Perkembangan demokrasi di negeri kita kini semakin memprihatinkan. Baik dilihat dari fungsi normative maupun segi partisipasi pemilih dalam pemilihan umum. Dilihat dari fungsi normative rasanya demokrasi di negeri kita memiliki nilai merah. Fungsi normative dari tatanan pemerintahan yang demokratis adalah menjamin dan melindungi wilayah kebebasan individu, yakni menjamin hak individu untuk menjalankan kehidupan menurut pilihannya masing-masing. Kebebasan individu bukan berarti kebebasan absolute melainkan ia dibatasi oleh kebebasan orang lain. Semua individu dianggap sejajar dalam hak mereka akan kebebasan individu, maka konsep demokratis tentang makhluk hidup adalah apa yang dapat disebut sebagai citra manusia umum.
Dilihat dari partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum, demokrasi juga sudah sangat buruk di negeri kita. Angka golput sudah semakin meningkat ditiap tahunnya. Selain itu juga rakyat sudah cenderung pragmatis dalam menentukan pilihannya, misalnya hanya mau memilih jika di hari pemilihan ada yang memberi uang. Sungguh memilukan. Padahal dalam pemilihan umum, rakyat diberikan kesempatan secara bebas dan kompetitif untuk menentukan arah kekuasaan, tokoh kekuasaa, apakah akan berganti atau meneruskan arah dan tokoh kekuasaan sebelumnya. Satu-satunya cara untuk memperoleh kekuasan dalam sistem demokrasi yaitu melalui pemilihan umum.
Problem besar sedang melanda demokrasi di negeri ini. Kekerasan antar suku, agama, kelompok pemuda kerap kali terjadi. Masalahnya dari yang sepele sampai masalah yang sangat besar. Missal saja, ada konflik yang diawali oleh perbedaan pilihan calon dalam sebuah pilkada atau pun pilgub. Perbedaan ini bisa sampai menyulut amarah kelompok yang pilihannya kalah. Tidak jarang korban berjatuhan, sampai pembakaran kantor pemerintahan setempatpun menjadi amuk masa. Selain itu, ada juga konflik yang terjadi akan halnya perbedaan mahzab dalam beragama. Satu sama lain saling merasa paling benar. Yang mayoritas menindas yang minoritas. Kerugian pun terus terjadi. Negeri ini yang sebagian besar masyarakatnya masih mudah tersulut akan perbedaan, masih mudah menganggap dirinya paling benar, dan paling buruk dalam menghormati kebebasan individu dalam menjalankan hidupnya menurut jalan yang diakuinya paling benar. Masih banyak dari sebagian orang yang memanfaatkan memobilisasi kesetian-kesetian primordial yang memang masih ampuh dalam masyarakat transisi seperti Indonesia.
Begitupun dalam menentukan pilihan siapa yang bakal menjadi penguasa selanjutnya, arah politik apa yang akan dibawa untuk membenahi urusan dalam negeri melalui pemilihan umum rakyat sepertinya sudah ogah untuk berpartisipasi. Ini membuat sistem demokrasi semakin lemah. Dalam demokrasi satu-satunya cara dalam meraih kekuasaan adalah melalui pemilihan umum. Namun jika suara golput lebih banyak ketimbang suara pemenang dalam sebuah pemilihan umum apakah ini kekuasaan itu legitimasi. Secara jumlah suara yang diraih sah, namun jika dilihat dalam teori, kekuasaan tersebut tidak sah. Karena jauh dari kehendak masyarakat.
Lalu apa yang menyebakan masalah ini terjadi? Negeri kita adalah negeri yang besar yang mayoritas penduduknya adalah beragama islam. Hampir 80% lebih muslim tersebar diseluruh penjuru bangsa ini. Menurut index of political right and civil liberty yang dikeluarkan oleh Freedom House, sepanjang tiga dekade terakhir, Negara-negara muslim pada umumnya gagal membangun politik yang demokratis. Menurut Huntington bila orang islam berusaha mengenalkan demokrasi ke dalam masyarakat mereka, usaha itu cenderung akan gagal karena islam, yang sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka, tidak mendukung demokrasi. Huntington berpendapat bahwa kegagalan demokrasi di Negara-negara muslim antara lain disebabkan oleh watak budaya masyarakat islam yang tidak ramah terhadap konsep-konsep liberalisme barat.
Penolakan terhadap pembaharuan pemikiran bangsa Barat oleh umat islam merupakan sebuah kemunduran intelektual yang dimiliki kaum muslim tersebut. Menurut Muhammad Abduh, kemunduran umat islam adalah dipengaruhi sikap jumud. Dalam sikap ini mengandung arti keadaan membeku, statis, berpegang teguh pada adat. Karena dipengaruhi sikap jumud umat islam tidak menghendaki perubahan dan tidak mau perubahan. Begitupun umat islam di Indonesia, mereka enggan sekali melihat positif dari sistem demokrasi ini. Bahkan dari para pelaku demokrasinya pun, kebanyakan mereka malah menghancurkan tatanan masyarakat yang demokratis dan harmonis. Para pelaku politik umat islam cenderung menggunakan “politik identitas” yang sangat jauh dari nilai demokrasi dan wawasan kebangsaan. “Politik identitas” cenderung memnimbulkan perpecahan bangsa. Bahkan tidak jarang pelaku “politik identitas” ini memanfaatkan semangat ummah untuk menghancurkan lawan politiknya. Dengan menyerang dan lebih cenderung pada pengkafiran bagi lawan politiknya yang mengedepankan nilai pancasila dan kebangsaan. Menurut Muhammad Abduh, apabila keluar seratus persoalan dari seseorang yang mungkin saja bisa dianggap kekafiran, namun ia masih mengandung satu persoalan yang bisa disebut masih beriman, maka orang itu dianggap masih beriman dan tidak boleh dituduh telah kafir.
Disisi lain dalam melihat kecenderungan makin sedikitnya pemilih dalam pemilihan umum, disini pun umat islam berperan. Menurut penulis, ini terjadi karena sebagian tokoh islam dan masjid-masjid gagal dalam membangung pemahaman keduniawian. Tidak heran jika kita melihat aktifitas-aktifitas yang ada dalam masjid-masjid, biasanya tokoh umat islam hanya memberikan pemahaman akan betapa nikmatnya surga dan betapa pedihnya neraka. Umat hanya dikenalkan hal-hal seperti itu dan juga tentang cara beribadah, namun umat tidak dikenalkan akan pemahaman keduniawian berupa pemikiran-pemikiran pembaharuan dan kemajuan teknologi. Terjadilah kualitas masyarakat yang rendah akan hal demokrasi. Pengenalan pemikiran-pemikiran pembaharuan dan juga kemajuan tentang teknologi bukan merupakan sebuah hal yang menyimpang dari ajaran agama. Karena, sedari awal, Allah, Tuhan yang diakui kebenarannya oleh umat islam menciptakan manusia untuk menjadi khalifah atau pemimpin di muka bumi ini. Agar dapat mengelola dan memanfaatkan potensi alam untuk kepentingan manusia secara adil. Jadi umat islam harus siap mengikuti perkembangan jaman, perkembangan ilmu pengetahuan dan juga kemajuan teknologi agar tugas yang diberikan oleh Tuhannya tersebut benar-benar diamalkan dengan sebaik mungkin.
Demokrasi merupakan bukan sesuatu yang sangat menyimpang dari nilai islam. Beberapa intelektual muslim merumuskan titik temu antara islam dan demokrasi melalui pencarian kolektif prinsip-prinsip tentang pengaturan kehidupan. Islam memiliki kesesuaian dengan demokrasi karena adanya koherensi nilai yang ada didalamnya, seperti prinsip persamaan (al musawah), kebebasan (al hurriyah), pertanggung jawaban publik (al ma’uliyyah) dan kedaulatan rakyat atau musyawarah (syura).
Semoga kedepannya, islam dan demokrasi dapat menjadi sebuah kekuatan untuk membangun peradaban negeri.
Wassalam…
Sumber:
Anas Urbaningrum, Melamar Demokrasi (Dinamika Politik Indonesia), (Jakarta: Republika, 2004)
Saiful Mujani, Muslim Demokrat (Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru). (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007)
Ulil Absar Abdalla, ed, Islam dan Barat Demokrasi Dalam Masyarakat Islam (Jakarta, Friedrich-Naumann-Stiftung (FNS) Indonesia dan Pusat Studi Islam Paramadina, 2002)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar