Bagian Ketiga Dalam Nyanyian Anak Negeri
Awalnya ku duga akan menjadi sulit, jika kesibukanku dalam kuliah ditambah lagi dengan kesibukan membantu Tama memberikan pengajaran pada anak-anak lorong jembatan. Bukan hanya dalam mengatur jadwal antara jam kuliah ku dan jam mengajar anak-anak di sana, tetapi jam untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen ku akan sedikir berkurang. Memang Tama tak memaksaku untuk ikut membantunya, namun aku ingin membantu mereka, mencerdaskan mereka, dan memberi sinar dalam lorong-lorong mimpi mereka.
Pagi ini sinar mentari begitu tulus memberikan cahayanya kepada umat manusia. Tak panas, tak juga mendung. Ini bagiku adalah syahdu. Mampu membuat diri ini kedalam peraduan rindu, pada orang-orang yang terkasih. Setelah membuat sarapan pagi, aku mandi lalu bersiap untuk menuju lorong tempat tinggal Tama. Memberikan pengajaran.
Secangkir susu manis, roti panggang, dan juga sekepal semangat dalam hati untuk memberikan ilmu yang tulus kepada anak-anak tersebut. Hari ini Mila tidak ikut mengajar, ia sedang sibuk mencari bahan-bahan tugas yang diberikan oleh dosennya. Sedangkan diriku sudah tak tertarik lagi untuk kuliah. Setelah sekian lama menjalani profesi baru ini, pengajar.
Orang tua ku belum mengetahui hal ini, karena mereka terlalu sibuk untuk mengurusi pekerjaannya, dan aku tak peduli juga dengan mereka. Kami hanya bertemu sebulan sekali jikaku mau, namun sering kali aku menolaknya. Uang pemberiannya sebisa mungkin aku sisihka, untuk membelikan buku-buku bacaan kepada anak-anak. Mila kerap kali memperingatkan ku agar tak melupakan bangku kuliah yang sudah memasuki masa akhir. Namun aku tak peduli.
Sebenarnya selain Mila ada juga Rendi yang selalu mengawasi gerak-gerik ku selama ini. Ia adalah pria yang mengaku tulus mencintaiku, menyanyangiku, dan peduli terhadap kekecewaanku terhadap orang tua ku. Namun, aku menganggapnya hanya sebagai angin lalu, karena ku anggapnya sama seperti mereka-mereka yang merengek kepada orang tuanya untuk memenuhi nafsu kemudaannya, dan juga mengharapkan perjalanan yang mudah dalam mencari pekerjaan setelah masa kuliah karena pengaruh yang dimiliki oleh orang tuanya. Pemuda yang tak punya harapan menurutku.
Tanpa kusadari sudah mendekati pukul setengah tujuh pagi ini. Masih menikmati irama pagi ini dari lagu-lagunya Payungteduh. Syairnya begitu teduh, sederhana namun penuh makna.
Kita adalah sisa-sisa keikhlasan yang tak diikhlaskan merindung ku mendengarnya. Mengingatkan ku akan masa sekolah, masa dimana Tama tak mendapatkan posisi sejatinya sebagai juara sekolah. Ya, dia masih merupakan murid terpintar namun kelebihannya tersebut tak di ikhlaskan oleh kami dan oleh pihak sekolah pada kala itu. Aku benci.
Masih ingin bersantai, aku memutar satu lagi lagu dari Payungteduh yang berjudul Resah. Bukan karena aku resah dalam kehidupanku saat ini, tapi memang sedang resah dalam seuah rasa.
Aku menunggumu dengan damai di atas sini melayang-layang, ah entahlah aku menjadi melayang mendengar lirik ini.
Apalagi ditambah dengan aku ingin berdua denganmu diantara daun gugur, aku menjadi semakin resah. Tak ada yang aku ketahui tentang apa yang ada dalam rasa diriku saat ini.
Jam pelajaran memang dimulai jam 8. Ini dipilih Tama, karena melihat kondisi yang kurang memadai mengenai jumlah MCK yang dimiliki. Jumlah MCK hanya tiga. Berapa lama antrian untuk mendapat giliran dari sekitar empat puluhan kepala keluarga.
Lokasi Tama dengan tempat kost ku memang cukup jauh. Aku kost disekitaran kampusku di wilayah Depok. Sedangkan Tama berada di daerah Jakarta Timur, berbatesan dengan wilayah Jakarta Selatan. Dekat dengan wilayah Pasar Rebo Jaktim. Mereka berada dekat dengan jalan tol JORR menuju arah TB Simatupang. Disekitarnya ada sungai yang mengalir menuju wilayah Pasar Minggu. Banyak pepohonan, hijau dan sejuk. Berimbang dengan jumlah polusi mobil yang lalu lalang di jalan tol tersebut.
Selama perjalanan menuju tempat Tama, aku asik mendengarkan irama musik dari Kitaro dengan judul Into The Forest. Ya tempat tinggal Tama merupakan satu tempat yang ku anggap taman kota yang sangat dibutuhkan dari tatanan ibu kota ini. Musiknya sederhana, namun mampu membawa kita begitu jauh.
Berduyun-duyun berebutan jalan bersama pengguna jalan lainnya merupaka salah satu kegiatanku kali ini. Jika mahasiswa keluar dari tempat kostnya untuk menuju kampus, maka aku tidak. Aku pergi menemui para anak-anak yang tak henti-hentinya menyanyikan pujian-pujian untuk negerinya. Kampus kini menjadi tujuanku nomor sekian, tujuan utamaku adalah Tama dan para muridnya.
Hari ini tidak begitu sibuk aku agendakan untuk mengajar. Setelah dzuhur aku berniat mengajak Tama untuk mencari buku-buku bacaan baru meskipun buku-buku tersebut buku bekas. Aku mengajaknya ke Point Square Lebak Bulus. Buku sangat penting menurutku, selain menjadi teman hidup yang paling setia, buku merupakan salah satu alasan utama ketika kita berhasil menulis.
Pada saat mengajar ku berniat untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk membacakan puisi-puisinya yang dua hari lalu aku tugaskan kepada mereka. Satu per satu mereka maju, percaya diri, tanpa malu. Tak sedikit dari mereka ada yang masih grogi saat berada di depan anak-anak yang lain. Namun mereka setidaknya sudah diberikan motivasi yang begitu besar dari Tama. “Guncangkan dunia dengan tulisan kalian, beritahu mereka bahwa dari lorong ini kalian mempunyai mimpi.” Kira-kira seperti itu Tama memnyemangati mereka.
Sebenarnya aku tidak ingin mengkategorikan tulisan-tulisan mereka termasuk dalam kategori puisi, cerpen, opini atau apapun. Aku ingin mereka menulis. Bebas, sesuai dengan kehendak mereka. Mengisi kertas putih yang suci dengan garis pemikiran mereka yang tulus.
Ada satu tulisan yang membuatku sedikit kaget. Ya mereka berhasil menggemparkan aku yang belum lama mengenal mereka. Seperti ini kiranya tulisan tersebut.
Lorong Mimpi
Kami jarang mengenal mereka
Kami berada hanya dalam mimpi
Tak pernah keluar
Bahkan untuk sekedar berkata
Hidup kami adalah mimpi
Mimpi buruk bagi mereka
Mimpi indah untuk kami
Sejengkal kami bermimpi
Orang-orang bergantian tertawa
Sejengkal kami menangis
Orang-orang makin terbahak-bahak
Sejengkal kami mati
Orang-orang bersyukur
Itulah kami,
Lorong kehidupan ini
Tempat kami bermimpi
Menjadi tempat bagi mereka untuk membuang sampah
Namun kami tak pernah berhenti
Berlari mengejar mimpi
Dari lorong sunyi ini.
Setelah kegiatan belajar, aku berhasil mengajak Tama untuk pergi untuk mencari buku untuk bahan bacaan anak-anak. Awalnya ia menolak, karena uang kas anak-anak belum cukup untuk membeli buku baru. Dan ia semakin menolak ketika aku memberitahu bahwa uangku yang akan digunakan. Ia tak mau merepoti ku nampaknya. Namun setelah beberapa lala kami bicara, aku berhasil menyakinkannya.
Membeli buku cerita anak-anak, buku-buku sejarah, dan buku-buku lainnya. Tidak lupa juga aku membelikan kepada Tama buku-buku tentang teknik menulis, macam-macam tulisan, dan juga novel. Aku memaksanya untuk menerimanya, walaupun awalanya ia menolak. Setelah itu, ia tak ada henti-hentinya memberikan ceramah kepadaku. Ia takut, kalau nanti uangku habis, ia takut juga kalau orang tuaku marah uang pemberian darinya aku belikan buku kepada anak-anak, ia juga takut kalau aku terlibat begitu jauh sehingga tak lagi melanjutkan kuliah. Tapi ketakutannya itu berhenti ketika aku bilang, “aku ingin berbagi, seperti kamu, kepada mereka, walau kita dalam keterbatasan sekalipun. Aku ingin seperti kamu.”
Tama tidak hanya berhenti ceramah setelah ku ucapkan kalimata tersebut, mukanya juga memerah malu. Aku senang membuatnya malu seperti itu, karena aku tahu bahwa ia orang yang berbudi baik. Tidak mau dipuji, sehingga ia menampakan wajah yang malu.
Aku saat itu menemukan satu cahaya baru. Cahaya dari lorong mimpi, cahaya cinta. Seraya berharap Tama berkata, “berikan tanganmu, jabat jemariku, kita melangkah bersama, selamanya, membangun hidup dari lorong mimpi ini,”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar