Jauh melangkah kebelakang, seperti mengutip pemikiran Aidit dalam buku Tan Swie Ling, bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat setengah jajahan dan setengah feodal. Dari hal tersebut, kita sudah dapat sasaran utama dalam gerakan perubahan yang menjadi musuh bangsa ini, kekuatan pendorongnya, tugas-tugasnya, karakter dan persepektif-perspektifnya.
Terlebih pada masa kini musuh utama kita kaum imperealis sudah menjadi kekuatan besar yang akan terus menjajah bangsa. Yang tak perlu dilupakan juga ialah, diantara kaum imperealis tersebut terdapat anak bangsa sendiri yang menjadi kaki tangan setia kaum imperealis asing. Kaki tangan – kaki tangan ini ada yang memiliki hubungan langsung dengan capital besar asing dan ada juga yang tidak, dan yang tidak memiliki hubungan secara langsung ini mereka biasanya mendapatkan dana-dana istimewa dari kaum imperealis.
Jelaslah sudah, arah kita akan kemana nantinya. Ini hanya menjadi satu jengkal pertama dalam perjalanan perubahan ini.
Langkah masuk kaum imperealis ke dalam negeri ini ialah, dengan melakukan peminjaman dana dengan bunga yang sangat tinggi ketika pemerintah secara terus menerus membutuhkan uang. Tentu saja peminjaman yang secara tidak cuma-cuma ini akan memberikan dampak negative yang berkepanjangan dalam proses pembangunan negeri. Pembayaran bunga pinjaman tersebut yang cukup tinggi memakan porsi anggaran Negara, setelah sampai kepada imperealis mereka mengembalikannya ke dalam negeri dengan menginvestasikan uang tersbut ke daerah-daerah dalam bentuk capital-industrial, yang tertarik pada sumber daya alam yang belum tersentuh, dan terutama tenaga kerja yang belum terorganisir, dan belum terbiasa melawan.
Dengan mengubah pola hidup kaum tani menjadi pekerja industry tentu ini akan merugikan kehidupan kita sendiri. Bangsa yang biasa hidup dengan bertani kini mereka secara tiba-tiba harus menjadi pekerja industry dengan budaya baca yang masih sedikit. Terjadilah social jumping dalam kehidupan masyarakat kita yang membawa pada titik menjadi pembantu di negerinya sendiri. Tata kelola yang salah dalam pembangunan ini membuat rakyat terus-terusan menderita. Ini terjadi sedari dahulu, sampai saat ini. Lahan pertanian secara perlahan diganti dengan kawasan-kawasan industry. Kaum tani dan miskin desa semakin terhimpit kehidupannya. Mereka mengahasilkan devisa Negara hanya untuk membayar hutang dan menambah penderitaan mereka, tidak mengurangi sedikitpun beban kehidupan.
Tidak dapat dilupakan juga bahwa dalam segala bentuk pinjaman yang didapat oleh pemerintah tidak semuanya masuk untuk kepentingan rakyat. Sedikit demi sedikit mereka habis saat memasuki wilayah birokrasi kekuasaaan. Dana tersebut tersunat, tak sepenuhnya atau bahkan sebagian sampai untuk kepentingan rakyat miskin. Semakin memperparah penderitaan negeri ini. Merekalah yang kini berada dalam tampuk kekuasaan sebagai kaki tangan kaum imperealis asing yang menjajah saudaranya sendiri.
Kita dapat melihat dari berbagai kawasan industry yang terbangun, seberapa banyak menyerap rakyat untuk menjadi pekerjanya. Dan seberapa besar dampaknya dari pengurangan beban kemiskinan mereka. Dari data yang didapat dari situs Kementerian Perindustrian, per Agustus 2012 pabrik industry di Indonesia dapat menyerap 118,04 juta pekerja di Indonesia. Industri alas kaki dan garmen merupakan sektor industri padat karya yang menyerap sedikitnya 4 juta tenaga kerja dan menghasilkan devisa ekspor 20 miliar dollar AS atau Rp 200 triliun per tahun. Jumlah tersebut sangat besar, namun tidak dapat mengangkat perekonomian buruh. Buruh yang dipaksa terus bekerja selama hampir 8 jam, hanya mendapatkan hasil yang kecil dibandingkan keuntungan yang begitu besar yang diraih oleh kaum imperealis dan para kaki tangannya.
Selain itu kini masuk pula para gerombolan pengusaha yang mencoba menjadi penguasa. Keinginan mereka memasuki kekuasaan bukan untuk melakukan penjaminan bahwa mereka juga memiliki hak politik yang sama terhadap seluruh warga, melainkan untuk mendapatkan jaminan bahwa harta mereka tak akan berkurang sedikitpun akibat kebijakan Negara yang merugikan mereka. Bangsa ini sudah parah dan diperparah oleh mereka yang serakah. Setelah Partai Politik yang menjadi saluran resmi untuk menjadi penguasa hanya dianggap sebagai perkumpulan elit untuk melanggengkan dan merawat oligarki elit, kini Partai Politik mencoba dimasuki oleh kaum pengusaha. Kekuasaan bukan sekedar tentang lobi-lobi politik lagi, melainkan lobi-lobi ekonomi pun sudah mulai memasukinya. Penguasa yang terpilih tidak lagi menjadikan kepentingan rakyat menjadi pilihan utama, melainkan lobi-lobi ekonomilah yang dibangun oleh pengusaha-pengusaha yang menjadi penguasa demi mengamankan asset mereka.
Sampai di sini, dimana kepentingan dan kebutuhan rakyat kecil diperjuangkan? Setelah Partai Politik yang seharusnya menjadi saluran resmi aspirasi rakyat, kini dimasuki oleh pengusaha yang mencoba mengamankan asetnya. Setelah Negara seharusnya menjadi pelindung rakyatnya, kini Negara malah melindungi imperealis asing dan menjadikan rakyatnya budak di negerinya sendiri.
Sebuah perubahan dapat terjadi apabila segenap rakyat bersatu dan siap menerkan musuhnya. Tidak ada perjuangan yang berhasil jika masalah-masalah social hanya menjadi sebuah latarbelakang dan perjuangan tersebut dilaksanakan di bawah panji nasional dan regenerasi republikanisme borjuis. Hanya taktik-taktik independen kelas bawah, yang dari posisi kelasnya menghimpun dukungan, dan hanya dari posisi kelasnya mendapatkan kemenangan mutlak dalam perubahan.
Namun, nampaknya sekali lagi yang perlu kita sesalkan bersama ialah kini mulai memudarnya persamaan kelas. Persamaan kelas diantara penduduk kota telah hilang. Kaum miskin kota sudah tidak mampu lagi melawan industry bebas, sudah tidak mampu lagi melawan kaum borjuis menengah ke atas, tertindas dan menindas, serakah namun tidak sanggup memenuhi keserakahannya. Inilah kelas buruh yang sudah tuli akan gemuruh peristiwa dan kemiskinan.
Di luar kelas buruh ada kelas terpelajar. Mereka sadar dan nyata melihat penindasan, ketidakadilan, kemiskinan, korupsi, kolusi, nepotisme, dan berbagai penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh penguasa. Namun mereka juga secara nyata terlihat diam dan merasa nyaman dengan semua kejahiliyahan tersebut. Mungkin karena mereka dibentuk semasa bangku perkuliahan hanya untuk mencapai akses birokrasi baik di swasta atau pemerintahan agar mencapai masa depan yang nyaman. Semasa kuliah mereka tidak peka terhadap problem masyarakat dan masalah social.
Namun sekali lagi kita harus optimis dan yakin, suatu hari nanti, dari sejengkal arah perubahan ini akan tercipta sebuah keadilan tanpa penindasan.
Baca dan Lawan Kawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar