Jumat, 18 Oktober 2013

Penguatan Sistem Demokrasi Melalui Civil Society

Perjalanan dunia perpolitikan bangsa ini semakin kini semakin memanas. Tertangkap tangannya ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang diduga menerima suap untuk melakukan pemenangan pada penanganan kasus sengketa pilkada sempat mengguncang bangsa ini. Tidak sampai disitu, tertangkapnya Akil Muchtar membuka juga kasus-kasus lain, diantaranya yakni goyahnya dinasti Ratu Atut beserta keluarganya yang menguasai Provinsi Banten dengan nyaman selama ini. Menjelang 2014 yang akan diberlangsungkannya pemilihan legislative dan Presiden dan Wakil Presidennya perpolitikan bangsa ini semakin memanas.
Selain itu, para calon anggota legislative pun sudah mulai memancarkan dirinya kehadapan publik dengan begitu banyaknya memasang spanduk, pamphlet, stiker, dan berbagai peraga dirinya di lingkungan publik. Mereka berlomba mendekati masyarakat untuk meraih dukungan yang maksimal sehingga mereka berhasil lolos pada 2014 nanti. Pendekatan-pendekatan mulai dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya mengimingi masyarakat dengan janji manis bahkan tidak jarang mereka membagi-bagikan materi kepada masyarakat. Sungguh para caleg ini telah terlampau jauh dalam melakukan pendekatan kepada masyarakat yang bahkan mendekati pembodohan. Mereka didekati dengan berbagai cara, namun tidak dibekali dengan pengetahuan tentang politik yang jujur. Masyarakat hanya dijadikan penghasil suara yang akan membawa dirinya menjadi anggota legislative demi memenuhi hasratnya yang dipenuhi dengan kepalsuan. Bahkan tidak jarang pula kita melihat caleg mendekati ormas-ormas yang selama ini melakukan aksi-aksi kekerasan di dalam lingkungan masyarakat demi meraih dukungan. Pastinya langkah caleg yang seperti itu telah melegitimasi kekerasan yang dilakukan oleh ormas tersebut. Sungguh politik yang amat sangat praktis dan merugikan masyarakat ke depannya nanti.
Masyarakat didekati hanya menjelang pemilihan namun setelah mereka terpilih lalu mereka sibuk menghitung-hitung kerugian yang telah terjadi dan mencoba mencari gantinya dengan menyalahgunakan jabatan yang telah diberikan oleh rakyat. Rakyat tak mampu melakukan apapun setelah pemilihan, karena mereka tidak dibekali mengenai penguatan civil society. Rakyat tidak disadarkan bahwa merekalah yang memiliki kedaulatan dalam era demokrasi ini, dengan cara mengontrol kebijakan para caleg yang telah mereka pilih. Namun lagi-lagi yang terjadi ialah rakyat hanya diam, karena pendekatan yang caleg lakukan kepada masyarakat mengabaikan nilai-nilai demokrasi. Lalu tanggung jawab siapa kedepannya, tepatnya setelah pemilu nanti yang mengajak masyarakat untuk mengontrol kebijakan para pemimpin yang telah kita pilih? Ya, ini merupakan tanggung jawab kita semua.
Untuk diawal mari kita mengetahui apa itu sebenarnya pemilu? Pemilu artinya rakyat diberikan secara bergantian untuk bebas memilih untuk mengekspresikan kebebasan memiliah atas persetujuan atau pertidaksetujuan yang menentukan pergantian elit kekuasaan. Lewat pemilihan umumlah rakyat menentukan kehendaknya apakah mereka menginginkan penguasa yang lama untuk terus berkuasa atau bahkan memutuskan untuk mengganti penguasa lama yang telah dianggapnya gagal dengan orang-orang baru untuk memimpin yang mampu menjalankan aspirasi mereka. Satu-satunya cara yang sah dalam sistem demokrasi ini untuk menentukan dan memilih siapa yang berhak menjadi pemimpin dikemudian hari ialah melalui mekanisme pemilihan umum ini.
Di dalam menjalanlankan mekanisme pemilihan umum ini, rakyat diberikan kebebasan dalam menentukan siapa yang mereka pilih di kemudian hari untuk menjadi pemimpin. Sudah selayaknya dalam pelaksanaan pemilihan umum tidak ada lagi intimidasi yang dilakukan kepada rakyat untuk memilih salah satu calon, mereka berhak bebas untuk melaksanakan haknya memberikan suara pada pemilihan umum.
Pemilihan umum ialah manfestasi kedaulatan yang sedari awal kita telah mempercayai bahwa kekuasaan di tangan rakyat dan keputusan penguasa tidak sah jika tidak menghendaki kepentingan rakyat. Inilah poin penting dalam proses pelaksanaan pemilihan umum. Rakyat bebas memilih dan menentukan kepada siapa mereka akan dipimpin lalu rakyat memiliki kedaulatan bahwa mereka berhak juga untuk melakukan protes terhadap kebijakan yang dibuat oleh mereka yang telah dipilih rakyat jika tidak sesuai dengan kehendak rakyat.
Untuk melakukan penguatan proses demokrasi melalui pemilihan umum ini, kita perlu menguatkan sistem civil society di masyarakat. Civil society dengan demokrasi merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, dengan demokrasi civil society dapat tumbuh berkembang dan dengan civil society sistem demokrasi dapat berjalan dengan baik.
Mengutip dari Larry Diamond, Asrori S. Karni menjelaskan bahwa ada enam sumbangan civil society bagi demokrasi: Pertama ialah menyediakan wahan sumber daya politik, ekonomi, kebudayaan, dan moral untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan diantara pejabat Negara. Kedua ialah pluralism dalam civil society, bila diorganisir, bahkan menjadi dasar yang penting bagi persaingan demokratis. Ketiga ialah memperkaya partisipasi politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan. Keempat ialah ikut menjaga stabilitas Negara. Kelima ialah tempat menggembleng pemimpin politik. Dan keenam ialah menghalangi dominasi rezim otoriter dan mempercepat runtuhnya rezim tersebut.
Penguatan civil society merupakan langkah untuk melakukan penyeimbang dan kecenderungan atas control eksesif Negara. Civil society akan menguatkan suatu masyarakat politik yang demokratis – partisipatoris, reflekti dan dewasa. Dengan civil society juga menyadarkan kembali kepada masyarakat behwa merekalah pemegang kedaulatan dan memiliki hak untuk mengontrol kekuasaan.
Dengan civil society juga dapat menumbuhkan pola demokrasi yang partisipatoris bukan hanya menjadi demokrasi elit semata. Demokrasi elit merupakan sebuah upaya untuk mengesampingkan rakyat setelah pelaksanaan pemilihan umum. Setelah rakyat menjalankan haknya, maka setelah caleg terpilih mereka mengesampingkan aspirasi rakyat dalam menjalankan pemerintahan dan membuat kebijakan. Di dalam tipe ini, demokrasi elit sangat mungkin kepentingan rakyat yang selama masa kampanye disuarakan terlupakan.
Sedangkan dalam tipe demokrasi partisipatoris yang merupakan buah dari civil society (dalam pemikiran penulis) justru mendorong peran masyarakat dalam ikut terlibat dalam membuat kebijakan-kebijakan para caleg yang terpilih atas suara mereka. Bagaimanapun setelah terpilihnya wakil rakyat masyarakat tidak terlupakan untuk terus ikut terlibat dan membantu mereka yang terpilih untuk membuat kebijakan yang sesuai dengan kepentingan dan kehendak rakyat. Kesimpulannya adalah makna yang benar dengan demokrasi ialah setelah masyarakat bebas dan rahasia memilih para pemimpin yang mereka pilih dalam proses pemilihan umum, masyarakatpun berperan serta dalam pembuatan keputusan dan kebijakan yang dibuat oleh para pemimpin yang mereka pilih sesuai dengan kehendak dan kepentingan masyarakat. Jadi, demokrasi bukan hanya memilih pada pemilihan umum, melainkan juga mereka terus ikut terlibat dalam proses pemerintahan orang-orang yang telah mereka kehendaki menjadi pemimpin mereka.
Ini diharapkan agar tidak terus terjadi kepunahan karifan politik yang diistilahkan oleh Jefrie Geovanie sebagai kehidupan politik yang membunuh. Inilah yang terjadi selama ini pada bangsa kita, pemerintahan yang secara umum dikuasai oleh mereka yang penuh nafsu untuk terus berkuasa dengan hasrat untuk menguasai yang lain dengan melupakan kehendak dan kepentingan rakyat.
Intinya ialah dengan penguatan civil society rakyat tidak hanya dijadikan objek mobilitas dan meraih dukungan oleh kalangan elit politik. Selain berhak untuk memilih secara bebas dan rahasia kita juga berhak untuk terus terlibat dalam pembuatan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh mereka yang telah kita pilih agar terus berada dalam jalur kepentingan dan kehendak rakyat bukan pada kepentingan dan kehendak pribadi maupun partai politik.
Satu pesan dari Hannah Arendt manusia mandiri ialah manusia yang terbebas dari himpitan kebutuhan pribadinya dan pada saat yang bersamaan mampu berwacana dalam ruang publik. Ketika manusia mandiri, saat itulah ia menjadi warga Negara yang sebenarnya, dan pada saat itu pula demokrasi bisa berjalan.
Tidak ada salahnya untuk kita menguatkan sedari dini kesadaran politik masyarakat ketika para calon anggota legislative sudah melakukan manuver-manuver dalam masyarakat untuk meraih dukungan.
Wassalam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
bekasi, jawa barat, Indonesia
sedang berproses, sederhana dan membumi. follow twitter: @ojiwae