Jumat, 01 November 2013

Memprediksi Atmosfer Politik Pada 2014

Perjalanan menuju Pemilu 2014 semakin hari semakin dekat. Banyak para Caleg dari DPR maupun DPRD Kota dan Provinsi kini telah asik memperkenalkan diri mereka kepada para calon pemilih. Bahkan belum apa-apa, sudah banyak Partai yang memperkenalkan para calon presiden mereka kehadapan publik. Artinya gairah dalam persaingan merebutkan kekuasaan di 2014 semakin panas. Hal tersebut semakin diperparah oleh serangan-serangan politik yang disampaikan oleh para kader partai tertentu kepada partai lainnya. Mereka saling melemahkan para pesaing mereka, demi mengharapkan para pemilih terpengaruh pemikiranny terhadap serangan-serangan yang mereka rancang.
Tidak jarang kita jumpai saat ini banyak alat peraga Partai Politik maupun para calegnya terpampang di jalan-jalan protocol maupun jalan raya biasa. Mereka memasang wajah dan lambing partai mereka sebesar-besarnya. Bahkan tidak jarang kita pun menyaksikan mereka sudah mulai melakukan pendekatan secara langsung ke dalam masyarakat. Gemerlap persaingan memang sudah mulai terasa dan direkayasa oleh mereka para pelaku politik.
Pelaksanaan Pemilu seraya diharapkan masyarakat agar terjadinya perubahan kekuasaan dan kebijakan kebijakan yang akan diberlakukan oleh penguasa yang akan datang. Pemilu dalam pandangan sederhana merupakan proses penyerahan kekuasaan dari rakyat kepada pemerintah terpilih. Mereka secara bebas dan rahasia melakukan pemilihan, apakah mereka menghendaki penguasa yang baru untuk menjalankan kekuasaan atau malah memilih penguasa yang lama untuk terus melaksanakan kekuasaannya. Semua ada di tangan para pemilih.

Kajian kali ini kita lebih memperdalam tentang prediksi atmosfer politik yang akan terjadi pada periode mendatang. Setelah hanya partai yang saat ini berada di parlemen dan partai Nasdem yang baru saja berdiri, dan ditambah beberapa partai kecil peserta pemilu kali ini terbilang lumayan sedikit. Ditambah lagi dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan ambang batas minimum suara partai untuk bisa masuk kedalam parlemen sebesar 3,5 % bayangan kekuasaan yang akan terjadi setelah pelaksanaan pemilihan umum akan sedikit demi sedikit sudah mulai tampak. Banyak memang kalangan menganggap keputusan ini merusak perjalanan demokrasi di negeri ini, karena dengan sengaja menghambat partai kecil untuk mengikuti persaingan pelaksanaan pemilu di 2014 nanti.

Dari gejala tersebut banyak pengamat yang memprediksi hanya akan ada 7 sampai 8 partai yang akan masuk ke dalam parlemen. Ini menandakan hanya partai-partai besar yang memiliki dana dan basis masa yang mumpuni untuk lolos dari ambang batas. Sedangkan partai yang tidak memiliki dana dan basis masa akan hanya menjadi penghibur dalam kontestasi Pemilu di 2014 nanti. Namun semua bisa terjadi, mengingat pemilih kita sebagian besar adalah pemilih yang pragmatis jika dilihat dari kaca mata awam, yakni pemilih yang hanya akan memilih jika diiming-imingi dengan materi.

Dilain hal kita juga harus melihat hubungan yang terjadi nanti antara kekuasaan eksekutif dengan legislative. Apa yang akan terjadi jika ada 7 sampai 8 partai yang lolos dari ambang batas tersebut? Dan yang lebih buruk lagi adalah apa yang akan terjadi jika pemenang pilpres datang dari partai atau gabungan partai yang tidak memiliki suara mayoritas dalam parlemen? Inilah masalah utama dari apa yang akan terjadi pada atmosfer politik pada periode yang akan datang.

Ambang batas minimum sebesar 3,5 % tetap akan menjadikan kekuasaan dalam cengkraman multipartai ekstrem. Karena ambang batas minimum tersebut akan membawa atau meloloskan 7 sampai 8 partai ke dalam parlemen. Ini akan sangat sulit untuk menjalankan kekuasaan sistem presidensial yang dianut oleh negeri kita jika masih banyaknya partai yang lolos ke parlemen. Masalah yang akan muncul adalah terciptanya suasana buruk dari perjalanan demokrasi. Dalam masalah legislasi pun, ini akan berdampak buruk karena parlemen dan presiden sama-sama mendapat mandat langsung kekuasaanya dari rakyat.

Dengan mengacu hal tersebut, kita dapat melihat periode mendatang akan penuh dengan transaksi kompromitas dari para anggota koalisi pemerintahan dan juga para partai di parlemen. Eksekutif merasa takut jika dalam koalisi mereka tidak melebihi suara oposisi di dalam parlemen. Cara utama untuk menyelamatkan hal tersebut adalah mereka membentuk koalisi dalam membangun pemerintahan pusat. Akan banyak negoisasi-negoisasi untuk mencapai hal tersebut. Sebut saja partai/gabungan partai pemenang pilpres akan membagi-bagikan jatah menteri kepada partai lain yang bersedia bergabung dalam pemerintahan tentu dengan catatan bahwa para legislator mereka di DPR dapat mendukung kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan pusat.

Apa yang terjadi saat ini tentu tidak akan jauh berbeda dengan kekuasaan periode mendatang. Kegaduhan politik pada saat ini akan terjadi lagi pada periode mendatang. Karena koalisi dibangun bukan berdasarkan kebutuhan institusional pemerintah pusat untuk menuntaskan permasalahan bangsa melainkan koalisi hanya dibuat untuk mengamankan kekuasaan mereka di legislative.

Lihat saja pembangkangan sikap dari partai-partai yang saat ini masuk ke dalam koalisi pemerintahan pusat. Mereka acap kali berlainan jalan dengan partai utama pengusung presiden dan juga keputusan yang dibuat oleh presiden saat draf pengajuan perencanaan kebijakan diajukan ke DPR. Mereka kerap kali menolak dan sambil berharap akan ada lobi selanjutnya dari penolakan mereka. Dan juga mereka sering kali mengancam akan keluar dari koalisi jika permintaannya tidak dituruti. Kondisi seperti ini akan sangat berdampak buruk bagi perjalanan demokrasi dan juga kepastian kekuasaan.

Jika terjadi terus menerus seperti ini, sudah tidak dapat dipungkiri lagi di pemilu tahun 2019 nanti angka golput akan semakin meninggi. Negoisasi kekuasaan akan semakin sering terjadi yang tak berdampak signifikan dalam kehidupan di masyarakat. Negara berjalan tidak semestinya, pincang di sana-sini. DPR pun terlalu sibuk melakukan lobi, sehingga tugas utama mereka yakni membuat undang-undang yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan para pemberi mandat kekuasaannya yakni rakyat menjadi terbengkalai. Inilah dampak dari kecilnya batas minimum yang ditetapkan oleh DPR dan juga MK selaku pemberi keputusan terakhir.

Jawaban dari segala hal tersebut adalah dengan menaiki ambang batas minimum pada pemilu di 2019 nanti. Apakah ini akan melanggar hak demokrasi? Tentu jawabannya adalah tidak. Masalah utamanya adalah kita semua silau dengan angin segar paska runtuhnya rezim Orba. Kita semua berlomba membuat partai politik demi menjadi bagian dari pelaksanaan pemerintah, baik di eksekutif maupun legislative. Dan yang lebih memalukannya lagi adalah alasan mereka begitu antusias untuk membuat partai politik atau masuk ke dalam partai politik adalah demi menyampaikan aspirasi rakyat.
Sejatinya untuk mewakili rakyat bukanlah beramai-ramai membuat partai politik atau masuk ke dalam partai politik. Seperti dalam salah satu tulisan saya, untuk melakukan penguatan proses demokrasi melalui pemilihan umum ini, kita perlu menguatkan sistem civil society di masyarakat. Civil society dengan demokrasi merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, dengan demokrasi civil society dapat tumbuh berkembang dan dengan civil society sistem demokrasi dapat berjalan dengan baik. Demokrasi bukan dilihat dari banyaknya peserta pemilu melainkan seberapa besar keterlibatan masyarakat sebelum dan setelah pelaksanaan pemilu untuk mengontrol penguasa baik di legislatif dan eksekutif dalam membuat kebijakan dan peraturan yang sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan rakyat. Inilah makna demokrasi yang semestinya dipahami, bukan makna yang diberikan oleh mereka yang keblinger dan haus akan kekuasaan.
Kesimpulannya adalah, naiknya ambang batas minimum tidak akan menyurutkan atau bahkan menodai makna demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae