Beberapa waktu yang lalu kita sangat disibukkan dengan ramainya isu controversial yang berkaitan dangan rencana kedatangan Lady Gaga ke Indonesia. Berbagai pihak baik yang mendukung maupun menolak saling bantah-membantah demi mencapai apa yang mereka inginkan. Banyak sekali yang mengharapkan konser Lady Gaga di Indonesia berhasil dilaksanakan. Namun, banyak pula elemen masyarakat yang menolak kehadiran Lady Gaga di tanah bumi pertiwi ini. Mereka saling berargumen ke pihak berwenang (yaitu polisi) agar polisi memberikan atau membatalkan izin konser tersebut.
Bagi yang menginginkan konser tersebut berjalan lancara adalah mereka-mereka yang telah menjadikan Lady Gaga sebagai seseorang yang memiliki sebuah nilai positif untuk ditiru dari apa yang melekat pada diri Lady Gaga. Kesuksesan yang telah diraih oleh Lady Gaga di dunia music internasional menjadi alasan mereka menginginkan Lady Gaga konser di tanah air. Umumnya mereka yang menginginkan konser ini berjalan adalah para “little monster” (julukan untuk para penggemar Lady Gaga) Indonesia dan para seniman yang pemikirannya dipengaruhi dengan nilai-nilai pluralism.
Berbeda dengan orang-orang yang menginginkan konser tersebut berjalan, bagi mereka yang menolak Lady Gaga hadir di negeri ini beralasan bahwa sosok Lady Gaga merupakan sosok yang mampu memberikan efek negative untuk para penerus bangsa. Penolakan ini berdasarkan dari gaya pakaian yang selalu dikenakan oleh Lady Gaga selalu seronok dan melanggar etika budaya kita. Selain itu penolakan ini juga berdasarkan dari sebuah pola pikir yang datangnya dari diri Lady Gaga sendiri, yakni behwa si Lady Gaga mengakui dirinya sebagai pemuja setan, menilai hubungan sesama jenis merupakan hal yang lumrah, dia tidak mengakui adanya Tuhan dan masih banyak lagi alasan penolakan kehadiran sosok Lady Gaga di tanah air.
Kedua kelompok ini selalu menghiasi pemberitaan di tanah air hampir selama satu bulan. Ya, itulah yang terjadi dan membuat kita memberikan perhatian khusus kepada pemberitaan ini.
Dalam tulisan Anton Tabah di harian Republika edisi jum’at 25 Mei 2012, beliau menuliskan “kita lupa telah berikrar bahwa kita telah meletakkan ajaran dan bimbingan Tuhan Yang Maha Esa dalam setiap langkah berpikir dan berperilaku yang berkristalisasi dalam filosofi bangsa Indonesia. Ini berarti pula bahwa seni, kebebasan dan demokrasi kita harus dalam koridor petunjuk dan bimbingan Tuhan Yang Maha Esa.”
Bangsa kita memang bangsa yang menjunjung tinggi nilai kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi. Bangsa yang terbuka bagi budaya asing untuk masuk kedalam negeri ini. Namun, kita jangan sampai lupa terhadap apa yang telah dinyatakan oleh tulisan di atas. Kita jangan sampai lupa dengan apa yang telah kita ikrarkan secara bersama-sama dalam Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pada kasus Lady Gaga ini apakah memang telah sesuai dengan konsep sila pertama dalam Pancasila. Kita harus membandingkan perilaku Lady Gaga dengan apa yang telah kita ikrarkan secara bersama-sama. Kita jangan sampai menggadaikan apa yang telah kita ikrarkan dengan semata-mata memperjuangkan nilai-nilai seni yang memenag sangat bertentangan dengan konstitusi kita. Bangsa ini siapa lagi yang membela selain kita sebagai penduduknya.
Apa yang telah kita ikrarkan secara bersama ini telah menjadi fakta social dalam kehidupan berbangsa kita. Ber KeTuhanan Yang Maha Esa dalam berpikir, bertindak, dan berbudaya telah menjadi filosofi bangsa ini. Emile Durkheim dalam The Rules of Sociological Methods menjelaskan fakta social sebagai semau cara bertindak, berpikir, dan merasa yang ada di luar individu, bersifat memaksa dan umum. Fakta social memiliki tiga karakterisitik:
1. Eksternal; yaitu di luar individu. Fakta social ada sebelum individu ada dan akan tetap ada setelah individu tiada.
2. Determined/coercive; yaitu fakta social memaksa individu agar selalu sesuai dengannya (fakta social).
3. General; yaitu tersebar luar dalam komunitas/masyarakat, milik bersama, dan bukan milik individu.
Dari penjelasan di atas, telah dijelaskan tentang fakta social. Dan dalam kenyataannya yang telah menjadi fakta social di dakam mesayarakat Indonesia sangat bertentangan dengan apa yang ada pada diri Lady Gaga. Filosofi bangsa yang telah mengakar dalam benak bangsa ini sedari dahulu sampai saat ini dan telah menjadi fakta social dalam berbangsa dan bertanah air. Dan siapa lagi kalu bukan kita sebagai penerus bangsa ini yang mempertahankan filosofi bangsa yang telah menjadi fakta social ini. Apakah kita tega menggadaikan apa yang telah nenek moyang kita letakkan dalam fondasi berbangsa dan bernegara menggantinya hanya demi memperjuangkan Lady Gaga yang tidak berkontribusi sama sekali untuk bangsa ini. Masih banyak seniman-seniman lain dari luar negeri yang bisa menjadi inspirasi bagi anak bangsa dan yang sesuai dengan kepribadian bangsa kita. Janganlah kita gadaikan filosofi bangsa ini dengan sesosok Lady Gaga.
Wassalam…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar