiarkan kepada public, maka bukan tidak mungkin public tidak akan bisa menimbulkan gagasan-gagasannya untuk lembaga pemerintahan dalam memperbaiki kinerjanya.
Dalam membicarakan pemberitaan yang disampaikan oleh media dan pers, apalagi mengenai “berita buruk” tadi, bukan tidak mungkin public akan menanyakan seberapa jauh kebebasan yang dimiliki oleh pers dalam mencari berita dan menyampaikannya kepada public. Kebebasan sendiri terdapat dua dimensi, bebas dari (freedom from) kekuasaan di luar dirinya, dan bebas untuk (freedom for) melakukan tindakan sesuai dengan tindakan yang dianggap benar nilainya dalam dirinya sendiri.
Dalam konteks kebebasan tersebut, pers dalam memperoleh kebebasan dari (freedom from) sudah memilikinya. Karena sudah tidak ada lagi lembaga yang menekan kinerja pers (lembaga media) dalam menjalankan kegiatannya. Tidak ada lagi yang melarang pers dalam mencari dan memberitakan sebuah informasi. Yang menjadi masalah adalah apakah semua pers sudah memiliki kebebasan untuk (freedom for) memberitakan informasi-informasi sesuai dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh wartawannya. Kembali kepada bahasan diatas, bahwa media di tanah air kini dimiliki ileh orang-orang yang memiliki kepentingan pribadi. Biasanya dalam konteks seperti ini, bagi orang yang memiliki media dan memiliki kepentingan pribadi dalam dirinya sendiri, sang pemilik akan menyeleksi isi berita yang dimiliki oleh si wartawan. Apabila berita tersebut melawan kepentingan sang pemilik media maka sang pemilik akan melarang wartawannya untuk menyampaikannya kepada public. Apabila masih ada pengaruh yang diberikan dari sang pemilik media seperti ini, sudah tidak ada lagi kebebasan jurnalistik bagi wartawan dalam menyampaikan informasi yang dianggap benar nilainya. Menyampaikan berita yang dianggap benar oleh sang wartawan merupakan kebebasan jurnalistik yang dimiliki oleh setiap wartawan. Medianya mungkin sudah bebas berdiri kapanpun dan dimanapun, namun bagi sang wartawan apakah sudah memiliki kebebasan jurnalistik untuk menyampaikan segala berita/informasi yang dianggap benar baginya.
Dalam buku Ana Nadhya Abrar (Analisis Pers: 2011) wartawan dalam menyiarkan beritanya memiliki batasan-batasan. Misalnya, dalam kode etik jurnalistik, UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers, dalam KUHP, dan batasan dalam peraturan yang terdapat dalam tempat mereka bekerja. Semua batasan ini bertujuan untuk menjadikan pelayanan mereka terhadap khalayak bisa dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, media tempat mereka bekerja memiliki akuntabilitas public. Informasi yang diberitakan sebuah media yang miliki akuntabilitas akan membentuk pendapat yang rasional. Jika dipakai dalam kehidupan bermasyarakat, pendapat ini akan melahirkan partisipasi yang rasional pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar