Kamis, 12 Juli 2012

Melawan Tirani Minoritas (Pemilik Media dan Pelaku Dunia Hiburan)



Televisi saat ini sudah menjadi barang yang sangat dibutuhkan dalam setiap keluarga. Hamper semua lapisan masyarakat disekitar kita memiliki barang ini. Satu keluarga satu televisi, bahkan yang lebih ekstremnya lagi bagi keluarga kelas menengah ke atas disetiap kamarnya terdapat satu televisi. Inilah yang terjadi di masyarakat kita betapa televisi menjadi barang pokok dalam setiap keluarga.

Selain begitu dibutuhkan oleh setiap keluarga, televisi juga mampu mambuat kita terbius tidak sadar ketika sedang menontonnya. Bagi kebanyakan orang, ketika sedang asik menonton televisi bersama keluarga mulai terjadi di saat itu pula sekat-sekat hubungan kita dengan anggota keluarga lainnya. Kita tiba-tiba memiliki jarak dengan mereka disaat asiknya menonton televisi. Kita masing-masing sibuk memperhatikan adegan tiap adegan yang disuguhkan televisi, tertawa sendiri, menangis, tersenyum dan lain sebagainya. Disaat itu kita terbius seolah-olah tidak mengenal anggota keluarga kita lainnya.

Itu hanya menjadi sebagian dampak yang begitu kecil yang diberikan televisi kepada keluarga kita. Yang perlu diperhatikan adalah isi yang disiarkan televisi. Sadis, mistis, seksis, dan hedonis manjadi wajah utama pertelevisian di negeri kita ini. Berapa banyak acara seperti tersebut yang tayang disaat anak-anak dan diri kita sedang membutuhkan hiburan untuk menghilangkan penat di kepala kita. Yang lebih berbahaya adalah ketika kita secara sadar menonton acara tersebut.

Opera van Java, Pesbukers, Bukan Empat Mata, Putih Abu-abu dan hampir semua acara yang tayang dari jam 6 (enam) malam sampai jam 11 (sebelas) malam di televisi kita sanagat mengandung unsure mistis, hedonis, seksis dan sadis. Ini sangat menjadi berbahaya untuk kita nikmati. Disaat kita sangat membutuhkan hiburan tetapi malah disajikan acara-cara yang tidak bermutu. Rupanya pemilik media dan para pelaku dunia hiburan pertelevisian hanya memntingkan keuntungan semata dan malah mengesampingkan kepentingan khalayak berupa dengan cara menayangkan tayangan-tayangan yang wajar untuk kita konsumsi.

Pelanggaran-pelanggaran kerap terjadi disana-sini dar tayangan-tayangan yang beredar seperti di atas. Tidak hanya acaranya, tetapi para pemain-pemainnya pun kerap kali ditegur KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) karena melakukan pelanggaran. Pelanggaran tersebut misalnya melakukan adegan kekerasan, pelecehan terhadap wanita, bahkan sampai ada komedian yang melecehkan salah satu salam agama tertentu. Ini sangat menjadi masalah besar bagi dunia pertelevisian kita.

Yang menyedihkan adalah setelah mereka ditegur, mereka hanya sekedar meminta maaf dan mengatasnamakan demokrasi sebagai pembelaaannya. Mereka mengemis kepada khalayak, mereka melakukan pekerjaan ini hanya sebatas tuntutan peran dan semata-mata hanya untuk mencari keuntungan semata untuk menghidupi anggota keluarga lainnya. Ya, kita seakan-akan harus memaklumi kepentingan mereka dan mengabaikan kepentingan banyak orang.

Contoh kejadian seperti di atas sangat sering terjadi. Antara pemilik modal dan para pelaku hiburan sering kali dimaklumi atas kesalahannya. Kepentingan mereka seakan-akan lebih besar dari kepntingan kita yang membutuhkan sebuah tontonan yang sehat. Jangan sampai ini terjadi selamanya. TIRANI MINORITAS di mana kepentingan banyak orang diabaikan hanya demi kepentingan segelintir orang tidak bertanggung jawab.

Teori Pembelajaran Sosial

Teori ini dikembangkan oleh Albert Bandura. Menurut Bandura, “sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selaktif dan mengingat tingkah laku orang lain.” Ada dua jenis jenis pembelajaran melaui pengamatan. Pertama, pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain. Dalam hal ini, kita mengikuti gaya orang lain karena sosok yang kita amati mendapatkan sebuah penguatan positif dari pihak lain. Misalnya, komedian tertentu dalam setiap acaranya terdapat beberapa kali melakukan kekerasan namun sosok tersebut mendapatkan sebuah penghargaan berupa pujian dari rekan-rekannya. Secara tidak sadar penonton akan mengikuti adegan tersebut karena melihat sosok yang dia tonton melakukan hal tersebut mendapatkan sebuah pujian. Kedua, pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku model meskipun model tersebut tidak mendapatkan penguatan positif maupun penguatan negatif.

Inilah yang berbahaya dari sebuah tontonan yang mengandung unsur sadis, mistis, hedonis maupun seksis. Karena menurut Bandura seperti yang dijelaskan di atas sebagian besar manusia blajar melaui pengamatan selektif dan mengingat tingkah laku orang lain.

Lalu apa yang harus kita lakukan dalam mengahadapi hal seperti ini? Ya kita harus bisa selektif dalam memegang remot televisi. Pemahaman terhadap media sangat perlu untuk kita ketahui dalam menyeleksi acara-acara yang tidak bermutu. Terlebih lagi kita harus berani mematikan televisi di saat ini. Kontrol yang sangat keras dari pemerintah nanti akan disangka oleh para insan pertelevisian sebagai pelanggaran terhadap demokrasi. Jadi untuk saat ini peran masyarakat sendirilah yang mampu melawan Tirani Minoritas tersebut. Jangan sampai kita terus menerus memaklumi kesalahan mereka (pelaku dunia hiburan pertelevisian) dan mengorbankan kepentingan kita.

Wassalam….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae