Sabtu, 19 Oktober 2013

SELAMANYA

Di luar sana turun hujan cukup deras. Awan gelap yang sedari sore tadi menutupi langit Bandung kini akhirnya memuntahkan juga air hujan yang ditahan-tahan menunggu sampai kumandang adzan maghrib berkumandang barulah hujan turun beriringan dengan angin kencang dan suara petir yang saling bersahutan. Beruntung Pak Idris beserta isteri dan anaknya tiba sebelum maghrib di saat awan gelap hanya menyelimuti langit Bandung sore itu. Dia tidak terjebak suasana yang mungkin akan sangat membosankan apabila ia belum sampai dan di saat yang bersamaan hujan telah turun. Jalan pasti berubah menjadi muram, macet dimana-mana dan tentunya penglihatan pun akan tertutup oleh kabut dan juga air hujan. Hati rombongan keluarga tersebut berdebar, setelah sekian lama mereka tidak bertemu dengan salah satu anggota keluarganya yang memilih jalan hidup sesuai dengan ideology yang ia yakini bersama sang pujaan hidupnya. Hanya Nia anak pertama mereka yang terakhir kali bertemu dengan Radita saat pernikahan adiknya tersebut dengan Ahmad pemuda desa yang berhasil mengenyam S1 di Jakarta. Setelahnya mereka tak lagi bertemu dengan Radita, walaupun jarak Jakarta – Bandung tidak terlalu jauh. Mereka sudah terlampau jauh perbedaannya. Radita perempuan yang terus bersuara meluruskan sejarah dan juga melantangkan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Radita sebenarnya berasal dari keluarga yang mapan. Ayahnya merupakan salah satu pejabat pemerintahan yang berpengaruh di republik ini. Mereka hidup bergelimangan harta. Berkat jabatannya di pemerintahan, bisnis ayahnya bersama para anggota keluarga lainnya maju pesat. Ini merupakan pengaruh yang diberikan oleh ayahnya yang memuluskan segala proyek perusahaan keluarga mereka. Namun Radita sedari dini tidak menikmati kemewahan-kemewahan tersebut. Ia sekolah menyesuaikan dengan kehidupan para temannya, bahkan Radita yang akrab dipanggil Dita oleh teman-temannya lebih sederhana ketimbang dengan teman-teman lainnya. Terlebih saat memasuki masa perkuliahan, ia semakin jauh dari pribadi ayah dan ibunya. Ia tidak pernah mau ikut kedua orang tuanya saat melakukan kunjungan kerja ke luar negeri yang memakan biaya dari Negara. Ia sadar kunjungan kerja tersebut merupakan sebuah alasan semata, padahal mereka yang melakukan kunjungan kerja ke luar negeri hanya sekedar melakukan wisata untuk memenuhi kerasukan mereka terhadap dunia. Ia saat itu sudah mulai memberontak, jarang sekali berbicara dengan ayahnya, dan juga merasa amat bersalah apabila ia ikut menikmati harta ayahnya yang dihasilkan dari kepicikan seorang pengusaha yang menjabat menjadi penguasa. Ujung dari pertikaian batinnya antara dirinya dengan orang tuanya ialah ia memutuskan untuk bekerja paruh waktu di salah satu restoran dan tinggal berpisah dengan orang tuanya. Ia memutuskan untuk kost di dekat kampusnya dan membiayai kuliahnya dari hasil ia bekerja. Hanya sesekali ia meminta bantuan dari kakaknya apabila ia kekurangan biaya.
Namun segala hal tersebut luluh antara hati orang tua terhadap anaknya tersebut. Mereka tak sanggup lagi menahan rindu yang selama ini mereka tutupi dengan ego. Kedua orang tuanya hadir saat Dita sedang berjuang melahirkan anak pertamanya dari kisah cintanya bersama Ahmad. Suasana ruang tunggu di depan ruang operasi malam itu sungguh mencekam. Dita yang sudah sedari pagi terbaring lemas di atas meja operasi. Ia tak sanggup untuk melahirkan secara alami. Sudah berulang kali dicoba, namun gagal. Ia berjuang ditemani oleh ibu mertuanya. Dengan sabar dan terus memanjatkan doa-doa kepada Tuhan agar anak menantunya tersebut dapat melahirkan dengan selamat. Namun, akhirnya tim dokterpun memutuskan untuk mengoperasi Dita karena melihat kemungkinan yang akan berbahaya apabila tidak dilakukan operasi dalam proses kelahiran manusia suci tersebut.
Selanh beberapa jam proses operasinya berhasil, tangis bayi pun terdengar dari ruang luar operasi. Buru-buru mereka yang sedari tadi menunggu Dita operasi berucap sukur kepada Tuhan. Para rekan aktivis, orang tua kandungnya, dan juga seluruh anggota keluarga Ahmad menunggu di luar dengan penuh khidmat meminta kepada Tuhan agar proses operasi tersebut lancar. Yang menjadi perhatian adalah di saat ayahnya memeluk dengan hormat abahnya Ahmad. Entah karena reflek atau memang ayahnya Dita telah berdamai dengan dirinya sendiri sehingga kini dapat menerima kenyataan. Namun, bagi keluarga Ahmad itu sudah telat sambil hanya memendamnya dalam hati setelah semua terjadi begitu lama dan teramat dahsyat.
Setelah para tamu boleh mengunjungi Dita yang masih terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang rumah sakit, para teman aktivisnya meminta ijin untuk pulang ke rumah masing-masing. Suasana dingin terjadi ketika para aktivis tersebut menyalami ayahnya Dita, orang yang selama ini menjadi salah satu musuh mereka dalam memprotes kebijakan-kebijakan pemerintah. Apalagi posisi ayahnya Dita berada dalam Kementerian Hukum dan HAM. Namun, para aktivis tersebut berusaha untuk menghormati mereka karena mereka juga orang tua kandung dari kawan seperjuangannya.
Dita tersadar dan terbangun, lalu menanyakan kepada ibu mertuanya tentang keadaan anaknya yang baru saja lahir. Ia belum sadar di dalam ruangan tersebut juga ada ayah dan ibunya, dan ia memang juga tidak mengharapkan mereka datang untuk menyaksikan kelahiran cucu dari rahimnya, dari rahim anak yang sempat terlupakan.
“Anakmu baik-baik saja neng, ia lahir sempurna dan sehat. Ia mirip sekali denganmu.” Ucap ibu mertuanya. Sejak tinggal bersama mertuanya, memang Dita akrab juga dipanggil “neng” agar lebih terasa akrab antara mereka. Dita pun tidak keberatan dengan hal tersebut.
Mendengar penjelasan ibu mertuanya, ia hanya tersenyum penuh sukur.
“Dita sudah sadarkan diri bu?” Tanya ibu kandungnya kepada besannya tersebut. Mendengar suara tersebut Dita terasa terpukul kepalanya di saat pusing masih melanda pikirannya. Ia takut, takut ia bisa melupakan semua kepahitan yang selama ini ia dan terutama suaminya rasakan. Hinaan, cercaan, dan segala macam sumpah serapah pernah terucap dari keluarganya saat Ahmad bersama kedua orang tuanya melamar Dita. Ya, itu teramat pahit, dan ada yang lebih pahit disbanding itu semua.
Seketika ia teringat segala kenangannya bersama Ahmad. Sedari awal perkenalannya sampai akhirnya mereka menikah. Pertemuan mereka tidak sengaja terjadi. Mereka pertama kali bertemu saat keduanya mengikuti aksi kamisan yang dilakukan oleh para keluarga korban penembakan mahasiswa Tri Sakti di depan istana Negara. Mereka sempat beberapa kali bertatap mata. Dan keduanya menyadari hal tersebut. Namun pada saat itu mereka belum melakukan perkenalan.
Antara Dita dan Ahmad merupakan dua mahasiswa lintas kampus. Namun, mereka berdua sama-sama konsen pada masalah politik, HAM, dan juga Feminis. Sebuah kebetulan yang nantinya mempersatukan mereka.
Pada aksi kamisa selanjutnya, Dita dengan penuh semangat mengikutinya. Motivasinya ada dua, yakni untuk terus memperjuangkan masalah HAM yang terus ditutup-tutupi oleh pemerintah dan yang satu lagi adalah berharap semoga ia bertemu kembali dengan Ahmad. Entah apa yang membuat ia merasa begitu bersamangat untuk kembali bertemu dengan lelaki asing yang mampu membuat hatinya berdebar. Dan, harapannya pun terkabul.
Ahmad kali ini juga mengikuti aksi kamisan tersebut. Dengan berpakaian semua serba hitam untuk melambangkan bahwa bangsa ini akan terus berduka dan juga bahwa hukum di negeri ini masih hitam, masih menutupi kebenaran yang sesungguhnya. Hukum di negeri ini masih melindungi para penguasa yang terlibat langsung atas tragedy tersebut dan juga terlibat terhadap para korban penculikan yang sampai kini tak tahu rimbanya dimana. Bagi sebagian kecil rakyat yang banyak di bangsa ini, masih ada mereka yang terus berjuang membuka tabir tersebut. Dita dan Ahmad salah satu diantara mereka.
Setelah aksi tersebut, mereka akhirnya saling berkenalan. Dita yang menghafal kebiasaan Ahmad setelah aksi yang biasanya langsugn beristirahat di pekarangan Monumen Nasional di bawah pohon rindang akhirnya memberanikan diri untuk mendekati Ahmad.
Ia langsung mengeluarkan sebotol jus kemasan yang ia sengaja bawa dari kostannya dan ia tawarkan kepada Ahmad. “Untuk menghilangkan haus.” Ucapnya kepada Ahmad. Diambilnya minuman tersebut lalu kembali menawarkan kepadanya setelah di buka penutup botol tersebut. “Perempuan dahulu.” Ucap Ahmad dengan tenang.
“Perempuan di bangsa ini hanya diberikan peluang, namun minim penghargaan yang setara antara perempuan dan lelaki. Bangsa ini perlu banyak belajar mengenai persamaan gender.” Itulah yang selintas terucap dari Dita di saat perkenalan mereka.
“Sesungguhnya itu masih terjadi, seperti perempuan hanya diberikan kesempata kerja untuk mengisi posisi yang biasanya lelaki tempati, namun mereka tidak mendapatkan persamaan yang sama antara dirinya dengan yang lelaki terima. Mereka tidak mendapatkan tunjangan, karena pihak perusahaan menganggap bagi yang sudah menikah tunjangan tersebut sudah diterima oleh suaminya dalam pekerjaannya.” Balas Ahmad.
Dirinya tak menyangkan ternyata Ahmad juga sedikit mengetahui perjuangan feminis di negeri ini. Mereka masih sama-sama belajar tentang suara-suara minoritas yang terus tertindas.
“Lalu kapan kamu mau minum?” Setelah mendengar tersebut Dita langsung meminum minuman yang ia awalnya tawarkan kepada Ahmad.
Seketika terdengar alunan music dari Payungteduh yang berjudul Menuju Senja.
Harum mawar di taman, menusuk indah ke dalam sukma, dan menjadi … … …
Lirik lagunya terus beralun menemani mereka berdua.
“Aku melihatmu penuh khidmat saat mendengar lagu ini waktu Payungteduh manggung di kampusmu.”
“Kamu menonton juga, kenapa tidak menyapa aku kala itu. Sedang apa kamu di sana?”
“Kita belum kenal kala itu, bahkan sampai saat ini juga kita belum saling kenal. Aku kesana memang ingin menikmati alunan-alunan music mereka.” Ucap Ahmad, sambil ditertawai oleh Dita.
“Ya, kenapa sampai saat ini kita belum berkenalan?”
“Mungkin ada yang malu diantara kita berdua.”
Mereka berdua tertawa bersama mendengar hal tersebut. Mereka mengobrol cukup lama di sana. Saling bercerita dan saling bertukan pikiran. Anehnya mereka berkenalan ketika mereka mau berpisah pulang.
“Aku membenci pemimpin-pemimpin yang pernah memimpin bangsa ini. Kenapa mereka terus melindungi para penjahat yang telah melukai perjalanan bangsa kita. Koruptor, penjahat HAM, pelaku penculika aktivis, pelaku kekerasan terhadap kebebasan beragama, mereka di sini seakan tumbuh subur besar. Sampai sekarang belum juga selesai masalah penembakan mahasiswa Tri Sakti, kasus pembunuhan Munir, bahkan belum juga dikembalikannya para aktivis yang diculik dan kemungkinan besar disiksa pada jaman Orde Baru. Selain itu, kenapa juga anak-anak terus dibohongi tentang sejarah bangsa ini. Seakan sejarah hanya punya penguasa yang berkepentingan agar mereka terus berkuasa tanpa adanya pemberontakan dan perlawanan. Kasian mereka yang terbunuh dan tersiksa di tahun 65. Mereka yang tak berdosa dan tak terlibat dan hanya karena dicurigai ikut terlibat gerakan PKI mendapatkan siksaan. Diperkosa yang perempuan, dibunuh dan diculik bagi para lelaki, tangis anak kecil terus berkumandang kala itu. Mereka harus menderita atas perbuatan zalim penguasa kala itu. Namun, sejarah tersebut dipelintir dan bahkan dibenarkan oleh para manusia zaman ini. Kasian mereka yang belum kembali atas penculikan tersebut, mendekam dipenjara tanpa diawali dengan pengadilan, bahkan ada yang sampai saat ini tak dapat menginjakan kakinya ke tanah leluhurnya atas karena ideology yang disalahkan oleh penguasa kala itu. Sebenarnya apa salahnya mereka memperjuangkan mahzab sosialis di negeri ini. Tak ada yang salah, yang salah adalah orang-orang yang melakukan penyiksaan terhadap mereka. Bahkan sampai saat ini, tak jarang bagi mereka yang memiliki hubungan darah ataupun memiliki sejarah penganut PKI tak dapat bekerja pada instansi pemerintah. Entahlah sampai kapan masalah ini akan selesai.” Dita bicara panjang lebar saat itu.
“Benar katamu, mereka tidak ada yang salah, yang salah adalah mereka yang berlebihan melakukan penyiksaan terhadap orang-orang tak bersalah tersebut. Bangsa ini harus tetap optimis dari sekian banyak alasan agar kita menjadi pesimis dari masa depan yang lebih baik. Hari sudah malam, tanpa kita sadari, kamu tidak mau pulang? Lain kali kita dapat mengobrol kembali berbicara tentang apapun, asal jangan tentang SBY.”
Dita tertawa mendengar ucapan dari Ahmad tersebut. Lalu mereka berjabat tangan saling berkenalan dan bertukar nomor kontak. Sambil berharap dalam diri masing-masing akan dapat berjumpa kembali dilain kesempatan.
Akhirnya mereka dipersatukan pada ikatan cinta. Mereka merasa saling cocok, memiliki misi yang sama dimasa depan. Namun setelah mereka lulus kuliah, Ahmad memutuskan kembali tinggal di kampung halamannya, bekerja disana melindungi para petani yang ayahnya juga menjadi salah satunya diantara petani-petani tersebu yang terus terebut lahannya atas kebijakan penguasa yang akan mengubah lahan tersebut menjadi hotel dan vila yang berdekatan dengan kawasan wisata. Sedangkan Dita berfokus pada salah satu LSM yang terus memperjuangkan hak-hak orang yang mengalami diskriminasi dari penguasa, pengusaha, dan juga kelompok-kelompok mayoritas yang menekan keyakinan penganut akidah yang berbeda dengan ajaran agamanya. Namun mereka sepakat, untuk terus melanjutkan hubungan tersebut dan bahkan sampai menikah.
Setelah menikah, mereka pun harus berpisah diawal tahun pernikahannya. Dita masih hasur terus mengawal isu pembelaan kaum minoritas yang keyakinannya harus tertindas karena kelompok mayoritas menganggap mereka sesat. Disaat tersebut ia pun kerap kali berjumpa dengan ayahnya tanpa sengaja dan tanpa diingini oleh Dita. Mereka bertemu saat LSM tersebut mengadvokasi hak mereka terhadap pemerintah. Dan ayahnya menjadi salah satu petinggi di kementerian yang menangani kasus tersebut. Tanpa pernah mereka bersapa, bahkan tersenyum pun tidak. Dita tampak kuat atas jalan hidupnya. Baginya jalannya adalah kebenaran meskipun harus melawan ayahnya sendiri. Ayahnya dianggapnya gagal mengotentikan dirinya pada kebenaran. Ayahnya adalah salah satu dari bagian yang terus melindungi kekerasan dan diskriminasi terus terjadi di negeri ini. Ayahnya tunduk pada mayoritas yang dominan namun keliru. Ayahnya dianggapnya sebagia orang munafik yang jahat, yang Menurut Bernard Mandeville adalah mereka yang terus berpura-pura pada urusan ketidakadilan, meskipun ia sadar bahwa kepura-puraan tersebut adalah hal yang keliru, mereka bersusah payah untuk ikut merasakan penderitaan tersebut, namun disaat yang bersamaan ia menikmati keuntungan dari kejahatan tersebut. Ya, ayahnya adalah orang yang munafik. Dan ia memilih keluar dari jalan hidup ayahnya dan keluarganya.
Sedangkan urusannya terhadap Ahmad, ayahnya tidak merestui hubungan mereka. Bahkan hanya kakaknya saja yang menyaksikan pernikahan mereka. Namun ia mampu dan terus bahagia dengan Ahmad dan jalan hidupnya.
Mereka lama juga menjalin cinta sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Ahmad adalah lelaki yang mampu memberikan jaminan kenyamanan pada dirinya. Disaat sedih, bahagia ataupun disaat ia membutuhkan kekuatan saat ia teringat tentang hubungannya dengan keluarganya. Ahmad tidak pernah menuntut, melainkan sebagai penuntun. Ahmad tidak pernah marah, melainkan menjadi peredam amarah saat ia kecewa perjuangannya buntu ditengah perjalanan saat pemerintah menolak permohonannya. Ahmad adalah tawa baginya, penawar lelah, penghapus luka, pembersih jiwa, dan segalanya. Mereka bahagia dan terus bahagia.
Ahmad adalah pemuda yang melakukan konsolidasi terhadap para petani agar tidak mau melepas lahan mereka ke tangan para penguasa tersebut. Selain harganya yang terbilang sangat murah, ia juga menjelaskan bahwa setelah lahan tersebut lepas, maka tak ada lagi pendapatan yang diraih dari mereka. Uang hasil penjualan akan habis dalam waktu yang singkat. Sedangkan kebutuhan mereka terus tumbuh. Setidaknya jika mereka terus menjadi petani yang telaten dan juga tekun akan menghasilkan keuntungan terus menerus dengan lahan yang mereka miliki dan diolah sendiri. Setelah usahanya gagal, para pengusaha mencoba mengakui secara paksa lahan tersebut dengan dalih lahan tersebut dimiliki oleh pemerintah daerah. Pemda diiming-imingi imbalan yang menggiurkan dari para pengusaha. Dan usaha tersebut berhasil. Pemda memalsukan segala surat-suratnya. Warga sempat kehilangan asa, namun Ahmad terus berjuang.
Sambil menyiapkan bahan-bahan untuk diajukan dalam banding di pengadilan, Ahmad mengajak warga khususnya para pemuda untuk memblokade jalan agar alat-alat berat terhalang masuk. Dita akhirnya meninggalkan Jakarta, ia berniat menemani Ahmad berjuang bersama warga melawan tirani penguasa dan pengusaha. Ya, setelah beberapa lama mereka menikah akhirnya mereka bersatu juga dalam satu garis perlawanan. Kembali seperti masa kuliah mereka.
Pengusaha dan penguasa panic melihat perlawanan yang terus dikelola oleh Ahmad dan para warga. Sampai pada akhirnya eksekusi tersebut terjadi setelah direncakan secara rahasia oleh penguasa dan pengusaha. Ahmad tewas dalam kasus kecelakaan. Di saat Dita sedang mengandung, di saat ia membutuhkan dukungan yang kuat dari suaminya tersebut, ia harus kehilangan suami tercintanya. Meski belakangan diketahui bahwa dalang dari kecelakaan tersebut adalah orang-orang dari pengusaha yang terus merongrong wilayah pertanian ayahnya dan juga para saudara dikampungnya agar dapat mudah diubah hak miliknya untuk kepentingan bisnis mereka. Ya, satu hal yang sedari awal disadari ialah pengusaha-pengusaha tersebut merepukan salah satu pemilik dari anak usaha yang dikuasai ayahnya sendiri. Dita murka atas hal tersebut.
Kini ia menyaksikan kelahiran anak pertama dan yang terakhir kalinya lahir dari rahimnya sendiri, tanpa disaksikan oleh Ahmad suami tercintanya. Lamunannya cukup panjang malam itu. Disaat mereka yang berbahagia menyaksikan kelahiran anaknya, namun ia merasakan kepedihan. Ia meminta melihat bayi tercintanya, lalu memohon ijin kepada abah mertuanya mengumandangkan azan di telinga bayinya. Air matanya bercucuran. Bahagia dan sedih. Setelah itu, ia meminta bayinya dan mendekapnya dalam hangat, sambil bersenandung lagu Payungteduh yang berjudul Di Ujung Malam, namun liriknya diubah sedikit.
Di ujung malam, diantara lelap dan sadar, mulailah sekarang bahagia bersamaku.
Air matanya semakin bercucuran, deras, tak sanggup lagi ia menahannya.
Ya, rindu itu merdu seketika. Pelan ia mendengar suara itu, diantara bayang-bayang ia melihat sosok Ahmad mulai menari dan bernyanyi di atas sana. Tersenyum bahagia, dan kemudian berbisik pelan kepadanya.
“Orang tuamu telah datang untuk menjemputmu, ia telah berdamai dengan dirinya, menerima kehadiran anak kita, pulanglah bersamanya, mulai sekarang hiduplah yang tenang, besarkan ia, sampai kelak menjadi ibunya. Akhiri kekesalanmu kepada mereka, aku telah memaafkan mereka begitu juga dengan keluargaku. Kamu harus bahagia bersama mereka, kini setelah kamu menikmati kebahagian bersama aku dan keluargaku. Maafkan mereka.”
Cucuran air mata Dita semakin deras, ia melepaskan bayinya kepada ibu mertuanya, dan melihat kepada ibunya, dan memintanya untuk segera memeluknya. Hati antara dua wanita terutama anak dan ibu memang tak bisa dipisahkan. Isak tangis bahagia tumpah dalam kamar tersebut.
Kini ia memberanikan berbicara. “Biarkan anak ini saya beri nama Syajaratu Durri. Ini merupakan kesepakatan kami berdua, antara Ahmad sebagai ayah dari anak ini dan aku sebagai ibunya.”
Terakhir, Syajaratu Durri merupakan sosok perempaun dari kaum budak pada masa Dinasti Ayyubi yang dibeli dari Turki oleh Sultan Shalih Najmudin Ayyub. Ia bukan seperti mantan budak pada umumnya, ia memiliki kecerdasan yang dengan hal tersebut ia ikut ambil adil dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh sultan tersebut. Ia melebih posisinya sebagai selir sultan, ia bak permaisuri pada kerajaan tersebut. Disaat suaminya sedang sekarat, Syajaratu mengambil alih kekuasaan secara de facto. Ia memutuskan dan mengambil langkah kerajaan selanjutnya. Tidak ada keputusan yang tidak atas persetujuannya. Sampai pada akhirnya perang salib VII pecah. Dan tentara gabungan dari Eropa dapat dikalahkan dan ditaklukan oleh para tentara mantan budak yang dipimpin pula oleh mantan budak, yakni Syajaratu Durri. Kecerdasan dan keberaniannya diharapkan oleh Ahmad dan Dita agar menular pada anaknya.
Seperti masa mudanya, setelah anaknya tumbuh besar, ia mengajak anaknya untuk melakukan aksi kamisan. Namun kali ini tidak dilakukan di depan istana, ia melakukannya di makam sang suami tercinta. Ia merawat makam tersebut layaknya benda hidup. Setiap kunjungannya mereka selalu melantunkan lagu-lagu Payungteduh yang menjadi kesukaan mereka berdua. Tak jarang mereka membacakan sebuah puisi. Dan kali ini Dita tersengang, karena anaknya telah mampu membuat puisi dan membacakannnya di atas makam ayahnya tersebut.
Ayah
Aku tidak pernah mengenal ayah
Bahkan untuk melihat secara langsung saja Tuhan tak mengijinkan
Namun aku selalu mendengar ceritamu dari ibu tercinta
Tak ada noda dalam hidupmu, ceritanya
Selalu melindungi perempuan, tambahnya
Mencintai ibu tulus, senyumnya
Dan mengajarkan ketulusan, tangisnya

Ayah, namun disaat ibu bercerita tentang ayah
Ia selalu menangis
Ku lihatnya sangat perih
Lalu aku bertanya padanya, “apakah ayah seorang penjahat yang telah menyakiti ibu?”
Lalu ia tersenyum dan berkata, “ayahmu adalah kebaikan dari segala kebaikan yang pernah ada di bumi ini”
Lalu aku bertanya lagi, “lalu kenapa ibu selalu menangis?”
Ia menjawab dengan tulus, “karena aku mencintainya”
Aku menjawab, “aku juga mencintainya, mencintai ayah dengan segala jarak yang ada, dengan segala air mata yang menetes dari kami berdua”
Ayah, kami mencintaimu, selamanya, selamanya, dan selamanya.
Dengan segala bahagia


Mereka berdua berpelukan dalam tangis di atas makam orang yang mereka cintai dan mencintai mereka secara tulus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae