Sabtu, 29 Juni 2013

Iklan dan Kepalsuannya

Kita begitu tercengan ketika menyaksikan televise, namun di sana lebih banyak iklan yang ditampilkan ketimbang hiburan. Tujuan umum masyarakat kita melihat televise adalah untuk mencari hiburan berupan tontonan yang berkualitas. Diantara kejenuhan kehiudupan yang semakin menghimpit kebutuhannya, masyarakat kita umumnya melarikan diri dari kepenatan tersebut ke depan layar kaca.

Namun, yang sering dijumpai dari pertelevisian kita adalah minimnya hiburan tersebut. Kini iklan lebih sering tampil di hadapan kita ketimbang hiburan tersebut. Terlebih lagi jika kita mengharapkan sebuah hiburan yang menuntun bukan sekedar tontonan, ini sudah sangat jarang kita jumpai. Di sisi lain, kita terkadang menuntut sebuah iklan agar lebih mengedepankan kejujuran ketimbang sebuah fantasi belaka dalam isinya. Ini sangat tidak mungkin kita peroleh.
Yang menjadi titik permasalahan di sini adalah bukan masalah regulasi penyiaran atau masalah kejujuran yang harus ditampilkan dalam sebuah iklan. Yang ingin dikaji dalam tulisan ini adalah bagaimana Jean Baudrillard melihat iklan ini dalam era sekarang yang menurutnya sudah memasuki era kapitalisme lanjutan.

Menurut Baudrillard kini adalah era kapitalisme lanjutan, dimana era kapitalisnya Marx sudah berakhir. Mengacu pada Marx, bersamaan dengan prinsip masyarakat foedal menuju masyarakat kapitalis, muncul konsep komoditas yang merupakan konsekuensi logis dominannya logika produksi dalam era kapitalisme. Komoditas adalah objek produksi yang di dalamnya memuat dua nilai dasar, yakni nilai guna dan nilai tukar. Nilai guna adalah nilai yang secara alamiah terdapat dalam objek. Berdasarkan kegunaannya, setiap objek dianggap memiliki manfaat atau kegunaan bagi manusia. Sementara itu, seiring dengan perkembangan struktur masyarakat feudal menunuju masyarakt kapitalis muncullah satu nilai baru, yakni nilai tukar. Nilai tukar adalah nilai yang diberikan kepada objek-objek produksi berdasarkan ukuran nilai-gunanya.

Menurut pandangan Marx di atas Baudrillard melihat lebih jauh lagi tentang era saat ini. Menurutnya telah lahir era baru yakni nilai tanda dan nilai symbol dalam struktur masyarakat dewasa ini. Dengan merujuk pada Marcel Mauss, Baudrillard menerima pendapat bahwa aktivitas konsumsi pada dasarnya bukan dilakukan karena kebutuhan, namun lebih kepada alasan simbolis: kehormatan, status, dan prestise.

Pandangan Baudrillard di atas membawa kita pada posisi baru yakni masyarakat konsumen. Masyarakat konsumen ialah masyarakat yang dibentuk dan dihidupi oleh konsumsi. Dalam masyarakat konsumen, yang dikonsumsi bukan lagi nilai guna dan nilai tukar seperti pandangan yang diajukan Marx. Kini yang menjadi acuan mereka malakukan sebuah tindakan konsumsi adalah tanda yang dalam sebuah objek produksi.

Nilai-tanda yang yang berupa status, prestise, ekspresi dan gaya hidup, kemewahan dan kehormatan adalah motif utama aktivitas konsumsi masyarakat konsumen. Apa yang kita beli, tidak lebih dari tanda-tanda yang ditanamkan ke dalam objek-objek konsumsi, yang membedakan pilihan pribadi orang yang satu dengan yang lainnya. Tema-tema gaya hidup tertentu adalah makna-makna yang jamak ditanamkan ke dalam objek-objek konsumsi.

Masyarakat konsumen dalam melihat eksitensi dirinya di lingkungan hanya mengacu kepada semakin banyaknya mengkonsumsi tanda dan status social di balik komoditi. Bukan hanya dirinya saja yang mengaktualisasikan dirinya lewat tindakan konsumsi, orang lain juga akan dinilai menurut standar yang dipakaianya itu. Artinya eksistensi orang lain pun akan dinilai dan diakui sesuai dengan standar social yang dipegangnya.

Baudrillard melihat konsumsi sebagai hasil kreasi dari sistem produksi. Dalam masyarakat konsumen, bukan kebutuhan konsumen yang menyebabkan adanya kegiatan produksi, melainkan kepentingan produsenlah yang menyebabkan adanya kebutuhan masyarakat. Produsen yang menentukan apa yang dibutuhkan masyarakat dan masyarakat dimanipulasi kebutuhannya.

Masyarakat yang telah menjadi masyarakat konsumen akan melihat iklan sebagai guru dan teladan moral yang harus diikuti. Tanggung jawab moral kini ada dipundak institusi pembuat iklan tersebut. Akan tetapi karena iklan merupakan ujung tombak kapitalisme sebagai guru dan teladan moralitas, maka moralitas yang berkembang dalam masyarakat adalah moralitas hedonis.

Inilah yang harus kita pahami dari sebuah iklan di era seperti ini. Iklan bukan lagi menyampaikan sebuah nilai guna yang terdapat dalam objek produksi tersebut. Kini adalah era nya kapitalisme lanjutan sebagai sebuah konsekuensi logis dari semakin berkembangnya kemajuan teknologi dan industry.
Kita tidak mungkin membendung permasalahan ini dari masyarakat kini. Yang bisa kita lakukan adalah meminimalisir masyarakat kita dalam melihat tayangan televise. Harus ada alternative lain yang harus didengungkan kepada masyarakat agar disaat mereka mencapai titik jenuh dalam kehidupan mereka tidak masuk dalam tayangan imajinasi palsu yang disampaikan kaum kapitalis melalui televise. Mengingat saat ini televise menjadi sebuah kotak kecil yang mampu membius masyarakat menjadi diam dan tak berdaya.

Kita telah kehilangan cita-cita agung bersama agar menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang berdaya dan berkualitas. Kita telah digempur habis-habisan oleh kemajuan teknologi dan industry yang tidak mampu kita filter. Inilah sebuah era baru yang harus kita terima kepahitannya. Era kapitalisme lanjutan, yang membuat masyarakat tak sanggup lagi berdaya dan telah kehilangan akal sehatnya. Sebuah era dalam MASYARAKAT KONSUMEN.

Sumber:

Selu Margaretha Kushendrawati, Hiperrealitas dan Ruang Publik, (Jakarta: Penaku, 2011)

Medhy Aginta Hidayat, Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme Jean Baudrillard, (Yogyakarta: Jalasutra, 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae