Sebuah upaya untuk penguatan Demokrasi di negeri ini. Agar Demokrasi bukan hanya dianggap sebagai sistem elektoral semata namun juga untuk dijalankan basis normatifnya.
Cita-cita Demokrasi seperti yang terbayangkan dalam Undang-Undang Dasar maupun Pancasila sampai saat ini masih membutuhkan jalan panjang. Nilai luhur kedua landasan idil bangsa ini sedang dalam pertaruhan. Maka dari hal tersebut maka seharusnya kita tak pernah lelah dalam melakukan konsilidasi Demokrasi kepada masyarakat.
Dalam pandangan awal, kita tak lagi mengelak pandangan yang diajukan oleh Fahmi Huwaydi tentang titik singgung antara demokrasi dengan nilai-nilai islam. Ia memberikan tujuh poin yang menghubungkan antara demokrasi dan islam. Pertama adalah kekuasaan dipegang penuh oleh umat; Kedua adalah masyarakata ikut berperan dan bertanggung jawab; Ketiga adalah kebebasan adalah bagi semua orang; Keempat adalah kesamaan diantara semua manusia; Kelima adalah kelompok yang berkuasa memiliki legalitas; Keenam adalah kezaliman yang mutlak tidak diperbolehkan dan meluruskannya adalah kewajiban; Dan yang ketujuh adalah undang-undang di atas segalanya. Inilah titik singgung antara demokrasi dan islam yang sekiranya sudah sampai pada hal positif dimata para pelaku demokrasi, baik dari sayap kanan dan sayap kiri. Sampai pada masalah ini, kita belum melihat apa yang menjadi kecemasan kita terhadap akan goyah cita-cita bangsa melalui jalan demokrasi.
Bangsa ini dilahirkan dengan begitu banyak perbedaan. Suku, agama, bahasa, budaya dan sebagainya mampu disatukan oleh Bapak Bangsa kita semua yakni Soekarno. Beliau mempersatukan segala perbedaan tersebut tanpa pertumpahan darah manusia. Upaya utamanya adalah akan lahirnya wawasan kebangsaan yang lahir pada abad kedua puluh. Sumpah Pemuda mampu menjadi obat dari segala penderitaan dan arah yang tak jelas pada masa penjajahan. Setelah lahirnya kemerdekaan, barulah lahir ide brilian, berupa nilai-nilai luhur Pancasila yang menjadi landasan ideology bangsa. Kedua hal ini diharapkan mampu menjadi pegangan hidup masyarakat untuk menghindarkan kedalam jurang fanatisme SARA ataupun kelompok agar tak berkembang secara tak terkendali sehingga menjadi bencana bagi terciptanya cita-cita bangsa.
Perjalanan demokrasi bangsa kita sudah cukup panjang tentunya. Berganti penguasa berganti pula penerapan sistem demokrasinya. Baru setelah jatuhnya Orde Baru demokrasi tumbuh subur di negeri ini. Partai-partai politik berdiri, wakil rakyat dipilih langsung oleh rakyat. Tidak mau kalah Presiden dan Wakilnya pun langsung diberikan kepada rakyat untuk mengambil keputusan. Apakah rakyat masih menginginkan rejim lama untuk berkuasa atau mereka menghendaki rejim baru untuk berkuasa, semua itu diserahkan langsung kepada rakyat. Bahkan partai politik dan organisasi berdiri tanpa harus menjadikan Pancasila sebagai ideologynya, akibatnya banyak partai ataupun ormasyang lahir berdasarkan suatu nilai agama maupun budaya.
Namun, apakah itu semua menandakan demokrasi telah mencapai puncaknya terkait pelaksanaannya di negeri ini? Bukan ingin berpandangan sinis ataupun skeptis. Namun saya hanya ingin berpandangan realistis saja dengan segala perkembangan demokrasi belakangan ini. Mengingat tahun depan adalah peristiwa yang sangat kita tunggu-tunggu demi terlaksananya perbuhan perbaikan dalam kehidupan bangsa, yakni pelaksanaan Pemilihan Umum.
Kita harus mengambil poin lain yang menjadi bahan perdebatan yang kerap kali terlupakan karena jika ini kita anggap sebagai kelamahan dari demokrasi maka kita akan dianggap telah melawan kehendak reformasi paska tahun 99. Tidak bisa dipungkiri pastinya, pelaksanaan pemilihan kepala daerah baik di tingkat Kota maupun Kota/Desa menjadi sebuah bom waktu bagi terciptanya amanat demokrasi yang dituangkan dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar. Perlukah hal ini harus kita takutkan?
Pertanyaan di akhir paragraph di atas sangat perlu kita perhatikan. Memang saat ini, gerakan untuk melakukan atau mengubah landasan bangsa dari Pancasila menjadi sistem syariah islam sudah berkurang bahkan berlalu begitu saja. Masyarakat secara langsung kerap kali menolak ajakan tersebut yang kadangkala diusung beberapa kelompok. Kita tak perlu lagi memperdebatkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Index of Political Right and Civil Liberty yang dikeluarkan oleh Freedom House, yang menyatakan bahwa Negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim kerap kali gagal membangun politik yang demokratis. Menurut mereka, jika ada orang islam yang hendak memperkenalkan model demokrasi kepada penduduk mereka akan gagal. Karena orang islam menganggap bahwa demokrasi tidak akan berpengaruh pada kehidupan mereka, islamlah yang menjadi acuan utama mereka. Lebih jauh kita tidak perlu memperdebatkan ini dengan pandangan yang menentangnya seperti yang diutarakan oleh Fareed Zakaria. Beliau sebgai pemikir muslim berada dalam posisi yang dilema, disaat ia melihat dunia muslim pada diri darah dagingnya yakni bangsa Timur Tengah ia menilai memang sangat jauh bila demokrasi liberal dapat diwujudkan di sana. Ia mengakui bahwa dunia Arab terjebak pada sistem autokrasi dan masyarakat tidak liberal. Namun ia secara tegas jika Islam menjadi momok utama yang membuat demokrasi tidak tumbuh subur di seluruh dunia. Masalah utamanya adalah menurutnya terdapat pada dunia Timur Tengah sendiri bukan pada dunia islam. Memang kita sering terjebak bahwa islam adalah Timur Tengah dan Timur Tengah adalah islam. Padahal, menurutnya adalah bukan. Timur Tengah hanya memiliki 260 juta penduduk muslim, dan di luarnya ada sekitar 650 juta muslim yang hidup di Negara demokrasi yang tumbuh sempurna. Inilah dua kutub pendapat yang sudah tidak relevan lagi untuk kita perdebatkan.
Lantas apakah umat muslim di bangsa kita sudah sepenuhnya menerima dan mengamalkan nilai-nilai demokrasi? Secara procedural dapat kita katakan ya, mereka umat muslim sudah secara suka rela menjalankan demokrasi untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin. Namun, ini yang perlu kita garis besarkan, mereka umat muslim hanya menjalankannya sebagai bentuk procedural belum sampai pada nilai normatifnya. Muslim seperti ini kerap kali disebut sebagai “democrat islamis” yakni umat muslim yang menjalankan demokrasi hanya sebatas pemilihan semata, namun dibalik itu semua masih menyimpan agenda-agenda islam untuk diperjuangkan. Indikasinya dapat kita lihat secara kasat mata, pada setiap pemilihan umum, pemilihan gubernur atau kepala Wali Kota maupun Bupati kerap kali pemimpin umat muslim melakukan lobi politik kepada para calon-calon yang akan bertarung. Mereka menggunakan otoritas kekuasaannya dimata umatnya, yang apabila ia berkata “A” maka seluruh umatnya – karena otoritas keagamaannya – seluruh umatnya akan mengatakan “A” pula. Inilah yang menjadi senjata utama pemimpin-pemimpin umat muslim di suatu daerah tertentu. Ia menjanjikan otoritasnya tersebut untuk memberikan suara kepada para calon pemimpin tersebut, sambil meminta agar calon tersebut apabila sudah terpilih mau menjalankan amanah syariah yang ia tuntutkan. Inilah yang menggerogoti demokrasi secara perlahan. Umat islam hanya menjadi alat mobilisasi suara yang di jual oleh pemimpinnya kepada para calon pemimpin.
Diperparah lagi oleh perilaku para calon pemimpin ataupun calon anggota legislative yang akan bertarung. Mereka kerap kali terjebak pada politik identitas yang tanpa diminta langsung oleh pemimpin umat muslim. Mereka kerap kali dalam masa mengenalkan diri mereka kepada masyarakat dengan secara tidak malu-malu menyebutnya sebagai haji yang taat, menggunakan symbol-simbol islam, dan kerap kali masuk keluar masjid dengan janji-janji yang menggiurkan. Dan mereka seakan takut tampil dihadapan masyarakat apabila tidak ada embel-embel islamnya. Merebaknya gejala seperti ini juga akan mengakibatkan gesekan-gesekan yang dibungkus dengan identitas agama.
Lalu sebenarnya apa cita-cita demokrasi? Seperti yang secara umum sudah kita ketahui bersama, demokrasi merupakan bukan hanya proses penyerahan kekuasaan dari rejim lama kepada penguasa rejim yang baru yang dipilih langsung oleh rakyat. Atau bahkan rakyat memutuskan rejim yang lama untuk terus berkuasa melalui proses yang sama. demokrasi bukan hanya seperti hal tersebut.
Cita-cita demokrasi adalah masalah melindungi kebebasan dan hak individual masyarakat dari tindakan sewenang-wenang para penguasa. Lebih jauh lagi, yakni untuk menjamin hak individu untuk menjalani kehidupan menurut pihaknya masing-masing. Individulah dalam nilai normative demokrasi ini yang menjadi titik pusat perhatian pemerintah demokratis, bukan pada konsep-konsep transcendental – Tuhan, yang menjadi pusat perhatian dari dan ukuran untuk tatanan demokratis.
Semoga kedepannya umat muslim di bangsa kita menjadi democrat sejati, yakni seorang yang mampu menempatkan kebebasan individu, toleran terhadap perbedaan, kesamaan hak dihadapan hukum, dan sebagainya. Inilah cita-cita demokrasi.
Kebebasan individu disini jangan kita anggap manusia yang bebas melakukan apapun, justru sebaliknya, karena kesamaan hak dihadapan hukum, kebebasan individu baru bisa dijalankan apabila ia telah memberikan kewajibannya dihadapan publik. Bukan individu yang secara bebas melakukan apapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar