Pilkada DKI kini kian memanas, pertarungan kedua kubu yakni tim suksesnya Fauzi Bowo dan tim suksesnya Jokowi bertarung habis-habisan agar dapat meraih kemenangan di putaran kedua nanti. Kekalahan telak Fauzi Bowo diputaran pertama sungguh sangat mengejutkan bagi khalayak dan bagi tim suksesnya sendiri. Bagaimana tidak, Foke (sapaan akrab Fauzi Bowo) sebelum dilaksanakannya pemilihan, Foke sendiri digadang-gadang bakalan menang dalam satu putaran dengan meraih suara lebih dari 50% oleh salah satu tim survey. Namun apa yang terjadi, setelah pemilihan dan perhitungan suara, Foke suaranya tidak mampu mengalahkan suara golput (golongan putih) di DKI. Foke hanya mampu meraih suara 34 % sangat jauh dari prediksi tim survey nya atau kalah jauh dengan suara yang diraih Jokowi.
Diputaran kedua ini menjadi sangat berat bagi tim suksesnya Foke untuk meraih suara khalayak. Kekalahan telak diputaran pertama membuat tim suksesnya panik. Mereka harus bekerja ekstra keras demi meraih dan mempertahankan Fauzi Bowo sebagai gubernur DKI ini. Kepanikan dari tim Foke terlihat belakangan ini. Mereka memainkan isu SARA untuk meraih dukungan dari khalayak. Bahkan Rhoma Irama pun yang merupakan tim suksesnya Foke mengakui ini. Sungguh-sungguh sikap yang sangat panik terlihat dari kinerja timnya Foke.
Isu SARA ini digunakan untuk mengubah sikap, mental dan perilaku pemilih melalui kata-kata terucap dan tertulis. Dengan sikap inilah timnya Foke berusaha untuk meraih dukungan dari khalayak. Ada tiga pendekatan dalam usaha mengubah sikap dari pemilih yakni dengan propaganda, periklanan dan retorika. Dan ketiga cara ini di gunakan untuk menyebarkan isu SARA untuk menyerang pasangan Jokowi.
Seharusnya dalam melakukan persuasi politik yang seperti di atas, tim harus melakukan pemetaan terlebih dahulu dalam melihat temasuk kedalam tipe apa khalayak di Jakarta. Khalayak atau publik terbagi kedalam tiga bagian; yang pertama publik umum. Publik umum merupakan kelompok khalayak yang tingkat perhatiannya terhadap isu politik hanya selintas saja. Perhatian mereka tidak begitu mendalam terhadap isu politik. Publik umum inilah yang terkadang mampu mengubah hasil perolehan suara menjelang pemilihan. Karena ketidak perhatian mereka terhadap isu politik mereka menjelang pemilihan mudah tergoda dengan praktek politik uang yang dilakukan oleh setiap tim sukses kandidat. Yang kedua adalah attentive public adalah publik yang sudah mulai berperhatian. Baik dalam masalah politik yang sedang berkembang maupun permasalahan lainnya. Setidaknya mereka mencari tahu lebih jauh tentang apa yang sedang dibicarakan oleh banyak orang. Publik seperti ini tidak mudah termakan isu-isu negative yang belum tentu benar adanya. Mereka sangat menentukan masa depan bangsa ini. Yang ketiga adalah elit opini. Elit opini adalah khalayak politik yang karena posisinya sebagai orang berpengaruh di suatu masyarakat. Perkataan elit opini ini mampu mempengaruhi perilaku politik suatu masyarakat. Misalnya tokoh agama dalam menentukan sikap politiknya, secara tidak langsung ini mempengaruhi sikap masyarakat lainnya.
Propaganda yang di Lancarkan Kubu Foke
Kembali kepada isu SARA yang kini kian memanas, kubu Foke benar-benar menggunakan isu ini untuk mengubah perilaku politik para pemilih. Sebenarnya ini sangat memalukan, negeri yang menghargai perbedaan ini ternodai oleh sikap para tim sukses Foke. Ini merupakan salah satu kepanikan Foke untuk tetap mempertahankan kekuasaannya di DKI Jakarta.
Propaganda merupakan komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi pasif dan aktif dalam tindakan-tindakan suatu massa. Meraka dipersatukan secara psikologis malalui manipulasi psikologis dan digabungkan dalam suatu organisasi. Kubu Foke mencoba memanipulasi psikologis khalayak dengan black campaign yang dilancarkan belakangan ini.
Belum lama kita mengetahui bersama dipanggilnya “sang raja dangdut” Rhoma Irama oleh panwaslu (panitia pengawas pemilu) terkait isi ceramahnya yang diduga mengandung isu SARA. Bung Rhoma (begitu panggilan akrabnya) sampai menangis di kantor panwaslu karena ceramahnya tersebut dituduh sebagai pelanggaran SARA. Beliau mengaku hanya menyampaikan ajaran agama Islam saja dan tidak ingin menydutkan salah satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Dan beliau juga mengaku bukan sebagai salah satu tim sukses satu pasangan tertentu. “Ini hanya dakwah” katanya di berbagai pemberitaan media.
Salah seorang elit opini menurut saya tidak pantas sekali disaat seperti ini apalagi kedekatannya dengan salah satu calon gubernur mengeluarkan pendapat seperti “pilihlah pemimpin yang beragama Islam”. Dalam suasana menuju Pilkada ini sangat tidak tepat dan cukup dibilang sebagai sebuah blunder dalam kehidupannya. Ini secara tidak langsung memanfaatkan nilai-nilai agama untuk menjatuhkan lawan dalam pemilihan yang dilaksanakan cukup demokratis.
Teknik yang sering dipakai dalam propaganda untuk menjatuhkan lawan politiknya adalah teknik name calling. Dengan member label buruk kepada gagasan, orang, objek dengan tujuan agar orang menolak sesuatu tanpa menguji kebenarannya. Misalnya dengan yang belakangan ini terjadi ada isu yang menyatakan bahwa ibu dari salah satu calon gubernur adalah seorang beragama Kristen. Masyarakat yang malas untuk mencari tahu kebenaran isu tersebut sudah pasti akan termakan isu tersebut. Teknik yang kedua yang sering digunakan dalam menjatuhkan lawannya adalah teknik testimonial. Testimonial ialah memperoleh ucapan orang yang dihormati atau dibenci untuk mempromosikan dan meremahkan suatu maksud. Kasus ini seperti yang diakukan oleh Rhoma Irama. Beliau disini ialah sebagai sang propagandis yang secara tidak langsung meremehkan salah satu pasangan calon gubernur.
Kita sebagai rakyat tentunya jangan mau termakan oleh cara-cara kotor seperti ini. Kita harus berfikir untuk menentukan siapa yang tepat untuk dijadikan pemimpin.
Wassalamm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar