Selasa, 24 Juli 2012

Jakarta Belum Tidur (Jokowi vs Foke)

Sebuah Literasi Politik

Jakarta belum tertidur, apalagi disaat-saat seperti ini hari-hari pun kian memanas. Jakarta sedang manantikan sebuah pemimpin yang baru yang mampu membawa perubahan yang berarti atau pula sudah merasa nyaman dengan pemimpin yang sudah ada. Yang pasti ini Jakarta tidak akan kembali tertidur sebelum putaran kedua pemilihan gubernur selesai. Yang tersisa dari enam pasang calon kini hanya meninggalkan pasangan Jokowi/Ahok dan Fauzi Bowo/Nahrowi. Keduanya masih akan sibuk untuk mempopulerkan dirinya masing-masing. Diputaran pertama kemarin pasangan Jokowi/Ahok berhasil mengungguli pasangan Fauzi/Nahrowi dengan meraih 42% suara unggul jauh dari perolehan suara sang lawan yakni hanya 34% suara. Ini adalah modal awal yang cukup bagus untuk pasangan Jokowi/Ahok mengingat Fauzi/Nahrowi adalah pasangan yang cukup kuat apalagi Fauzi Bowo adalah gubernur DKI Jakarta periode kemarin.

Putaran pertama telah usai dan yang terus berlanjut adalah kedua pasangan terus melakukan kampanye melalui media social yang memang tidak dilarang oleh pihak KPUD Jakarta. Berbagai is uterus bermunculan di media social, kedua belah pihak kini ibarat saling “membunuh” satu sama lainnya. Kubu yang satu menggunakan sentiment agama untuk “membunuh” lawannya dan kubu yang satu mengklaim bahwa Jakarta kini membutuhkan pemimpin yang baru yang lebih bersih dan lebih nyaman. Hal-hal seperti ini kerap kali terjadi di jejaring social. Memang kini internet merupakan era ketiga panggung politik menggantikan era media massa dan yang sebelumnya era retorika. Banyak calon yang memanfaatkan internet khususnya media social sebagai ajang kampanye apalagi pengguna internet kini sudah menjamur. Apalagi kini yang “bertanding” adalah untuk memperebutkan pemilih Jakarta yang kebanyakan dari mereka sudah melek dari internet. Internet kini menjadi media yang sangat empuk bagi masing-masing tim sukses untuk melancarkan kampanye dan serangan kepada masing-masing lawan.

Jakarta mungkin menjadi kota yang sangat prestis bagi masing-masing calon untuk meraih kekuasaan. Bagaimana tidak, Jakarta adalah ibu kota Negara dan pusat perekonomian sebagian besar ada di Jakarta. Siapa yang tidak mau mengurus ibu kota walaupun memiliki banyak problema. Kita lihat Jokowi dan Alex Nurdin yang saat ini sedang menjabat sebagai wali kota dan gubernur di daerah asalany, mereke siap melepas jabatannya di sana demi meraih kekuasaan di Jakarta. Dan kini hanya Jokowi yang tertinggal untuk siap berduel dengan pasangan incumbent Fauzi Bowo.
Yang hangat belakangan ini adalah bagaimana masing-masing pihak kini menjalarkan serangan kepada lawannya melalui internet (social media). Seperti dikatakan di atas mereka ada yang menggunakan sentiment agama dan ada pula yang mengklaim Jakarta kini membutuhkan pemimpin yang baru. Ini sudah menjadi topic utama dari masing-masing akun social media mereka masing-masing maupun akun para pendukungnya. Tiada hari tanpa kampanye.

Dari apa yang terjadi seharusnya kedua pasangan tidak panic dan tentunya tidak arogan dalam menghadapi apa yang terjadi belakangan ini di dunia maya. Meraka sama-sama salinh merebut pemilih dari kalangan yang berhubungan langsung dengan internet. Meminjam istilah dari beberapa pengamat bahwasanya pemilih atau lebih utamanya kini tidak bodoh lagi dalam memilih pemimpin. Mereka bisa menilai rekam jejak dari masing-masing calon dari media massa dan internet.

Lain hal yang perlu diperhatikan dari masing-masing calon adalah bagaimana mereka bisa memetakan pemilih di Jakarta masuk dalam pemilih seperti apa. Buktinya kemarin yang tidak terlupakan adalah bagaiman suara golput/yang tidak memilih pada putaran pertama mencapai lebih dari 30%. Ini menunjukkan bukan berarti mereka yang melek internet melek juga terhadap politik. Artinya apa dari kampanye yang dijalankan mereka hanya sibuk saling serang namun belum mampu menimbulkan motif bagi khalayak mengapa mereka harus memilih. Angka golput ini menunjukkan mereka masih apatis atau tidak menaruh perhatian sama sekali pada kegiatan politik dan mereka masa bodoh terhadap hal tersebut. Pemilih Jakarta sebagian baru termasuk dalam kategori spectator yakni setidaknya khalayak menggunakan hak suaranya untuk memilih. Dan mungkin yang gladiator (keikutsertaan penduduk secara aktif dalam proses politik) hanya sebagian kecil dari pemilih Jakarta.

Mengingat motif pemilih dalam berpatisipasi politik dalam mata kuliah komunikasi politik yang diberikan oleh Gun-gun Heryanto memiliki 4 motif;

1. Motif yang rasional bernilai: yaitu motif yang didasarkan atas penerimaan secara rasional terhadap nilai-nilai suatu kelompok. Pemilih yang sudah masuk kedalam motif ini mereka akan mempertahankan segala nilai-nilai yang sudah mereka terima dari masing-masing kandidat. Jadi bagi tim kampanye seharusnya mereka berhasil menyakinkan pemilih dengan sebuah perbaikan yang baru yang mampu membawa Jakarta tidak menjadi seperti lima tahun belakangan. Walaupun dalam kenyataan misalnya perbaikan yang mereka bawa tidak sebaik yang sudah ada. Namun apabila pemilih sudah masuk kedalam motif ini mereka akan mempertahankan nilai baru tersebut.

2. Motif yang afektual emosional: yaitu motif yang didasarkan atas kebenaran terhadap suatu ide, organisasi atau individu. Misalnya mereka yang memilih Jokowi sebagai gubernur Jakarta mereka pasti sudah merasakan atau melihat keberhasilan Jokowi sebagai wali kota Solo. Jadi mereka berpartisipasi dalam berpolitik karena ingin keberhasilan Jokowi terwujud juga di Jakarta.

3. Motif yang tradisional: yaitu motif yang didasarkan atas penerimaan norma, tingkah laku individu dari suatu kelompok social. Di sinilah peran dari tim sukses masing-masing mampu menyakinkan bahwa suatu kelompok social tertentu yang lebih bagus. Namun hal inipun harus terlebih dahulu mengetahui jumlah kelompok sosialnya lebih unggul atau tidak.

4. Motif yang rasional bertujuan: yaitu motif yang didasarkan atas kepentingan pribadi. Yaitu dengan memanfaatkan kelemahan masing-masing lawan untuk mengajak pemilih lain untuk tidak memilih calon tertentu.

Jadi inilah hal yang perlu diperhatikan bagi tim sukses maupun para simpatisan masing-masing calon dalam meraih pemilih di putaran kedua nanti. Adapun cara-cara yang perlu diperhatikan untuk medapatkan atau mempertahankan sebuah kekuasaan adalah sebagai berikut:

1. Yang pertama ialah dengan tipe simbolis: memanipulasi kecenderungan-kecenderungan moral emosional, tradisi, kepercayaan dan nilai-nilai budaya pada umumnya dalam bentuk symbol-simbol. Saya kira sudah semua calon menggunakan tipe ini dalam meraih dukungan dari pemilih. Namun dalam menghadapi masyarakat yang sudah sedikit cerdas menggunakan tipe ini dalam berkampanye belakangan banyak yang bilang sebuah blunder. Menggunakan sentiment budaya, tradisi dan lain-lain kini sudah tidak lagi menjadi senjata utama dalam meraih suara malah dapat menimbulkan hal sebaliknya.

2. Yang kedua ialah dengan tipe materil: dengan cara menjanjikan dan memberikan kesejahteraan materil kepada masyarakat, seperti menjamin ketersediaan kebutuhan dasar atau dalam bahawa kasarnya adalaha politik uang. Sebelum dan setelah pilgub kemarin sudah banyak ditemukan cara-cara seperti ini seperti yang di buktikan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW)

3. Yang ketiga adalah dengan tipe procedural: tipe ini dengan cara menyelenggarakan pemilu untuk menentukan para petinggi Negara untuk mengesahkan suatu kebijakan umum. Atau kasus yang sedang dibahas adalah pemilihan gubernur DKI Jakarta. Tipe ini sedang dilaksanakan saat ini untuk menentukan siapa pemimpin Jakarta periode 2012-2017.

Menurut saya seperti inilah hal-hal yang diberikan dalam mengajak pemilih untuk menentukan pilihannya buka malah saling serang satu sama lain dengan membentuk opini negative terhadap masing-masing lawan dihadapan masyarakat yang malah akan menimbulkan keapatisan dari pemilih.

Waasssaaalaammmm…..

#SaveRI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae