“Kenapa semua menjadi seperti ini? Aku tidak mengerti, kedua keluarga kita menolak hubungan kita. Padahal kita yakin, Tuhan sangat mengasihi dan mencintai jalinan kasih sayang yang dialami oleh mahluk-Nya, namun kenapa jadi seperti ini. Kita seperti pendosa besar dihadapan Tuhan. Kita, aku dan kamu yang memiliki dua cara berbeda dalam mencapai Tuhan kini harus tersakiti oleh kungkungan perbedaan itu. Apa Tuhan sudah mulai lelah memancarkan cintanya kepada manusia.” Dalam pelukan kekasihnya, Kartika menangis begitu dalam, di atas gunung, mereka berdua melepaskan kepedihan takdir mereka.
“Tidak ada yang salah tentang Tuhan dan juga tentang rasa cinta yang ditimbulkan oleh-Nya. Talk ada yang salah dari takdir Tuhan yang telah menemui kita berdua. Tak ada yang salah dari kita, karena memiliki cara yang berbeda dalam menuju cinta Tuhan. Tak ada yang salah dengan mereka yang menolak hubungan kita. Tak ada yang salah dari semua ini. Hanya kebenaranlah yang benar. Namun aku yakin kita memiliki kebenaran dalam hubungan ini.” Ujar Karim kepada kekasihnya.
“Bahkan Negara pun menolak hubungan seperti mereka. Mereka tidak merestui anak bangsanya yang saling cinta untuk menempuh jalan kasih sayang. Masyarakat juga sangat keras menentang keberadaan kita. Kita selalu terusir di negeri ini. Apa cinta hanya boleh diraih dan diberikan kepada sesama saja, bukan kepada yang berbeda. Cinta ini tulus Rim, aku mencitaimu, karena aku tahu di dalam dirimu ada kedamaian yang dapat kurasakan, seperti ketika ku sedang beribadah kepada Tuhanku, kedamaian itu sama, aku mencintaimu setulus aku mencintai Tuhan ku.” Kini Kartika melepaskan pelukannya, ia tertunduk penuh putus asa. Dan tak tahu harus bagaimana lagi kedepannya.
Kartika adalah seorang kristiani yang taat. Ia kini sedang menyelesaikan kuliahnya S1 nya di salah satu Universitas terkemuka di ibu kota. Perwakannya tidak terlalu tinggi untuk ukuran perempuan asli Indonesia. Hidungnya mancung. Kulitnya putih. Matanya tajam namun selalu memancarkan kasih sayang. Rambutnya hitam lurus. Ia selalu menguncir rambutnya. Demi kenyamanan aktifitas yang ia jalani.
Ia tinggal bersama kedua orang tuanya di salah satu bilangan elit di kawasan Jakarta Selatan. Anak pertama dari bersaudara. Adiknya juga perempuan, kini sedang duduk di kelas tiga. Di salah satu sekolah Kristen ibu kota. Ayahnya adalah pengusaha sukses, dan ibunya adalah wanita karir. Sejak kecil ia sering dirawat oleh neneknya. Diajarkan keluruhan nilai-nilai Injil pada dirinya sejak masa anak-anak. Karena Ayah dan Ibunya sering bepergian ke luar kota, ia lebih dekat kepada neneknya dibandingkan kepada kedua orang tuanya tersebut. Hanya adiknya saja, yang sejak SMP dekat dengan ibunya. Hal tersebut terjadi karena neneknya harus menghadap Tuhan. Dan sejak kepergian neneknya tersebut ia seperti kehilangan sedikit motivasi. Ia sering menyendiri namun hal itu tak berarti menurunkan prestasi belajarnya. Sampai ia lulus SMA dan akhirnya mampu masuk ke Universitas negeri.
Ia jarang sekali bicara kepada ibunya. Tradisi yang telah lama terjadi membuat ia merindukan satu sosok yang mampu menciptakan satu kedamaian dalam dirinya, seperti apa yang selalu dilakukan oleh neneknya di semasa kecil. Neneknya selalu membacakan Injil ketika ia menjelang tidur. Sehingga keluhuran nilai-nilainya tertanam dalam dirinya. Kini ia tidak dapatkan dari ibunya. Entah kenapa ia tidak ingin dekat kepada ibunya. Mungkin gejolak masa kecilnya belum terlupa pada dirinya. Ia sering ditinggal oleh orang tuanya hanya demi kepentingan karir, sedangkan ia harus menunggu di rumah. Untunglah neneknya dengan sabar menemaninya.
Hingga akhirnya ia menemukan sesosok Karim dalam lingkungan kampusnya. Ia pria sederhana, pintar dan gigih. Datang dari kalangan muslim menengah ke bawah. Mereka berdua berbeda fakultas. Namun bertemu dalam satu lingkungan diskusi yang intens. Tentang politik.
Karim menepis tanggapan dalam benaknya bahwa muslim tidak bisa menerima konsep demokrasi. Awalnya, bagi dirinya ialah muslim hanya menganggap seorang muslim hanya menjalankan demokrasi hanya sebatas aspek proseduralnya saja, seperti hanya menjalankan kewajibannya dalam partisipasi pemilu dan dilain sisi mereka mengendam misi untuk terus berusaha mewujudkan nilai-nilai syariah islam diterapkan dalam tatanan pemerintahan. Selain itu ia juga memandang umat islam mempunyai misi tertentu setelah Otonomi Daerah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Ada negoisasi-negoisasi setiap Pilkada berlangsung dari kalangan pimpinan pesantren dan tokoh agama islam. Mereka dengan kepopulerannya dan juga otonominya dikalangan umat muslim menawarkan suara kepada para calon yang bertarung dengan imbalan nilai-nilai islam diterapkan di daerah tersebut.
Traumatic yang teramat mendalam akan dominasi kaum mayoritas di negeri ini begitu mendalam dirasakan oleh Kartika. Mereka yang minoritas kerap kali mendapatkan diskriminasi. Mulai dari pendirian rumah ibadah, pelaksanaannya, apalagi untuk meraih dukungan untuk masuk menjadi anggota pemerintahan. Kerap kali mereka tertolak oleh kaum sebangsanya sendiri, hanya karena berbeda identitas. Dan ia sendiri tidak terbayangkan jika suatu saat nanti suara mayoritas tersebut menjadi penguasa. Apakah hak-hak mereka yang minoritas akan terpenuhi. Jangankan yang berbeda agama, sesama yang seagama saja mereka sebagai mayoritas masih melakukan kekerasan dan permusuhan. Sungguh tak ada harapan lagi untuk melihat bangsa ini sejalan dengan Bhineka Tunggal Ika.
Sedangkan Karim berasal dari peranakan betawi tulen. Orang tuanya merupakan Haji. Cukup terpandang di kampungnya. Orang tuanya kerap kali memakai symbol agama dalam segala aktifitasnya, seraya mengharapkan otoritasnya sebagai seorang haji yang terpandang di kampungnya. Kerap kali ia mendengarkan lagu-lagu Arab yang tak ia mengerti artinya. Namun, orang tuanya menganggapnya itu sebagai dari bagian islam. Tak jarang orang tuanya melarang anak-anaknya mengenal musik-musik yang ada di negeri ini, bagi mereka ini akan merusak keimanan dan moral anak-anaknya.
Awalnya Karim memang sangat dilarang untuk kuliah. Sejak Sekolah Dasar ia sudah dituntut untuk sekolah madrasah atau pesantren. Namun ia kerap kali dikeluarkan dari sekolah. Ia menolak hal tersebut. Dan orang tuanya terpaksa untuk menyekolahkannya di sekolah umum. Dan saat kuliah pun ia tidak direstui oleh Ayahnya, namun Karim seorang yang gigih, ia bekerja sampingan saat malam hari.
Orang tuanya sangat mengagungkan bangsa dan budaya Arab. Sebagai seorang haji ayahnya kerap kali memakai jubah putih apabila hendak berangkat ibadah. Memakai sorban panjang. Tak lupa memakai wewangian yang sangat tajam baunya untuk dihirup. Karim sering kali dipaksa untuk keluar dari pekerjaannya, dipaksa untuk mengikuti pengajian-pengajian yang lagi digemari oleh kaum muda saat ini. Pergi malam, membawa bendera besar, naik motor tanpa helm, dan terkadang mereka merasa symbol keagamaan yang melekat pada tubuh mereka membuatnya merasa agung dibanding dengan pengguna jalan lain, dan tak heran mereka menutup jalan demi kepentingan mereka. Oknum-oknum seperti itu malah merusak keteduhan para pengajarnya sendiri. Namun Karim menolak perintah ayahnya tersebut. Karim tak sejalan dengan prinsip seperti itu.
Tidak lupa Karim pun sering berdebat dengan Ayahnya. Ayahnya sering kali memerintahkan Karim untuk meniru gaya berpakaiannya. Berjubah atau setidaknya menggunakan baju takwa. Sedangkan saudara perempuannya, kerap kali diperintahkan menutup seluruh tubuhnya dengan pakaian. Menurut ayahnya dengan berpakaian seperti ini, mereka akan tampak lebih beriman dibandingkan dengan manusia lainnya. Semakin sering karim diperintahkan seperti itu, semakin sering pula mereka berdebat.
Menurut Karim, iman tidak terlihar dari berapa banyaknya symbol agama yang melekat dalam tubuh manusia. Ia heran dengan mereka yang menutup tubuhnya dengan symbol agama yang merupakan budaya Arab dan bukan ajaran agama sesungguhnya, mereka kerap kali melakukan kekerasan kepada kaum minoritas. Yang paling menyakitkan baginya adalah, mereka kerap kali melarang kaum minoritas untuk menjalankan perintah Tuhannya sedangkan disaat yang bersamaan ia memakai symbol Tuhan pada dirinya. Ini aneh, apa itu yang dimaksud ayahnya dengan keimanan?
Menurutnya iman adalah hubungan manusia dengan Tuhannya dan juga dengan manusia lainnya. Setelah ia berhubungan dengan Tuhannya ia akan memancarkan kasih sayang kepada orang lain. Memberikan orang lain kebebasan untuk menjalankan perintah agamanya. Hidup berdampingan dengan harmonis. Inilah iman yang paling mendasar bagi Karim. Tidak sulit dan juga tidak merepotkan.
Itulah sekilas tentang Karim, yang pada akhirnya Kartika mengenal Karim dan hal yang ia takuti dari kaum muslim sedikit demi sedikit terkikis. Ia berkenalan dengan Karim pada salah satu forum diskusi tentang perkembangan dan perjalanan politik bangsa ini ke depannya. Ia diajak oleh temannya yang juga seorang muslim. Diskusi ini walaupun anggotanya hanya sedikit dan juga sebagian besar adalah kaum muslim, namun mereka memiliki pandangan yang begitu moderat. Mampu tampil menjadi seorang democrat yang seutuhnya. Yang tidak hanya memandang demokrasi sebagai prosedur
untuk menyerahkan kekuasaan kepada pemimpin namun juga mampu memandang demokrasi dalam aspek yang lebih luas.
Salah satu yang ia lihat begitu tampil moderat dan kritis adalah Karim. Ia diperkenalkan dengan suatu studi analisis yang terkenal dari Charles P. Huntington yang menyatakan bahwa umat islam tidak dapat menjalankan konsep demokrasi secara utuh. Karena dianggap ada benturan antara tawaran yang diajukan oleh demokrasi dengan pondasi dasar agama islam. Namun bagi Karim penelitian itu adalah sebuah kekeliruan dengan menganggap bahwa umat islam semua sama dengan bangsa Arab yang menjadi objek penelitian Huntington. Karim mengacu pada pemikiran yang dituangkan oleh Fareed Zakaria. Bangsa Arab janganlah di samakan dengan umat muslim seluruhnya di dunia. Memang harus diakui, bahwa bangsa Arab sangat jauh dari tatanan demokrasi karena mereka dibangun berdasarkan pondasi Negara yang autokrasi dan sangat tak liberal yang keduanya sangat jauh dari prinsip demokrasi liberal. Karena hal tersebutlah masalah utamanya ada pada dunia Timur Tengah bukan pada umat islam secara keseluruhan. Dan dunia Arab hanya menjadi sebagian kecil dari umat islam diseluruh dunia.
Sejak itulah Kartika berminat untuk mengenal Karim. Bahkan ia sering mengajak Karim bertemu untuk berdiskusi tentang peran umat islam di Indonesia dalam memperjuangkan demokrasi. Memang cukup berat untuk terus memperjuangkan ini di bangsa Indonesia. Acap kali ada benturan yang terjadi. Masalah utamanya adalah masyarakat muslim masih saja menganggap demokrasi hanya sebatas proseduralnya saja, namun jauh dari konsepsi seutuhnya. Umat islam di Indonesia masih jauh dari menjamin dan melindungi wilayah kebebasan indvidu, yakni menjamin individu untuk bebas menjalankan kehidupan sesuai dengan pilihannya.
Setelah kesamaan mereka dalam memperjuangkan kaum tertindas agar dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan prinsipnya, mereka saling kenal lebih dalam lagi, di luar dunia politik Indonesia dan masa depannya.
Mereka merasa saling mengisi satu sama lainnya. Tidak ada perbedaan yang alami yang membuat mereka saling berjauhan. Malah perbedaan itulah yang mampu mempersatukan mereka. Satu kebiasaan dari mereka adalah untuk membebaskan satu sama lainnya menjalankan perintah agamanya. Jika Karim menjalankan shalat lima waktu, Kartika menungguinya di pelataran Masjid. Dan jika Kartika sedang beribadah, maka tak segan Karim menemaninya ke Gereja. Namun seperti biasanya, hubungan seperti ini sangat jarang diterima dikalangan keluarga maupun lingkungan social. Sehingga akhirnya mereka untuk memutuskan untuk kamping ke gunung untuk saling merefleksikan pikiran dan diri mereka.
Mereka bingung, kenapa Negara melarang hubungan mereka. Padahal cinta adalah nikmat Tuhan yang paling mulia. Dengan cinta, manusia mampu menciptakan cita-cita Tuhan dalam penciptaan-Nya terhadap dunia ini. Saling berdampingan diantara sekian banyaknya perbedaan. Apa salah manusia lahir di dunia ini dengan segala perbedaannya, dari mulai warna kulit, bahasa, suku, Negara, bahkan agama. Padahal mereka sebelum lahir tak meminta terlebih dahulu kepada Tuhan untuk dilahirkan menjadi apa, siapa, dan dimana mereka hidup. Mereka lahir secara suci. Sebagai manusia baru dimuka bumi ini.
Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk tidak menikah dan memilih menjalani perjalanan cinta mereka tanpa diakhiri oleh kata pernikahan. Mereka terus saling mencintai, namun tanpa ikatan. Mereka tak merasa keberatan, lagi pula pernikahan hanya dianggap sebagai pengesahan untuk memenuhi hasrat nafsu seksual oleh banyak orang. Inilah yang tidak mereka rasakan selama saling mencintai. Cinta mereka melebihi hal seperti itu. Mereka ingin saling menjaga dan memberi kedamaian satu sama lain. Walaupun hasrat tersebut terkadang muncul, namun mereka berusaha untuk menolaknya.
Perjalanan mereka seperti hidup dalam pengasingan. Tidak diakui dan direstui. Padahal ada banyak cara Tuhan untuk menakdirkan cinta. Dan ini merupakan salah satunya. Dua anak manusia saling jatuh cinta, namun harus tersiksa karena pengkotakan agama. Ternyata dunia yang terus berkembang oleh pengetahuan harus terkungung terus-terusan dengan batasan budaya dan agama, sedangkan hasrat manusia untuk terus berpikir tak terbatas oleh apapun.
Ternyata bangsa ini masih terkungkung oleh batas-batas agama, tidak hanya dalam pemilihan pemimpin melainkan juga dalam hal paling sacral pada kehidupan manusia, yakni cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar