Jalan telah ramai oleh kendaraan. Motor dan mobil sudah lalu lalang. Padahal baru pukul 05:00 pagi saat ini. Namun sudah banyak para pejuang hidup sudah mulai melakukan kegiatan. Menuju kantornya, sekolahnya, dan kampusnya. Ayam-ayam masih saja sibuk berkukuruyuk, burung-burung baru saja terbangun, membunyikan kicauannya. Pagi datang dengan penuh kepastian.
Hari ini ku awali dengan shalat subuh berjamaah di masjid dekat rumah ku. Lalu ku mandi dan bersiap menuju kampusku tercinta. Secangkir teh hangat menanti ku. Ku hirup aromanya, mampu membangunkan jiwa yang masih agak sepi. Ku buka pesan dalam telepon genggamku, ada satu pesan masuk dari setadi subuh. Dan aku belum sempat membukanya. Pesan itu datang dari orang yang teramat istimewa, mencoba mengingatkan ku untuk bangun agar segera meluncur ke kampus. Ahhh ada-ada saja gumamku. Pesan yang telat datangnya, karena aku telah siap untuk bergegas menuju kostan nya. Sengaja memang ku tidak sarapan, sudah seperti biasanya, dia menyiapkan sarapan untuk ku di kostannya. Sederhana, namun istimewa. Roti panggang. Ya, itulah caranya menyapa ku di kostannya.
Ku tancap motor ku. Melewati kejamnya jalanan TB Simatupang yang macet menyambut ketika mentari sudah mulai menampakkan sinarnya. Macet dimana-mana, disekitar wilayah Jabodetabek. Apalagi kalau pagi hari. Sudah menjadi pandangan umum bagi kami warga Jakarta.
Aku sangat mencintainya, sedari awal perkuliahahnku. Dia sederhana, namun istimewa, dalam bersikap dan mencintaiku. Gadis pemalu, gemar menulis, dan mencintaiku. Tak ada yang patut lagi untuk diragukan dalam cintanya untukku.
Di siang itu, aku sengaja bertemu dengannya. Di saat hari libur. Ku buat alasan kepadanya untuk mencari buku bersama ke perpustakaan umum UIN. Tak sulit untuk mengajaknya. Karena sebelumnya kami telah akrab walaupun hanya berkata lewat SMS. Ini cara kami memulai lembaran manis. Tak ada jarak diantara kita. Mungkin memang sudah merasa sama dalam tujuan kedepannya dalam membina hubungan. Aku mencintainya, dan dia menantiku untuk mengucapkannya di hadapannya, lalu menerima aku untuk menjadi kekasihnya. Hidup yang cukup sederhana numun sulit untuk dikatakan.
“Rafa, Rara, Nia” ucap dosen Civic Education dalam menyebutkan nama anggota kelompok ke tiga. Ahhh dalam hati aku sangat menikmati sekali kelompok ini kedepannya. Ya, Tuhan membuka jalan untukku dalam mendekati orang yang paling ku cinta di kampus baru ku.
“sunyi ini merdu seketika… sunyi ini merdu seketika,.. sunyi ini merdu seekeetiikaa” nyanyiku dalam hati. Lagu payung teduh yang berjudul di ujung malam ini langsung berkumandang dalam hati ku yang ceria.
Rara dia adalah wanita yang selalu membuat ku semangat ke kampus. Hari itu kita dipertemukan dalam satu kelompok. Ya, anak Adam mana yang tak senang didekatkan dengan wanita pujaan hatinya. Jadilah hari itu aku dan Rara mulai mengenal lebih dekat.
Sampai di saat itu, disaat ku mengajaknya ke perpustakaan untuk mencari buku bacaan bareng. Aku telah menyiapkan segalanya termasuk mental untuk mengatakan cinta kepdanya. Dan dia, ahh sudah seperti mengetahui rencana ku hari itu. Dia tampil cukup anggun. Sebenarnya tak ada yang begitu mencolok dari penampilannya hari itu. Sederhana, ya, dia selalu sederhana namun begitu istimewa di mataku.
“aku ingin mengatakan padamu sesuatu yang sangat penting, namun ini akan diungkapkan pada desktop dalam laptop ku. Ku harap kau memaklumi caraku yang sederhana ini” ucapku. “memang kamu mau ungkapin apa, kamu mau ungkapkan sayang ke aku. Tanpa kamu ungkapkan pun aku sudah tahu itu” katanya. Ahhh siallll, mukaku langsung memerah. Tak sanggup lagi untuk menahan senyum. Ku matikan saja laptop. Dan dengan mudahnya aku katakan kepadanya “aku cinta kamu, maukah kau menjadi kekasihku”. “aku tak butuh itu, aku butuh kamu selamanya, butuh kasihmu selamanya semenjak detik ini” ungkapknya. Betapa senangnya aku mendengar itu. Lalu ku pegang saja jemarinya, dan dia pun menolaknya. Malu, namun begitu manis.
Dihari itu aku menghabiskan waktu berdua dengannya. Di malam haripun aku menemaninya di teras kostannya. Dan dia mulai berkata, “apa yang bisa ku sajikan untuk pertama kalinya untuk pria di masa depanku ini”. “kopi, ya kopi hitam, jangan terlalu manis, karena aku ingin menikmati lebih banyak lagi senyum manis yang kamu berikan untukku” ucapku. Bergegaslah dia ke dapur kostannya, membuatkan kopi yang begitu nikmat untukku. Yang terus dapat ku nikmati sepanjang hidupku.
Semenjak itu, sampai hari ini, setangkup rindu selalu ku bawa setiap harinya dari rumah menuju kostannya. Aku di malam yang sepi, dia di malam yang sunyi. Senyum malam, senyum siang. Senyumnya selalu untukku. Tak ada duka. Semesta merestui langkah kami. Namun banyak yang mati. Banyak yang terluka. Termasuk malam, melihat kemesraan kami. Membuka malam, dan menutupnya dengan kata-kata indah dari ucapan kami berdua. Ada yang sedih, melihatku begitu menikmati segelas kopi yang selalu dihidangkannya. Dedaunan selalu pada gugur dari batangnya, merana tak sanggup melihat kemesraan kami walau setiap hari disiram oleh sang majikan. Hari ini, malam ini angin berhembus kencang. Menyapa kerinduan kepada kami. Sampai kami harus berpisah pada ketentuan alam. Bu kost memisahkan kami di malam hari. Setelah aku pulang, mulailah di rindu kepadaku. Itu yang selalu ia ucapkan untukku ketika aku pulang. Kembali, maka aku akan selalu kembali dalam senyumannya.
Rabu, 28 November 2012
Senin, 26 November 2012
Tentang Malam dan Hujan
Malam telah kembali menyelimuti bumi. Awan gelap seperti biasa datang terlebih dahulu menutupi langit sedari sore hari. Ini memang musim penghujan yang cukup dahsyat. Setelah lama kemarau menemani manusia di bumi pertiwi ini. Banyak sekali petani, dan warga mengeluhkan kemarau yang cukup pangjang. Air-air kering, tanaman pada mati, dan jalan pun berdebu begitu kejam. Tak ada keakraban antara manusia dan bumi sewaktu kemarau panjang. Yang ada saling mengeluh diantara manusia dan bumi. Siang terasa panjang sekali, dan malam terasa panas. Nyamuk-nyamuk berkeliaran, angin tek sedikitpun menghembuskan dirinya di malam hari. Banyak orang berputus asa di siang dan malam. Sedikit sukurpun terucapkan dari manusia-manusia yang rejekinya panjang. Begitulah kemarau menemani manusia di bumi. Kini kemarau telah pergi secara pasti. Musim penghujan pun menggantikannya dengan penuh percaya diri. Dengan penuh keyakinan akan membahagiakan manusia yang penuh dahaga. Penuh nafsu untuk segera bangkit dari kekeringan panjang. Hujanpun turun tak menentu. Pagi, siang, sore, malam, dan bahkan paginya pun turun hujan. Jalan-jalan terasa damai penuh kebencian. Hujan ternyata lebih membuat manusia menjadi hewan. Tak ada syukurnya. Bagaimana tidak, hujan yang diharapkan datang malah membuat jalanan begitu macet. Genangnan air sepanjang jalan di Jakarta tak bisa dihindari. Kendaraan tampak kusam. Ada yang salah mungkin dengan alam untuk saat ini. Kemarau dan penghujan datang secara berlebihan. Tak ada yang mau disalahkan. Begitupun dengan alam.
Begiilah hidup mahasiswa tingkat akhir yang belum juga mampu menyelasaikan kuliahnya. Tak ada senyuman di setiap harinya. Datang dan tidaknya ke kampus tak ada lagi yang peduli. Teman yang satu per satu mulai kembali ke rumahnya dengan senyuman. Ya, mereka berhasil membawakan selembar kepastian dari kampus untuk orang tuanya. Surat keterangan lulus sidang skripsi. Senyum bahagia pun terpancar dari orang tuanya. Mereka telah membayangkan anaknya akan segera membalas kerja kerasnya selama ini. Anaknya akan membahagiakan masa tuanya dengan kesuksesan. Sang anak pun sudah sangat bahagia. Status mahasiswa dalam dirinya akan segera berakhir. Kini tinggal bagaimana dia bertarung di dunia barunya, yakni pekerjaan.
Tampak kering di musim kemarau, dan tampak lusuh di musim penghujan. Membayangkan kesalahan besar dalam benak dirinya. Lalu bersandar dalam tembok kamar yang sedikit berantakan dengan catatan, buku dan kertas-kertas yang memenuhi lantai kamar. Laptop menganga terbuka, menyala, lalu mati dengan perasaan putus asa. Tak ada lagi ide dalam diri untuk menambah lembaran-lembaran dalam skripsi. Pikiran terbebani, karena tak mampu lulus tepat waktu. Sedikit ketidak pastian untuk diberikan kepada orang tua.
Malam ini kuputuskan untuk kuseduh kopi hitam yang sedikit manis untuk menemani pertualangan ku malam ini. Ku nyalakan laptop, ku ambil lembaran-lembaran catatan analisis tentang skripsi ku yang membahas teks berita. Kuhirup wangi kopi. Tak mampu menahan untuk segera menyeruputnya. Melayang pikiran ku. Membuka mata yang telah sedikit mengantuk. Ku tatap malam dengan penuh kepastian. Ku ketik lembaran demi lembaran analisisku mengenai pemberitaan konflik SARA di salah satu harian nasional. Dengan sebuah buku tuntunan ku awali malam ini dengan penuh kepastian. Tak ada sedikitpun masalah dalam mengerjakannya. Hanya sedikit resah dalam diri. Yang tak tahu darimana datangnya.
Mengerjakan skripsi penuh dengan semangat, sembari sedikit mengingat, apa gerangan dalam diri yang menyelinap ini sehingga membuat ku resah. Tak lupa memainkan lagu-lagu dari “payung teduh” yang penuh dengan penghayatan. Skripsi yang telah lama terabaikan ini, kini ada sedikit cerah karena sudah mulai lagi semangat mengerkannya. Tak ada salahnya. Mencoba untuk segera meluluskan diri dari status mahasiswa.
Kunyalakan modem, lalu ku buka akun twitter ku. Mencari sedikit berita olahraga dan apapun yang terjadi di dalam negeri ini dalam seharian. Membuka mention, tak ada yang istimewa. Isinya hanya sapaan akrab saja dari kawan seperjuangan yang belum pada lulus. Inilah tantangan yang berat dalam mengerjakan skripsi. Godaan untuk berselancar begitu lama dalam dunia maya. Sedikit teringat tentang seorang kawan di twitland ini. Yang belum pernah bertemu sebelumnya. Namun sedikit akrab diantara kami ketika telah saling menyapa. Saling membalas mention. Sedikit sederhana, penuh kedamaian apabila melihat wajahnya dalam twitland. Tak ada kesombongan sedikitpun dalam dirinya. Itulah awal yang ku lihat dari dirinya. Dirinya yang sering kali ku inisialkan dalam kegalauanku dengan #adekitu. Hahaha, lucu mungkin. Sangat membutuhkan ruang temu diantara kami untuk berkomunikasi dalam dunia nyata. Tapi apalah mungkin. Tak berani ku terlalu banyak berharap dengan yang ini, apalagi diantara kami bukan dari satu ruang dalam kehidupan nyata.
Cinta memang menjadi sedikit bumbu penggoda dalam menggapai perjalanan hidup ini. Obsesi yang terlalu besar dalam meraih kesuksesan terkadang mampu sedikit mengesampingkan masalah asmara. Begitu banyaknya membaca literature, buku-buku, dan menulis opini di blog sendiri membuat diri ini benar-benar asing dalam dunia asmara. Namun, seiring perkenalanku dengan dirinya di twitland membuat ada sedikit harapan muncul untuk segera memiliki kekasih. Akhirnya twitland menjawab sendiri kecemasan perasaan ini. Dia mentwitkan rindu pada kekasihnya. Kekasih yang beru saja dibinanya dalam beberapa minggu belakangan. Mereka saling kenal dalam fan base salah satu komunitas supporter klub luar negeri. Dan ini sedikit membuat ku bersedih dan sedikit bahagia. Karena tak ada lagi kecemasan luar biasa untuk mencari tahu kabarnya. Dan ternyata hal ini yang membuat ku resah di awal perjalananku malam ini dalam mengerjakan skripsi. Ya, mau tidak mau hal itu harus sedikit menusuk perjalanaan malam ini yang sudah hampir menemui pagi. Dingin, dan semakin dingin dengan menatap timeline profilnya.
Secangkir kopi pun tak terasa telah membahasi isi perut ku. Malam pun terlewati begitu panjang. Antara mengerjakan skripsi dan memandangi timeline profilmu. Aku tertawa di akhir ini. Karena malam semakin lama membunuh rasa ku ini dengan dinginnya. Pagi mulai berganti mengambil alih malam. Shubuh semakin mendekati waktunya. Para bujangan masih banyak yang di luar sana. Inilah ujung malam dan pagi. Penuh penjiwaan melewatinya. Tak ada kata. Tak ada rasa. Menemui hari dengan hati. Tak perlu ada yang disesali. Lulus kuliah yang tertunda ataupun rasa yang sedikit terlewati.
Masih banyak jiwa yang perlu dibahasi. Jiwa yang haus akan pengetahuan. Jiwa yang terus memberontak. Merongrong keras dalam hati. Jiwa yang terus menantang akan perubahan. Masih ada jalan untuk tersenyum. Sapa dari kawan. Senyum dari ibu. Bahkan sunyi ini. Bermain dalam rasa. Jiwa dan rasa.
Begiilah hidup mahasiswa tingkat akhir yang belum juga mampu menyelasaikan kuliahnya. Tak ada senyuman di setiap harinya. Datang dan tidaknya ke kampus tak ada lagi yang peduli. Teman yang satu per satu mulai kembali ke rumahnya dengan senyuman. Ya, mereka berhasil membawakan selembar kepastian dari kampus untuk orang tuanya. Surat keterangan lulus sidang skripsi. Senyum bahagia pun terpancar dari orang tuanya. Mereka telah membayangkan anaknya akan segera membalas kerja kerasnya selama ini. Anaknya akan membahagiakan masa tuanya dengan kesuksesan. Sang anak pun sudah sangat bahagia. Status mahasiswa dalam dirinya akan segera berakhir. Kini tinggal bagaimana dia bertarung di dunia barunya, yakni pekerjaan.
Tampak kering di musim kemarau, dan tampak lusuh di musim penghujan. Membayangkan kesalahan besar dalam benak dirinya. Lalu bersandar dalam tembok kamar yang sedikit berantakan dengan catatan, buku dan kertas-kertas yang memenuhi lantai kamar. Laptop menganga terbuka, menyala, lalu mati dengan perasaan putus asa. Tak ada lagi ide dalam diri untuk menambah lembaran-lembaran dalam skripsi. Pikiran terbebani, karena tak mampu lulus tepat waktu. Sedikit ketidak pastian untuk diberikan kepada orang tua.
Malam ini kuputuskan untuk kuseduh kopi hitam yang sedikit manis untuk menemani pertualangan ku malam ini. Ku nyalakan laptop, ku ambil lembaran-lembaran catatan analisis tentang skripsi ku yang membahas teks berita. Kuhirup wangi kopi. Tak mampu menahan untuk segera menyeruputnya. Melayang pikiran ku. Membuka mata yang telah sedikit mengantuk. Ku tatap malam dengan penuh kepastian. Ku ketik lembaran demi lembaran analisisku mengenai pemberitaan konflik SARA di salah satu harian nasional. Dengan sebuah buku tuntunan ku awali malam ini dengan penuh kepastian. Tak ada sedikitpun masalah dalam mengerjakannya. Hanya sedikit resah dalam diri. Yang tak tahu darimana datangnya.
Mengerjakan skripsi penuh dengan semangat, sembari sedikit mengingat, apa gerangan dalam diri yang menyelinap ini sehingga membuat ku resah. Tak lupa memainkan lagu-lagu dari “payung teduh” yang penuh dengan penghayatan. Skripsi yang telah lama terabaikan ini, kini ada sedikit cerah karena sudah mulai lagi semangat mengerkannya. Tak ada salahnya. Mencoba untuk segera meluluskan diri dari status mahasiswa.
Kunyalakan modem, lalu ku buka akun twitter ku. Mencari sedikit berita olahraga dan apapun yang terjadi di dalam negeri ini dalam seharian. Membuka mention, tak ada yang istimewa. Isinya hanya sapaan akrab saja dari kawan seperjuangan yang belum pada lulus. Inilah tantangan yang berat dalam mengerjakan skripsi. Godaan untuk berselancar begitu lama dalam dunia maya. Sedikit teringat tentang seorang kawan di twitland ini. Yang belum pernah bertemu sebelumnya. Namun sedikit akrab diantara kami ketika telah saling menyapa. Saling membalas mention. Sedikit sederhana, penuh kedamaian apabila melihat wajahnya dalam twitland. Tak ada kesombongan sedikitpun dalam dirinya. Itulah awal yang ku lihat dari dirinya. Dirinya yang sering kali ku inisialkan dalam kegalauanku dengan #adekitu. Hahaha, lucu mungkin. Sangat membutuhkan ruang temu diantara kami untuk berkomunikasi dalam dunia nyata. Tapi apalah mungkin. Tak berani ku terlalu banyak berharap dengan yang ini, apalagi diantara kami bukan dari satu ruang dalam kehidupan nyata.
Cinta memang menjadi sedikit bumbu penggoda dalam menggapai perjalanan hidup ini. Obsesi yang terlalu besar dalam meraih kesuksesan terkadang mampu sedikit mengesampingkan masalah asmara. Begitu banyaknya membaca literature, buku-buku, dan menulis opini di blog sendiri membuat diri ini benar-benar asing dalam dunia asmara. Namun, seiring perkenalanku dengan dirinya di twitland membuat ada sedikit harapan muncul untuk segera memiliki kekasih. Akhirnya twitland menjawab sendiri kecemasan perasaan ini. Dia mentwitkan rindu pada kekasihnya. Kekasih yang beru saja dibinanya dalam beberapa minggu belakangan. Mereka saling kenal dalam fan base salah satu komunitas supporter klub luar negeri. Dan ini sedikit membuat ku bersedih dan sedikit bahagia. Karena tak ada lagi kecemasan luar biasa untuk mencari tahu kabarnya. Dan ternyata hal ini yang membuat ku resah di awal perjalananku malam ini dalam mengerjakan skripsi. Ya, mau tidak mau hal itu harus sedikit menusuk perjalanaan malam ini yang sudah hampir menemui pagi. Dingin, dan semakin dingin dengan menatap timeline profilnya.
Secangkir kopi pun tak terasa telah membahasi isi perut ku. Malam pun terlewati begitu panjang. Antara mengerjakan skripsi dan memandangi timeline profilmu. Aku tertawa di akhir ini. Karena malam semakin lama membunuh rasa ku ini dengan dinginnya. Pagi mulai berganti mengambil alih malam. Shubuh semakin mendekati waktunya. Para bujangan masih banyak yang di luar sana. Inilah ujung malam dan pagi. Penuh penjiwaan melewatinya. Tak ada kata. Tak ada rasa. Menemui hari dengan hati. Tak perlu ada yang disesali. Lulus kuliah yang tertunda ataupun rasa yang sedikit terlewati.
Masih banyak jiwa yang perlu dibahasi. Jiwa yang haus akan pengetahuan. Jiwa yang terus memberontak. Merongrong keras dalam hati. Jiwa yang terus menantang akan perubahan. Masih ada jalan untuk tersenyum. Sapa dari kawan. Senyum dari ibu. Bahkan sunyi ini. Bermain dalam rasa. Jiwa dan rasa.
Selasa, 20 November 2012
Menyelamatkan Demokrasi
Belakangan ini sedang giat sekali pemilihan gubernur/wakil gubernur, walikota/wakil walikota, sampai pemilihan bupat/wakil bupati. Tentu ini akan sangat mempengaruhi iklim demokrasi di negeri kita. Pemilihan secara langsung oleh rakyat untuk memilih pemimpinnya dalam masa jabatan 5 tahun ke depan. Cara seperti ini tentnunya akan sangat mempengaruhi Indonesia dipandangan negera-negara luar. Akan memnjadi percontohan yang sangat bagus dalam menciptakan demokrasi.
Para calon pemimpin dari calon gubernur sampai calon bupati terus berlomba untuk dapat meraih dukungan dari para pemilik suara. Berbagai kegiatan sosial yang tadinya memang tidak ada sama sekali ketika menjelang pemilihan banyak sekali kegiatan-kegiatan itu dibentuk oleh para calon pemimpin untuk meraih simpati masyarakat. Tidak heran memang menjelang pemilihan banyak sekali para tokoh turun langsung ke dalam masyarakat. Semua itu dilakukan demi meraih dukungan oleh para pemilik suara.
Pemilihan peminpin seperti di atas memang sangat membutuhkan kedekatan-kedekatan dengan masyarakat. Pemilihan langsung yang ditentukan oleh masyarakat akan membawa para calon pemimpin mau tidak mau harus dekat dengan berbagai kalangan di masyarakat. Siapa yang berhasil meraih paling banyak dukungan dari masyarakat akan sangat menentukan sekali dalam hari H pemilihan. Kursi partai-partai yang telah diraih di DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dalam pemilu legislatif di tahun 2009 tidak lagi mempengaruhi suara yang akan diraih oleh salah satu calon di pilkada. Ini terbukti pada kemenangan Jokowi-Ahok kemarin di pilgub DKI Jakarta.
Yang menjadi perhatian lebih penting dalam pemilihan langsung seperti ini adalah bagaimana para calon tersebut dalam meraih dukungan dari masyarakat. Dalam hal ini tentunya kita memfokuskan pada salah satu cara yang sangat familiar di dalam masyarakat ialah dengan cara bagaimana para calon tersebut melabelkan dirinya sebagai tokoh islam yang sangat taat. Banyak sekali calon-calon pemimpin dalam maju mengahadapi pilkada yang sangat menggunakan simbol-simbol islam demi mendapatkan dukungan dari masyarakat. Dalam baliho-baliho besar misalnya, mereka tidak canggung menggunakan kopiah haji, sorban, atau bahkan yang lebih dalam lagi menggunakan Haji di depan namanya. Memang tidak ada salahnya melakukan hal seperti ini demi meraih dukungan.
Cara-cara seperti di atas tentunya berfokuskan kepada jumlah besar umat islam di negeri ini. Memanfaatkan islam yang menjadi mayoritas di negeri ini untuk memenangkan dirinya menjadi pemimpin. Menganggap bahwa penduduk yang menjadi mayoritaslah yang akan menguasai demokrasi. Dalam hal ini islam. Dan mengabaikan aspek-aspek lain dalam demokrasi dan politik dalam menjadi pemimpin. Jika sudah menganggap hal seperti itu benar ada, maka matilah negeri kita. Demokrasi hanya menguntungkan kaum mayoritas saja.
Dalam pemilihan pemimpin secara langsung oleh masyarakat tentunya harus melihat aspek-aspek lain yang harus diperhatikan. Menurut Herbert McClosky yang memaknai term partisipasi politik sebagai kegiatan-kegaiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses pembentukan kebijakan umum. Jika melihat definisi ini tentunya masyarakat akan memilih pemimpinnya dengan melihat dari sisi bagian mana dia akan mengambil keputusan. Begitu banyaknya sisi kehidupan manusia akan ikut mempengaruhi sikapnya dalam memilih pemimpin. Intinya masyarakat tidak hanya mempertimbangkan sisi agamanya saja dalam memilih pemimpin.
Selain itu tingkatan dalam partisipasi politik juga harus menjadi hitungan. Penduduk islam yang menjadi mayoritas di negeri ini jika tindakan partisipasi politiknya sangat lemah maka tidak akan menjamin seorang tokoh yang memanfaatkan simbol islam dalam meraih dukungan dari masyarakat belum tentu menang. Partisipasi politik diebadakan menjadi tiga berdasarkan tingkatannya:
1. Apatis, artinya tidak menaruh perhatian sama sekali pada kegiatan politik dan masa bodoh.
2. Spektator, berarti orang yang bersangkutan setidak-tidaknya ikut menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum.
3. Gladiator adalah tingkatan partisipasi politik sampai pada keikutsertaan secara aktif dalam proses politik.
Boleh kita beranggapan bahwa umat islam lah yang terbesar di negeri ini. Namun jika melihat tingkatan partisipasi politik tidak menjamin bahwa demokrasi kita ini menjadi milik mayoritas semata.
Motif Partisipasi Politik
• Motif rasional bernilai: yaitu motif yang disarkan atas penerimaan secara rasional terhadap nilai-nilai suatu kelompok. Motif ini akan merasionalisasikan sesuatu yang masyarakat anggap benar keberadaannya. Motif ini akan mempertahankan keyakinannya terhadap orang lain.
• Motif afektual emosional: yaitu motif yang didasarkan kepada kebenaran terhadap suatu ide, organisasi atau individu. Motif ini melihat bahwa ide yang dibawa oleh calon pemimpin atau partai tertentu mudah diterima dikalangan masyarakat dan akan membawa perubahan yang signifikan. Maka ia akan memilih calon atau partai tersebut tanpa ada embel-embel lainnya.
• Motif tradisional: motif yang didasarkan kepada penerimaan norma, tingkh laku individu dari suatu kelompok sosial. Motif ini mempengaruhi masyarakat dalam memilih berdasarkan apa yang telah diyakini sebelumnya oleh para pendahulunya atau orang tuanya. Misalkan orang tuanya sebagia seorang NU maka anaknya akan juga seorang NU. Dan dalam memilih pemimpin mereka akan memilih PKB sebagai partai yang berbasis NU.
• Motif rasional bertujuan: motif yang didasarkan atas kepentingan pribadi. Dia memilih atau berpartisipasi dalam berpolitik karena dia juga memiliki kepentingan lain dari calon yang dia pilih. Misalnya, untuk memuluskan bisnisnya dari jeratan pajak Negara.
Jika melihat empat motif tersebut, artinya masyarakat yang tadinya mayoritas menjadi melebur kedalam kepentingan/keyakinan berpolitik mereka. Demokrasi sebenarnya tidak menjamin bahwa masyarakat mayoritaslah yang akan menguasai perpolitikan seuatu negeri. Demokrasi tidak akan menindas kaum minoritas dalam kehidupan. Jangan semata menganggap demokrasi kita ini menguntungkan suatu kelompok saja. Namun, memang masih ada dari nilai-nilai dari peraturan Negara yang dilanggar oleh suatu kelompok dalam kehidupan sehari-hari. Tapi ini merupakan bukan efek dari demokrasi. Ini hanyalah kelemahan dari kepemimpinan suatu pemimpin.
Pemilu secara langsung merupakan bukan semata memilih pemimpin saja. Menurut AAGN Dwipayana, pemilu juga memuat beberapa norma dasar:
• Pertama, pemilu adalah wadah aktualisasi kewarganegaraan (citizenship), terutama penyelenggaraan hak-hak politik warga Negara. Kualitas pemilu terlihat dari bagaimana kebebasan warga negera dalam melaksanakan hak-hak politiknya, tidak adanya intimidasi, diskriminasi dalam memperoleh informasi-informasi alternetif.
• Kedua, seberapa tingkat kompetisi kontestasi dimungkinkan. Persaingan yang kompetitif akan menentukan kualitas pemilu. Baik dari bagaimana kontestan mencari dukungan kepada warga dan warga pun maraih informasi yang sukup dari kontestan. Hal ini akan sangat mendukung kualitas pemilu.
• Ketiga, derajat keterwakilan yang dihasilkan oleh proses pemilu. Pemilu merupakan ajang menuju pemerintahan yang mampu meningkatan kualitas keterwakilan warganya dalam membuat kebijakan. Jika hasil dari proses pemilu malah membuat warga merasa tak terwakilkan dalam kebijakannya maka kualitas pemilu tersebut sangat rendah dan sebaliknya.
Intinya dari semua ini adalah ada baiknya para calon pemimpin yang maju sebagai gubernur, walikota, atau bupati sebaikanya jangang menggunakan identitas kelompoknya/golongannya saja. Ada baiknya mereka menyadari sedari awal bahwa tujuan dari proses pemilu ini adalah untuk menciptakan pemerintahan yang keterwakilan politik warganya dari segala golongan merasa terwakili. Apa yang menjadi dasar tulisan ini adalah resah dari segala banyak calon pemimpin di negeri ini hanya mementingkan satu golongannya saja. Dan mengabaikan kelompok minoritas. Takutnya ini malah menimbulkan konflik dan menurunkan kualitas demokrasi saja. Mereka adalah pelaku politik dan ada baiknya mereka menjaganya dengan baik.
Wasssalam
#SaveRI
Para calon pemimpin dari calon gubernur sampai calon bupati terus berlomba untuk dapat meraih dukungan dari para pemilik suara. Berbagai kegiatan sosial yang tadinya memang tidak ada sama sekali ketika menjelang pemilihan banyak sekali kegiatan-kegiatan itu dibentuk oleh para calon pemimpin untuk meraih simpati masyarakat. Tidak heran memang menjelang pemilihan banyak sekali para tokoh turun langsung ke dalam masyarakat. Semua itu dilakukan demi meraih dukungan oleh para pemilik suara.
Pemilihan peminpin seperti di atas memang sangat membutuhkan kedekatan-kedekatan dengan masyarakat. Pemilihan langsung yang ditentukan oleh masyarakat akan membawa para calon pemimpin mau tidak mau harus dekat dengan berbagai kalangan di masyarakat. Siapa yang berhasil meraih paling banyak dukungan dari masyarakat akan sangat menentukan sekali dalam hari H pemilihan. Kursi partai-partai yang telah diraih di DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dalam pemilu legislatif di tahun 2009 tidak lagi mempengaruhi suara yang akan diraih oleh salah satu calon di pilkada. Ini terbukti pada kemenangan Jokowi-Ahok kemarin di pilgub DKI Jakarta.
Yang menjadi perhatian lebih penting dalam pemilihan langsung seperti ini adalah bagaimana para calon tersebut dalam meraih dukungan dari masyarakat. Dalam hal ini tentunya kita memfokuskan pada salah satu cara yang sangat familiar di dalam masyarakat ialah dengan cara bagaimana para calon tersebut melabelkan dirinya sebagai tokoh islam yang sangat taat. Banyak sekali calon-calon pemimpin dalam maju mengahadapi pilkada yang sangat menggunakan simbol-simbol islam demi mendapatkan dukungan dari masyarakat. Dalam baliho-baliho besar misalnya, mereka tidak canggung menggunakan kopiah haji, sorban, atau bahkan yang lebih dalam lagi menggunakan Haji di depan namanya. Memang tidak ada salahnya melakukan hal seperti ini demi meraih dukungan.
Cara-cara seperti di atas tentunya berfokuskan kepada jumlah besar umat islam di negeri ini. Memanfaatkan islam yang menjadi mayoritas di negeri ini untuk memenangkan dirinya menjadi pemimpin. Menganggap bahwa penduduk yang menjadi mayoritaslah yang akan menguasai demokrasi. Dalam hal ini islam. Dan mengabaikan aspek-aspek lain dalam demokrasi dan politik dalam menjadi pemimpin. Jika sudah menganggap hal seperti itu benar ada, maka matilah negeri kita. Demokrasi hanya menguntungkan kaum mayoritas saja.
Dalam pemilihan pemimpin secara langsung oleh masyarakat tentunya harus melihat aspek-aspek lain yang harus diperhatikan. Menurut Herbert McClosky yang memaknai term partisipasi politik sebagai kegiatan-kegaiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses pembentukan kebijakan umum. Jika melihat definisi ini tentunya masyarakat akan memilih pemimpinnya dengan melihat dari sisi bagian mana dia akan mengambil keputusan. Begitu banyaknya sisi kehidupan manusia akan ikut mempengaruhi sikapnya dalam memilih pemimpin. Intinya masyarakat tidak hanya mempertimbangkan sisi agamanya saja dalam memilih pemimpin.
Selain itu tingkatan dalam partisipasi politik juga harus menjadi hitungan. Penduduk islam yang menjadi mayoritas di negeri ini jika tindakan partisipasi politiknya sangat lemah maka tidak akan menjamin seorang tokoh yang memanfaatkan simbol islam dalam meraih dukungan dari masyarakat belum tentu menang. Partisipasi politik diebadakan menjadi tiga berdasarkan tingkatannya:
1. Apatis, artinya tidak menaruh perhatian sama sekali pada kegiatan politik dan masa bodoh.
2. Spektator, berarti orang yang bersangkutan setidak-tidaknya ikut menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum.
3. Gladiator adalah tingkatan partisipasi politik sampai pada keikutsertaan secara aktif dalam proses politik.
Boleh kita beranggapan bahwa umat islam lah yang terbesar di negeri ini. Namun jika melihat tingkatan partisipasi politik tidak menjamin bahwa demokrasi kita ini menjadi milik mayoritas semata.
Motif Partisipasi Politik
• Motif rasional bernilai: yaitu motif yang disarkan atas penerimaan secara rasional terhadap nilai-nilai suatu kelompok. Motif ini akan merasionalisasikan sesuatu yang masyarakat anggap benar keberadaannya. Motif ini akan mempertahankan keyakinannya terhadap orang lain.
• Motif afektual emosional: yaitu motif yang didasarkan kepada kebenaran terhadap suatu ide, organisasi atau individu. Motif ini melihat bahwa ide yang dibawa oleh calon pemimpin atau partai tertentu mudah diterima dikalangan masyarakat dan akan membawa perubahan yang signifikan. Maka ia akan memilih calon atau partai tersebut tanpa ada embel-embel lainnya.
• Motif tradisional: motif yang didasarkan kepada penerimaan norma, tingkh laku individu dari suatu kelompok sosial. Motif ini mempengaruhi masyarakat dalam memilih berdasarkan apa yang telah diyakini sebelumnya oleh para pendahulunya atau orang tuanya. Misalkan orang tuanya sebagia seorang NU maka anaknya akan juga seorang NU. Dan dalam memilih pemimpin mereka akan memilih PKB sebagai partai yang berbasis NU.
• Motif rasional bertujuan: motif yang didasarkan atas kepentingan pribadi. Dia memilih atau berpartisipasi dalam berpolitik karena dia juga memiliki kepentingan lain dari calon yang dia pilih. Misalnya, untuk memuluskan bisnisnya dari jeratan pajak Negara.
Jika melihat empat motif tersebut, artinya masyarakat yang tadinya mayoritas menjadi melebur kedalam kepentingan/keyakinan berpolitik mereka. Demokrasi sebenarnya tidak menjamin bahwa masyarakat mayoritaslah yang akan menguasai perpolitikan seuatu negeri. Demokrasi tidak akan menindas kaum minoritas dalam kehidupan. Jangan semata menganggap demokrasi kita ini menguntungkan suatu kelompok saja. Namun, memang masih ada dari nilai-nilai dari peraturan Negara yang dilanggar oleh suatu kelompok dalam kehidupan sehari-hari. Tapi ini merupakan bukan efek dari demokrasi. Ini hanyalah kelemahan dari kepemimpinan suatu pemimpin.
Pemilu secara langsung merupakan bukan semata memilih pemimpin saja. Menurut AAGN Dwipayana, pemilu juga memuat beberapa norma dasar:
• Pertama, pemilu adalah wadah aktualisasi kewarganegaraan (citizenship), terutama penyelenggaraan hak-hak politik warga Negara. Kualitas pemilu terlihat dari bagaimana kebebasan warga negera dalam melaksanakan hak-hak politiknya, tidak adanya intimidasi, diskriminasi dalam memperoleh informasi-informasi alternetif.
• Kedua, seberapa tingkat kompetisi kontestasi dimungkinkan. Persaingan yang kompetitif akan menentukan kualitas pemilu. Baik dari bagaimana kontestan mencari dukungan kepada warga dan warga pun maraih informasi yang sukup dari kontestan. Hal ini akan sangat mendukung kualitas pemilu.
• Ketiga, derajat keterwakilan yang dihasilkan oleh proses pemilu. Pemilu merupakan ajang menuju pemerintahan yang mampu meningkatan kualitas keterwakilan warganya dalam membuat kebijakan. Jika hasil dari proses pemilu malah membuat warga merasa tak terwakilkan dalam kebijakannya maka kualitas pemilu tersebut sangat rendah dan sebaliknya.
Intinya dari semua ini adalah ada baiknya para calon pemimpin yang maju sebagai gubernur, walikota, atau bupati sebaikanya jangang menggunakan identitas kelompoknya/golongannya saja. Ada baiknya mereka menyadari sedari awal bahwa tujuan dari proses pemilu ini adalah untuk menciptakan pemerintahan yang keterwakilan politik warganya dari segala golongan merasa terwakili. Apa yang menjadi dasar tulisan ini adalah resah dari segala banyak calon pemimpin di negeri ini hanya mementingkan satu golongannya saja. Dan mengabaikan kelompok minoritas. Takutnya ini malah menimbulkan konflik dan menurunkan kualitas demokrasi saja. Mereka adalah pelaku politik dan ada baiknya mereka menjaganya dengan baik.
Wasssalam
#SaveRI
Langganan:
Postingan (Atom)
Mengenai Saya
- ahmad fauzi
- bekasi, jawa barat, Indonesia
- sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae