Jumat, 25 Oktober 2013

Menata Ulang Reformasi

Anehnya mereka-mereka yang terjebak pada pesona reformasi adalah mereka yang semasa Orde Baru begitu memusuhi Negara. Aktivis, pengusaha dan tokoh-tokoh agama kini berebut masuk ke dalam kekuasaan negara.
Angin segar paska reformasi membuat sedikit dari kita menjadi terlena. Mereka yang dahulu menjadikan Negara dan penguasa sebagai musuh nomor satu yang menjadi actor utama atas penegakan hukum yang tidak adil, atas kemiskinan yang terus merajarela, korupsi yang menjadi makanan utama penguasa, dan atas pengekangan terhadap kebebasan bersuara kini berlomba untuk masuk ke dalam struktur negara.
Anak muda yang pada masa sebelum reformasi berdiri paling depan menentang kekuasaan pemerintah kini setelah rezim Orde Baru jatuh mereka ikut berlomba masuk menjadi bagian dari Negara. Tidak jarang pula para tokoh agama yang sebelum reformasi menjadi pusat spiritualitas religi masyarakat setelah reformasi mereka pun tidak mau kalah, mereka mencoba masuk menjadi bagian dari Negara. Bahkan selain itu, angin reformasi juga membuat tumbuh berkembangnya organisasi-organisasi kemasyarakatan, yang sebelumnya di masa Orde Baru dilarang kini menjamur bak warung kopi dipinggir jalan. Mereka semua terlena atas angin segar reformasi.
Semestinya mereka menyadari, dan tentunya kita pun harus tetap sadar bahwa yang membuat rezim Orde Baru begitu kejam bukan terpusat pada para penguasa yang mengisi Negara melainkan pada sistem atau peraturan dan perundang-undangan yang dibuat oleh Negara tanpa melibatkan masyarakat sehingga peraturan tersebut melahirkan bahwa Negara begitu represif mengatur permasalahan masyarakat. Sehingga terjadi kesewenang-wenangan dari pihak penguasa bagi masyarakat yang melawan penguasa. Gerakan reformasi 98 masih terlihat sebagai sebuah gerakan yang berkaki dua. Mereka menganggap juga bahwa semua yang terlibat pada masa Orde Baru harus diganti. Padahal yang mesti disadari lagi adalah bahwa yang perlu diperbaikan adalah beberapa kepincangan, dan yang paling mendasar adalah keterbukaan pemerintahan dan kebebasan bersuara dari masyarakat untuk mampu mengontrol kekuasaan. Namun, pada akhirnya semua terlena atas angin segar reformasi tersebut.
Tokoh-tokoh yang mengerti dan memiliki andil besar bagi jatuhnya Orde Baru melupakan tanggungjawabnya terhadap pemberdayaan masyarakat. Sedangkan berdirinya organisasi-organisasi kemasyarakatan pun tak mampu membawa dampak yang berarti bagi tumbuhnya kesadaran masyarakat atas hak dan tanggungjawabnya sebagai masyarakat pada masa demokrasi kini. Bahkan tidak jarang, berdirinya Ormas juga hanya menjadi sayap-sayap politik partai tertentu untuk menjadi komoditas politik elit penguasa. Keberadaan Ormas sangat jauh berarti, bahkan mereka pun sama saja, menikmati dan terlena angin segar paska runtuhnya Orba.
Setelah demokrasi berjalan paska runtuhnya Orde Baru, masyarakat hanya memiliki peran pada hari pemilihan umum saja, mereka hanya menjalankan kewajibannya tanpa tahu bahwa mereka juga memiliki hak untuk mengontrol pemerintahan. Namun apa daya, masyarakat tidak memiliki akses yang memadai untuk menerima pengetahuan tentang sistem yang seharusnya berjalan. Sebagai pemilik kedaulatan masyarakat dalam sistem demokrasi juga memiliki akses yang kuat untuk melakukan pengajuan bahkan menolak perundang-undangan yang akan dibuat atau sudah dibuat. Secara kasar, sebenarnya mereka yang kini ikut menikmati dan menjadi bagian dari penguasa saat ini sama saja dengan penguasa pada jaman Orba, sama-sama mengkhianati kedaulatan rakyat. Dan yang lebih sadisnya lagi, mereka sengaja meninggalkan rakyat yang memang belum siap dalam sistem baru ini, sengaja membodohinya, demi kelanggengan mereka menjadi penguasa.
Sebenarnya saya belakangan ini, memperhatikan bagaimana perkembangan civil society dikalangan masyarakat kita. Sudahkah memang mereka benar-benar sadar dan siap atas hak dan tanggungjawab mereka dalam sistem demokrasi. Yang terjadi selama ini mereka hanya terlibat secara aktif pada pelaksanaan pemilihan umum saja, setelahnya mereka menjadi manusia biasa kembali yang terus dibodohi dan diperalat oleh penguasa. Sebelum Orba dan paska Orba sebenarnya sama saja seperti apa yang saya bicarakan pada kalimat terakhir pada paragraph di atas.
Bagi kita yang belum terjebak dalam keterpesonaan kekuasaan, mari kita sadarkan dan arti penting pada diri masyarakat bahwa mereka juga memiliki andil besar bagi perjalanan kekuasaaan. Tidak ada bosan-bosannya kita membicarakan makan civil society pada sistem demokrasi ini, yang keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Hanya dengan civil society yang kuat demokrasi dapat berjalan secara baik, dan hanya pada sistem demokrasi civil society dapat tumbuh dan berkembang. Penguatan civil society merupakan hal utama dalam pembangunan sistem demokrasi.
Dalam tulisan saya yang lain, penguatan civil society merupakan langkah pengutan dan penyeimbang dan control terhadap kuasa Negara yang eksesif. Dengan penguatan civil society, demokrasi tidak hanya dilihat dari partisipasi masyarakat pada hari pemilihan saja, namun juga dapat dilihat dari sudut bagaimana masyarakat berpartisipasi dalam melakukan control atas kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh penguasa jika mana ada dari salah satu kebijakan tersebut yang tidak sesuai dengan kepentingan dan kehendak rakyat. Jadi demokrasi bukan hanya berjalan sesuai dengan mekanisme penyerahan kekuasaan dari rakyat kepada penguasa, namun melainkan juga sebagai penyadaran bahwa rakyatlah yang memiliki kedaulatan dan berhak ikut dalam perjalanan kekuasaan sepanjang periode kekuasaan berlangsung.
Seperti yang di awal pada tulisan ini, bahwa Negara bukanlah biang keladi dari semua permasalahan bangsa ini, melainkan peraturanlah yang membuat Negara menjadi tampak arogan. Maka dari itu kita tidak semestinya ikut berlomba masuk ke dalam bagian Negara untuk menjadi penguasa. Dalam buku Saldi Isra dalam Pergeseran Fungsi Legislasi menjelaskan bahwa masyarakat berhak berperan aktif dalam pembuatan atau pengajuan undang-undang atau rancangan peraturan daerah. Dalam penjelasan buku tersebut, sesuai dengan Pasal 53 UU No. 10/2004 menyatakan, “masyarakat berhak memberikan masukan secara tulisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.” Dan dalam penjelasan pasal 53 ditegaskan, hak masyarakat dalam pelaksanaan ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.
Jelaslah, bahwasanya kita jangan ikut terpesona dalam angin segar reformasi ini. Marilah setidaknya kita bergerak dari bawah untuk melakukan penguatan dalam masyarakat dengan cara mengadvokasi suara dan kepentingan mereka agar mampu kita bawa ke dalam pembuatan rancangan undang-undang. Tentunya hal ini dibutuhkan juga kehadiran Ormas-ormas yang benar-benar konsen dalam kepentingan rakyat dan sudah mapan terpola dalam menjalankan tugasnya. Bukan Ormas yang malah menjadi komoditas suara dari kepentingan elit penguasa.
Dan yang lebih penting lagi adalah, bahwa kita yang masih berada dalam garis pengutan basis masyarakat yang memfokuskan diri pada kesadaran mereka akan hak dan tunggungjawabnya jangan sampi terjebak masuk partai dan ormas yang hanya menjadi ajang berkumpul untuk sekedar merawat dan melanggengkan kekuasaan oligarki elit. Seperti yang dituliskan Jeffrie Geovanie bahwa partai dan ormas tersebut tidak hanya mengesampingkan aspirasi rakyat, pada faktanya mereka menjalankan kekuasaan secara kotor, penuh muslihat, dan lebih berbahayanya lagi, sarat fitnah.
Selamat berjuang, demi keselamatan negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae